Fahran melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi membelah jalan kota jakarta yang akrab dengan kemacetan. Tujuannya kali ini adalah sebuah rumah yang terletak di wilayah menteng. Daerah yang dekat dengan perkantoran dan segitiga emas. Pria beralis tebal itu mengumpat dalam hati karena jalanan mulai tidak lancar.
Di tengah kemacetan Farhan mencoba menghubungi seseorang dengan ponselnya."Hallo, Erika kamu di mana?""Hai, Sayang. Aku baru sampai rumah," sahut Erika manja dari seberang sana."Tunggu di situ. Jangan ke mana-mana, sebentar lagi aku datang!" tegas Farhan singkat."Benarkah? So sweet bangeeet. Akhirnya kamu datang juga. Aku tau kamu pasti kangen sama aku, kan, Sayang?" Erika terpekik saking senangnya.Farhan menutup ponselnya secara sepihak. Dia kembali menambah kecepatan mobilnya saat jalan raya mulai lancar. Hingga Farhan berhenti di depan sebuah rumah mewah berlantai dua. Rumah yang dulu dia beli untuk Erika setahun yang lalu, tepatnya beberapa hari sebelum dia pulang kampung untuk menikah dengan Nadira. Farhan terpaksa membelikan rumah seharga milyaran itu agar Erika mau mengizinkannya menikah dan menunggunya hingga dirinya menceraikan Nadira. Begitu besar cinta Farhan pada Erika saat itu. Tanpa peduli hartanya berkurang, demi Erika. Cinta pertamanya yang sudah berjalan hingga tiga tahun lamanya.Seorang security membukakan pintu gerbang. Mobil Farhan masuk ke halaman rumah yang tidak terlalu banyak tanaman. Mobil Erika terparkir sempurna di bagasi yang terbuka."Farhan ... terima kasih, akhirnya kamu datang!" Erika menghambur ke dada bidang Farhan dan memeluk pria itu dengan penuh kasih.Farhan bergeming. Matanya menatap nanar pada Erika. Perlahan dia mengurai pelukan. Mundur dan sedikit menjauh.Erika mengerutkan dahinya, tak mengerti dengan sikap Farhan. Tak biasanya Farhan seperti ini. Farhan selalu memeluknya hangat. Bahkan tak pernah melepasnya sebelum Erika berontak."Ada apa denganmu, Farhan? Apa kamu sudah mulai menyukai gadis kampung itu?""Diaaam! Jangan pernah hina istriku lagi!"Erika terlonjak mendengar bentakan Farhan. Wanita berambut sebahu itu terheran. Bukankah Farhan sendiri yang menyematkan panggilan gadis kampung pada istrinya itu? Wanita yang memang berasal dari kampung dan tiba-tiba tinggal dikota sejak menikah dengan Farhan. Itu yang selalu dia dengar dari kekasihnya itu."Farhan, kamu kenapa? Apa yang merubahmu?" Suara Erika mulai parau menahan tangis. Farhan tak pernah membentaknya seperti ini."Apa yang kamu beli sampai menguras uang di rekeningku, Erika?" Farhan menatap dingin pada wanita yang saat ini memakai celana pendek dengan kaos tak berlengan."Kenapa kamu mempersoalkan uangmu, Sayang? Bukankah uangmu banyak? Kamu tidak akan jatuh miskin jika aku berbelanja satu mall sekalipun." Tangan Erika mulai travelling ke dada dan punggung Farhan. Walau dia tau Farhan akan menolaknya secara halusErika tak habis pikir dengan kekasihnya itu. Farhan selalu memberinya apapun yang dia minta. Namun pria itu tak pernah menyentuh Erika. Padahal Erika sangat ingin memberikan kehormatannya yang selama ini dia jaga, khusus untuk Farhan seorang. Namun Farhan selalu menolak secara halus.Erika pun sangat kecewa, saat mengetahui Nadira hamil. Farhan tak pernah mau menyentuhnya, tapi kenapa dengan Nadira sampai hamil. Bukankah kekasihnya itu pernah bilang kalau dia tak mencintai Nadira?"Jawab aku, Erika! Apa yang kamu beli?"Erika terhenyak saat Farhan menepis tangannya"A-aku membeli perhiasan," lrihnya.Farhan menghempas napas kasar."Dengar, Erika! Jika kamu terus-terusan seperti ini, aku bisa bangkrut!""T-tapi ...." Erika terduduk di sofa.. Kemudian manangis tergugu."Seadainya aku adalah istrimu. Pasti kamu tidak akan mengatakan hal ini padaku." Erika tertunduk dengan wajah sedih. Air matanya terus mengalir."Andai saja waktu itu kamu tidak memintaku untuk menunggu, mungkin aku tidak akan merasa tersiksa seperti ini, Farhan. Aku menunggu sesuatu yang tak pasti. Kamu bilang tak mencintai wanita itu. Tapi mengapa dia bisa sampai hamil? Kenapa Farhan ... Kenapaa ... jawab aku!" Erika terus menjerit."Apa kamu tau, betapa sakitnya aku membayangkanmu setiap malam tidur bersama wanita itu? Apa kamu tau, setiap hari aku sendirian di rumah ini mengharapkan kedatanganmu?"Erika terus meracau dengan tangisnya yang menyayat hati.Farhan mematung berdiri menatap Erika. Ya, ini memang salahnya. Dia yang dulu meminta Erika agar menunggunya. Dia yang berjanji akan menikahi Erika setelah bercerai dengan Nadira.Kini Farhan merasa sangat Iba pada Erika. Emosi wanita ini memang meledak-ledak sejak dia menikah dengan Nadira. Erika banyak berubah sejak dia menerima perjodohan itu. Erika berubah karena rasa cemburunya.Dulu Erika adalah wanita yang penurut dan selalu membuatnya nyaman. Hingga Farhan sangat mencintainya sepenuh hati.Namun entah ada apa dengan dirinya kini. Rasa pada Erika sudah tak lagi sama. Semua semakin hambar dan tak berwarna.Apalagi sejak kehadiran Nafa, buah hatinya. Farhan merasa hidupnya lebih berharga dan berguna di dekat anak dan istrinya.Pandangan Farhan kembali pada Erika yang masih terisak dengan sisa-sisa tangisannya. Rasa bersalah pada wanita di hadapannya kembali merajai hatinya.Perlahan Farhan mendekati Erika. Pria bertubuh tinggi itu duduk di samping Erika. Farhan memiringkan tubuhnya hingga mereka kini saling berhadapan.Erika menatap Farhan dengan wajah memelas membuat pria itu semakin merasa bersalah. Namun hanya rasa iba yang kini dia rasakan. Dia tak ingin membohongi dirinya sendiri."Maafkan Aku, Erika. Aku telah menyebabkan kamu begini. Aku harap kamu bisa mengerti dengan posisiku saat ini."Erika kembali membesarkan matanya."Apa maksudmu?" Erika kembali menahan gejolak emosi yang tadi sudah mereda. Dadanya kembali terasa sesak."Aku akan memikirkan kembali hubungan kita ini." tegas Farhan seraya berdiri."Farhan, kamu tidak akan meninggalkan aku, bukan?" Tiba-tiba Erika ikut berdiri. Dia sama sekali tak menyangka Farhan akan berkata demikian. Dia mengira Farhan akan membujuknya mati-matian seperti yang sudah-sudah."Sebaiknya kamu jangan terlalu berharap, Erika. Entah kenapa ada sesuatu yang membuatku bimbang untuk menceraikan Nadira. Permisi!" Dada Erika bergemuruh mendengar ucapan Farhan barusan. Hawa panas mengalir di sekujur tubuhnya. Erika tidak akan pernah terima jika Farhan sampai meninggalkannya.Erika menatap punggung tegap milik Farhan yang mulai menghilang di balik pintu. Wanita itu semakin geram."Dasar perempuan kampungan! Mulai main-main dia denganku. Awas, Nadira! Aku akan membuat kalian berpisah secepatnya!""Aku ingin kita menikah." Erika yang sedang duduk santai di sofa terkejut saat Boyka tiba-tiba datang menghampirinya. Ia menatap pria itu dengan mata membesar."A-apa?"Boyka duduk di hadapan Erika dengan raut wajah tenang. Menghela napas panjang. Memandang wajah Erika sesaat, lalu kembali bicara."Aku ingin kita menikah setelah anak kita lahir." Ia mencondongkan tubuhnya, lalu menyentuh wajah Erika dengan lembut. Rasa hangat mengalir pada keduanya saat mereka bersentuhan.Erika berdebar, ia menggigit bibirnya, pikirannya masih penuh dengan keraguan. " Tapi, aku nggak yakin ...""Kenapa?" Boyka menatapnya serius. Ia meraih jemari Erika dan menggenggamnya erat. "Aku sudah membuktikan bahwa aku selalu ada di sini untukmu. Aku sudah menyelamatkanmu dari penjara. Aku sudah berjanji akan menjagamu dan anak kita." Perlahan satu tangan kekar Boyka mengelus perut Erika.Erika menunduk. Dalam beberapa minggu terakhir, ia melihat sisi lain dari Boyka. Pria itu memang kasar dan keras kepala,
"Erika?" Suara Tiara bergetar. Tubuhnya sedikit mundur ketika melihat Erika berdiri di hadapannya dengan senyum penuh arti. Ia ingin berteriak, tapi tenggorokannya seakan tercekat. Padahal saat ini ia hanya dipisahkan oleh layar yang berada di belakang pelaminan. Erika berjalan mendekat dengan santai, tangannya menggenggam clutch bag kecil berwarna perak. "Kamu tampak cantik sekali, Tiara," katanya dengan nada lembut yang mencurigakan. Tiara menelan ludah. "Apa yang kamu lakukan di sini?" Erika tertawa kecil. "Kenapa? Aku hanya ingin mengucapkan selamat. Bagaimanapun juga, aku pernah menjadi bagian dari hidup Neil, kan?" Tiara mengamati wanita di hadapannya dengan hati-hati. Ada sesuatu yang tidak beres. Erika tidak mungkin datang hanya untuk memberikan ucapan selamat. "Erika, kalau kamu datang hanya untuk membuat masalah, lebih baik kamu pergi." Erika mengangkat bahu. "Aku? Membuat masalah? Tentu saja tidak." Ia merogoh clutch bag-nya dan sesuatu berkilat keluar dari dalamny
"Semuanya sudah siap, Pak. Hotel sudah mengatur dekorasi sesuai permintaan, tamu undangan juga sudah konfirmasi kehadiran." Asisten Neil melaporkan persiapan pernikahan dengan detail. Sambil berjalan memasuki kantornya, Neil mengangguk puas. "Bagus. Pastikan semuanya berjalan lancar. Aku tidak mau ada kendala sedikit pun." Asistennya mengangguk, lalu keluar dari ruangan. Neil menghela napas dan bersandar di kursinya. Besok adalah hari yang sangat penting dalam hidupnya. Pernikahan resminya dengan Tiara, sesuatu yang sudah lama ia inginkan. Meski ini resepsi pernikahan keduanya, tapi rasanya seperti yang pertama baginya Namun, ada perasaan tidak nyaman yang mengganjal di hatinya. Entah mengapa, ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Mungkin karena banyak kejadian menegangkan belakangan ini, hingga Neil merasa khawatir.Di rumah mewah keluarga Neil, Helda duduk di ruang tamu sambil menyesap teh hangatnya. Josh baru saja masuk setelah berbicara dengan panitia pernikahan di hotel.
"Neil!" Helda berteriak marah melihat putranya masuk ke mobil. Neil tidak peduli dengan ancamannya. Rahangnya mengatup keras, dan tangannya mengepal. Josh yang sejak tadi memperhatikan dari tangga depan akhirnya melangkah mendekat. Ia melihat emosi Helda makin memuncak. "Cukup, Helda," ujar Josh tenang. Helda menoleh tajam. "Kamu lihat sendiri kan? Anakmu membantahku demi keluarga perempuan itu!" Josh menghela napas. "Kamu yang memaksanya untuk memilih." "Aku hanya ingin yang terbaik untuknya, Josh!" Helda membalas cepat. Josh menatap istrinya dalam. "Helda, aku tahu kamu keras kepala. Tapi sejujurnya, aku memang tidak setuju dengan acara besar ini sejak awal. Aku khawatir hal seperti ini akan terjadi." Helda melipat tangan di dada. "Jadi, kamu pikir aku yang salah?" Josh mengangguk pelan. "Bukan hanya kamu. Aku juga sempat meragukan keluarga Tiara. Tapi, aku sudah menyelidiki mereka sejak awal." Helda mengernyit. "Apa maksudmu?" Josh menarik napas dalam sebelum menjelaska
"Tidak perlu!" Suara Helda terdengar ketus, membuat Tiara yang berdiri di balik pintu ruang tengah menahan napas. Hatinya mencelos seketika. "Mami, mereka adalah keluarganya. Mereka harus ada di acara ini." Neil mencoba berbicara lebih pelan, tapi nada suaranya tetap tegas. Tiara tahu suaminya tidak suka berdebat soal hal seperti ini. "Mami tidak mau tamu-tamu kita nanti tahu kalau istrimu itu berasal dari kampung." Tiara membekap mulutnya. Kata-kata Helda terasa seperti pukulan keras di dadanya. "Mami! Tolong jangan bicara begitu. Apa hubungannya dengan tamu-tamu kita?" "Neil, dengarkan Mami!" suara Helda terdengar lebih tegas. "Kamu adalah pengusaha besar, CEO perusahaan besar. Bagaimana jika orang-orang tahu kalau istrimu hanyalah anak dari keluarga biasa yang tinggal di desa? Itu bisa merusak reputasimu!" "Astaga! Mami masih memikirkan gengsi? Ini pernikahan, bukan acara bisnis!" Neil terdengar semakin kesal. "Mami tidak mau tahu! Pokoknya mereka tidak perlu datang!" Held
"Selamat siang Bu Erika, saya ingin bertemu. Apa ibu bisa siang ini?" Suara pengacara Neil yang ia kenali terdengar di ujung telepon. Erika mengernyit. Kira-kira ada apa tiba-tiba pengacara Neil menghubunginya dan meminta bertemu. "Untuk apa?" tanyanya dengan nada waspada. "Ada sesuatu yang harus saya serahkan pada Ibu. Apa kita bisa bertemu di kafe dekat kantor?" Erika berpikir sejenak. Ada rasa penasaran dalam hatinya. "Baiklah, aku akan datang," sahutnya singkat. Setelah menutup telepon, ia menoleh ke arah Boyka yang duduk di sofa yang sedang memainkan ponselnya dengan santai. "Aku mau pergi sebentar," ujar Erika sambil mengambil tasnya. Boyka meliriknya sekilas. "Mau ke mana?" "Bukan urusanmu." Boyka terkekeh. "Oke, oke, tapi jangan lama-lama, nanti aku rindu." Erika tidak menanggapi dan segera pergi. Namun, tanpa ia sadari, Boyka menatap punggungnya penuh curiga, lalu dengan santai memasukkan ponselnya ke dalam saku dan lantas berdiri. Dengan naik taksi online Erika m