LOGINArdiaz menatap lekat perempuan bergamis abu-abu yang sedang terisak di hadapannya. Dia sadar butuh keberanian yang besar bagi Adinda untuk mengutarakan kejujuran seburuk itu pada laki-laki yang merupakan calon suaminya.
Ardiaz bisa mengerti ketakutan Adinda. Hanya saja dia tidak menyangka jika ternyata pakaian longgar dan panjang itu bahkan tak mampu melindungi kehormatan calon istrinya. Sesungguhnya tanpa membutuhkan penjelasan dari Adinda, Ardiaz sudah bisa memahami bahwa semua itu terjadi tanpa keinginan dari Adinda sendiri.
Ardiaz sudah cukup mengenal pribadi baik Adinda. Tapi tetap saja kali ini dia ingin mendengar cerita hingga kejadian naas itu menimpa Adinda. Ardiaz pun bertanya dengan hati-hati karena tak ingin semakin menyinggung perasaan Adinda yang jelas sedang terluka.
“Bagaimana semua itu bisa terjadi padamu, Din?” tanya Ardiaz setelah memberikan jeda yang cukup lama bagi Adinda untuk mengurai tangisnya.
“Aku tidak berniat untuk mengkhianatimu dengan sengaja, Mas. Maafkan aku,” jawab Adinda masih setengah tergugu.
“Aku tahu itu, Din. Aku mengenal bagaimana dirimu. Tapi tolong ceritakan siapa orang jahat yang sudah melakukannya padamu dan bagaimana semuanya bisa terjadi,” cecar Ardiaz membuat Adinda memejamkan mata sejenak menahan rasa sesak.
“Rafli. Pelakunya adalah Rafli. Dia adalah mantan kekasihku yang sudah menjebakku hingga terjadi perbuatan terlarang itu,” tutur Adinda.
Perlahan Adinda menceritakan secara runtut perihal pertemuannya dengan Rafli beberapa waktu yang lalu. Pertemuan yang dia landasi dengan niatan baik namun justru menjadi awal mula kehancuran dirinya. Adinda memberitahu bagaimana Rafli menjebaknya ketika bertemu di cafe. Dia tidak sadarkan diri hingga terbangun di sebuah kamar hotel dengan kondisi yang tak kuasa dia jabarkan.
Adinda masih berpikir bahwa orang yang sudah merenggut kehormatannya adalah Rafli. Dia juga mengatakan pada Ardiaz bahwa kini Rafli telah menghilang bak ditelan bumi. Sama sekali tak dapat dihubungi.
“Apa ada dari keluargamu yang tahu tentang masalah ini?” tanya Ardiaz setelah Adinda usai dengan ceritanya. Kepala perempuan itu menggeleng pelan.
“Menurutmu apa aku sanggup memberitahukan hal ini pada mereka? Papa dan mama pasti akan sangat kecewa jika tahu putrinya tidak bisa menjaga diri. Rasanya lebih baik aku mati saja dari pada harus melihat tatapan kecewa mereka, Mas” kata Adinda kembali tak kuasa menahan air mata.
“Lalu alasan apa yang akan kamu katakan pada mereka jika sampai pernikahan kita dibatalkan?”
Pertanyaan Ardiaz membuat Adinda bungkam. Dia kehilangan jawaban. Dia belum berpikir sampai sejauh itu.
Adinda memang sudah menyiapkan diri dengan kemungkinan jika Ardiaz membatalkan pernikahan mereka. Tapi perihal alasan pembatalan yang harus dikatakan pada pihak keluarga, dia sama sekali belum memikirkannya. Tidak mungkin dia berkata jujur bahwa dirinya sudah dinodai.
“Aku akan memikirkannya nanti. Tapi yang pasti aku tidak akan membuat alasan yang membuat kenyataanku terbongkar atau pun yang membuat Mas Ardiaz disalahkan. Aku tetap akan menjaga nama baik Mas Ardiaz dan keluarga,” jawab Adinda.
“Din, apa kamu tidak sadar dengan yang kamu ucapkan?” ujar Ardiaz membuat Adinda menatap heran pada laki-laki itu. Adinda tidak mengerti maksud perkataan Ardiaz. Dia berpikir apakah ada dari kata-katanya yang salah terucap.
“Di tengah masalah besar yang menimpamu, kamu masih berpikir untuk menjaga nama baikku dan keluargaku. Apa yang kamu lakukan ini sudah menjadi cerminan dari salah satu tugas seorang istri.”
“Maksudnya?” tanya Adinda semakin mengerutkan kening.
“Din, aku tahu kamu adalah perempuan yang baik. Entah takdir dan hikmah apa yang ingin Tuhan tunjukkan di balik kejadian buruk ini. Tapi kejujuranmu justru semakin membuatku kagum. Kamu sudah menunjukkan sikap sejati seorang istri. Jadi apalagi yang harus membuatku ragu? Aku tetap akan memilihmu sebagai pendamping hidupku. Fakta ini tidak akan merubah apa pun di antara kita berdua.”
Perkataan Ardiaz tak bisa serta merta dicerna dengan mudah oleh Adinda. Dia tahu Ardiaz memang seorang laki-laki yang baik hati dan bijaksana. Tapi memaklumi hal sebesar itu rasanya bukan sesuatu yang pantas.
“Kamu harus sadar bahwa calon istrimu ini bukanlah Adinda yang dulu, Mas. Keadaanku sudah berbeda,” ujar Adinda tak mau Ardiaz salah mengambil keputusan.
“Aku sadar sepenuhnya, Din. Aku bisa menerima keadaanmu seutuhnya. Aku tidak mengukur cinta dan pernikahan hanya dari kehormatan. Bagiku kamu tetap yang terbaik. Jadi jangan berpikir untuk membuatku meragu. Pernikahan kita tetap akan terlaksana sebagaimana yang seharusnya,” tegas Ardiaz.
Adinda seharusnya bahagia karena Ardiaz sama sekali tidak merubah keputusannya. Ardiaz tidak juga meragukan Adinda. Tapi Adinda justru meragukan dirinya sendiri.
“Aku tidak tahu apakah aku harus bahagia atau tidak karena tak jadi kehilanganmu, Mas. Aku hanya takut tidak bisa menjadi istri yang sempurna untukmu. Kamu berhak mendapatkan perempuan yang jauh lebih baik dan bukannya setangkai bunga layu seperti diriku,” ungkap Adinda.
“Itu benar, Mas. Aku seperti setangkai bunga yang sudah layu bahkan sebelum kamu petik dari pohonnya. Aku sudah tidak berharga lagi, Mas. Rasanya aku tidak pantas mendapatkan cinta dari orang sebaik kamu,” imbuhnya.
“Jangan berkata seperti itu, Din. Jangankan bunga layu, bahkan jika bunga kering pun tetap akan aku gapai jika itu adalah kamu. Percayalah padaku. Perasaanku tidak berubah walau seperti apa pun keadaanmu. Aku menikah untuk mendapatkan pasangan halal yang bisa menjadi rekan sehidup sesurgaku, Din. Bukan hanya untuk mendapatkan pemuas hasrat yang diukur dari kehormatan seseorang. Cintaku padamu suci. Jika memang bunga ini sudah layu, biarlah aku tetap menggapainya untuk kemudian aku bawa dan aku jaga. Niatku tetap tak berubah. Aku ingin menjadikanmu sebagai istriku yang sah.”
Air mata Adinda luruh begitu saja mendengar ungkapan Ardiaz yang maknanya sangat dalam. Sekarang batinnya dihiasi ungkapan syukur. Dia berpikir kebaikan apa yang sudah pernah dia lakukan hingga Tuhan mempertemukannya dengan laki-laki sebaik Ardiaz Alfarezel.
Adinda merasa begitu dicintai. Tak dapat dipungkiri akan sangat mudah bagi Ardiaz untuk meninggalkan Adinda. Ardiaz bisa mencari perempuan lain sebagai penggantinya.
Tapi tidak. Laki-laki itu justru menerima Adinda dengan segala kondisinya. Ardiaz tidak menatap Adinda sebelah mata walau sudah tahu segalanya. Dia bahkan meyakinkan Adinda akan keputusannya untuk tetap melanjutkan rencana pernikahan.
Setelah mendengar penuturan Adinda, keyakinan Ardiaz bukannya goyah namun justru bertambah kuat. Dia merasa seolah ada orang lain yang sengaja ingin merenggut Adinda darinya dengan melakukan cara curang. Ardiaz tentu tidak akan membiarkan hal itu terjadi.
Bagi Ardiaz, Adinda adalah mutiara. Walau berada dalam kubangan lumpur, mutiara tetaplah berharga. Ardiaz tidak ingin sampai kehilangannya. Oleh karena itu dia kemudian mencetuskan sebuah rencana untuk menghalangi perempuan itu direbut oleh siapa pun.
“Bagaimana jika pernikahan kita dipercepat saja?”
Setibanya di rumah sakit, Adinda langsung menemui mertuanya. Hani dan Hairi cukup terkejut dengan kedatangan Adinda yang tiba-tiba. Apalagi mereka melihat Adinda kembali ditemani oleh Rasya. Ada perasaan tak suka yang Hani pendam dalam hatinya ketika melihat menantunya pergi bersama laki-laki lain.“Lho Adinda kok bisa datang ke sini? Sama Pak Ahyan?” sapa Hairi ketika Adinda menyalami mereka.“Iya, Pa. Adin ingin menjenguk Mas Ardiaz. Adin diantar teman,” jawab Adinda.“Bayimu bagaimana, Sayang? Maaf kami belum sempat menjenguknya sama sekali. Lagi pula seharusnya kamu tidak bepergian jauh dalam masa pemulihan seperti ini,” ujar Hani. Dia berusaha untuk menyampingkan rasa tidak sukanya pada Rasya.“Tidak masalah, Ma. Aku juga mengerti kondisinya. Bayiku aku tinggalkan bersama mama di rumah,” jawab Adinda.“Bagaimana keadaan Mas Ardiaz?” tanya Adinda langsung pada intinya.Adinda sudah mendengar semuanya dari penuturan Rasya. Tapi dia ingin mendengar jawaban langsung dari kedua mertua
“Apa kamu sama sekali tidak tahu tentang perkembangan kondisi Ardiaz?” tanya Rasya langsung disambut gelengan cepat oleh Adinda.“Maksudnya setiap hari saya memang mendapat kabar tentang Mas Ardiaz dari keluarga mertua saya. Tapi sejujurnya saya merasa ada yang aneh dan sedang mereka sembunyikan dari saya,” kata Adinda.Rasya tampak menghela napas sejenak. Dia sudah menebak jika pihak keluarga tidak memberitahu Adinda dengan jujur. Dia bisa maklum karena mungkin kondisi Adinda masih dalam proses pemulihan pasca melahirkan.“Jadi kamu tidak tahu kalau Ardiaz akan dipindahkan ke rumah sakit di luar negeri?”“Apa?” ujar Adinda jelas merasa syok. Dia tidak pernah mendengar apa pun tentang hal itu.Rasya mengerti kebingungan di wajah Adinda. Dia pun menjelaskan seperti informasi yang dia dapat dari orang suruhannya. Ardiaz sudah dioperasi berkali-kali namun belum juga menunjukkan perkembangan yang signifikan. Dokter di rumah sakit itu sudah angkat tangan dan memberi rujukan agar Ardiaz dip
“Mas Rasya pasti hanya bercanda. Semua itu tidak mungkin benar,” elak Adinda.“Saya serius, Adinda. Saya adalah ayah kandung dari bayi ini,” tegas Rasya. Dia sudah tahu bahwa Adinda tidak akan percaya begitu saja dengan perkataannya.“Tidak, Mas. Mohon maaf jika kesannya ini terlalu vulgar. Tapi saya tidak pernah tidur dengan Mas Rasya jadi bagaimana mungkin semua ini bisa terjadi. Mengenai anak ini, mungkin Mas Rasya tahu dari Alvia kalau dia bukanlah anak kandung saya dengan Mas Ardiaz. Tapi saya tahu betul siapa laki-laki yang sudah menjebak dan menodai saya pada malam itu,” ucap Adinda dengan nada bergetar pada ujung kalimatnya. Hatinya masih terasa nyeri setiap kali mengingat malam naas yang dia alami.“Hotel Gardenia kamar nomor 304.”“Apa? Kenapa Mas Rasya bisa tahu tempat itu?” ujar Adinda dengan perasaan yang semakin melesak tak karuan.“Karena saya adalah pelakunya, Adinda. Saya yang sudah merenggut kesucianmu malam itu,” jawab Rasya mengakui segala rahasia dan beban yang se
Doa-doa keluarga dan orang tercinta seolah tak bekerja. Hari demi hari kondisi Ardiaz semakin memburuk dan menunjukkan penurunan. Orang tuanya khawatir berkepanjangan. Kondisi genting itu menyebabkan mereka tidak terlalu peduli pada Adinda dan bayinya yang baru saja dilahirkan.Perasaan Adinda pun tak jauh berbeda. Dia dan bayinya sudah dipulangkan dari rumah sakit. Tapi setiap hari pikirannya hanya tertuju pada Ardiaz. Dia sedikit mengalami kesulitan menghadapi peran sebagai ibu baru tanpa adanya sang suami di sisinya.Adinda sangat butuh dukungan. Hal itu membuatnya semakin merindukan Ardiaz. Untung saja Adinda pulang ke rumah orang tuanya sehingga ada ayah ibu yang membantunya bergantian mengurus si kecil. Bahkan anak itu belum juga diberi nama karena Adinda tetap teguh masih ingin menunggu Ardiaz.Adinda belum diizinkan pergi jauh untuk menjenguk Ardiaz secara langsung. Dia masih dalam proses pemulihan setelah melahirkan. Apalagi bayinya juga tidak bisa ditinggalkan dalam waktu ya
Adinda hanya saling pandangan Salma. Mereka cukup terkejut dengan permintaan Rasya yang ingin mengadzani anak pertama Adinda. Hening untuk beberapa saat. Tapi Salma langsung mengkondisikan situasi agar tidak terlalu canggung lebih lama.“Silahkan saja, Nak Rasya. Lagi pula di sini tidak ada laki-laki lain yang bisa mengadzani si kecil,” ujar Salma memperbolehkan. Rasya tampak tersenyum senang. Dia melakukan peran pertamanya sebagai ayah kandung si bayi walau dua perempuan di hadapannya sama sekali tidak mengetahui.Adinda turut mendengarkan lantunan adzan dari Rasya. Meski bacaannya juga tak semerdu dan sebagus Ardiaz. Hati Adinda kembali terasa pilu mengingat kondisi suaminya. Dia benar-benar melahirkan tanpa didampingi oleh Ardiaz.Hati Adinda sedih karena bukan Ardiaz yang pertama kali menggendong dan mengadzani anak mereka. Tapi semua itu justru dilakukan oleh orang lain yang menurut Adinda tidak memiliki hubungan apa-apa. Sebenarnya Adinda merasa keberatan dengan izin yang diberi
Sudah tiga hari Adinda berada di rumah orang tuanya. Hampir setiap lima kali sehari dia menghubungi mertuanya untuk bertanya perkembangan kondisi Ardiaz. Dia terlalu fokus memikirkan kondisi suaminya hingga melupakan keadaannya sendiri yang sudah mendekati waktu persalinan.Hari itu rencananya orang tua Adinda akan pergi menjenguk Ardiaz sebab mereka memang belum berkunjung sama sekali. Lokasi rumah sakit yang masih termasuk daerah luar kota menyulitkan mereka untuk pulang pergi. Sebenarnya Adinda ingin ikut, tapi sejak pagi badannya terasa kurang sehat. Akhirnya dia pasrah tetap di rumah.Hanya Ahyan yang akan pergi ke sana. Sementara Salma akan tetap di rumah menemani putrinya. Mereka tidak bisa meninggalkan Adinda sendirian. Salma hanya menitipkan salam dan permohonan maafnya untuk keluarga besan.Sejak habis subuh Adinda merasa sakit pinggang. Salma yang tahu keadaan itu menduga sebagai tanda-tanda kelahiran yang semakin dekat. Dia pun sibuk memasak dan memaksa putrinya untuk mak







