Parasit ya? Kinara tertawa sinis mengingat itu. Segera saja dia membalas pesan sang ibu mertua.
“Baik, Tante. Saya akan mempersiapkan diri,” tulisnya akhirnya.
Terlalu lelah menjadi bulan-bulanan Rindu, Kinara mantap akan berpisah dengan Aditama.
Lucu sekali ibu dan anak itu. Kalau memang ingin protes dan tidak setuju, kenapa tidak langsung menyampaikan saja pada Om Tama yang bersikeras menyatukan Kinara dan Aditama?
Bahkan sampai saat ini, ayah mertuanya masih memperlakukannya dengan baik, menganggapnya seperti anak sendiri.
Kinara naik ke tempat tidur, mencoba beristirahat, tak sabar menanti esok hari.
Dalam pejamnya, pikirannya kembali pada pesan singkat dari ibu mertuanya. Diceraikan? Miris sekali, pernikahan yang diharapkannya hanya sekali dalam seumur hidup ternyata tidak berlaku dalam hidupnya.
Setelah ini, bagaimana dengan statusnya sebagai janda
Tidak punya ayah, tidak punya ibu….
‘Kuat ya, Ra. Kamu tidak selemah itu,’ batinnya menguatkan diri.
Dering ponselnya mengusik di saat matanya baru saja kembali terpejam. Ia tersenyum lembut melihat nama seseorang di layar ponselnya. Percayalah, Kinara sangat merindukan wanita ini, tepatnya merindukan kasih sayang seorang ibu yang tidak pernah ia dapatkan. Namun, terkadang ia terlalu malas menanggapi ibu tirinya.
“Mama,” sapanya lebih dulu.
Namun seperti biasa, lagi-lagi Kinara dijadikan alat untuk meminta investasi dari Tama. Belum juga selesai kekacauan di perusahaan keluarganya yang kini dikelola sang kakak, kini ada lagi permintaan dari ibunya. Padahal, belum lama ini Tama sudah membantu.
Kinara mencoba memberi pengertian dan masukan. Jika perusahaan memang sudah di ujung tanduk, bukankah lebih baik dilakukan perubahan manajemen? Namun, Diani merasa tersinggung. Ia marah.
Jika perusahaan diserahkan begitu saja pada pihak lain, bagaimana dengan nasib keluarganya?
"Mentang-mentang Ayah sudah tidak ada, kamu mau mendepak kami begitu?" Nada suara Diani meninggi.
Kinara tidak menjawab. Padahal sudah jelas perusahaan itu sulit diselamatkan. Uang asuransi ayahnya habis entah ke mana dengan dalih menyelamatkan perusahaan, ditambah bantuan dari Tama yang seolah tak pernah ada cukupnya.
"Kenapa diam? Tidak mau bantu? Itu perusahaan ayah kamu juga, Kinara! Kamu tidak menghargai perjuangan beliau membangun perusahaan itu? Kamu cuma tahu bermewah-mewahan di sana, menikmati hasilnya selama ini. Dasar anak tidak tahu diuntung!" Diani membentak, lalu langsung memutuskan sambungan telepon.
Kinara menangis dalam diam, tak ingin Ve tahu di luar kamar. Tak pernah sekalipun ia merasakan kasih sayang Diani. Perhatian yang diberikan wanita itu selalu bersyarat—hanya ada saat ia butuh sesuatu. Setelah itu, Kinara selalu dihakimi.
Ia mengusap air matanya, lalu memejamkan mata, mencoba mengabaikan sakit yang kembali menghimpit hatinya.
***
Kinara dan teman-temannya sedang dalam perjalanan ke Singapura, di mana mereka akan menginap selama dua minggu untuk menikmati liburan di Pulau Sentosa. Semua fasilitas penginapan ditanggung oleh Ve, papanya menyiapkan tempat liburan sebagai hadiah ulang tahun. Sore itu, mereka merayakan ulang tahun di salah satu restoran.
Suasana perayaan yang riuh dan meriah sungguh menghibur. Setelah acara inti usai, Kinara pamit ke toilet. Sambil merapikan penampilannya, dentingan ponselnya menarik perhatiannya.
Suami gaib.
[Kapan kamu ada waktu? Saya ingin bertemu dan bicara perihal pernikahan ini.]
Kinara terdiam sejenak, mencerna pesan yang dikirim Aditama. Ia sudah tahu arah pembicaraan yang akan dibahas, perceraian. Ya, pasti soal itu.
"Saya lagi di Singapura. Ayo bertemu," tulisnya, lalu kembali menghapusnya.
"Besok!" ketiknya lagi, tapi sekali lagi dihapus.
Berulang kali ia mencoba merangkai kata, tapi semuanya berakhir dihapus. Ia bingung harus merespons bagaimana, mengingat betapa baiknya ayah mertuanya selama ini. Tama menolak keras adanya perceraian.
"Aditama itu baik dan penyayang. Bersabarlah sedikit, Nak. Dia hanya ingin fokus pada studi-nya. Hubungi Papa jika dia tidak menafkahi kamu. Untuk nafkah satu lagi, asal kamu ridho, akan ada waktu yang indah nanti."
Kata-kata ayah mertuanya terngiang dalam benaknya.
"Ya ampun, dicariin ternyata di sini!" seru Ve tiba-tiba. Kinara mendongak sekilas, lalu kembali fokus pada ponselnya. "Aku dan yang lain mau lanjut ke KTV. Ikutan nggak?"
Kinara masih sibuk mengetik, tak menghiraukan sahabatnya.
"Ara! Mau ikut nggak?" ulang Ve.
"Nggak mau," balas Kinara, lalu tanpa sadar langsung menekan tombol kirim. Pesan itu pun terkirim ke Aditama dan terbaca.
"Nggak mau, ya?" tanya Ve memastikan.
"Hah?" Kinara membelalak, panik.
“Eh, malah terkirim?! Aaa… Ve…!” serunya, mencak-mencak sendiri, membuat sahabatnya kebingungan.
‘Hapus saja nggak, ya? Tapi udah dibaca,’ batinnya.
Kinara menghela napas, menyalahkan Ve membuat sahabatnya tak mengerti apa yang sedang terjadi.
"Kalian lanjut aja, deh. Aku balik ke kamar dulu," katanya, lalu bergegas pergi. Ia butuh tempat yang lebih tenang untuk berpikir sebelum membalas pesan suaminya.
Sementara itu, Aditama di seberang sana mengerutkan kening, bingung membaca pesan singkat dari istrinya.
Nggak mau?
“Nggak mau ketemu atau nggak mau bercerai?” gumam Aditama seorang diri.
Aditama tersentak saat sahabatnya, Darius, menegurnya. Mereka baru saja selesai menjamu klien. “Melamun aja, lo!”
“Mr. Koh sudah pulang 'kan? Aku mau kembali ke kamar,” kata Aditama menyimpan ponselnya dan berlalu pergi.
***
Kinara akan berpisah dengan Ve dan beberapa temannya.
"Yakin mau di kamar aja?" tanya Ve.
Kinara mengangguk tanpa ragu.
Begitu keluar dari restoran, matanya menangkap sosok Erik, teman satu angkatan yang juga ikut dalam rombongan perjalanan mereka. Dari kejauhan, lelaki itu sudah tersenyum menyambutnya.
"Ra, kamu mau ke mana? Nggak ikut yang lain karaoke?" tanya Erik.
"Nggak, Rik. Aku duluan ya," jawab Kinara, berniat segera berlalu.
Namun, langkahnya terhenti ketika Erik tiba-tiba meraih lengannya. Mata lelaki itu tampak sendu, berkabut.
"Ra, aku mau bicara sama kamu sebentar. Boleh?" tanya Erik dengan penuh harapan.
Kinara menghela napas, lalu mengangguk setuju. Mereka duduk berdua di bangku taman. Kinara sudah menduga cepat atau lambat Erik akan mengungkapkan perasaannya. Dan benar saja, lelaki itu akhirnya menyatakannya, meski untuk kedua kalinya Kinara tetap menolak.
"Maaf, Rik. Aku nggak bisa," tolak Kinara langsung.
"Kenapa kamu selalu menolakku, hm?" tanya Erik, tiba-tiba mengusap dagu Kinara.
"Erik!" Kinara tersentak, segera menghindar.
Erik tampak emosional saat mengaku sudah lama menyukai Kinara.
"Aku sudah punya tunangan," ucap Kinara akhirnya. Ia memilih mengatakan itu daripada mengakui bahwa dirinya sudah menikah.
Erik menggeleng, menolak percaya.
"Bohong. Ve bilang kamu nggak punya hubungan dengan siapa pun—"
"Maaf, aku mau balik ke kamar—Erik!" pekik Kinara saat lelaki itu tiba-tiba memeluknya dari belakang.
"Tolong, Ra. Aku cinta sama kamu!" Erik memohon, tapi Kinara berontak.
Matanya menangkap seorang lelaki yang berdiri di ujung jalan, tampak fokus pada ponselnya. Sebuah ide terlintas di kepalanya. Dengan sekuat tenaga, ia melepaskan diri dari pelukan Erik.
"Sayang," panggilnya lantang. "Erik, maaf. Aku harus pergi!"
"Ara!" Erik memanggilnya dengan nada kesal juga kecewa, tapi Kinara sudah berlari ke arah lelaki asing itu.
Lelaki itu mengangkat pandangannya, menoleh ke kanan dan kiri, kebingungan melihat Kinara berlari ke arahnya. Tanpa pikir panjang, Kinara langsung merangkul lengannya—berjinjit hingga bibir lelaki itu menyentuh keningnya membuat mata lelaki itu membulat sempurna.
"Ayo," ajak Kinara pelan.
"Jalan," titahnya berbisik.
Lelaki itu masih bingung, tapi tetap mengikuti langkah Kinara.
Sesekali Kinara melirik ke belakang, menangkap tatapan tajam Erik yang masih berdiri di tempatnya.
"Kamu—"
"Stt! Tolongin saya. Mas-nya diam aja dulu," bisik Kinara cepat.
Lelaki itu hendak menoleh ke belakang, tetapi Kinara segera menahannya. Ia pun menurut, berjalan tanpa banyak bicara sementara Kinara menyandarkan kepalanya di bahu lelaki itu.
"Jalan terus. Jangan lihat ke belakang!" titah Kinara.
Mereka terus berjalan hingga Erik tak lagi terlihat.
Tiba-tiba, lelaki itu menghentikan langkahnya.
"Stop!" Kinara dipaksa melepas rangkulannya. "Kamu memanfaatkan saya?"
Kinara menelan ludah, melihat wajah marah di hadapannya.
"Kenapa diam? Kamu tiba-tiba datang, mengatur, dan bahkan menodai bibir saya. Bisa jelaskan?" cecar pria itu.
‘Apa katanya menodai?’ batin Kinara.
"Maaf, Mas. Saya terdesak tadi. Terima kasih ya bantuannya," ujar Kinara, bersikap acuh. Buru-buru ia mengeluarkan beberapa lembar uang dolar. Kinara meraih tangan lelaki itu dan meletakkan uang di atas telapak tangan besar itu. "Ini kompensasinya. Sekali lagi, maaf dan terima kasih."
Ia berbalik, hendak pergi, tetapi belum genap melangkah jauh, lelaki itu menahan pergelangan tangannya.
"Kamu kira saya lelaki seperti apa, hah?" desisnya dingin. "Ambil uangmu ini dan jangan pernah terlihat olehku lagi!" tekan Aditama.
Ya, lelaki itu adalah Aditama, suami gaib Kinara.
Jangan pernah terlihat lagi, ya, Kinaraaa, huhu ... lanjut nggak?
“Ampun … Kak …,” katanya menutupi wajahnya. Kinara membeku.Aditama sedikit menjauh memberi ruang untuk kakak dan adik itu.Tangan Kinara terangkat setengah, lalu turun perlahan mengusap lengan sang adik. “Fany … kenapa kamu seperti ini?” suaranya pelan, hampir putus asa.Fany mundur beberapa langkah—masih enggan menatap siapa lawan bicaranya.“Fany … ini Kak Ara,” lirihnya membuat sang adik mengangkat pandangannya.Matanya menatap Kinara tak percaya. Tubuhnya memeluk diri, seperti melindungi dari sesuatu yang sangat menakutkan.Air mata Kinara jatuh melihat langsung bekas pada tubuh sang adik yang sebelumnya hanya melihatnya dari foto saja. Bekas itu memang hampir sembuh, tapi ada beberapa luka baru. Termasuk sudut bibir Fany yang pecah dan mengeluarkan darah.“Kak Ara …,” panggilnya memeluk sang kakak. “Aku … aku nggak mau disakiti,” gumamnya lirih. “Aku takut, Kak.”“Siapa yang nyakitin kamu?” tanya Kinara, suaranya mulai tercekat.Namun sesaat kemudian Fany melepas pelukannya. Ia h
Kinara mencoba menghubungi Dita, tapi tidak ada respons. Ia lalu memutuskan mendatangi rumah sang kakak, tapi rumah itu pun tampak kosong. Tak punya pilihan lain, Kinara meminta bantuan Dito untuk menghubungi sang kakak.Dari informasi yang Dito peroleh, Dita dan Fani memang sedang tidak di rumah karena tengah liburan, sekaligus mencari sekolah baru untuk Fani. Sekolah yang lebih dekat dengan tempat Dita bekerja, usaha kafe bersama kekasihnya.Meski akhirnya Kinara tahu bahwa sang adik dalam keadaan baik, hatinya tetap tidak tenang. Dita sama sekali tak mengizinkan Kinara bertemu dengan sang adik, apa lagi memberitahu keberadaan mereka.Dito juga sempat mengatakan bahwa ia akan turun ke Bandung, kalau Dita berbuat macam-macam terhadap adik mereka. Namun Dita hanya menjawab tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena Fany tengah menikmati waktu libur sekolah.“Jadi, apa kata Dito?” tanya Aditama sambil memeluk Kinara di atas ranjang menjelang tidur.“Mereka liburan, Mas. Tapi yang aku ngg
Mata Kinara membulat tak percaya saat membuka foto yang ada di hadapannya.Tangan Kinara bergetar. Dadanya sesak. Nafasnya tercekat.Foto itu menampilkan Fany, tapi yang menjadi perhatian Kinara wajah sang adik, melainkan bekas-bekas lebam keunguan yang tampak jelas di bagian paha yang sedikit terbuka dari balik rok seragam. Ada pula guratan biru di lengan dan perut yang terekam samar dari sisi kamera.Kinara menutup mulutnya dengan tangan, tubuhnya gemetar. Matanya mulai berkaca-kaca sebelum akhirnya bulir air mata jatuh satu per satu, menyisakan sesak yang tak tertahankan.Ia menggeser silde selanjutnya dengan foto yang sama, tapi dengan jarak lebih dekat. Foto itu diambil beberapa hari terakhir saat Fany. Karena wali kelas lebih sering bertukar kabar Fany dengan Nana, saat sang asisten itu membesuk Fany. Wali murid tersebut memberanikan diri memberitahu hal itu.“Mas ... itu Fany?” Suara Kinara pecah, tangisnya tak bisa lagi dibendung. “Lihat, Mas! Di pahanya ... lengan ... bahkan—”
“Mama tuh capek, Mas, ditanyain terus soal kamu dan Kinara yang belum juga punya momongan,” ujar Rindu menggebu-gebu.Aditama dengan santainya meminta sang ibu mengabaikannya seraya menyesap minumannya.“Abaikan gimana? Mama jadi stres.”Aditama meletakkan gelasnya sedikit lebih keras di atas meja kitchen island. “Bisa Mama bayangkan jadi Kinara? Seberapa stresnya dia? Tapi dia tetap berusaha melapangkan hati menghadapi semua sikap dan tuntutan Mama. Jadilah tempat di mana Kinara bisa merasa pulang. Dia sudah sebahagia itu punya Mama dalam hidupnya.”Tak ada jawaban dari Rindu. Ia hanya terdiam, mencerna setiap kalimat dari putranya.“Mas dan Kinara pamit pulang ya, Ma. Sudah ada janji mau makan di luar setelah dari sini.” Aditama meraih tangan ibunya dan memeluknya, lalu keluar dari dapur.Tanpa mereka sadari, percakapan ibu dan anak itu didengar oleh Kinara. Ia segera pergi, mengusap air matanya yang tak tertahan, lalu kembali duduk di ruang tamu.“Mas,” lirihnya saat melihat Aditama
Dua hari terakhir, Aditama disibukkan oleh agenda perusahaan di Bandung. Kinara pun tak kalah padat aktivitasnya. Meski begitu, ia tetap memastikan suaminya mendapat perhatian penuh dan dilayani dengan sebaik-baiknya. Sarapannya, pakaiannya, dan setiap malam ketika pria itu pulang, senyuman hangat serta pelukan lembut selalu menyambutnya.Ah, semoga kebersamaan ini segera menjadi rutinitas yang utuh bagi mereka.Hari ini giliran Aditama menjalani pemeriksaan. Ia mengikuti serangkaian tes dan hasilnya pun sama seperti Kinara, sehat. Tidak ditemukan masalah medis yang berarti. Dokter hanya menyarankan mereka untuk menjaga pola makan, cukup istirahat, serta tetap tenang dan berpikir positif.Rindu tak banyak berkomentar lagi. Namun dalam diam beliau menunjukkan dukungannya. Dengan mengirim makanan sehat setiap hari ke apartemen anak dan menantunya. Bukan makanan biasa, melainkan hasil masakan dari tangan chef pribadi. Inilah alasan kenapa Kinara hanya menyiapkan sarapan untuk suaminya.Ma
“Siapa kamu—lepas!” seru Kinara panik.Saat mereka beradu pandang, mata Kinara menyipit—menatap sosok di hadapannya. Manik mata itu tampak tak asing. Sesaat kemudian, lelaki itu mengulurkan tangan, menarik masker dari wajahnya.“Mas?” suara Kinara terdengar terkejut, matanya membulat. “Mas Adit?” ulangnya tak percaya, melihat senyum merekah dari bibir sang suami.“Ihh … jahat banget!” rajuknya sambil memukul dada Aditama dengan kesal. “Aku hampir jantungan!”“Argh … sakit, Sayang!” Aditama pura-pura meringis kesakitan. Kinara mendesis kesal, lalu langsung memeluknya erat. Meski sempat kesal, rindu yang selama ini dipendamnya tak bisa ditahan lebih lama.“Mas, kok nggak bilang kalau pulang hari ini?” gumamnya dalam dekapan.Aditama bahkan belum sempat menjawab, Kinara terlalu banyak mencecarnya dengan sederet pertanyaan penuh rasa ingin tahu, membuatnya hanya bisa tersenyum.“Masuk dulu, Sayang,” usul Aditama.Mereka melangkah masuk. Begitu pintu tertutup rapat, Kinara masih tetap dalam