Parasit? Kinara tertawa sinis. Segera saja dia membalas pesan sang ibu mertua.
“Baik, Tante. Saya akan mempersiapkan diri,” tulisnya. Terlalu lelah menjadi bulan-bulanan Rindu, Kinara mantap akan berpisah dengan Aditama. Lucu sekali ibu dan anak itu. Kalau memang ingin protes dan tidak setuju, kenapa tidak langsung menyampaikan saja pada Om Tama yang bersikeras menyatukan Kinara dan Aditama? Bahkan sampai saat ini, ayah mertuanya masih memperlakukannya dengan baik, menganggapnya seperti anak sendiri. Kinara naik ke tempat tidur, mencoba beristirahat, tak sabar menanti esok hari. Dalam pejamnya, pikirannya kembali pada pesan singkat dari ibu mertuanya. Diceraikan? Miris sekali, pernikahan yang diharapkannya hanya sekali dalam seumur hidup ternyata tidak berlaku dalam hidupnya. Setelah ini, bagaimana dengan statusnya sebagai janda? Tidak punya ayah, tidak punya ibu …. Kuat ya, Ra. Kamu tidak selemah itu, batinnya menguatkan diri. Dering ponselnya mengusik di saat matanya baru saja kembali terpejam. Ia tersenyum lembut melihat nama seseorang di layar ponselnya. Percayalah, Kinara sangat merindukan wanita ini—tepatnya merindukan kasih sayang seorang ibu yang tidak pernah ia dapatkan. Namun terkadang ia terlalu malas menanggapi ibu tirinya. “Mama,” sapanya lebih dulu. Seperti biasa, lagi-lagi Kinara dijadikan alat untuk meminta investasi dari Tama. Belum juga selesai kekacauan di perusahaan keluarganya yang kini dikelola sang kakak, kini ada lagi permintaan dari ibunya. Padahal, belum lama ini Tama sudah membantu. Kinara mencoba memberi pengertian dan masukan. Jika perusahaan memang sudah di ujung tanduk, bukankah lebih baik dilakukan perubahan manajemen? Namun, Diani—ibu tirinya—merasa tersinggung. Ia marah. Jika perusahaan diserahkan begitu saja pada pihak lain, bagaimana dengan nasib keluarganya? "Mentang-mentang Ayah sudah tidak ada, kamu mau mendepak kami begitu?" Nada suara Diani meninggi. Kinara tidak menjawab. Padahal sudah jelas perusahaan itu sulit diselamatkan. Uang asuransi ayahnya habis entah ke mana dengan dalih menyelamatkan perusahaan, ditambah bantuan dari Tama yang seolah tak pernah ada cukupnya. "Kenapa diam? Tidak mau bantu? Itu perusahaan ayah kamu juga, Kinara! Kamu tidak menghargai perjuangan beliau membangun perusahaan itu? Kamu cuma tahu bermewah-mewahan di sana, menikmati hasilnya selama ini. Dasar anak tidak tahu diuntung!" Diani membentak, lalu langsung memutuskan sambungan telepon. Kinara menangis dalam diam, tak ingin Ve tahu di luar kamar. Tak pernah sekalipun ia merasakan kasih sayang Diani. Perhatian yang diberikan wanita itu selalu bersyarat—hanya ada saat ia butuh sesuatu. Setelah itu, Kinara selalu dihakimi. Ia mengusap air matanya, lalu memejamkan mata, mencoba mengabaikan sakit yang kembali menghimpit hatinya. *** Kinara dan teman-temannya sedang dalam perjalanan ke Singapura, di mana mereka akan menginap selama dua minggu untuk menikmati liburan di Pulau Sentosa. Semua fasilitas penginapan ditanggung oleh Ve, papanya menyiapkan tempat liburan sebagai hadiah ulang tahun. Sore itu, mereka merayakan ulang tahun di salah satu restoran. Suasana perayaan yang riuh dan meriah sungguh menghibur. Setelah acara inti usai, Kinara pamit ke toilet. Sambil merapikan penampilannya, dentingan ponselnya menarik perhatiannya. Suami gaib Kapan kamu ada waktu? Saya ingin bertemu dan bicara perihal pernikahan ini. Kinara terdiam sejenak, mencerna pesan yang dikirim Aditama. Ia sudah tahu arah pembicaraan yang akan dibahas, perceraian. Ya, pasti soal itu. "Saya lagi di Singapura. Ayo bertemu," tulisnya, lalu kembali menghapusnya. "Besok!" ketiknya lagi, tapi sekali lagi dihapus. Berulang kali ia mencoba merangkai kata, tapi semuanya berakhir dihapus. Ia bingung harus merespons bagaimana, mengingat betapa baiknya ayah mertuanya selama ini. Tama menolak keras adanya perceraian. "Aditama itu baik dan penyayang. Bersabarlah sedikit, Nak. Dia hanya ingin fokus pada studi-nya. Hubungi Papa jika dia tidak menafkahi kamu. Untuk nafkah satu lagi, asal kamu ridho, akan ada waktu yang indah nanti." Kata-kata ayah mertuanya terngiang dalam benaknya. "Ya ampun, dicariin di sini!" seru Ve tiba-tiba. Kinara mendongak sekilas, lalu kembali fokus pada ponselnya. "Aku dan yang lain mau lanjut ke KTV. Ikutan nggak?" Kinara masih sibuk mengetik, tak menghiraukan sahabatnya. "Ara! Mau ikut nggak?" ulang Ve. "Nggak mau," balas Kinara, lalu tanpa sadar langsung menekan tombol kirim. Pesan itu pun terkirim ke Aditama dan terbaca. "Nggak mau, ya?" tanya Ve memastikan. "Hah?" Kinara membelalak, panik. “Eh, malah terkirim?! Aaa… Ve…!” serunya, mencak-mencak sendiri, membuat sahabatnya kebingungan. Hapus saja nggak, ya? Tapi udah dibaca, batinnya. Kinara menghela napas, menyalahkan Ve membuat sahabatnya tak mengerti apa yang sedang terjadi. "Kalian lanjut aja, deh. Aku balik ke kamar dulu," katanya, lalu bergegas pergi. Ia butuh tempat yang lebih tenang untuk berpikir sebelum membalas pesan suaminya. Sementara itu, Aditama di seberang sana mengerutkan kening, bingung membaca pesan singkat dari istrinya. Nggak mau? “Nggak mau ketemu atau nggak mau bercerai?” gumam Aditama seorang diri. Aditama tersentak saat sahabatnya, Darius, menegurnya. Mereka baru saja selesai menjamu klien. “Melamun aja, lo!” “Mr. Koh sudah pulang 'kan? Aku mau kembali ke kamar,” kata Aditama menyimpan ponselnya dan berlalu pergi. *** Kinara akan berpisah dengan Ve dan beberapa temannya. "Yakin mau di kamar aja?" tanya Ve. Kinara mengangguk tanpa ragu. Begitu keluar dari restoran, matanya menangkap sosok Erik, teman satu angkatan yang juga ikut dalam rombongan perjalanan mereka. Dari kejauhan, lelaki itu sudah tersenyum menyambutnya. "Ra, kamu mau ke mana? Nggak ikut yang lain karaoke?" tanya Erik. "Nggak, Rik. Aku duluan ya," jawab Kinara, berniat segera berlalu. Namun, langkahnya terhenti ketika Erik tiba-tiba meraih lengannya. Mata lelaki itu tampak sendu, berkabut. "Ra, aku mau bicara sama kamu sebentar. Boleh?" Kinara menghela napas, lalu mengangguk setuju. Mereka duduk berdua di bangku taman. Kinara sudah menduga cepat atau lambat Erik akan mengungkapkan perasaannya. Dan benar saja, lelaki itu akhirnya menyatakannya, meski untuk kedua kalinya Kinara tetap menolak. "Maaf, Rik. Aku nggak bisa." "Kenapa kamu selalu menolakku, hm?" tanya Erik, tiba-tiba mengusap dagu Kinara. "Erik!" Kinara tersentak, segera menghindar. Erik tampak emosional saat mengaku sudah lama menyukai Kinara. "Aku sudah punya tunangan," ucap Kinara akhirnya. Ia memilih mengatakan itu daripada mengakui bahwa dirinya sudah menikah. Erik menggeleng, menolak percaya. "Bohong. Ve bilang kamu nggak punya hubungan dengan siapa pun—" "Maaf, aku mau balik ke kamar—Erik!" pekik Kinara saat lelaki itu tiba-tiba memeluknya dari belakang. "Tolong, Ra. Aku cinta sama kamu!" Erik memohon, tapi Kinara berontak. Matanya menangkap seorang lelaki yang berdiri di ujung jalan, tampak fokus pada ponselnya. Sebuah ide terlintas di kepalanya. Dengan sekuat tenaga, ia melepaskan diri dari pelukan Erik. "Sayang," panggilnya lantang. "Erik, maaf. Aku harus pergi!" "Ara!" Erik memanggilnya dengan nada kesal juga kecewa, tapi Kinara sudah berlari ke arah lelaki asing itu. Lelaki itu mengangkat pandangannya, menoleh ke kanan dan kiri, kebingungan melihat Kinara berlari ke arahnya. Tanpa pikir panjang, Kinara langsung merangkul lengannya—berjinjit hingga bibir lelaki itu menyentuh keningnya membuat mata lelaki itu membulat sempurna. "Ayo," ajak Kinara pelan. "Jalan," titahnya berbisik. Lelaki itu masih bingung, tapi tetap mengikuti langkah Kinara. Sesekali Kinara melirik ke belakang, menangkap tatapan tajam Erik yang masih berdiri di tempatnya. "Kamu—" "Stt! Tolongin saya. Mas-nya diam aja dulu," bisik Kinara cepat. Lelaki itu hendak menoleh ke belakang, tetapi Kinara segera menahannya. Ia pun menurut, berjalan tanpa banyak bicara sementara Kinara menyandarkan kepalanya di bahu lelaki itu. "Jalan terus. Jangan lihat ke belakang!" titah Kinara. Mereka terus berjalan hingga Erik tak lagi terlihat. Tiba-tiba, lelaki itu menghentikan langkahnya. "Stop!" Kinara dipaksa melepas rangkulannya. "Kamu memanfaatkan saya?" Kinara menelan ludah, melihat wajah marah di hadapannya. "Kenapa diam? Kamu tiba-tiba datang, mengatur, dan bahkan menodai bibir saya. Bisa jelaskan?" Apa katanya menodai? batin Kinara. "Maaf, Mas. Saya terdesak tadi. Terima kasih ya bantuannya," ujar Kinara, bersikap acuh. Buru-buru ia mengeluarkan beberapa lembar uang dolar. Kinara meraih tangan lelaki itu dan meletakkan uang di atas telapak tangan besar itu. "Ini kompensasinya. Sekali lagi, maaf dan terima kasih." Ia berbalik, hendak pergi, tetapi belum genap melangkah jauh, lelaki itu menahan pergelangan tangannya. "Kamu kira saya lelaki seperti apa, hah?" desisnya dingin. "Ambil uangmu ini dan jangan pernah terlihat olehku lagi!" tekan Aditama. Ya, lelaki itu adalah Aditama, suami gaib Kinara.Jangan pernah terlihat lagi, ya, Kinaraaa, huhu ... lanjut nggak?
“Siapa juga yang mau bertemu lagi dengannya,” kesal Kinara melihat punggung lelaki arogan itu menjauh. Segera saja Kinara melangkah terus menuju kamarnya.Sesampainya di kamar, Kinara terus menatap layar ponselnya, tepatnya ruang obrolan dengan sang suami. Aditama sudah membaca pesannya, tetapi tak kunjung membalas. Begini saja terus hubungan mereka sampai bumi berhenti berputar."Ah, sudahlah!"Kinara membenamkan tubuhnya ke dalam selimut, ingin segera berlabuh ke pulau kapuk. Padahal, masih terlalu dini untuk tidur, tetapi tubuhnya terasa begitu lelah.***Sejak penolakan kemarin, Erik tak lagi terlihat dalam rombongan. Ia memilih liburan terpisah dengan alasan ingin mengunjungi keluarganya di sini, mumpung ada waktu luang.Tak ada yang tahu tentang pertemuan mereka kemarin, termasuk Ve.Hari ini, mereka berencana menghabiskan waktu di luar Pulau Sentosa. Ve penasaran dengan skybar dan klub yang terletak di rooftop bangunan termegah dan paling ikonik di negara ini.Dalam perjalanan k
Kinara mengeratkan pelukannya menikmati aroma tubuh yang menenangkan. Tubuh? Kinara membuka matanya perlahan mengerjap saat tubuh kecilnya berada dalam pelukan seseorang. “Aahh …!” Kinara memekik mendorong tubuh di hadapannya hingga jatuh dari ranjang tersungkur mengerang kesakitan. “Ka—kamu?” Berusaha mengumpulkan kesadarannya lelaki itu pasrah terbaring telentang di lantai menahan sakit memegangi lengannya. “Ka—kamu nggak apa-apa?” tanya Kinara merasa bersalah karena lelaki itu terlihat sangat kesakitan. “Mas?” panggilnya hati-hati. Kinara sangat mengenal wajah ini. Lelaki ini adalah lelaki yang kemarin tidak terima dimintai tolong saat Kinara mengelabuhi Erik. Sebentar, dia juga yang memukuli Erik malam saat …. “Kamu sudah sadar, sebaiknya pergi dari apartemen saya,” kata lelaki itu dengan nada dingin—sudah terduduk di lantai dan berusaha bangkit dari duduknya. Kinara cepat turun dari ranjang dan berusaha membantu lelaki itu tapi yang ingin ditolong menolak. “Bukankah saya sud
Ada apa dengan lelaki itu? Sok paling kenal, pikir Kinara.“Mundur, Wir! Modusmu kelewatan,” pekik Kinara saking kesalnya. Tentu saja yang sedang dibicarakan tidak ada, ya …. Mana berani Kinara mengatai di depan orangnya langsung. Melihat tatapannya yang tajam saja takut, seperti akan melahap orang hidup-hidup.Kinara tidak ambil pusing karena dia memang tidak memiliki banyak waktu untuk memikirkan lelaki.Di hotel, Aji bolak-balik berjalan ke sana-sini seperti setrikaan berusaha menghubungi Kinara. Nomornya sudah aktif, tapi panggilan tidak kunjung diangkat.“Jadi apa mau ke kantor polisi saja?” tanya Ve, ketakutan.Aji menjelingkan matanya jengah karena Ve masih saja bungkam. Ve mengatakan kalau pun harus membuka rahasia Kinara itu hanya pada polisi nanti saat bersaksi.“Mau apa ke kantor polisi?” tanya Kinara melangkah masuk ke kamar yang sengaja disanggah hingga sedikit terbuka.Aji dan Ve segera menoleh saat seseorang melangkah masuk tanpa rasa bersalah, lalu menjatuhkan diri di s
“Wah, parah,” kata Adit, menggeleng sedih karena Kinara tidak mengingatnya.Kinara menganga tak percaya, kedua tangannya menutup mulutnya refleks. Ia terkejut bisa bertemu dengan lelaki yang ia kenal sebagai Adit—lelaki yang menemaninya malam itu, tiga tahun yang lalu, saat ia bersedih—tanpa tahu bahwa lelaki itu juga adalah Aditama, suaminya.“Maaf, Mas...,” lirihnya, masih tak percaya. “Sebentar, Mas Adit masih simpan gelangnya?” tanyanya lagi dengan mata membulat.Aditama mengangguk, lalu mendekatkan tangannya dengan tangan Kinara. Kinara menatap takjub saat melihat gelang pasangan mereka masih melingkar di sana, sama seperti miliknya.Hatinya dipenuhi rasa haru. Ia nyaris tak percaya pertemuan ini benar-benar terjadi. Ia tidak henti berterima kasih karena Aditama telah menyelamatkannya—meraih tangan Aditama, menarik, dan menggoyang-goyangkannya riang sementara yang ditarik meringis kesakitan.Aditama meringis.Menyadari perubahan ekspresi lelaki itu, Kinara buru-buru menghentikan t
08xx xxxx xxxxNona, perkenalkan saya Vano, asisten Pak Aditama. Saya ingin meneruskan surat pernyataan berikut untuk Nona tandatangani, terima kasih.‘Surat penyataan perceraian?’Suami GaibSudah terima draft dari Vano? Tolong segera tandatangani.Mas AditRa, besok mau dibuatkan sarapan apa?Kinara menatap aplikasi pesan singkat di layar ponselnya dengan kedua tangannya bertumpu di atas meja—meremas rambutnya. Bingung pesan mana yang harus ia balas lebih dulu.Deringan ponselnya membuyarkan pikiran, senyumnya merekah melihat telepon masuk dari papa mertuanya, Tama. Segera saja Kinara mengangkat panggilan itu.“Halo, Om,” sapa Kinara.“Kok, Om, terus, sih? Panggil papa seperti Aditama juga, Nak,” kata Tama dari seberang telepon.Kinara meringis segan. Pasalnya ia juga pernah memanggil Rindu dengan sebutan mama, tapi mertuanya itu menolak keras dipanggil mama. Kinara jadi membatasi diri dari keluarga suaminya.“Kamu lagi di Singapura?” tanya Tama kemudian.Kinara menyahut membenarkan,
Malam ini, Kinara ikut Ve ke sebuah pameran seni. Sementara Aji menemani Ve di ruang lelang, Kinara berkeliling menikmati pameran.Tanpa disadari, sejak tadi ia menjadi objek bidikan seorang fotografer. Setiap gerak-geriknya tertangkap dalam jepretan kamera. Fotografer itu begitu menikmati momen memotret Kinara yang fotogenik.Kinara terus berjalan hingga berhenti di depan salah satu lukisan.Lukisan itu terpajang di sudut ruangan. Sapuan warna-warna hangat membentuk siluet sebuah rumah tua yang disinar cahaya keemasan. Di teras, tergambar sosok ayah yang tersenyum lembut, tangannya memeluk putri kecilnya. Di belakang mereka, samar-samar terlihat bayangan seorang ibu yang penuh cinta, pelukan itu seakan bisa dirasakan meski hanya dalam kanvas.Namun, semakin lama dipandang, lukisan itu terasa memilukan. Kinara berdiri di depan lukisan itu, dadanya sesak. Rindu menghangatnya rumah kecil, pelukan ayahnya, dan tawa yang dulu mengisi hari-harinya. Air matanya jatuh tanpa ia sadari, mengena
"Sesuatu apa, Mas?" tanya Kinara dengan bingung."Nanti aja, deh. Setelah dari sini," kata Aditama santai, menunjukkan tiket masuk Universal Studios."Kita mau ke Universal Studios?" tanya Kinara dengan mata membulat. Aditama memang tidak memberi tahu mereka akan ke mana akhir pekan ini. Kinara mengira mereka hanya akan berbincang ringan di toko es krim saja."Tidak mau?" Aditama menaikkan sebelah alisnya, sengaja menggoda."Mauuu…," seru Ara bak anak kecil yang bahagia dituruti keinginannya.Lihatlah bagaimana Aditama tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya di dekat Ara, sosok yang periang dan bersahaja. Di tengah berbagai problematik hidup dan kesibukannya, bertemu Ara bagaikan menemukan dunia baru dalam hidup Aditama yang selama ini monoton.***“Kamu menikmati sekali permainan wahana tadi,” kata Aditama saat mereka menikmati waktu usai menjelajahi beberapa permainan wahana di Universal Studios.Kinara mengatakan bahwa sudah lama ia tidak bermain wahana karena sahabatnya tidak bera
“Sorry to say, ya, Ra. Aku bisa lihat dari mata tu mas-mas. Doi, suka ame elu,” kata Ve, membuat Kinara jengah.Ve tidak melanjutkan pembicaraan, yang berarti sahabatnya tidak dapat melihat kalau Kinara sempat tersentuh oleh sikap dan perlakuan Adit. Hal itu membuatnya bernapas lega.Kinara memilih menghindari Adit. Selama ini, ia tidak pernah dekat dengan laki-laki selain Aji, sahabatnya sejak sekolah. Namun kini, setelah bersuami, pikirannya justru dipenuhi oleh sosok lelaki lain. Bukankah itu tidak pantas?Kinara menggelengkan kepala, berharap bayangan Adit segera menghilang.Hari ini, ia dan Adit akan kembali menghabiskan waktu bersama, tetapi Kinara memutuskan untuk menjaga jarak. Ini adalah hari terakhirnya di Singapura, karena besok ia akan kembali ke rutinitasnya di Malaysia. Perasaannya terhadap Adit belum begitu dalam. Mungkin ini hanya kekaguman atau rasa nyaman karena sikapnya yang hangat. Lambat laun, perasaan itu akan memudar seiring kesibukannya.Namun, seberapa kuat Kin
Tatapan penuh kebencian dari Kinara membuat hati Aditama runtuh seketika. Belum sempat ia membujuk, Kinara sudah mengusirnya berulang kali—dingin, tegas, tanpa sedikit pun keraguan.Kinara menatap lurus ke depan, menolak bertemu mata dengan Aditama yang masih berdiri di sisinya, tampak ragu untuk benar-benar pergi.“Maafkan aku, Ra.” Suara Aditama terdengar berat, bergetar. Ia menunduk, tak kuasa menatap wajah wanita yang telihat begittu tersakiti. Ingin rasanya memeluknya, tapi tangan itu tak berdaya. Jarak yang Kinara buat terasa lebih tajam dari pisau.“Pergi!” seru Kinara karena Aditama tidak kunjung meninggalkannya.Aditama akhirnya melangkah mundur, perlahan membalikkan badan menuju pintu. Tepat saat ia melangkah keluar, air mata Kinara jatuh tanpa bisa ditahan.Bohong kalau tidak rindu, tapi rasanya semua sudah tidak ada artinya lagi. Aditama dan Kinara sudah selesai, bahkan sebelum semua ini dimulai.‘Kamu bisa, Kinara. Semua ini sudah berakhir,’ batinnya.Aditama keluar, tapi
Air mata Aditama jatuh saat melihat kelopak mata Kinara perlahan terbuka. Dari balik dinding kaca ruang ICU, ia menyaksikan wanita yang dicintainya mulai merespons arahan dokter—kepala yang sedikit mengangguk, jemari yang bergerak perlahan. Kinara sadar, ini adalah anugerah terindah bagi Aditama.Sesaat kemudian, dokter spesialis keluar dari ruang ICU. Senyum puas terpancar di wajahnya, disertai anggukan mantap sebagai isyarat bahwa semuanya berjalan baik. Di belakangnya, dr. Sagara juga mengangguk, memberi keyakinan tambahan kepada Aditama.“Istri Anda sudah sadar dan kondisinya stabil, Pak. Silakan jika ingin menemuinya,” ujar sang dokter ramah.Namun Aditama hanya diam terpaku. Matanya masih memandang ke dalam ruang ICU, dadanya sesak oleh rasa haru dan bersalah yang saling berebut ruang.“Saya… saya takut memperburuk keadaannya, Pak,” lirihnya, nyaris tak terdengar.Kedua dokter saling bertukar pandang. Lalu, dokter spesialis menepuk pelan pundak Aditama dan berkata lembut, “Masukl
Panggilan telepon itu terputus begitu saja, meninggalkan Aditama dalam kepanikan. Percakapan tadi singkat, padat, dan sangat jelas—menyisakan tekanan yang luar biasa.Aditama tidak ingin berpisah. Apa pun caranya, ia akan memperjuangkan Kinara.Ia mencoba menghubungi sang ayah, tapi panggilannya berulang kali diabaikan.Frustrasi membuncah dalam diri Aditama, tapi di sisi lain, ia sedikit lega—paling tidak, sang ayah tidak membahas soal Sheila. Mungkin memang belum tahu.Tama lebih sering berada di Jepang, menjalani hidup terpisah dari keluarganya—bekerja. Sesekali, istri dan anaknya menyusul hanya untuk melepas rindu.***Sudah dua hari ini Aditama hanya beristirahat di ruang tunggu khusus wali pasien yang disediakan rumah sakit. Rindu, sang ibu, mengirim asisten untuk membawa mobil anak sulungnya ke rumah sakit sekaligus mengantar keperluan pribadinya. Ia sempat menyarankan Aditama untuk pulang dan beristirahat dengan layak—tapi Aditama menolak. Ia tidak sanggup meninggalkan Kinara s
Seorang dokter muda menawarkan diri untuk mendonorkan darah setelah mengetahui golongan darahnya sama dengan Kinara dan berhasil.“Satria Sagara,” ucapnya sambil mengulurkan tangan kepada Aditama.Aditama langsung menggenggam tangan itu erat, suaranya bergetar menahan haru. “Terima kasih... terima kasih banyak, Dok.”Dokter Sagara hanya tersenyum hangat, berusaha menenangkan Aditama yang terlihat kalut. Kehadirannya membawa sedikit ketenangan di tengah situasi mencekam itu.Dua jam berlalu dalam kecemasan. Hingga akhirnya, pintu ruang operasi terbuka dan salah satu dokter keluar.“Operasinya berjalan lancar. Sekarang kita masuk tahap observasi pasca operasi,” ujar dokter tersebut. Dokter Sagara yang masih menemani Aditama—menoleh seraya mengangguk.“Istirahatlah,” saran Dokter Sagara.Aditama menghela napas panjang, menolak saran itu. Mana bisa dia beristirahat sementara wanitanya terbaring lemah di dalam sana.“Paling tidak, sebaiknya kamu ganti dulu bajumu. Lihatlah itu penuh noda da
Bau antiseptik memenuhi ruangan.“Tolong selamatkan istri saya, Dok,” pinta Aditama dengan suara serak kepada dokter yang akan menangani Kinara—tak sabaran.“Kami akan berusaha sebaik mungkin, Pak. Silakan menuju administrasi sementara saya lakukan pemeriksaan awal,” jawab dokter itu.Sementara perawat meminta Aditama untuk memberikan tanda pengenal Kinara, perhatian Aditama justru teralih pada sesuatu yang ia temukan di dalam tas sang istri. Ia mengeluarkan botol obat dan menyerahkannya kepada perawat.“Ini ada di dalam tas istri saya, Dok,” lirih Aditama. “Obat apa ini?”Perawat memeriksa botol obat tersebut dengan teliti, sementara Aditama mencari tanda pengenal Kinara. Hatinya terasa terkoyak saat ia melihat kartu identitas Kinara.‘Kinara Ayudia Riyani’, tertulis jelas.Aditama memejamkan matanya saat melihat kartu nama Kinara sebagai desainer muda bertuliskan ‘Ara Riyani’.Bagaimana bisa takdir seperti ini yang menghampirinya? Aditama merutuki dirinya atas semua yang terjadi pada
“Silakan dilanjutkan, Pak—”“Mohon beri saya waktu untuk bicara, Pak,” potong Aditama, menghentikan ucapan Kinara sambil memohon pada petugas. Hakim dan para pihak saling bertukar pandang—berdiskusi singkat sejenak sebelum akhirnya mengangguk, mempersilakan Aditama berbicara.Tanpa membuang waktu, Aditama melangkah menuju meja Kinara. Namun, wanita itu sama sekali enggan menoleh—tatapannya lurus, dingin, dan tegas.“Kita perlu bicara,” ucap Aditama pelan tapi terdengar mantap.“Bicara saja di sini, di depan hakim,” balas Kinara tajam. Nada suaranya ketus, menyiratkan luka dan kekecewaan yang mendalam.“Saya ingin membatalkan perceraian ini, Pak,” ujar Aditama, tegas dan penuh keyakinan.“Mas…!” suara Kinara meninggi, matanya menatap Aditama dengan syok yang tidak bisa ia sembunyikan.“Saya tidak bersedia bercerai dari Kinara Ayudia Riyani,” lanjut Aditama, tetap berdiri tegak meski jelas wajahnya menyimpan gentar.Kinara menggeleng pelan, seolah tak percaya dengan ucapan lelaki itu. Ia
“Saya tidak akan lama di Bandung. Mengenai perusahaan keluarga Kinara, saya tetap ingin melanjutkan partisipasi dalam putaran investasinya,” kata Aditama kepada Vano, asistennya.Kinara mempercepat proses perceraian. Aditama tidak tahu apa rencana wanita itu, tapi ia tidak keberatan. Ia setuju. Namun, Aditama bukan pria licik. Meski akan bercerai, ia tetap memilih untuk tetap berinvestasi di perusahaan tersebut. Ada satu hal yang terus mengganjal pikirannya, mengapa orang-orang di dalam perusahaan itu tampak tidak becus menjalankan perusahaan yang sudah punya itu dengan baik?Meski bercerai, Aditama telah menyiapkan banyak untuk Kinara. Ia memastikan wanita itu tidak akan kekurangan satu apa pun. Uang tunai, aset, semuanya sudah dibagi. Jadi dia tidak terlalu heran kenapa Kinara memilih untuk mempercepat perceraian, karena apa yang ia berikan sangat menggiurkan, begitulah pikirnya.Di tengah kekacauan hidupnya, Aditama tak tahu bahwa Rindu sedang bersemangat menyambut cucu pertamanya.
Kinara tersenyum getir. Dimadu? Rasanya ia ingin tertawa saja. Dengan mantap, ia menegaskan bahwa mama mertuanya tak perlu khawatir akan keberadaannya—karena ia telah sepakat untuk berpisah dari Aditama. Rindu mengatakan bahwa ada seorang wanita dari masa lalu Aditama yang kembali hadir dalam hidup putranya. Sheila. Ya, Sheila adalah wanita itu. Di tengah kekacauan hubungannya dengan Aditama—baik sebagai Ara maupun sebagai Kinara—kehadiran Sheila seolah memberi warna pikir Kinara. Terlebih, mama mertuanya tampak begitu mendukung kehadiran Sheila. Terlihat jelas, ia seperti ingin Kinara segera menyingkir dari kehidupan Aditama. “Apa kamu sengaja menunda semua ini sampai putaran investasi selesai?” tanya Rindu. “Tidak, Tante. Kinara bersedia memproses perpisahan ini bahkan sebelum putaran investasi berlangsung,” jawabnya tenang. Rindu menghela napas lega, seolah mendapat angin segar. 'Sheila hamil, Tante," ujar Sheila, waktu itu. Rindu kembali teringat percakapannya dengan Sheila,
Kinara semakin gelisah. Sebanyak apa pun ia mencoba berpikir positif, hatinya tetap saja tak tenang. Ia menggigit bibir bawah, menatap testpack yang tergeletak di sisi wastafel. Ya, akhirnya Kinara memberanikan diri untuk melakukan tes.‘Pregnant.’Tangannya bergetar saat meraih testpack lain. Darahnya seolah berdesir melihat dua garis, meski salah satunya tampak samar. Saking penasarannya tadi ia membeli dua testpack sekaligus."Ha–hamil?" lirihnya.Ia menutup mulut, matanya membulat tak percaya. Kakinya terasa lemas, seakan tak mampu lagi menopang tubuhnya.'Bagaimana ini?' batinnya.Dalam sekejap, semua rencana yang sudah disusunnya runtuh begitu saja.***Untuk memastikan kehamilannya, Kinara membuat janji temu dengan dokter obgyn. Sepanjang konsultasi, pikirannya melayang entah ke mana. Yang ia ingat, dokter hanya mengatakan bahwa kandungannya masih sangat muda—baru terbentuk sebuah kantung janin.Ingin rasanya bertanya, 'Apakah masih bisa digugurkan?'Namun lidahnya kelu, tak san