Share

Parasit

Author: Dinis Selmara
last update Last Updated: 2025-03-11 12:41:48

Satu tahun kemudian

Saya sudah kirim uang nafkah untuk kamu,” tulis Aditama pada pesan singkat untuk sang istri.

Ia menatap ruang obrolan dengan sang istri yang tidak berbalas. Aditama tersenyum getir. Selama satu tahun pernikahan bisa dihitung berapa kali Kinara membalas pesan Aditama. Wanita itu juga mengaku sibuk dengan studi-nya.

Aditama mengembuskan napas panjang—mengusap kasar wajahnya.

Pernikahan seperti apa ini? Hambar.

Dalam bayangannya, pernikahan adalah bersatunya dua orang yang saling mencintai. Tidak harus selalu memiliki kesamaan, asalkan bisa saling melengkapi. Namun, kenyataannya jauh dari ekspektasi. Pernikahan yang ia jalani ini tidak seperti yang ia impikan, bahkan sebaliknya.

Terbesit pikiran untuk menceraikan sang istri. Bukankah itu lebih baik? Kinara bisa menikahi lelaki yang dicintainya, begitu pula dirinya. Namun, sanggupkah Aditama mencintai lagi?

Tak ada yang tahu bahwa Aditama sudah menikah. Ia sengaja tidak mempublikasikannya. Lebih tepatnya, tidak ada yang bertanya dan untuk apa juga ia mengumumkannya? Pernikahan yang menjadi kabar gembira, bagi Aditama hanya aib belaka.

Soal perceraian, Aditama membutuhkan alasan yang tepat untuk berbicara dengan ayahnya. Pasalnya, Tama begitu menyayangi menantunya. Aditama yakin yang ayahnya lakukan itu tidak lain hanya simpati pada Kinara. Sangat manusiawi, tapi tidak juga dengan mengorbankan dirinya.

Dering ponselnya memecah lamunannya. Senyum tipis terukir di wajahnya begitu melihat nama mamanya tertera di layar.

“Hi, cintaku,” kata Aditama begitu sambungan terhubung.

Mas,” sapa Rindu.

Seperti biasa, selain menanyakan kabarnya, Rindu kembali mengeluhkan pernikahan anak sulungnya. Ia tahu Aditama tidak bahagia dalam rumah tangganya. Tak jarang, wanita itu menyarankan agar Aditama menceraikan istrinya. Seketika itu juga mood Aditama ambyar.

Mama tahu kalau perusahaan Papa selalu mendukung perusahaan almarhum Fahri. Proyek pembukaan cabang baru di Bandung mangkrak, pasti karena kurang persiapan. Ya, bagaimana tidak? Beberapa kali Papa mengucurkan dana segar ke perusahaan pihak sana. Kinara juga beberapa kali menghubungi Papa,” ujar Rindu.

Rindu terus menanamkan kebencian Aditama terhadap Kinara. Aditama bukannya tidak tahu. Ia sendiri berkecimpung di dunia bisnis dan memahami perkembangan semua proyek yang dikerjakan Tama. Perihal pembukaan cabang Tama Group di Bandung memang terhenti, entah karena apa.

Sejak awal, Aditama memang tidak ingin terlibat dalam perusahaan keluarga. Tama yang berpikiran terbuka tidak pernah memaksanya. Mereka selalu sepaham dalam banyak hal, kecuali satu—perjodohan ini. Itu menjadi satu-satunya perbedaan pendapat antara Aditama dan ayahnya.

Kalau kamu bersedia, Mama akan meminta pengacara untuk menyusun surat pernyataan perceraian. Kamu tidak harus memberikan seluruh harta kamu padanya. Kita bisa membuat pasal harta gono-gini yang adil—tidak menyulitkan kamu, tetapi juga tidak merugikan Kinara. Bagaimanapun, dia tetap memiliki hak atas harta yang diperoleh setelah pernikahan.”

Aditama memijat pangkal hidungnya. Ia sudah terlampau muak dan ingin mengakhiri pernikahan ini.

“Biar Mas saja yang urus, Ma. Setelah semuanya dirangkum, Mas akan langsung membicarakan hal ini dengan Kinara,” ujar Aditama mantap akan berpisah.

Rindu terharu. Tidak salah lagi, Aditama memang tidak bahagia dalam pernikahannya. Putranya selalu penuh pertimbangan dalam mengambil keputusan. Jika ia sudah berbicara seperti ini, pasti ia telah memikirkannya dengan matang.

Sambungan telepon berakhir. Rahang Aditama mengeras, mengingat kembali kata-kata mamanya. Sejak awal, semuanya sudah jelas—Kinara hanyalah parasit dalam keluarganya. Mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya.

***

Sama seperti Aditama yang menyembunyikan status pernikahannya, Kinara pun melakukan hal yang sama. Namun, ia tak bisa merahasiakannya lebih lama dari sahabatnya sejak kecil.

“Wah … nolnya banyak banget, Ra,” gumam Ve, mengintip layar ponsel Kinara yang menampilkan notifikasi uang masuk ke rekeningnya.

Haisshh, berisik.” Kinara memilih pindah ke bean bag dekat jendela menatap serius layar ponselnya—menjauh dari sahabatnya yang terus mengoceh memekakkan telinganya.

“Ara, kamu nggak penasaran sama suami gaibmu itu?” tanya Ve lagi membuat Kinara memutar bola matanya jengah.

Dalam lingkaran pertemanannya, Kinara lebih dikenal dengan panggilan Ara. Nama Kinara hanya digunakan oleh keluarga.

Kinara menyimpan ponselnya. Lagi-lagi dia memilih untuk tidak membalas pesan suaminya. “Bukan nggak penasaran, tapi nggak peduli,” jawab Kinara santai.

Mengurus kuliah dan kafe saja sudah cukup merepotkan. Belum lagi pekerjaannya sebagai freelance di salah satu butik. Ia tak punya waktu untuk memikirkan suami gaibnya.

Suami gaib adalah sebutan yang Ve berikan untuk suami sahabatnya.

Katakanlah Kinara istri yang durhaka, tapi suami mana yang tega meninggalkan istrinya saat ia masih berkabung? Bisa-bisanya di hari pemakaman ayahnya, Aditama langsung pergi setelah mengantar ke pemakaman. Yang lebih menyedihkan, alih-alih menyapa lelaki itu hanya memotret punggung sang istri sebagai bukti kehadirannya di pemakaman.

Hari itu hari pernikahan mereka, loh. Hari bahagia yang berakhir duka.

Emosi Kinara naik setiap kali mengingat hari itu. Apalagi, Aditama dengan gamblang memintanya untuk tidak mengganggunya yang akan melanjutkan studi S2. Sok paling sibuk! Seolah-olah dirinya tidak punya kesibukan.

Untuk memberi pelajaran pada lelaki arogan itu, Kinara memilih mengabaikan pesan dan teleponnya. Bisa dihitung dengan jari berapa kali ia merespons. Namun, Mr. Arogan itu tetap saja tak peka. Jadilah pernikahan mereka yang sudah setahun ini hambar—sehambar sayur tanpa garam dan micin.

"Kaya sudah pasti, wong setiap bulan dia kirim uang dalam jumlah nggak kecil buat istri gaibnya—"

Ve buru-buru menutup mulutnya setelah keceplosan menyebut Kinara sebagai istri gaib. Ya, bagaimana lagi? Menurutnya, ini pernikahan paling aneh yang pernah ada. Suami istri yang tidak saling bertegur sapa selama setahun, komunikasi pun hanya satu arah. Kalaupun dua arah, itu hanya karena istri gaibnya ini lagi khilaf.

"Lanjut, Ra. Suamimu sudah pasti kaya. Gimana kalau ternyata dia juga tampan?"

Kinara mengerutkan kening, jengah dengan pola pikir sahabatnya yang terus berandai-andai tentang suaminya.

Suaminya?

Kinara bergidik geli mendengar kata itu.

"Besok kita berangkat jam berapa, Ve?" tanya Kinara, kembali fokus menarik garis dan mewarnai desainnya.

"Pukul delapan dari sini. Nggak usah bawa baju banyak-banyak. Kita shopping di sana aja! Suamimu ‘kan udah kirim duit," kata Ve, menaik-turunkan alisnya menggoda Kinara. "Eh, gimana kalau sekalian aja kalian meetup besok? Dia ‘kan di Singapura?"

"Males banget!"

Ve terus menggoda Kinara, mengingatkan bahwa kurang dari dua minggu lagi adalah anniversary pernikahan sahabatnya. Kinara melirik Ve dengan kening berkerut. Bisa-bisanya Ve justru lebih ingat usia pernikahannya? Anniversary seperti apa yang dimaksud? Dalam pernikahan ini, hal semacam itu jelas tidak mungkin ada.

Besok, Kinara dan teman-temannya memang berencana liburan ke Singapura. Bukan kali pertama mereka ke sana, tapi sama sekali tak terlintas dalam pikirannya untuk menemui suaminya. Lagi pula, lelaki itu juga tidak menunjukkan inisiatif untuk mencarinya.

“Ayolah, Ra. Hari itu kamu harus dandan maksimal pokoknya paripurna biar tuh suami gaibmu klepek-klepek dan menyesal telah mengabaikan istrinya yang hot badai,” ujar Ve menggebu-gebu.

Kinara tidak mengatakan apa pun. Dia hanyanya mengangkat tangannya dan menyilangkan kedua tangannya sebagai tanda bahwa dia tidak setuju, tidak akan melakukan hal itu.

"Oh, ya, Ra. Erik sibuk banget nanya aku, kamu ikut atau nggak ke Singapura. Nggak merasa aneh, Ra? Dia itu jelas-jelas suka sama kamu."

"Terus aku harus gimana, Ve? Aku nggak bisa atur perasaannya. Yang jelas, aku sudah bilang kalau aku nggak menaruh perasaan padanya selain sebagai teman," balas Kinara santai.

Ve menghela napas panjang. Kisah percintaan sahabatnya ini terlalu rumit. Jomblo seperti dirinya memang pilihan yang paling aman. Sambil menunggu pangeran berkuda putih datang, Ve memilih tetap menjomblo.

Ia pamit turun ke bawah apartemen untuk mengambil camilan yang dipesannya via aplikasi online.

Ponsel Kinara kembali berdenting. Wanita itu menutup mata sejenak saat melihat nama ibu mertuanya muncul di layar mengirim pesan singkat.

Punya suami gaib dan ibu mertua jahara? Lengkap sudah penderitaan pernikahan Kinara. Sejak awal, ibu mertuanya terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya pada Kinara.

Persiapkan dirimu. Aditama akan menceraikanmu. Jangan persulit prosesnya, Kinara. Ini demi kebaikan kalian berdua. Kamu dan Aditama berhak mendapatkan kebahagiaan masing-masing. Berhentilah menjadi parasit dalam keluarga kami," tulis ibu mertua Ara.

Dinis Selmara

Run, Kinara, Runnnn!

| 16
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (43)
goodnovel comment avatar
Muktie Prilly
ko aku curiga Adit sama aditam itu orng yg sama ya..
goodnovel comment avatar
Muktie Prilly
jahat bgt ketikan ibunya Adit segala ngatain Kinara parasit lg dia pikir Kinara mau apa menikah paksa seperti ini udh lah kin mg lebih baik kalian berpisah aja buat apa pnya status menikah tp hidup masih masing"
goodnovel comment avatar
ida Sari
apa maksud Aditama sama mertua nya klu Kinara cuma parasit, hello klu dia parasit mana mngkn lah dia bekerja padahal suaminya ada
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Cinta di Ujung Perpisahan   Pertemuan Dadakan

    “Mas, aku keceplosan bilang mau ke apartemenmu. Jadinya Mama mau ikut, katanya,” ujar Gania meringis dari ujung telepon.“Biar Mas saja yang bicara sama Mama, Dek,” jawab Aditama, meminta Gania menyerahkan ponsel pada sang ibu.Aditama mencoba memberi pengertian pada Rindu. Ia berjanji akan mempertemukan Kinara dengan sang ibu di waktu yang lebih tepat. Tapi Rindu bersikeras. Ia ingin ikut. Katanya, ingin melihat langsung menantunya.“Kamu ini kenapa sih, Mas?” tanya Rindu curiga, menyadari kegelisahan anaknya.“Mas banyak salah sama Kinara, Ma. Mas takut kehilangan dia untuk kedua kalinya.”Rindu terdiam. Lalu bertanya lirih, “Sebegitunya kamu bela dia? Lalu bagaimana dengan anak dalam kandungannya itu, Mas? Apa kamu bisa menerima itu?”“Itu anak Mas, Ma. Cucu Mama.”Rindu terperangah. Aditama tahu Kinara membantah hal itu, tapi entah kenapa ia yakin itu anaknya.“Tapi... cucu Mama sudah nggak ada, Ma. Kinara keguguran.”Seketika, dada Rindu sesak. Meski bingung, tapi tak bisa ia bay

  • Cinta di Ujung Perpisahan   Pulih Fisiknya, Bukan Mentalnya

    Seminggu kemudian“Saya pasti bakaln kangen dengan Bu Kinara,” ucap perawat lirih sambil membantu Aditama merapikan barang-barang.“Hanya ini, Pak?” tanyanya, memastikan.Aditama mengangguk. “Iya. Terima kasih, ya.”Perawat itu lalu berjongkok di hadapan Kinara yang duduk di kursi roda. “Saya pasti kangen sama Ibu. Tapi, semoga kita bertemu lagi di tempat yang lebih baik, bukan di rumah sakit, ya.”“Terima kasih, Suster. Sudah merawat dan menemani saya selama di sini,” ujar Kinara tulus.“Semu aini berkat Bapak yang sabar,” kata perawat menatap Aditama yang berdiri tidak jauh dari mereka. “Semoga Bapak dan Ibu baik-baik saja, ya. Selalu sehat dan bahagia.”“Pasti,” jawab Aditama. Kinara hanya diam, tidak menanggapi—menjelingkan matanya jengah.Dengan hati-hati, Aditama membantu Kinara masuk ke dalam mobil. Namun, Kinara menolak duduk di kursi penumpang depan dan memilih duduk di bangku belakang.“Ponselku,” pinta Kinara sesaat setelah Aditama masuk ke sisi kemudi.“Sampai rumah, ya,”

  • Cinta di Ujung Perpisahan   Mencuri Simpati

    "Dia bukan anakmu, Mas," ucap Kinara, membuat Aditama menggeleng, tak percaya. "Kenapa? Kenapa kamu diam saja? Mana semua caci maki yang biasanya kamu lontarkan padaku?"Entah mengapa, kali ini Aditama tak sanggup berpikir jernih. Kalimat Kinara terasa menamparnya, tapi hatinya masih menolak percaya. Kinara bukan wanita seperti itu, pikirnya.Kinara mulai menggebu-gebu dengan emosinya. Itu membuat Aditama panik, khawatir kondisinya yang tak stabil bisa memburuk."Ra, tolong tenang," pintanya lembut. "Aku salah, aku akui itu. Aku mohon maaf. Tapi tolong ingat kesehatan kamu."Air mata yang sejak tadi Kinara tahan akhirnya pecah juga. Ia menangis sejadi-jadinya, mengguncang suasana."Kamu jahat, Mas!" teriaknya pilu.Aditama berusaha menggenggam tangannya, tapi Kinara menepis. Ia mencoba lagi, kali ini berhasil, dan ia mengecupnya penuh penyesalan.“Beri aku kesempatan, Ra.”"Tinggalkan aku, Mas.""Tidak akan. Aku tidak akan pernah meninggalkan kamu. Jangan pernah minta itu, Ra." Aditam

  • Cinta di Ujung Perpisahan   Luapan Emosi

    Aditama punya teman baru, siapa lagi kalau bukan dokter Sagara. Banyak hal seputar kondisi Kinara yang bisa dibagi bersama, tentunya seputar kesehatannya.“Saya mau kamar itu, Dok. Tolong tunjukkan,” pinta Aditama saat dokter sagara mengatakan Kinara sudah bisa dipindahkan ke ruangan perawatan. Dokter residen itu menawarkan kamar VIP yang memiliki ruangan khusus untuk wali pasien. Namun, masalahnya … apa wanita itu mau seruangannya dengannya? Seminggu pasca operasi, dalam tiga hari terakhir Aditama tidak muncul di hadapan Kinara. Bukan berarti dia menyerah. Dia hanya memberi jeda Kinara untuk beristirahat. Dan benar saja, kini wanita itu sudah lebih membaik dan akan dipindahkan ke ruang perawatan.Kinara meminta ponselnya pada pihak rumah sakit, tapi jawabannya membuat ia kesal karena semua barang pribadinya ada pada Aditama.Hanya Kinara orang yang habis operasi besar memikirkan barang-barangnya. Pasalnya waktu dia menginap di sebuah hotel sudah habis. Rencana habis sidang, dia akan j

  • Cinta di Ujung Perpisahan   Badai Yang Menerjang

    Tatapan penuh kebencian dari Kinara membuat hati Aditama runtuh seketika. Belum sempat ia membujuk, Kinara sudah mengusirnya berulang kali—dingin, tegas, tanpa sedikit pun keraguan.Kinara menatap lurus ke depan, menolak bertemu mata dengan Aditama yang masih berdiri di sisinya, tampak ragu untuk benar-benar pergi.“Maafkan aku, Ra.” Suara Aditama terdengar berat, bergetar. Ia menunduk, tak kuasa menatap wajah wanita yang telihat begittu tersakiti. Ingin rasanya memeluknya, tapi tangan itu tak berdaya. Jarak yang Kinara buat terasa lebih tajam dari pisau.“Pergi!” seru Kinara karena Aditama tidak kunjung meninggalkannya.Aditama akhirnya melangkah mundur, perlahan membalikkan badan menuju pintu. Tepat saat ia melangkah keluar, air mata Kinara jatuh tanpa bisa ditahan.Bohong kalau tidak rindu, tapi rasanya semua sudah tidak ada artinya lagi. Aditama dan Kinara sudah selesai, bahkan sebelum semua ini dimulai.‘Kamu bisa, Kinara. Semua ini sudah berakhir,’ batinnya.Aditama keluar, tapi

  • Cinta di Ujung Perpisahan   Anugerah Terindah

    Air mata Aditama jatuh saat melihat kelopak mata Kinara perlahan terbuka. Dari balik dinding kaca ruang ICU, ia menyaksikan wanita yang dicintainya mulai merespons arahan dokter—kepala yang sedikit mengangguk, jemari yang bergerak perlahan. Kinara sadar, ini adalah anugerah terindah bagi Aditama.Sesaat kemudian, dokter spesialis keluar dari ruang ICU. Senyum puas terpancar di wajahnya, disertai anggukan mantap sebagai isyarat bahwa semuanya berjalan baik. Di belakangnya, dr. Sagara juga mengangguk, memberi keyakinan tambahan kepada Aditama.“Istri Anda sudah sadar dan kondisinya stabil, Pak. Silakan jika ingin menemuinya,” ujar sang dokter ramah.Namun Aditama hanya diam terpaku. Matanya masih memandang ke dalam ruang ICU, dadanya sesak oleh rasa haru dan bersalah yang saling berebut ruang.“Saya… saya takut memperburuk keadaannya, Pak,” lirihnya, nyaris tak terdengar.Kedua dokter saling bertukar pandang. Lalu, dokter spesialis menepuk pelan pundak Aditama dan berkata lembut, “Masukl

  • Cinta di Ujung Perpisahan   Istri Aditama

    Panggilan telepon itu terputus begitu saja, meninggalkan Aditama dalam kepanikan. Percakapan tadi singkat, padat, dan sangat jelas—menyisakan tekanan yang luar biasa.Aditama tidak ingin berpisah. Apa pun caranya, ia akan memperjuangkan Kinara.Ia mencoba menghubungi sang ayah, tapi panggilannya berulang kali diabaikan.Frustrasi membuncah dalam diri Aditama, tapi di sisi lain, ia sedikit lega—paling tidak, sang ayah tidak membahas soal Sheila. Mungkin memang belum tahu.Tama lebih sering berada di Jepang, menjalani hidup terpisah dari keluarganya—bekerja. Sesekali, istri dan anaknya menyusul hanya untuk melepas rindu.***Sudah dua hari ini Aditama hanya beristirahat di ruang tunggu khusus wali pasien yang disediakan rumah sakit. Rindu, sang ibu, mengirim asisten untuk membawa mobil anak sulungnya ke rumah sakit sekaligus mengantar keperluan pribadinya. Ia sempat menyarankan Aditama untuk pulang dan beristirahat dengan layak—tapi Aditama menolak. Ia tidak sanggup meninggalkan Kinara s

  • Cinta di Ujung Perpisahan   Kehancuran Aditama

    Seorang dokter muda menawarkan diri untuk mendonorkan darah setelah mengetahui golongan darahnya sama dengan Kinara dan berhasil.“Satria Sagara,” ucapnya sambil mengulurkan tangan kepada Aditama.Aditama langsung menggenggam tangan itu erat, suaranya bergetar menahan haru. “Terima kasih... terima kasih banyak, Dok.”Dokter Sagara hanya tersenyum hangat, berusaha menenangkan Aditama yang terlihat kalut. Kehadirannya membawa sedikit ketenangan di tengah situasi mencekam itu.Dua jam berlalu dalam kecemasan. Hingga akhirnya, pintu ruang operasi terbuka dan salah satu dokter keluar.“Operasinya berjalan lancar. Sekarang kita masuk tahap observasi pasca operasi,” ujar dokter tersebut. Dokter Sagara yang masih menemani Aditama—menoleh seraya mengangguk.“Istirahatlah,” saran Dokter Sagara.Aditama menghela napas panjang, menolak saran itu. Mana bisa dia beristirahat sementara wanitanya terbaring lemah di dalam sana.“Paling tidak, sebaiknya kamu ganti dulu bajumu. Lihatlah itu penuh noda da

  • Cinta di Ujung Perpisahan   Awan Hitam

    Bau antiseptik memenuhi ruangan.“Tolong selamatkan istri saya, Dok,” pinta Aditama dengan suara serak kepada dokter yang akan menangani Kinara—tak sabaran.“Kami akan berusaha sebaik mungkin, Pak. Silakan menuju administrasi sementara saya lakukan pemeriksaan awal,” jawab dokter itu.Sementara perawat meminta Aditama untuk memberikan tanda pengenal Kinara, perhatian Aditama justru teralih pada sesuatu yang ia temukan di dalam tas sang istri. Ia mengeluarkan botol obat dan menyerahkannya kepada perawat.“Ini ada di dalam tas istri saya, Dok,” lirih Aditama. “Obat apa ini?”Perawat memeriksa botol obat tersebut dengan teliti, sementara Aditama mencari tanda pengenal Kinara. Hatinya terasa terkoyak saat ia melihat kartu identitas Kinara.‘Kinara Ayudia Riyani’, tertulis jelas.Aditama memejamkan matanya saat melihat kartu nama Kinara sebagai desainer muda bertuliskan ‘Ara Riyani’.Bagaimana bisa takdir seperti ini yang menghampirinya? Aditama merutuki dirinya atas semua yang terjadi pada

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status