“Sekarang pengantinnya sudah siap. Wah...Mbak Adinda cantik sekali. Pasti Mas Ardiaz akan pangling melihatnya,” puji seorang perias pengantin yang membantu menyiapkan Adinda. Tarian jemarinya sudah menyulap Adinda bak ratu sehari. Adinda yang memang aslinya cantik dibuat semakin cantik.Adinda hanya menanggapi pujian itu dengan senyum datar. Dia tak begitu bersemangat menyongsong hari pernikahan karena keadaannya sudah berbeda. Setiap diamnya dipenuhi gelisah dan takut. Keraguan di hati menari-nari tanpa henti.Adinda menatap lekat dirinya di cermin. Binar kebahagiaan tak memancar di sana. Batinnya bermonolog tanpa ada seorang pun yang mampu memahaminya.“Awalnya aku adalah sebuah bunga yang indah tapi berduri. Aku tidak membiarkan seseorang menyentuh apalagi merenggut kelopakku dengan mudah. Tapi apa yang terjadi sekarang? Apakah duriku sudah tidak lagi tajam hingga tak mampu menghalau tangan jahat yang ingin menghancurkan? Oh bahkan sekarang aku hanya seperti setangkai bunga layu ta
Malam itu Adinda mematung di dekat jendela kamarnya. Kini dia sudah tidak lagi tinggal di rumah orang tuanya. Setelah resmi menjadi istri dari Ardiaz, sore harinya setelah acara selesai, Ardiaz langsung memboyong Adinda ke rumah pribadinya. Rumah yang memang disiapkan untuk dihuni mereka berdua.Ardiaz adalah laki-laki yang memiliki pemikiran dewasa. Sejak awal dia bertekad untuk hidup mandiri dan membangun rumah tangganya sendiri. Itu sebabnya dia memilih tinggal terpisah dari orang tua maupun mertuanya.Sebenarnya rencana awal Ardiaz tidak ingin langsung memisahkan Adinda secepat itu dari keluarganya. Namun kini kondisinya sudah berbeda. Dia berpikir keputusan untuk pindah rumah akan lebih baik jika segera dilakukan. Ardiaz tidak mau ada orang lain yang tahu tentang aib sang istri yang dia sembunyikan.Sejak masih berlangsungnya acara pernikahan saja Adinda sudah menunjukkan gelagat yang berbeda. Beban pikiran mungkin tak bisa ditutupinya. Beberapa kali ia mendapati Adinda melamun s
Hidup baru Ardiaz dan Adinda sudah dimulai. Mereka menjalani hari-hari bersama di rumah baru. Sudah satu minggu mereka resmi menjadi suami istri. Tapi sampai saat itu Adinda tetap tak juga memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri untuk menyerahkan diri pada Ardiaz. Semua upaya dia lakukan agar bisa menjadi istri yang baik. Dia menyiapkan segala kebutuhan Ardiaz setiap hari. Hanya saja untuk urusan ranjang, dia masih belum bisa memenuhi. Ardiaz rupanya juga sangat memahami. Setelah penolakan Adinda di malam pertama mereka, Ardiaz tidak pernah meminta hal itu lagi. Membahasnya pun tidak. Ardiaz seolah benar-benar berlapang dada menyikapi ketidak siapan istrinya. Namun sikap Ardiaz itu justru membuat Adinda tidak enak sendiri. Adinda mulai menyadari ada yang tidak normal dalam hubungan pernikahannya. Dia tidak mau ketakutan dan trauma masa lalu mempengaruhi rumah tangganya. Adinda berpikir dia harus berusaha untuk melawan rasa takutnya sendiri dan menjadi istri Ardiaz seutuhnya. “M
Setelah kejadian ketika Adinda menangis histeris malam itu, Ardiaz pun berpikir untuk mulai berkonsultasi dengan dokter atau psikolog. Dia tidak tega membiarkan istrinya terus hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Bukan demi kepentingannya, semua dia lakukan semata demi membuat sang istri bisa hidup normal kembali.Meski begitu Ardiaz tidak bisa memutuskan semuanya sendiri. Bagaimana pun juga dia tidak bisa melakukannya tanpa persetujuan dari Adinda. Oleh karena itu dia pun menyampaikan niatnya pada Adinda ketika mereka hendak sarapan bersama pada suatu pagi.“Setelah kejadian malam itu, aku berpikir untuk membawamu ke rumah sakit,” ujar Ardiaz membuat Adinda menghentikan aktivitasnya yang sibuk menata makanan di meja makan. Adinda menatap lekat pada Ardiaz.“Bagaimana pendapatmu?” imbuh Ardiaz merasa suasana di antara mereka mulai cukup tegang. Ardiaz sadar membicarakan masalah itu harus dilakukan dengan hati-hati agar Adinda tidak tersinggung atau pun salah paham.Adinda hanya diam.
Setelah diberi pemahaman dengan baik, Adinda akhirnya setuju untuk pergi ke rumah sakit. Ardiaz bahkan mengantarnya sendiri untuk berkonsultasi dengan dokter. Adinda menemui salah satu dokter yang bernama Dokter Sylva.Tidak seperti pemeriksaan kesehatan secara umum, masalah yang menyangkut psikis Adinda membuat proses yang dilalui cukup berbeda. Bahkan proses identifikasi justru seperti sesi curhat. Adinda diminta untuk menceritakan kejadian yang memicu traumanya.Adinda tak begitu nyaman jika harus menceritakan kejadian memilukan ketika kehilangan kehormatannya. Apalagi saat itu Ardiaz tepat berada di sampingnya. Dia memikirkan bagaimana perasaan Ardiaz jika mendengar peristiwa yang merenggut kesucian istrinya.Adinda hanya bergeming tak kunjung bicara. Dia justru melirik tak nyaman ke arah suaminya. Rupanya gelagat Adinda dapat dibaca oleh Dokter Sylva. Dengan penuh pengertian dokter itu meminta Ardiaz meninggalkan mereka berdua saja agar Adinda lebih leluasa untuk membuka diri ter
Pertemuan dengan Adinda membuat Alvia merasa nyaman. Bahkan tanpa sungkan dia menceritakan masalah yang sedang ia hadapi pada pertemuan pertama mereka. Setelah perkenalan singkat di koridor rumah sakit, dua perempuan itu berbincang santai sembari duduk di sekitaran taman samping rumah sakit.“Tunanganku mengalami koma karena sebuah kecelakaan. Padahal tadinya kami juga sudah berencana untuk menikah setelah kuliah magisterku selesai. Tapi sekarang entahlah. Aku hanya berharap semoga dia bisa sembuh dan kembali pulih seperti sebelumnya. Aku sangat mencintai dia,” ungkap Alvia menceritakan tentang sosok Rasya.“Aku mengerti kesedihan dan kecemasanmu. Kita doakan saja semoga tunanganmu baik-baik saja. Tapi kalau boleh tahu, apa yang membuatmu begitu bersedih hingga menangis seperti tadi?” tanya Adinda.Entah mengapa Aldinda merasa sangat peduli pada Alvia yang baru saja dia temui. Adinda tahu semua orang datang ke rumah sakit dengan kecemasan masing-masing. Rumah sakit adalah tempat yang
Persetujuan dari Ardiaz membuat Adinda langsung menghubungi kembali Dokter Sylva. Mereka pun mengagendakan proses psikoterapi. Adinda berharap terapi itu bisa menjadi jalan baginya untuk mendapatkan kesembuhan dan bisa hidup normal kembali. Dia merasa tidak enak hati membiarkan Ardiaz terus menunggu kesiapannya.Setelah jadwal ditetapkan, Adinda pun harus sering datang ke rumah sakit. Dia harus membagi waktu antara mengurus rumah, melakukan terapi dan juga pekerjaannya yang mulai habis masa cuti. Adinda memang hanya mengambil cuti pernikahan namun tidak berhenti dari pekerjaannya sebagai marketing bank.Pada suatu hari, Adinda datang untuk menemui Dokter Sylva. Itu adalah sesi terapinya yang pertama. Dia pergi ke rumah sakit tanpa ditemani oleh Ardiaz. Ardiaz sedang sibuk dengan pekerjaannya dan Adinda tidak mau terus menerus merepotkan laki-laki itu dengan kondisinya.Dokter Sylva menyambut hangat kedatangan Adinda. Dia menciptakan suasana yang dapat membuat Adinda menjadi lebih rile
Alvia tercengang mendengar pengakuan Adinda. Dia menatap lekat tubuh perempuan bergamis yang duduk di sampingnya. Memperhatikannya dengan seksama dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dia sangat tidak menyangka perempuan yang tampak baik-baik seperti Adinda ternyata harus kehilangan kehormatannya dengan cara yang tidak pantas.Adinda paham dengan sikap Alvia yang mulai memperhatikannya dengan cara yang tak biasa. Dia hanya tersenyum getir.“Aku tahu kamu pasti sangat terkejut mendengarnya. Tapi memang seperti itulah kebenaranku,” ujar Adinda lemah.Tanpa mengucapkan kata apa pun lagi, Alvia justru merangkul Adinda secara tiba-tiba. Dia bisa mengerti beban berat yang Adinda alami. Apalagi melihat sendiri perempuan itu sampai harus melakukan terapi dengan psikolog. Dia berpikir pasti Adinda sangat tertekan.“Apa suamimu tahu tentang hal ini?” tanya Alvia penasaran mengingat Adinda menuturkan bahwa mereka baru saja menikah.“Iya. Suamiku tahu segalanya. Sebenarnya tragedi itu terjadi men