Dua minggu telah berlalu sejak meninggalnya tuan William Walker. Tampuk kepemimpinan masih kosong. Rapat direksi telah digelar seminggu yang lalu akan tetapi hasil rapat yang dihadiri juga oleh pengacara keluarga dan Nyonya Averie serta James tetap dirahasiakan.
Pagi ini tepat pukul 09.00 waktu setempat. Weston Corp menjadi heboh. Sang CEO baru telah datang. “Mr Jonathan?”Roger, staff purchasing menerima telepon dari salah satu temannya di front office lantai 1. “Dia sudah datang?” “Apakah yang tadi bertemu denganku di lift?”Si cantik Elora menutup mulutnya terkejut. “Kukira tadi aku bertemu model baru untuk iklan kita. Sumpah!Dia sangat tampan!” Jika Elora berani bersumpah dengan apa yang telah dilihatnya, berarti kenyataannya adalah melebihi yang dibayangkan. Sangat tampan bisa jadi luar biasa tampan. “Ooh, kenapa aku tidak datang terlambat saja tadi,”seru Emelia. “Seberapa tampan mr Jonathan?Bagaimana dengan Axel?”tanya Ainsley menyebut salah satu model terbaru yang membintangi iklan salah satu produk alat kebugaran tubuh yang diproduksi Weston Corp. Mereka mulai bergosip. “Axel tampan tapi ini luar biasa tampan,”seru satu-satunya saksi mata, Elora. “Benarkah?” “Dia…”Elora menghentikan kalimatnya, ia menutup mata sembari tersenyum lebar, “Dia salah satu tipeku.” Teman-temannya mulai mencecar dengan berbagai pertanyaan, sementara di ruangan lain di lantai yang sama. “CEO baru telah datang, aku harus menghadiri rapat 5 menit lagi,”seru Paula sembari masuk ke ruangannya, membawa agenda serta ponselnya, Paula keluar sedikit tergesa. “Apakah akan butuh waktu lama?Aku butuh tanda tangan untuk validasi barang keluar,”Abigail beranjak berdiri mengikuti. “Tidak, tidak akan lama, aku akan segera kembali,”ujar Paula segera keluar dari ruangan divisi umum. “Apakah kalian tahu siapa CEO baru kita?”tanya Cali pada kedua teman seruangannya. Abigail menggeleng. Emily mengangkat bahu ”Aku penasaran sekali, kudengar waktu mengambil minum di pantry tadi, mr Jonathan yang akan jadi CEO baru kita.”ucap Cali antusias. “Kamu pernah bertemu dengannya?”tanya Abigail. Cali menggeleng. Tuan William memang jarang memperbolehkan keluarganya untuk datang ke Gedung Weston Corp. Alasannya adalah untuk mempertahankan profesionalisme kerja. Hanya satu dua orang terdekat saja yang mengetahui seluk beluk keluarga tuan William, termasuk Paula. “Mrs paula pernah bercerita kalau tuan William pernah menikah dua kali, istri pertamanya meninggal karena sakit saat Joseph berusia dua tahun, setahun kemudian tuan William menikahi teman dekatnya,dia Nyonya Averie. Kudengar dia teman kuliah saat mereka berkuliah di Inggris.”Cali melanjutkan cerita. “Dari pernikahan pertama tuan William punya tiga anak, James, pamela dan Joseph, sedangkan dengan Nyonya Averie ada dua yaitu Jonathan dan Kai.” Pembicaraan mengenai keluarga Tuan William menjadi trending topic di setiap divisi. Sebelum hari ini, mereka menduga duga siapa yang akan menjadi calon CEO selanjutnya. Harapan di setiap divisi, pemimpin mendatang tidak kalah mumpuni menjalankan perusahaan yang sudah menjadi ladang penghasilan bagi mereka. “Kuharap pengganti Tuan William tidak jauh beda dengannya. Entah siapapun itu,”komentar Emily “Kau benar Emily,”ujar Abigail. Emily melanjutkan pekerjaannya menginput data di system stok barang. Sejam kemudian terdengar panggilan telepon terdengar di samping komputernya. “Dengan Emily, divisi umum,”ucapnya saat gagang telepon terangkat. “Hai cantik,”suara bass terdengar di seberang telepon. Caleb, salah satu staff divisi pemasaran. “Ada perlu apa, Cal?”tanya Emily datar. “Aku perlu ruangan rapat untuk kamis depan, Em,”jelas Caleb. “Jadwal untuk hari Kamis sudah penuh,”ucap Emily sembari mengecek jadwal pemakaian ruang pertemuan di komputernya. “Ayolah Emily, ini memang mendadak, carikan aku ruang pertemuan lainnya,”pinta Caleb. Emily menggerakkan mouse komputer, mengklik beberapa jadwal untuk minggu ini dan minggu mendatang. “Ada tapi bukan ruangan kesukaanmu.” “Ouh , kamu begitu perhatian sampai ruangan kesukaanku saja kamu hapal,”Caleb terkekeh di seberang telepon “Bagaimana?”tanya Emily tak sabar. “Ruang apa?” “Alpaka.” “Oh tidak, jangan yang itu, terlalu kecil Em.” “Tidak ada lagi, Cal.” Caleb terdiam sesaat. “Oke jadwalkan Kamis depan, tambahkan beberapa pengharum ruangan. Ruangan itu sungguh sempit dan bau, Emily.” “Oke oke. Sudah kutulis permintaanmu,”Emily mengetikkan sesuatu di keyboard komputernya. “Ada lagi?” “Sepotong cinta darimu sudah lebih dari cukup Emily.” Emily menutup telepon tanpa mengatakan apapun. Sementara di seberang Caleb terkekeh. Pukul tujuh lebih saat Emily tiba di rumah. Saat membuka pintu, tampak Eden bersiap untuk berangkat kerja. Eden bekerja di sebuah hotel Bintang empat sebagai housekeeper. Wajah Eden masam saat melihat Emily. Sejak kembalinya Emily ke rumah dan mengetahui kandasnya pernikahan Emily, Eden menjadi tidak respek pada kakak semata wayangnya itu. Eden merasa orang tuanya telah menghabiskan banyak biaya untuk membiayai Emily di awal-awal kuliah tapi kenyataannya malah Emily membuat keputusan bodoh dengan berhenti kuliah. Dan malangnya, saat giliran Eden harus masuk kuliah, tak ada uang tersisa karena Robert Patterson jatuh sakit dan membutuhkan biaya tidak sedikit. “Giliranmu memasak, ibu sedang tidak enak badan,”ujar Eden mendengus kesal sembari menyambar tasnya. “Oke,”jawab Emily sembari masuk ke dalam kamar dan berganti pakaian. Saat keluar, Eden tidak tampak lagi di dalam rumah. Emily beranjak ke dapur. Malam ini gilirannya untuk memasak. Ia menguncir rambutnya menjadi satu sebelum memulai memasak. Menu malam ini adalah makanan kesukaan ibunya. “Maafkan ibu Em, harusnya pulang kerja kamu bisa segera beristirahat tanpa harus bersusah payah seperti ini.”Tiba-tiba Aldera muncul di samping Emily. Emily tersenyum. “Memasak seperti ini tidak membutuhkan waktu lama, ibu. Dan aku tidak capek sama sekali.” Emily meletakkan brokoli kukus ke dalam piring. “Dimana ayah?Sudah waktunya makan malam,”Emily mengajak ibunya duduk di meja makan. “Ayahmu sudah tidur sejak sore tadi. Biarkan dia istirahat. Aku akan menghangatkan makanan jika dia bangun nanti.” Emily dan Aldera duduk berdampingan dan menyantap makanan. “Bagaimana kabar ibu hari ini?”tanya Emily saat telah menyelesaikan makan malamnya. “Baik, jangan mengkhawatirkan ibu,”kata Aldera tersenyum. “Kamu yang harusnya menjaga kesehatan, luangkan waktu untuk berlibur, sayang.” Emily tersenyum saat ibunya mengelus kepalanya, ia berusaha menahan tangis. Rasa penyesalan masih tersisa hingga saat ini. “Aku hanya ingin ibu sehat dan bahagia,”ujar Emily. “Ibu bahagia. Ibu sehat dan Ibu juga bangga memiliki kamu dan Eden.” Aldera mengelus tangan Emily perlahan. “Kamu gadis yang baik, Em. Ibu yakin suatu saat kamu akan mendapat suami yang jauh lebih baik dari Oliver.” “Tidak bu, Hidupku berantakan karena salah membuat pilihan. Tidak akan ada lagi Oliver Oliver yang lain. Bagiku saat ini, melihat kalian sehat sudah cukup membuatku bahagia.” Aldera tidak mendebat lagi. Luka hati Emily belum sembuh. Ia masih berdiri di atas kubangan kesedihan dan belum mampu menjauh. Hanya waktu yang bisa menyembuhkan luka seperti itu.Tersisa lima belas menit lagi bagi Emily untuk menyelesaikan penataan ruang rapat untuk tim pemasaran. Emily memastikan lagi semua meja telah terisi dengan beberapa alat tulis dan botol air mineral. Memeriksa panel kontrol proyektor untuk menyesuaikan dengan layar. Emily juga menambah pengharum ruangan sesuai permintaan Caleb. Dari arah belakang terdengar suara pintu terbuka. “Kurang lima belas menit lagi Cal. Biarkan aku bekerja dengan tenang,”ujar Emity tanpa menoleh. Siapa lagi manusia usil di perusahaan ini yang ketagihan untuk mengganggunya. Tak ada jawaban. Tumben. Emily menoleh. Dan demi Tuhan!Ada jelmaan dewa Apollo, melewatinya dengan tubuh berbalut jas dan kemeja berkerah. Rambutnya cokelat emas, matanya sempat menatap Emily beberapa detik sebelum mengarahkan pandangan ke meja paling ujung ruangan. Seumur hidupnya, Emily tidak pernah menemukan mata abu abu seindah itu. Dengan gugup, Emily berusaha mengembalikan kesadaran, ia mengamati kertas yang diberikan Caleb padan
Setelah kejadian terjebak lift Sabtu malam, tampaknya semua baik-baik saja. Emily memperhatikan semua petugas keamanan tetap bertugas seperti biasa. Tak ada berita menghebohkan seperti pemecatan atau apapun. Semua tenang terkendali seakan tidak pernah ada insiden lift macet. Hingga dua pekan berlalu, saat di Jumat sore menjelang usai jam kantor, sebuah telepon dari sekretaris CEO meminta Emily untuk menghadap sang bos. “Aku?apakah beliau tidak memberitahumu tentang apa?”tanya Emily khawatir. Dua minggu ini ia melakukan pekerjaannya dengan baik, tak ada komplain dari divisi lain. “Tidak ada nona Emily, tuan Jonathan hanya memintamu untuk datang ke ruangannya sekarang,”Ernetta, sekretaris CEO menjawab singkat. “Baiklah, aku segera kesana.” Emily melangkah bergegas ke lantai 12, letak ruangan CEO berada. Dia hanya dua kali berkesempatan mengunjungi lantai 12 yang memang dkhususkan hanya untuk kantor CEO dan sekretarisnya. Ruangan itu begitu megah dan mewah. Di meja sekretaris, E
Sudah hampir sebulan ini, Jonathan sering meminta bantuan Emily untuk menemaninya menghabiskan waktu luang di akhir pekan. Entah sudah berapa puluh alasan yang diberikan Jonathan hingga Emily tak bisa menolaknya. Hanya untuk sekedar jalan di taman kota, menemaninya berbelanja pakaian atau menikmati sunset di Pantai. Sebuah pesan pendek masuk di layar ponsel Emily. Dari Jonathan. “Aku jenuh, temani aku ke café malam ini” Emily melirik jam tangan di pergelangan tangan kanannya. Pukul 19.00. Harusnya dua jam yang lalu waktu kantor telah berakhir. Tapi ia harus lembur menyelesaikan laporan stok asset untuk persiapan audit akhir tahun. Emily mengetik pesan balasan “Aku harus lembur. ” Sesaat kemudian Jonathan mengetikkan sesuatu. “Siapa saja yang lembur di ruanganmu?” Meski satu divisi, tapi job desk pekerjaan Emily berbeda dengan Cali dan Abigail, jadi malam ini ia hanya sendiri. “Aku sendirian.” Tak ada jawaban. Emily merasa Jonathan memaklumi kesibukannya dan takkan tega
Pagi ini waktu terasa berjalan lambat. Emily duduk di samping ibunya, di ruang tunggu Harlem Hospital Center. Sang ayah, Robert Patterson harus dilarikan ke rumah sakit karena mengalami sesak nafas. Emily mengirim pesan kepada Paula Meyer jika dirinya tidak masuk kerja. Dan Paula mengijinkan. Nyonya Aldera menghapus air mata yang menggenang di sudut mata. Emily mempererat genggaman tangannya. “Ayah akan baik-baik saja.” “Kuharap begitu, Em. Penyakit ginjal ayahmu sudah kronis. Dokter bilang ini sudah stadium akhir. “ Emily mengangguk. “Tapi kita tidak boleh menyerah,bu.” “Tidak akan pernah. Aku akan berjuang bersamanya.” Emily memeluk bahu ibunya. Mencium sisi wajah Aldera. Berusaha memberikan kekuatan. “Ibu tidak sendiri. Aku dan Eden akan berjuang demi ayah.” Aldera tersenyum samar. Menatap lalu lalang pengunjung rumah sakit yang berseliweran di sepanjang koridor. Saat menjelang sore hari sebuah pesan pendek muncul di ponsel Emily. Dari Jonathan. “Kudengar ayahmu ada
Jonathan menyalakan fitur navigasi canggih di samping kemudi saat telah berada di dalam mobil. Mereka berkendara selama setengah jam saat Jonathan memarkir mobil di sebuah kawasan perbukitan. Dari tempat mereka berhenti, tampak pemandangan cantik lampu-lampu kota berada di bawah mereka. “Ayo,”ajak Jonathan sembari membuka pintu mobil. Emily menurut tanpa kata. “Kubantu duduk,”ucapnya kepada Emily. Jonathan meraih pinggang Emily, membantu wanita itu duduk di atas kap mobil. Ia menyusul duduk di samping Emily. Lama keduanya saling diam. Menikmati keindahan lampu kota. Emily berpaling ke arah Jonathan. “Terima kasih.” Jonathan menatap Emily. Ia tahu wanita itu tengah menyembunyikan perasaannya. Entah itu sedih atau marah. Jonathan merapat ke tubuh Emily. . Lengan kokohnya meraih kepala Emily, merengkuhnya dalam dekapan. “Aku tak pernah mengalami situasi seperti ini, jadi maaf aku tak bisa melakukan hal lain untuk menghiburmu.” Emily melingkarkan lengan di pinggang Jonathan
Caroline menepati ucapannya. Dua undangan tiba di meja sekretaris Jonathan siang itu. “Excuse me, sir. Ada undangan untukmu.” Jonathan menerima undangan itu dan membaca sekilas. Acara pernikahan Oliver dan Caroline Sabtu pekan ini. “Terima kasih,Ernette.” Wanita tua itu mengangguk dan berlalu pergi meninggalkan ruangan sang CEO. Jonathan berfikir sesaat sebelum meraih ponselnya dan mengirim gambar undangan itu kepada Emily. Beberapa menit kemudian muncul pesan balasan dari Emily. “Aku tidak perlu datang.” Jonathan mengetikkan sesuatu. “Tunjukkan padanya kamu baik-baik saja. Jangan biarkan mereka senang.” “Aku tidak perlu membuktikan apapun pada mereka.” “Kamu yakin?” Tak ada balasan dari Emily. Jonathan merasa tidak perlu memaksa Emily lagi. Keputusan Emily pasti telah dipertimbangkan dengan baik. Jonathan melanjutkan pekerjaannya kembali saat setengah jam kemudian muncul pesan dari Emily. “Menurutmu, apakah aku harus datang?” Jonathan tersenyum. Ia menge
Satu jam lagi acara pernikahan akan dimulai. Oliver dan keluarganya telah menyewa sebuah ruangan mewah di sebuah hotel bintang lima. Undangan terbatas di kalangan tertentu. Hanya rekan bisnis dan teman terdekat. Sementara di apartemen Jonathan, di salah satu kamar telah tertata rapi gaun-gaun malam koleksi terbaik musim ini. Jonathan telah mempersiapkan semuanya. Ia telah menyewa tim Make up artist terbaik yang diketahuinya dari salah satu rekan bisnis pemilik perusahaan kosmetik. Emily membeku di tempatnya berdiri saat beberapa orang berpakaian seragam mulai berdatangan di apartemen Jonathan. Mereka dengan sigap memperkenalkan diri dan memberitahu Emily untuk bersiap di kamar yang telah disediakan. “Tidakkah menurutmu ini sangat berlebihan?”gerutunya ke arah Jonathan sebelum menghilang dari balik pintu kamar. Jonathan tak berkomentar. Ia sendiri sibuk mempersiapkan diri di kamarnya. Jonathan mengenakan tuxedo hitam yang melekat erat di tubuhnya. Tuxedo shaw lapel yang dipaduk
Thanksgiving merupakan hari bahagia bagi sebuah keluarga untuk bisa merayakan tradisi dan berkumpul bersama. Tapi tidak dengan Jonathan, undangan yang diterimanya dari James siang itu benar-benar membuatnya sakit kepala. Keluarga besar William Walker akan merayakan Thanksgiving dan mengundang hampir seluruh keluarga dekat. “Aku mohon luangkan waktumu untuk datang, Nathan,”ucap James di seberang telepon. “Kita ini keluarga. Apapun yang terjadi. Apapun masalahmu dengan Pamela dan Jacob, kuharap tidak membuat kita terpisah sebagai keluarga.” Jonathan menghela nafas panjang. Satu hal yang paling dibencinya adalah berada di rumahnya dan mengenang berbagai kenangan buruk masa kecilnya. “Entahlah, James, Aku banyak kerjaan.” “Meskipun di hari libur?” Jonathan memaki dalam hati. Alasan yang buruk sekali. “Kau bisa mengundang temanmu juga, Nath,”bujuk James lagi. “Atau kekasihmu,”James sedikit menyelidik. Jonathan tidak bersuara. Ia tidak ingin berbagi kehidupan pribadi dengan s
Proses persalinan Emily dibantu oleh seorang Widwife ramah bernama Adelle. Emily baru diperbolehkan masuk ke ruang bersalin setelah pembukaan lima. Jonathan mendampingi istrinya selama proses berlangsung.“Ma’am, anda harus berjalan-jalan untuk mempercepat proses kelahiran,” saran Adelle saat bukaan Emily tak kunjung bertambah. Emily telah menjalani serangkaian proses persalinan mulai mencek detak jantung bayi dalam kandungan hingga proses induksi untuk merangsang kontraksi.Jonathan membantu Emily berkeliling rumah sakit. Setelahnya proses induksi kedua kembali dilakukan. Ada beberapa pilihan pain killer yang ditawarkan Midwife untuk mengurangi sakit saat kontraksi dan Emily memilih mandi dengan air hangat. Jonathan dengan sabar mengganti bath tub dengan air hangat agar Emily bisa berendam dengan nyaman. Hampir empat jam hingga kontraksi semakin terasa luar biasa menyakitkan. Proses persalinan berlangsung sekitar satu jam. Jonathan hampir tak kuasa menahan air mata saat bayi mungil
Jonathan mengantar Emily hingga ke dalam apartemen. "Kembalilah bekerja," ucap Emily sembari berjalan menuju kamar. "Aku tidak akan tenang sebelum kamu memaafkan ku. " Jonathan masih membayangi langkah istrinya hingga ke kamar. Emily ingin mengatakan sesuatu yang bisa menenangkan hati Jonathan, tapi entah mengapa lidahnya kelu, moodnya memburuk. "Sayang, " panggil Jonathan meraih pinggang Emily dan merapatkan ke tubuhnya. "bagaimana lagi aku harus menjelaskan, Em? " "Tidak perlu, aku tidak butuh penjelasanmu, aku ingin tidur. " Emily melepaskan tangan Jonathan dengan wajah cemberut. "Jangan begini, Sayang." "Sudah, pergilah." Emily beranjak menuju ranjang dan merebahkan tubuh Jonathan melirik jam tangan sekilas. Waktu tutup supermarket satu jam lagi. Ia bergegas pergi menuju tempat kerjanya. Membantu Thomas hingga waktu tutup toko. Setelah pamit pada Thomas, ia pulang dengan tergesa. Jonathan mandi sebentar sebelum merebahkan tubuh di samping istrinya. Emily ber
Jonathan datang lebih awal hari ini. Antrian panjang tampak di depan pintu masuk supermarket bahkan sebelum toko dibuka. Beberapa personel keamanan bersiap di pintu masuk memastikan pengunjung tetap mematuhi peraturan toko meski hari ini adalah hari khusus, dimana harga hampir semua barang yang ada di supermarket di diskon mulai empat puluh persen. "Kau lihat antrian di depan pintu, Jonathan? " tanya Thomas mengenakan jaket khusus toko. Ia bersiap pergi. "Ya, aku lihat." Jonathan melirik jam dinding. "sepuluh menit lagi, aku akan bersiap. " Jonathan mengenakan jaket yang sama seperti yang dipakai Thomas. Hari ini akan menjadi hari tersibuk sepanjang pekan ini. Meski pengunjung memadati supermarket, tetapi pengaturan yang telah dibuat Thomas membuat antrian tidak terlalu panjang. Area kasir ditambah dua lagi sehingga pengunjung toko bisa dilayani dengan cepat. Tak ada jeda waktu. Waktu makan siang pun dipercepat karena pengunjung tak juga berkurang hingga menjelang mala
Keesokan pagi ditemani Jonathan, Emily menyerahkan sampel urine ke laboratorium klinik sesuai arahan dokter Roberta. Setelah mengantar Emily pulang, Jonathan berangkat menuju tempat kerja. Hari ini hari tersibuk menjelang akhir pekan. Menjelang Black Friday banyak barang baru berdatangan, bertepatan dengan ketidakhadiran Thomas karena sakit. Jonathan menggantikan tugas Thomas sementara waktu. Ia memantau pekerjaan di gudang hingga penataan barang di rak-rak pajangan. Belum lagi beberapa komplain dari pelanggan yang mengomel karena antrian panjang di area kasir. Jonathan berinisiatif menambah area kasir darurat. Saat waktu makan siang, tiba-tiba muncul Claire di ambang pintu ruangan kantor Jonathan. "Hai, apa aku mengganggu? " tanya Claire ceria. Jonathan tersenyum. "Tidak, ada apa Claire? " "Aku hanya ingin mampir. " Jonathan teringat Brianna, Claire tampaknya seumuran dengan Brianna. "Bagaimana kabar Thomas?Apa dia sudah membaik? " Claire mendekat, tanpa diminta ia d
Dua bulan lagi adalah Black Friday. Dikenal dengan hari belanja besar-besaran dengan diskon sangat menarik. Black Friday jatuh pada hari Jumat setelah Thanksgiving di bulan November. Jonathan membuat proposal tentang penawaran menarik khusus di Black Friday. Siang itu sebelum makan siang ia menyerahkan proposal itu pada Thomas. “Aku membuat konsep tentang diskon saat Black Friday,” ucapnya. “Baik, akan kupelajari.” Thomas menerima lembaran kertas itu. “Kau makan siang di luar?” “Tidak, aku membawa bekal.” Jonathan meringis menahan kikuk. “istriku memaksaku membawa bekal untuk berhemat.” Thomas tertawa. Ia menunjukkan wadah bekal makan siangnya. “Tidak usah malu, aku selalu membawa bekal. Ayo makan bersama di sini,”ajak Thomas kemudian. Jonathan menurut. Keduanya makan bersama di meja Thomas saat setengah jam berlalu, terlihat wajah Claire muncul dari balik pintu. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa ketertarikannya saat mendekati Jonathan. “Hai, kudengar dari papa, kau pengganti
Jonathan terpaksa menjual penthousenya dengan harga di bawah pasar, itu dilakukan demi segera mendapatkan uang membayar gaji dan tunjangan pisah karyawan resort. Pihak asuransi properti masih dalam penyelidikan tentang penyebab kebakaran sehingga tidak bisa mengupayakan pencairan asuransi kebakaran dalam waktu dekat.Jonathan meminta James untuk memperkerjakan kembali Simon di Weston dan juga merekomendasikan Mateo untuk bekerja di sana.Jonathan dan Emily melakukan persiapan untuk berangkat ke Manchester setelah sebelumnya berpamitan pada Aldera.“Jaga diri baik-baik, Sayang.” Aldera memeluk Emily dan Jonathan saat keduanya berpamitan pergi“Ibu jaga kesehatan, ya.”Emily mengurai pelukan. “Tolong sampaikan Eden, untuk biaya kuliahnya, akan kutransfer setiap bulan ke rekeningnya seperti biasa, jadi dia tak perlu khawatir.”Aldera mengangguk dengan mata berkaca-kaca.“Jaga Emily, Jonathan.”“Aku janji,” kata Jonathan sebelum keduanya berlalu pergi.Saat tiba di mansion, hanya James d
Jonathan berdiri di depan puing-puing bangunan resort bekas kebakaran. Ia terdiam lama. Emily ingin mendekat dan memberi semangat untuk Jonathan tapi ia enggan untuk mengganggu Jonathan yang tengah merenung. Lelaki itu tangguh. Hanya masalah seperti itu takkan menggoyahkan jiwanya. Emily yakin itu. Jonathan berbalik menghadapnya. Dengan senyum. "Aku sudah mengasuransikan properti ini. Tapi untuk membangunnya kembali butuh waktu lama. " Ia berbicara tidak hanya pada Emily, tapi juga ditujukan pada Lucas. "Dengan berat hati, aku harus menghentikan operasional resort. Aku akan bertanggungjawab memberikan hak kalian sesuai kesepakatan. " Sekarang ia benar-benar berdiri di depan Lucas. Lucas menghormati keputusan Jonathan. Setelah keduanya memberikan briefing singkat pada seluruh karyawan dan memberikan kesempatan untuk berpamitan, Jonathan dan Emily berkendara pulang. "Setelah urusan pembayaran gaji selesai, aku ingin kita pergi ke Manchester atau Wales, " ucap Jonathan saat kedu
Emily dirawat di rumah sakit karena terlalu banyak menghirup asap. Saluran pernapasan nya mengalami iritasi dan peradangan. Dalam kesempatan terakhir, Emily sempat hampir merasa dirinya telah mati. Kilasan kilasan peristiwa asing masuk ke dalam ingatannya dan Emily yakin mungkin inilah saat waktu nya telah berakhir di dunia. Tapi Tuhan masih menginginkan ia hidup. "Emily, kau sudah sadar? " Aldera yang pertama kali menyapanya. Emily mengerjapkan mata, suasana kamar yang serba putih dan bau khas rumah sakit membuatnya pening. "Ibu, apa yang terjadi? " "Kau pingsan saat resort kebakaran. " Emily terkesiap. "Kebakaran? " tanyanya panik. "Bagaimana orang-orang di dalam resort? " "Tak ada korban jiwa, Sayang. " Emily bersyukur dalam hati. "Kai yang membawa mu keluar dari ruangan. " "Kai?"Tiba-tiba ia teringat akan Kai. Juga sesuatu yang terjadi di masa lalu. Jonathan yang meminta maaf atas perbuatan adiknya yang berusaha menceburkan nya ke dalam kolam dan yang berusaha
Kebakaran cepat menyebar dari arah gudang persediaan. Suasana yang sebelumnya sunyi berubah menjadi riuh oleh suara alarm kebakaran dan lalu lalang orang yang panik menuju pintu keluar. Lucas menerima telepon dari keamanan resort tentang beberapa orang yang mencurigakan. "Dua orang cari pelakunya, yang lain segera amankan pengunjung, " perintah Lucas sembari mengeluarkan senjata api dari laci meja kamar tidurnya. Ia bergerak keluar kamar. Sebelumnya ia telah mengkoordinasi staff yang masih bekerja di sif malam untuk melakukan protokol kebakaran. Di luar kamar terlihat Simon dan Kai yang kebingungan mencari sesuatu. "Kau melihat Emily? " tanya Kai panik. Lucas menggeleng. "Kukira dia di kamarnya. " "Tidak ada, aku sudah mencarinya ke sana, " ucap Kai sembari melakukan panggilan telepon. "Aku juga tidak bisa menghubungi Mateo. " "Kau sudah mencarinya di gudang?" tanya Lucas "Gudang sudah terbakar habis, pemadam kebakaran sudah dalam perjalanan ke sini. " "Aku akan m