Satu Tahun Kemudian
Notifikasi pesan masuk muncul di layar ponsel Kinara.
"Saya sudah kirim uang nafkah untuk kamu," tulis Aditama dalam pesan singkat.
Kinara hanya menatap pesan itu sebentar lalu menggeser layar ke atas, melewatkannya tanpa membalas.
Sudah satu tahun sejak pernikahan itu. Bisa dihitung dengan jari berapa kali ia bicara dengan lelaki itu. Mereka tidak pernah bertemu, tidak pernah berkomunikasi kecuali lewat pesan singkat dingin seperti ini.
Ia bahkan tidak pernah tahu seperti apa suaminya sesungguhnya, hanya tahu nama saja. Setelah beberapa hari kepergian ayahnya, Kinara memang langsung kembali ke Malaysia tanpa membawa apapun, termasuk dokumen-dokumen pernikahannya. Dirinya terlalu muak dengan orang-orang yang tak berperasaan padanya.
Pernikahan ini baginya tak lebih dari formalitas. Jika bukan karena permintaan terakhir sang ayah, ia tak akan pernah melakukannya.
“Wah … nolnya banyak banget, Ra,” gumam Ve, mengintip layar ponsel Kinara yang menampilkan notifikasi uang masuk ke rekeningnya.
“Haisshh, berisik.” Kinara memilih pindah ke bean bag dekat jendela menatap serius layar ponselnya, menjauh dari sahabatnya yang terus mengoceh memekakkan telinganya.
“Ara, kamu nggak penasaran sama suami gaibmu itu?” tanya Ve lagi membuat Kinara memutar bola matanya jengah.
Dalam lingkaran pertemanannya, Kinara lebih dikenal dengan panggilan Ara. Nama Kinara hanya digunakan oleh keluarga.
Kinara menyimpan ponselnya. Lagi-lagi dia memilih untuk tidak membalas pesan suaminya.
“Bukan nggak penasaran, tapi nggak peduli,” jawab Kinara santai.
Mengurus kuliah dan kafe saja sudah cukup merepotkan. Belum lagi pekerjaannya sebagai freelance di salah satu butik. Ia tak punya waktu untuk memikirkan suami gaibnya.
Suami gaib adalah sebutan yang Ve berikan untuk suami sahabatnya.
Katakanlah Kinara istri yang durhaka, tapi suami mana yang tega meninggalkan istrinya saat ia masih berkabung? Bisa-bisanya di hari pemakaman ayahnya, Aditama langsung pergi setelah mengantar ke pemakaman. Yang lebih menyedihkan, alih-alih menyapa lelaki itu hanya memotret punggung sang istri sebagai bukti kehadirannya di pemakaman.
Hari itu hari pernikahan mereka, loh. Hari bahagia yang berakhir duka.
Emosi Kinara naik setiap kali mengingat hari itu. Apalagi, Aditama dengan gamblang memintanya untuk tidak mengganggunya yang akan melanjutkan studi S2.
Sok paling sibuk! Seolah-olah dirinya tidak punya kesibukan.
Untuk memberi pelajaran pada lelaki arogan itu, Kinara memilih mengabaikan pesan dan teleponnya. Bisa dihitung dengan jari berapa kali ia merespons. Namun, Mr. Arogan itu tetap saja tak peka. Jadilah pernikahan mereka yang sudah setahun ini hambar, sehambar sayur tanpa garam dan micin.
"Kaya sudah pasti, wong setiap bulan dia kirim uang dalam jumlah nggak kecil buat istri gaibnya—"
Ve buru-buru menutup mulutnya setelah keceplosan menyebut Kinara sebagai istri gaib. Ya, bagaimana lagi? Menurutnya, ini pernikahan paling aneh yang pernah ada. Suami istri yang tidak saling bertegur sapa selama setahun, komunikasi pun hanya satu arah. Kalaupun dua arah, itu hanya karena istri gaibnya ini lagi khilaf.
"Lanjut, Ra. Suamimu sudah pasti kaya. Gimana kalau ternyata dia juga tampan?"
Kinara mengerutkan kening, jengah dengan pola pikir sahabatnya yang terus berandai-andai tentang suaminya.
Suaminya?
Kinara bergidik geli mendengar kata itu.
"Besok kita berangkat jam berapa, Ve?" tanya Kinara, kembali fokus menarik garis dan mewarnai desainnya.
"Pukul delapan dari sini. Nggak usah bawa baju banyak-banyak. Kita shopping di sana aja! Suamimu ‘kan udah kirim duit," kata Ve, menaik-turunkan alisnya menggoda Kinara. "Eh, gimana kalau sekalian aja kalian meetup besok? Dia ‘kan di Singapura?"
"Males banget!"
Ve terus menggoda Kinara, mengingatkan bahwa kurang dari dua minggu lagi adalah anniversary pernikahan sahabatnya. Kinara melirik Ve dengan kening berkerut. Bisa-bisanya Ve justru lebih ingat usia pernikahannya? Anniversary seperti apa yang dimaksud? Dalam pernikahan ini, hal semacam itu jelas tidak mungkin ada.
Besok, Kinara dan teman-temannya memang berencana liburan ke Singapura. Bukan kali pertama mereka ke sana, tapi sama sekali tak terlintas di pikirannya untuk menemui suaminya. Lagi pula, lelaki itu pun tidak pernah menunjukkan inisiatif untuk mencari tahu keberadaannya.
“Ayolah, Ra. Hari itu kamu harus dandan maksimal, pokoknya paripurna. Biar tuh suami gaibmu klepek-klepek dan menyesal telah mengabaikan istrinya yang hot badai,” ujar Ve berapi-api.
Kinara hanya menyilangkan tangan di depan dada, tanda bahwa ia tidak tertarik dengan ide aneh itu.
“Oh ya, Ra. Erik sibuk banget nanya aku, kamu ikut atau enggak ke Singapura. Nggak merasa aneh, Ra? Dia itu jelas-jelas suka sama kamu.”
“Terus aku harus gimana, Ve? Aku nggak bisa atur perasaannya. Yang jelas, aku sudah bilang kalau aku nggak menaruh perasaan padanya selain sebagai teman,” balas Kinara, tenang.
Ve menghela napas sambil memutar bola matanya. “Kisah kamu ini kayak sinetron jam tujuh. Bikin emosi.”
Tak lama kemudian, Ve pamit turun ke lobi untuk mengambil camilan pesanannya.
Kinara baru saja hendak memejamkan mata saat ponselnya berdenting lagi. Nama di layar membuatnya mengerutkan kening, Rindu Prawira, ibu mertuanya.
Dengan hati enggan, Kinara membuka pesan singkat itu.
[Persiapkan dirimu. Aditama akan menceraikanmu. Jangan persulit prosesnya, Kinara. Ini demi kebaikan kalian berdua. Kamu dan Aditama berhak mendapatkan kebahagiaan masing-masing. Berhentilah menjadi parasit dalam keluarga kami.]
Kinara terdiam. Tidak kaget. Hanya lelah.
Dari awal pernikahan, Rindu memang tak pernah menyukainya. Wanita itu melihatnya bukan sebagai menantu, tapi sebagai pengganggu. Dalam pandangan Rindu, Kinara hanya anak perempuan dari keluarga biasa, bahkan berasal dari seorang rekan bisnis suaminya yang kini sudah meninggal. Ia dianggap tidak setara.
Dan sejak proyek pembukaan cabang baru Tama Group di Bandung gagal berjalan mulus, Kinara dituduh sebagai penyebabnya. Hanya karena ia beberapa kali menghubungi Tama untuk menanyakan kelanjutan kerja sama juga beberapa masalah lain, Rindu menganggapnya sedang memanfaatkan posisi sebagai menantu.
Bahkan, pernah sekali Rindu menelepon Kinara dan berkata langsung, “Kamu pikir karena kamu punya hubungan dengan almarhum Fahri, kamu bisa ikut campur bisnis keluarga kami? Kamu hanya numpang nama. Jangan berharap lebih.”
Pernikahan yang seharusnya menjadi ikatan antar dua keluarga, justru menjadi alasan ibu mertuanya semakin menunjukkan permusuhan.
Dan kini, kalimat “berhenti jadi parasit” seolah penegasan dari semua prasangka buruk yang selama ini ditanamkan Rindu.
Kinara mengunci layar ponselnya. Ia tidak menangis. Tidak juga marah. Ia hanya menatap kosong ke luar jendela, menatap gemerlap lampu kota.
Lucu, pikirnya. Ia bahkan tidak pernah meminta uang, tidak pernah tinggal di rumah suaminya, tidak pernah ikut campur bisnis mereka. Tapi tetap saja, ia dianggap beban.
Dan sekarang, ia akan diceraikan lewat pesan?
Senyum tipis menghiasi bibirnya. Bukan senyum bahagia, tapi juga bukan getir. Mungkin… ini justru awal dari akhir yang baik.
Run, Kinara, Runnnn!
“Kamu masih di rumah Abi, Sayang?” tanya Aditama lewat sambungan telepon.Beberapa hari terakhir ia berada di Singapura untuk menghadiri rapat umum pemegang saham. Meski sudah pensiun dan menyerahkan perusahaan pada ketiga putranya, Aditama tetap setia menemani urusan besar yang membutuhkan kehadirannya. Namun, di balik semua itu, ia lebih menikmati masa tuanya berdua bersama sang istri.“Masih, aku mau extend, deh. Dua hari lagi,” jawab Kinara santai.“Mas pulang besok, lho. Kamu malah nambah hari nginap di sana? Mas sendirian dong di rumah?” nada suaranya terdengar seperti rajuk manja.Kinara tersenyum mendengar itu. “Tapi kan aku tetap pulang, Mas. Aku masih kangen sama cucuku.”“Suamimu ini lho juga kangen banget sama kamu.” Kinara terkekeh geli mendengar pengakuan jujur itu.“Boleh ya, Mas? Dua hari aja…,” pintanya lembut. Mana mungkin Aditama bisa menolak. Apa yang tidak bisa ia usahakan untuk istrinya? Mau tidak mau, ia hanya bisa mengalah, meski dalam hati sebenarnya tak rela.
“Kamu itu anak yang paling susah keluarnya. Selama hamil kamu, Mama sampai harus bed rest,” keluh Kinara saat menelepon si bungsu yang kini sibuk berkelana di negeri orang.“Bed rest di Bintan, maksud Mama?” sahut Dion santai dari seberang.Kinara melirik sekilas ke arah Aditama yang duduk santai membaca koran. Sang suami hanya tersenyum tipis, ikut mendengarkan percakapan itu.“Pokoknya kamu itu anak yang paling bikin Mama susah,” lanjut Kinara, meski kenyataannya justru berbanding terbalik. Kehamilan Dion adalah yang paling ringan, ia bisa bepergian lintas udara hingga menyeberang lautan tanpa keluhan berarti.“Tapi paling disayang ‘kan?” goda Dion.“Pulanglah, Nak,” lanjut Kinara akhirnya melemah. “Mama kangen banget sama Dion. Tolonglah bantu Mas Nadeo sama Mas Abi. Papa kamu sudah tidak sanggup lagi menanggung semuanya di perusahaan,” ujarnya dengan nada manja sekaligus serius.“Ujung-ujungnya disuruh kerja rodi. Jadi sebenarnya Mama kangen anaknya atau butuh tenaga kerja?” balas
Pagi pertama di villa terdengar suara burung laut dan sinar matahari menembus tirai besar membangunkan Kinara lebih dulu. Ia duduk di teras sambil mengelus perutnya yang mulai membuncit. Sesekali menoleh melihat suami dan anaknya masih terlelap. Di hadapannya, laut biru membentang luas, ombak kecil berkejaran pelan membuatnya bersemangat hingga beranjak berdiri di sisi pagar balkon. Tak lama kemudian, Nadeo berlari keluar dengan piyamanya, langsung menghambur ke pelukan ibunya.“Bunda, sudah bangun? Lagi lihat laut ya? Mas senang sekali di sini,” gumamnya. “Tidurnya nyenyak.”“Oh, ya? Enak tidurnya?” Nadeo mengangguk setuju. Ia mendekat ke arah perut Kinara berbisik, “Adik suka juga nggak di sini? Sayang sekali tidak bisa main air dan pasir. Mas semalam main pasir pantai dengan Abi,” katanya menceritakan keseruan versinya. Kinara terkekeh, mencium rambut putranya.Ia tersentak saat merasakan pelukan dari belakang. Aditama muncul membenamkan wajahnya di ceruk leher sang istri. “Selama
Kehamilan kali ini benar-benar terasa berbeda bagi Kinara. Tidak ada drama seperti dua kehamilan sebelumnya. Justru ia merasa jauh lebih rileks, tenang, dan dimanja oleh Aditama. Setiap hari berjalan dengan penuh cinta, seakan waktu tak ingin berlari terlalu cepat. Karena itulah, sore itu saat mereka duduk di ruang tengah, Kinara tiba-tiba mengutarakan keinginannya. “Mas, aku ingin babymoon,” ujarnya sembari mengusap lembut perutnya yang mulai membuncit. Aditama menoleh dengan senyum geli. “Babymoon atau honeymoon?” tanyanya menggoda. “Mas …,” rajuknya manja. “Mau ke mana, Sayang?” Kinara tersenyum penuh arti. “Ke Bintan, yuk!” Sejenak Aditama terdiam, menatap istrinya yang tampak begitu serius. “Berdua saja?” tanya Aditama menggoda. Kinara langsung menggeleng tegas. “Nggak, dong. Aku nggak tega meninggalkan Nadeo dan Abi. Mereka bagian dari kita, masa ditinggal. Babymoon hanya istilah, aslinya pengen liburan di pantai.” Aditama menghela napas, tidak bisa menolak.
“Kamu menerima kehamilan ini, Mas?” tanya Kinara pelan, sorot matanya ragu.“Kenapa nanya begitu?” Aditama mengernyit. “Jelas Mas terima, itu anak Mas.”“Tapi… Abi masih kecil banget, baru satu tahun lebih. Kayak… kebobolan gitu.”Aditama terkekeh kecil, menggeleng. “Nggak ada istilah kebobolan, Ra. Kita melakukannya dengan sadar dan sama-sama mau. Kamu ini lucu, punya suami malah takut hamil.”Kinara menunduk, pipinya bersemu. Namun Aditama segera meraih jemarinya, menggenggam hangat.“Mas tahu, mengandung, melahirkan, sampai menyusui itu bukan hal mudah. Karena itu, Mas janji bakal bikin kamu senyaman mungkin. Kamu nggak sendirian, Sayang. Suruh saja Nadeo kalau kamu butuh apa-apa,” kekehnya saat melihat mata sang istri membulat dan mulutnya sedikit terbuka ingin melayangkan protes. “Atau Abi,” lanjutnya sedikit memutar tubuh mungil di pangkuannya. “Jagain Mama, ya! Jangan maunya nyusu aja kerjanya. Papa udah banyak ngalah sama Abi—”“Heh … heh …! Ngomong apa sih,” protes Kinara menu
Empat tahun berlalu sejak perjalanan panjang Kinara dan Aditama sebagai orang tua. Waktu telah menjadikan mereka lebih dewasa, lebih utuh, dan semakin menyadari betapa berharga kebersamaan yang kini mereka miliki.Kinara memutuskan untuk tidak lagi fokus mendesain. Waktunya kini telah sepenuhnya ia abdikan untuk kedua putranya—Nadeo, si sulung yang beranjak semakin pintar dan penuh rasa ingin tahu, serta si kecil Abinza Deo Aditama yang hari ini genap berusia satu tahun. Baginya, menjadi seorang ibu sepenuhnya bukan berarti meninggalkan impian, melainkan menggantinya dengan kebahagiaan yang lebih nyata.Pokoknya Kinara adalah wanita paling cantik seisi rumah, memiliki tiga bodyguard—suami tampan dan dua anak lelakinya yang tak kalah tampan. Pesona alaminya tak pernah luntur meski sudah menjadi ibu dua anak.Fany, sang adik, kini telah menempuh sekolah khusus desain di luar negeri dan tinggal di asrama atas permintaannya sendiri. Meski begitu, rumah mereka tak pernah terasa sepi. Justru