“Siapa juga yang mau bertemu lagi dengannya,” kesal Kinara melihat punggung lelaki arogan itu menjauh. Segera saja Kinara melangkah terus menuju kamarnya.
Sesampainya di kamar, Kinara terus menatap layar ponselnya, tepatnya ruang obrolan dengan sang suami. Aditama sudah membaca pesannya, tetapi tak kunjung membalas. Begini saja terus hubungan mereka sampai bumi berhenti berputar.
"Ah, sudahlah!"
Kinara membenamkan tubuhnya ke dalam selimut, ingin segera berlabuh ke pulau kapuk. Padahal, masih terlalu dini untuk tidur, tetapi tubuhnya terasa begitu lelah.
***
Sejak penolakan kemarin, Erik menghilang dari rombongan. Ia memilih liburan sendiri, berdalih ingin mengunjungi keluarganya di Singapura. Tak ada yang tahu pertemuan mereka, termasuk Ve.
Hari ini, Kinara, Ve, dan Aji hendak mengunjungi skybar di rooftop gedung paling ikonik. Tiga sahabat sejak SMA ini memang bergabung dalam rombongan liburan delapan orang, sisanya teman-teman Aji dari Teknik, termasuk Erik.
“Serius mau ke sana? Kalau minum aneh-aneh, aku aduin ke papamu,” kata Kinara.
“Katrok banget sih. Aku cuma mau bikin time-lapse sunset ke malam, keren banget pasti,” sahut Ve, si paling instagr*mable.
Kinara melirik Aji yang hanya mengangkat bahu pasrah.
Sore menjelang, mereka tiba di skybar. Kota Singapura terhampar megah, langit perlahan berubah jingga keemasan, memantul di kaca gedung-gedung tinggi. Angin sore bertiup sejuk. Namun, pikiran Kinara jauh dari tenang. Ponselnya terus berbunyi—pesan dari ibu tirinya, Diani, memintanya menghubungi Tama untuk kucuran dana bisnis.
Belum genap setahun, ini kali ketiga. Kinara tahu ini sudah di luar urusan profesional.
Telepon masuk. Nama Diani muncul di layar.
“Lagi di Singapura? Kamu ketemuan Aditama, ya?” suara manis Diani membuka percakapan.
“Nggak—”
“Pas banget. Kalau belum bicara ke Pak Tama, kamu bisa langsung minta ke suamimu. Nanti Dita bantu siapkan dokumennya,” potong Diani langsung.
Kinara tercekat. Mana mungkin ia hubungi Aditama?
“Maaf, Ma—Kinara—”
“Kenapa? Kamu pikir kami ini mainan kamu, hah?” Nada suara Diani berubah tajam. “Ini caramu balas budi? Setelah semua yang Mama lakukan?”
Balas budi? Atas apa? Kinara membatin getir. Ia tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu—dibesarkan oleh asisten rumah tangga, bukan Diani.
Air matanya jatuh. Langit yang menggelap menyembunyikan kesedihannya.
Ve dan Aji yang baru kembali dari spot foto berhenti melangkah saat melihat Kinara menyeka air matanya. Ponselnya sudah diturunkan, ekspresinya kosong.
“Ara,” panggil Ve, pelan.
Kinara memaksakan senyumnya meminta agar kedua sahabatnya tidak mengkhawatirkan dirinya. Ve langsung mendekat dan memeluk Kinara.
“Tante Diani, ya?” Kinara mengangguk. Ve mengeratkan pelukannya mengusap punggung Kinara berusaha menenangkannya.
“Aku sudah pesankan makan malam untuk kita,” kata Aji ikut duduk di hadapan dua sahabatnya.
Kinara mengangguk usai melepas pelukan Ve.
Sepanjang menikmati makan malamnya, Kinara memikirkan banyak hal termasuk pertemuan dengan Aditama. Apa memang sebaiknya dia akhiri saja pernikahan ini?
“Telepon siapa?” tanya Ve, melihat Kinara menyudahi makan malamnya.
“Suami gaib,” jawab Kinara membuat Ve antusias.
“Ihh… mau meetup, ya? Sini, dong. Suruh ke sini. Dia tinggal di mana?”
“Siapa suami gaib?” tanya Aji yang sedang menyesap minumannya, bingung.
“Kepo! Ini urusan wanita,” balas Ve, ketus.
Kinara pamit menjauh saat suasana mulai ramai. Ia membawa tasnya, mengatakan akan singgah ke toilet sambil mencoba menghubungi Aditama.
Satu kali panggilan tak terjawab membuatnya mengerutkan kening. Ia pun melanjutkan langkahnya ke toilet. Tak lama setelah itu, ponselnya bergetar—panggilan masuk dari Aditama. Kinara tertegun. Ini pertama kalinya mereka berbicara lewat telepon. Absurd, bukan? Suami istri macam apa mereka ini?
Tanpa pikir panjang, Kinara segera menerima panggilan itu. Ia melangkah ke balkon tak jauh dari toilet, mencari tempat yang lebih tenang.
“Halo,” sapa Aditama dengan suara baritonnya.
Kinara meneguk salivanya mendengar suara tegas yang juga terdengar dingin di seberang sana.
“Kamu telepon hanya untuk membuang waktu saya?” ujar Aditama karena Kinara hanya diam saja.
“Ah, I—iya, Mas.”
Meski suara di seberang sana terdengar merdu, tidak mengurangi rasa benci Aditama pada Kinara.
“Ada apa?” tanya Aditama.
“Saya mau ketemu—”
“Tidak bisa. Saya sibuk. Saya akan memberikan nomor asisten saya. Kedepannya kamu bisa menghubunginya.” Kinara menganga tak percaya mendengar jawaban Aditama.
“Setelah ini silakan hubungi, Vano, asisten saya,” tambah Aditama.
Tut … tut … tut!
Sambungan telepon terputus sepihak, begitu saja.
“Eh, gelo nih orang. Main di matiin saja,” kesal Kinara.
Ketika berbalik, Kinara membulatkan matanya melihat Erik berdiri di hadapannya.
“Loh, Erik?” Pandangan Erik terlihat sayu, tapi juga terlihat menggebu.
Erik mempersilakan Kinara jalan lebih dulu setelah mengatakan kalau dua sahabatnya, Ve dan Aji sudah menunggu di bawah.
Kinara mengangguk paham mengikuti langkah mantap Erik. Ve bilang mereka memang tidak akan lama di sini.
Di dalam lift hanya kesunyian yang menemani. Entah kenapa berdua dengan Erik seperti ini jantung Kinara berdetak lebih kencang. Tiba-tiba ia merasa takut.
Kini keduanya sudah tiba di area parkir. Kinara menelisik sekitar yang sepi, tidak menemukan Ve dan Aji. Langkah Erik mantap menuntun Kinara ke sebuah mobil. Merasa ada yang tidak beres, Kinara menghentikan langkahnya.
“Erik,” panggil Kinara pelan.
Erik menoleh kembali mendekati Kinara yang perlahan mundur.
“Pulang dengan aku saja, ya?” pinta Erik membuat Kinara menggeleng kaku.
Kinara berbalik setelah mengatakan dia akan mencari Ve dan Aji. Sesaat kemudian tubuh Kinara melayang digendong paksa oleh Erik masuk ke dalam mobilnya. Kinara mencoba berontak dan keluar dari mobil, tapi Erik menahannya.
“Pulang dengan aku, Ara!” kata Erik tegas.
“Erik, tolong jangan seperti ini,” pinta Kinara dengan tubuh merinding saat Erik menimpa tubuhnya sementara kaki Kinara masih menjuntai keluar.
“Seperti apa, Sayang?” mengusap wajah Kinara dengan gerak sensual.
“Erik—toloonngg …!” pekik Kinara seraya menahan tubuh Erik.
Erik menekan tubuhnya agar bisa mendekat telinga Kinara, berbisik, “Aku mencintaimu Ara.”
“Tolooonnggg …!” pekik Kinara.
Pasrah, Kinara tidak kuat lagi menahan tubuh besar Erik. Dengan sisa tenaganya, Kinara mendorong tubuh Erik hingga lelaki itu kian menjauh dari tubuhnya. Tidak, bukan karena dorongan Kinara, tapi karena ada seseorang yang menarik paksa tubuh Erik keluar.
“Sialan!” kesal Erik, melayangkan tinjuan pada seseorang yang datang dengan niat membantu karena mendengar teriakan Kinara.
Kinara ditarik keluar saat sosok itu setelah membalas pukulan Erik hingga tersungkur ke lantai.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya Aditama. Ya, lelaki yang datang membantu itu adalah Aditama yang tidak sengaja lewat.
Kinara menangis sejadi-jadinya. Enggan disentuh, ia merasa jijik oleh sentuhan mengingat bagaimana Erik mengusap wajah dan menatapnya tadi.
Erik kembali menarik Aditama dan kedua terlibat perkelahian. Namun, lagi-lagi Erik terjatuh, tersungkur.
Aditama melihat sekitar mencari keberadaan Kinara dan menemukan wanita itu berjalan lunglai memeluk tubuhnya yang bergetar, menangis sejadi-jadinya.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Aditama menghalangi jalan Kinara.
“Kamu?” katanya terkejut setelah melihat jelas wajah Kinara.
Namun, sesaat kemudian pandangan Kinara perlahan gelap dan tubuhnya melemah. Kinara jatuh pingsan, dengan sigap Aditama menangkap tubuh mungil Kinara.
Erik parah banget! Untung ada suami gaib kaaannn....hihi
“Kamu masih di rumah Abi, Sayang?” tanya Aditama lewat sambungan telepon.Beberapa hari terakhir ia berada di Singapura untuk menghadiri rapat umum pemegang saham. Meski sudah pensiun dan menyerahkan perusahaan pada ketiga putranya, Aditama tetap setia menemani urusan besar yang membutuhkan kehadirannya. Namun, di balik semua itu, ia lebih menikmati masa tuanya berdua bersama sang istri.“Masih, aku mau extend, deh. Dua hari lagi,” jawab Kinara santai.“Mas pulang besok, lho. Kamu malah nambah hari nginap di sana? Mas sendirian dong di rumah?” nada suaranya terdengar seperti rajuk manja.Kinara tersenyum mendengar itu. “Tapi kan aku tetap pulang, Mas. Aku masih kangen sama cucuku.”“Suamimu ini lho juga kangen banget sama kamu.” Kinara terkekeh geli mendengar pengakuan jujur itu.“Boleh ya, Mas? Dua hari aja…,” pintanya lembut. Mana mungkin Aditama bisa menolak. Apa yang tidak bisa ia usahakan untuk istrinya? Mau tidak mau, ia hanya bisa mengalah, meski dalam hati sebenarnya tak rela.
“Kamu itu anak yang paling susah keluarnya. Selama hamil kamu, Mama sampai harus bed rest,” keluh Kinara saat menelepon si bungsu yang kini sibuk berkelana di negeri orang.“Bed rest di Bintan, maksud Mama?” sahut Dion santai dari seberang.Kinara melirik sekilas ke arah Aditama yang duduk santai membaca koran. Sang suami hanya tersenyum tipis, ikut mendengarkan percakapan itu.“Pokoknya kamu itu anak yang paling bikin Mama susah,” lanjut Kinara, meski kenyataannya justru berbanding terbalik. Kehamilan Dion adalah yang paling ringan, ia bisa bepergian lintas udara hingga menyeberang lautan tanpa keluhan berarti.“Tapi paling disayang ‘kan?” goda Dion.“Pulanglah, Nak,” lanjut Kinara akhirnya melemah. “Mama kangen banget sama Dion. Tolonglah bantu Mas Nadeo sama Mas Abi. Papa kamu sudah tidak sanggup lagi menanggung semuanya di perusahaan,” ujarnya dengan nada manja sekaligus serius.“Ujung-ujungnya disuruh kerja rodi. Jadi sebenarnya Mama kangen anaknya atau butuh tenaga kerja?” balas
Pagi pertama di villa terdengar suara burung laut dan sinar matahari menembus tirai besar membangunkan Kinara lebih dulu. Ia duduk di teras sambil mengelus perutnya yang mulai membuncit. Sesekali menoleh melihat suami dan anaknya masih terlelap. Di hadapannya, laut biru membentang luas, ombak kecil berkejaran pelan membuatnya bersemangat hingga beranjak berdiri di sisi pagar balkon. Tak lama kemudian, Nadeo berlari keluar dengan piyamanya, langsung menghambur ke pelukan ibunya.“Bunda, sudah bangun? Lagi lihat laut ya? Mas senang sekali di sini,” gumamnya. “Tidurnya nyenyak.”“Oh, ya? Enak tidurnya?” Nadeo mengangguk setuju. Ia mendekat ke arah perut Kinara berbisik, “Adik suka juga nggak di sini? Sayang sekali tidak bisa main air dan pasir. Mas semalam main pasir pantai dengan Abi,” katanya menceritakan keseruan versinya. Kinara terkekeh, mencium rambut putranya.Ia tersentak saat merasakan pelukan dari belakang. Aditama muncul membenamkan wajahnya di ceruk leher sang istri. “Selama
Kehamilan kali ini benar-benar terasa berbeda bagi Kinara. Tidak ada drama seperti dua kehamilan sebelumnya. Justru ia merasa jauh lebih rileks, tenang, dan dimanja oleh Aditama. Setiap hari berjalan dengan penuh cinta, seakan waktu tak ingin berlari terlalu cepat. Karena itulah, sore itu saat mereka duduk di ruang tengah, Kinara tiba-tiba mengutarakan keinginannya. “Mas, aku ingin babymoon,” ujarnya sembari mengusap lembut perutnya yang mulai membuncit. Aditama menoleh dengan senyum geli. “Babymoon atau honeymoon?” tanyanya menggoda. “Mas …,” rajuknya manja. “Mau ke mana, Sayang?” Kinara tersenyum penuh arti. “Ke Bintan, yuk!” Sejenak Aditama terdiam, menatap istrinya yang tampak begitu serius. “Berdua saja?” tanya Aditama menggoda. Kinara langsung menggeleng tegas. “Nggak, dong. Aku nggak tega meninggalkan Nadeo dan Abi. Mereka bagian dari kita, masa ditinggal. Babymoon hanya istilah, aslinya pengen liburan di pantai.” Aditama menghela napas, tidak bisa menolak.
“Kamu menerima kehamilan ini, Mas?” tanya Kinara pelan, sorot matanya ragu.“Kenapa nanya begitu?” Aditama mengernyit. “Jelas Mas terima, itu anak Mas.”“Tapi… Abi masih kecil banget, baru satu tahun lebih. Kayak… kebobolan gitu.”Aditama terkekeh kecil, menggeleng. “Nggak ada istilah kebobolan, Ra. Kita melakukannya dengan sadar dan sama-sama mau. Kamu ini lucu, punya suami malah takut hamil.”Kinara menunduk, pipinya bersemu. Namun Aditama segera meraih jemarinya, menggenggam hangat.“Mas tahu, mengandung, melahirkan, sampai menyusui itu bukan hal mudah. Karena itu, Mas janji bakal bikin kamu senyaman mungkin. Kamu nggak sendirian, Sayang. Suruh saja Nadeo kalau kamu butuh apa-apa,” kekehnya saat melihat mata sang istri membulat dan mulutnya sedikit terbuka ingin melayangkan protes. “Atau Abi,” lanjutnya sedikit memutar tubuh mungil di pangkuannya. “Jagain Mama, ya! Jangan maunya nyusu aja kerjanya. Papa udah banyak ngalah sama Abi—”“Heh … heh …! Ngomong apa sih,” protes Kinara menu
Empat tahun berlalu sejak perjalanan panjang Kinara dan Aditama sebagai orang tua. Waktu telah menjadikan mereka lebih dewasa, lebih utuh, dan semakin menyadari betapa berharga kebersamaan yang kini mereka miliki.Kinara memutuskan untuk tidak lagi fokus mendesain. Waktunya kini telah sepenuhnya ia abdikan untuk kedua putranya—Nadeo, si sulung yang beranjak semakin pintar dan penuh rasa ingin tahu, serta si kecil Abinza Deo Aditama yang hari ini genap berusia satu tahun. Baginya, menjadi seorang ibu sepenuhnya bukan berarti meninggalkan impian, melainkan menggantinya dengan kebahagiaan yang lebih nyata.Pokoknya Kinara adalah wanita paling cantik seisi rumah, memiliki tiga bodyguard—suami tampan dan dua anak lelakinya yang tak kalah tampan. Pesona alaminya tak pernah luntur meski sudah menjadi ibu dua anak.Fany, sang adik, kini telah menempuh sekolah khusus desain di luar negeri dan tinggal di asrama atas permintaannya sendiri. Meski begitu, rumah mereka tak pernah terasa sepi. Justru