LOGIN“Sudah dong, Evan ….” Siska merengek pelan. “Lanjutkan,” pintah Evan seraya tersenyum miring. Siska dan Evan berada disofa. Posisi Evan sedang tengkurap sedangkan kakinya sedang berada di atas paha Siska. Siska dihukum memijat Evan, dimulai dari kepala hingga kaki. Kegiatan yang tampak sepele, namun melelahkan itu telah berlangsung selama satu jam. “Menyebalkan!” Siska memukul keras betis Evan, tetapi pria itu justru menyukainya. “Kalau saja aku tidak tahu kalau sikap posesifmu itu karena keluargamu, aku akan berpikir kalau kau itu sangat mencintaiku,” oceh Siska lebih kepada nada menggerutu tidak jelas. Tangannya masih terus memijat. “Buang jauh-jauh pikiranmu itu.” Evan membantah dengan cepat. Matanya masih terpejam. Seharusnya ia sudah tidur sejak tadi, tetapi istrinya yang super cerewet itu tak henti-hentinya bertanya. Ada saja pertanyaan yang terlontar dari bibir kecilnya. Meski begitu, entah kenapa Evan justru melayaninya, ia merasa sedikit terhibur. Bibir Siska mengerucut
“Kak Evan, I miss you!”Seorang gadis berlari ke arah Evan dan langsung memeluknya erat.Evan tersenyum, membalas pelukan itu. Tangannya bahkan terangkat mengusap rambut gadis tersebut dengan lembut, gerakan yang begitu natural, seolah sudah sering ia lakukan.Interaksi itu tak luput dari pandangan Siska. Namun, ia hanya mampu terdiam.‘Dia ternyata bisa selembut itu.’“Hem, Harvia,” panggil Helena. “Tidak sopan, ada istri Kak Evan di sini,” tegurnya lembut namun tegas.Gadis berusia dua puluh tahun itu akhirnya melerai pelukannya, meski wajahnya tampak cemberut. Ia menoleh ke arah Siska yang berdiri tidak jauh dari mereka.“Bibi, Via kan kangen dengan Kak Evan,” keluhnya manja, lalu kembali memeluk Evan dari samping.“Harvia,” tegur Helena lagi, kali ini dengan nada yang lebih serius.“Biarkan saja, Ma. Dia memang selalu seperti ini,” ujar Evan membela. Sikap itu membuat Harvia tersenyum lebar, puas.“Evan! Kau selalu saja memanjakannya,” Helena mendesah kesal. Setelah itu, ia memuta
Evan asyik berbincang dengan Fatin, namun begitu mendengar suara benturan dan melihat siapa disana, Evan segera meminta maaf kepada Fatin karena harus pergi. Langkahnya tergesa-gesa menuju ke arah suara baru saja.Siska buru-buru mengambil kopernya yang terjatuh. “Maaf, aku tidak senga–” Ucapan Siska terpotong saat netranya menatap sosok yang ia tabrak. “Kau –”Siska tertunduk, mundur selangkah. “Maaf, Pak Vero. Aku benar-benar tidak sengaja.” Siska hampir saja terjatuh karena tidak bisa mengimbangi tubuhnya, beruntung Evan datang dan langsung menahan tubuhnya. Siska menoleh. “Evan.” Jantungnya berdebar. ‘Ku harap dia tidak salah paham,” monolog Siska didalam hati. 'Apa dia begitu gugup bertemu Vero?’ Evan berdalih didalam hati. Evan menatap Siska dengan tajam, raut wajahnya tampak dingin. Genggaman di lengan Siska semakin menguat, membuat Siska meringis pelan. Sangat berbeda dengan Vero yang tampak santai. Bahkan pria itu menampilkan senyum tipis. “Kalian mau kemana? Honeymo
Dua hari telah berlalu. Evan dan Siska belum pernah bertemu sejak malam itu. Evan sengaja pulang larut ketika Siska telah terlelap dan bangun saat Siska sudah berangkat bekerja.“Sebenarnya apa salahku?” gumam Siska sambil menyendok sarapannya dengan kasar.Pagi tadi ia sempat memastikan apakah Evan pulang, dan hasilnya nihil. Untuk itu, Siska memilih memesan bubur ayam dan memakannya sendiri.Siska menghela napas panjang. Nafsu makannya hilang seketika. Ia bersandar di kursi meja makan, pikirannya kembali pada ucapan Evan malam itu. Apa pria itu sebegitu tidak sukanya jika Siska bertanya perihal dirinya?“Aku hanya ingin mengenalnya,” lirih Siska. “Tapi sepertinya dia tidak pernah berpikir ke arah sana.”Entah kenapa, hatinya terasa sedikit sakit menerima penolakan secara terang-terangan seperti itu.Namun, bukan Siska namanya jika mudah menyerah. Ia menegakkan duduknya, mengatur napas.“Aku harus bisa dekat dengannya. Sekalipun ia menolakku, aku tidak akan berhenti. Kecuali …” Siska
Evan duduk diam di dalam mobilnya. Pikirannya melayang-layang, tak menentu.“Sialan!” umpatnya kasar.Sudah beberapa kali tangannya menghantam setir di depannya. Dadanya terasa panas, pikirannya kacau. Siang tadi, entah kenapa, ia benar-benar terusik saat semua karyawannya terang-terangan memuji foto Siska.‘Kau tidak menyukai Siska. Harusnya kau tidak terpengaruh. Mau orang-orang memujinya, menyukainya,itu bukan urusanmu. Lalu untuk apa kau uring-uringan seperti ini?’Ucapan Edgar masih jelas terngiang di kepalanya. Evan segera menggeleng, seolah membantah semua itu.“Siapa juga yang marah karena hal sepele begitu?” sangkalnya cepat. Suaranya menggema di dalam mobil. “Lagipula, Siska juga salah. Untuk apa dia mengunggah foto seksi seperti itu? Kalau keluargaku melihatnya, bagaimana?”Ia mendengus pelan.Ya, Evan meyakinkan dirinya sendiri bahwa itulah alasan kemarahannya.Tak ingin berlama-lama dengan pikirannya sendiri, Evan akhirnya turun dari mobil dan melangkah menuju apartemenny
Bab 12 – Fotogenik “Ya Allah, lelahnya.” Siska mengeluh seraya melemparkan tubuhnya ke sofa. Bersyukur, ayahnya masih memiliki secuil hati nurani untuk memberikan fasilitas sederhana di ruangan kerjanya itu.Sudah setengah hari ia berada di antara tumpukan kain, mendengarkan suara mesin jahit yang membuat telinganya terasa penuh dan kepalanya berdenyut pelan.Siska menarik napas panjang, menenangkan diri, lalu bangkit untuk mengambil jus buah yang tersisa di lemari pendingin. Ia kembali ke sofa, membuka ponselnya, dan langsung masuk ke aplikasi Inst4gr4m.“Sudah lama aku tidak update. Followers-ku masih sayang nggak, ya?” gumamnya. Jantungnya berdebar.Sejak insiden malam itu, Siska belum pernah mengunggah apa pun. Malam itu, hanya kata maaf yang sempat ia unggah di story, meski sebenarnya, tidak banyak yang tahu tentang skandal tersebut. Keluarga Evan dan Vero bertindak cepat, menutup isu itu dengan topik lain yang lebih menarik.“Aku update saja,” akhirnya ia memutuskan. Ia rindu i







