Share

Cinta sang Mantan Napi
Cinta sang Mantan Napi
Penulis: R. Aliyah

Seorang Pembunuh

PLAK!!!

"Brengs*k! Kau benar-benar pria brengs*k yang kutemui!"

Seorang wanita tiba-tiba datang menghampiri Rey dan menamparnya dengan cukup keras. Tamparan itu membuat pipi Rey terasa panas dan pedih.

"PEMBUNUH! PEMBUNUH!" teriak wanita itu lagi.

"Anda siapa? Kenapa anda tiba-tiba menampar saya?" Rey mengelus pipinya yang sudah tergambar jelas telapak tangan si wanita.

Wanita itu berdecih dan mengepalkan kedua tangannya serta menghembuskan napasnya dengan kasar.

"Lelaki bajing*n, apa hak mu mengambil nyawa Ayahku? Apa kau malaikat pencabut nyawa? Atau jika perlu biarkan aku yang menjadi pencabut nyawamu," teriak wanita bergaun hitam yang bernama Claudya itu yang ternyata anak pak Burhan orang yang sudah mati di tangan Rey.

Claudya terengah-engah mengatur napasnya yang memburu karena luapan amarah.

Mendengar ucapan Claudya Rey hanya terdiam tanpa berani membalasnya apalagi hanya menatap wajah wanita yang berada di hadapannya. Perasaan bersalah menyusup ke dalam dadanya.

"Kau akan mendapatkan balasannya. Hidupmu tidak akan tenang. Apa yang kau tabur itu yang akan kau tuai, BANGS*T!" sumpah serapah keluar dari mulut Claudya seraya menunjukkan jari telunjuk kanannya ke wajah Rey yang masih berdiri diam terpaku di hadapan Claudya.

Sedangkan kedua lengan Claudya sudah dicekal oleh dua orang polisi yang juga hadir di persidangan itu.

Semua orang yang hadir pada persidangan siang itu sama-sama memusatkan perhatian dan pandangan mereka pada Claudya dan Rey. Bu Ainun hanya bisa menangis dengan nasib anak sulungnya.

"Tenang! Tenang! Harap tenang!" ketukan palu Hakim terdengar begitu nyaring untuk menghentikan ulah Claudya yang sudah mengacaukan persidangan.

"Kalau anda tidak bisa tenang, silahkan tinggalkan ruangan ini!" seru Hakim pada Claudya.

"Hukum dia, pak Hakim. Hukuman mati adalah hukuman yang pantas untuk pria pembunuh seperti dia," pekik Claudya seraya menunjuk ke arah Rey.

"Saya mohon hukum dia, pak Hakim ...." suara Claudya mulai melemah. Ia pun luruh ke lantai di mana ia masih jadi pusat perhatian setiap mata yang hadir.

Kedua polisi yang tadi mencekal lengan Claudya kembali mengangkatnya dan mengantarkan ke luar ruang persidangan. Dengan langkah gontai Claudya pun melangkah ke pintu keluar. Bibir kanannya sedikit terangkat.

Tapi, saat satu langkah lagi sebelum sampai ke pintu Claudya menghentikan langkahnya. Ia berbalik badan sontak melemparkan sebuah batu yang berukuran kepalan tangannya yang sudah ia persiapankan di dalam tas selempangnya.

Batu itu mendarat tepat di pelipis Rey. Lemparan batu itu membuat Rey sedikit terhuyung ke belakang karena kaget. Darah segar ke luar dengan deras dari luka di pelipisnya.

Semua orang begitu kaget dengan ulah Claudya yang begitu nekat di depan Hakim. Membuat orang menggelengkan kepala.

"Seret dia keluar!" pekik Hakim yang sudah berdiri seraya menunjuk pintu keluar.

"Rey ... ," lirih bu Ainun. Wanita paruh baya itu hendak mendekati anaknya. Tapi, ia mengurungkan niatnya itu sesaat setelah mendengar suara Hakim yang menunda persidangan selama dua jam.

Rey pun dibawa masuk oleh dua orang polisi yang menjaganya untuk dibawa ke rumah sakit.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya salah satu polisi seraya terus berjalan menuju parkiran mobil.

Rey hanya menganggukkan kepalanya. Jangankan satu batu, ia bahkan rela menerima ribuan batu yang dilemparkan padanya asalkan itu bisa menebus kesalahannya pada keluarga Claudya.

"Wanita itu nekat sekali," ujar polisi yang duduk di sebelah kanan Rey di kursi belakang sopir.

"Saya pantas mendapatkan itu," gumam Rey dengan tatapan sendu menatap ke arah jendela mobil polisi yang sudah melaju yang akan membawanya ke rumah sakit.

"Sepertinya wanita itu nampak tidak asing. Di mana, ya?" batin Rey mencoba mengingat wajah Claudya.

Sementara itu di luar ruang sidang Claudya masih duduk termenung di sana. Bulir bening meluncur tanpa bisa dicegah di pipi mulusnya.

Bu Ainun ke luar dengan dipapah oleh Lora. Saat hendak melewati Claudya bu Ainun menghentikan langkahnya. Perlahan wanita paruh baya itu mendekati Claudya yang masih menundukkan kepalanya.

Bahu gadis itu terlihat naik turun. Bu Ainun menyentuhnya Dan memeluk Claudya dengan erat. Seketika tangis Claudya pecah dalam pelukan bu Ainun. Claudya sangat merindukan kehangatan pelukan seorang ibu.

"Apa salah keluarga kami, Bu? Kenapa dia tega melakukan itu?" lirih Claudya dalam isakannya.

"Maafkan anak ibu, Nak!" ucap bu Ainun sambil mengelus punggung Claudya dengan lembut.

Mendengar hal itu sontak membuat Claudya melepaskan pelukan mereka. Ia menghapus pipinya dengan kasar. Gadis itu tak menyangka jika wanita yang memeluknya adalah ibu dari pembunuh yang sudah melenyapkan nyawa Ayahnya.

"Maaf? Apa dengan kata maaf, nyawa ayah saya akan kembali?" seru Claudya seraya bangkit dari duduknya.

Gadis itu menatap bu Ainun dan Lora secara bergantian. Emosinya kembali membuncah. Napasnya kembali terlihat naik turun. Ia mencoba mengontrol diri karena yang ia hadapi kini wanita tua. Ia tetap harus menghormatinya sekali pun dia wanita yang melahirkan sang pembunuh.

"Kalau memang anak ibu hanya menginginkan harta tapi kenapa harus membunuh dan melukai keluarga saya, Bu." Claudya menjeda ucapannya.

"Apa ibu tahu, hanya mereka yang saya miliki dan saya sayangi setelah saya dan adik kehilangan ibu yang sudah melahirkan kami pergi untuk selamanya."

Claudya berbalik badan. Tangan kanannya memegang dadanya yang terasa sesak. Ia menatap keluar melalui jendela yang berada di hadapannya.

"Sampai kapan pun saya tidak akan bisa memaafkan orang itu dan karma buruk akan terus menghantui seumur hidupnya. Ingat itu!"

Setelah mengatakan itu Claudya melenggang melangkah meninggalkan bu Ainun dan Lora yang kaget dengan sumpah yang baru saja Claudya ucapkan.

Persidangan dilanjutkan setelah dua jam berlalu. Agenda hari ini adalah mendengarkan keterangan dari para saksi-saksi. Yang Rey tak habis pikir, Eman mengaku jika dia lah yang telah melakukan penusukan itu yang mengakibatkan seseorang meninggal dunia.

"TIDAK!" Rey berteriak seraya berdiri memperhatikan Eman.

Yang diperhatikan menggelengkan kepalanya. Pria itu mencoba menahan Rey agar tak salah bicara dan merusak rencananya. Eman tidak mau jika Rey harus dihukum berat.

"Aku rela menggantikan posisimu, Rey," batin Eman sambil memandang iba pada Rey.

"Apa maksud, Anda?" tanya hakim heran dengan ucapan spontan Rey.

"Maaf, pak Hakim." Rey menundukkan kepalanya tanpa berani menatap siapapun.

Rey tak menyangka Eman bisa berbuat demikian. Ia makin merasa bersalah karenanya Eman mau menukar posisi dengannya. Sidang akan dilanjutkan satu minggu kemudian untuk pembacaan vonis untuk Rey dan kawan-kawan. Mereka kembali dibawa ke dalam sel. Untuk sementara mereka berada di dalam satu sel.

"Man, maksud loe tadi apa? Kenapa loe ngomong begitu?" bisik Rey pada Eman karena takut jika ada yang mendengar percakapan mereka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status