"Apa yang kamu janjikan sama dia? Bukankah dulu kamu bilang sudah putus dengannya?""Maafkan aku, Pa." Jelas Barra menutupi kenyataan yang sebenarnya. Bilang putus tapi dirinya tidak pernah putus dengan Cintiara. Bahkan setelah menikah pun mereka masih tetap berhubungan. Mereka juga telah merencanakan untuk menikah."Maaf? Kamu pikir semuanya bisa diselesaikan hanya dengan kata maaf. Kalau kata maaf saja sudah cukup, penjara nggak akan ada narapidana. Sekarang jujur, apa yang telah kalian perbuat hingga membuat wanita itu masih juga mengejarmu? Kamu telah menidurinya?"Barra mengangkat wajah. Kaget dengan ucapan sang papa. "Nggak, Pa. Sumpah aku nggak pernah melakukan itu.""Berciuman?"Barra diam.Pak Adibrata menghela nafas panjang. "Barra, Barra. Papa jodohin kamu dengan Delia karena papa dan mamamu tahu, dia gadis baik-baik dan sudah hampir pulih dari traumanya. Nggak ada orang tua yang menjerumuskan anaknya, apalagi soal pasangan hidup. Soal hutang budi pun nggak akan menggelapka
Hawa dingin kian menusuk kulit bersamaan dengan turunnya gerimis sore itu. Gerimis pertama di bulan Oktober. Barra gelisah berdiri di balkon lantai dua. Di kamar yang pernah ditempatinya bersama Delia ketika liburan waktu itu.Pemandangan di kejauhan tak kelihatan karena tebalnya kabut yang menyelimuti. Sepi, hanya bunyi gerimis yang terdengar bak harmoni mengiringi sore kelabu. Sudah empat jam lamanya Barra menunggu, tapi Delia belum juga muncul. Pria itu masih berpikir, mungkin istrinya masih jalan-jalan dan baru ke villa saat menjelang malam.Barra ke luar kamar dan menuruni tangga. Di dapur tampak Pak Marwan sedang membuatkan minum untuknya. Pria yang sebenarnya heran dengan sikap Barra itu hanya tersenyum, tidak berani bertanya banyak hal. Tugasnya hanya menjaga vila, bukan ikut campur urusan keluarga majikannya. "Mas Barra, saya bikinkan jahe panas biar anget di badan," ucap Pak Marwan sambil mengaduk air panas yang sudah dikasih jahe geprek di gelas."Saya jadi ngrepotin, Bapa
Begitu mudahnya kata sabar diucapkan karena luka tidak pernah mengeluarkan suara. Tapi itulah kata penenang yang familiar diucapkan banyak orang.Mak Ni menyelipkan rambut di belakang telinga Delia. "Mbak Delia nggak hanya cantik, tapi juga cerdas. Suatu hari nanti, Allah akan membayar kesakitan ini dengan nikmat yang indah.""Saya yang salah, Mak. Harusnya saya mengakhiri pernikahan ini lebih awal lagi setelah tahu ada perempuan lain di antara kami. Saya salah karena masih berusaha merebut hatinya yang sama sekali nggak ada saya di dalamnya. Sikap saya memalukan karena mempertahankan lelaki yang sebenarnya nggak mau hidup bersama saya.""Berusaha mempertahankan pernikahan itu nggak salah, Mbak. Jangan sesali itu. Setidaknya Mbak sudah berusaha memperjuangkan janji pernikahan yang disaksikan oleh Tuhan."Hening. Delia menoleh ke arah gorden kamar saat mendengar bunyi sesuatu. "Sepertinya turun hujan, Mak." "Iya, hawanya udah beda. Alhamdulillah, musim berganti, Mbak.""Hu um."Delia
Dahi Delia mengernyit untuk mengingat siapa lelaki yang menyapanya. Jaket itu, rambut panjangnya, oh Delia ingat. Dia cowok pemilik mobil yang ditumpanginya saat pergi dari apartemen.Cowok itu pindah duduk di bangku dekat Delia, sambil membawa minumannya. Dia tersenyum. Tampaknya memang masih mengingat siapa Delia. "Kamu masih ingat saya?"Delia masih diam."Kamu lupa ya? Tapi saya masih ingat kamu." "Ya, saya ingat," jawab Delia. "Makasih sudah mengantar malam itu."Lelaki itu mengangguk. Kemudian mengulurkan tangan untuk menyalami Delia. "Kenalan dulu, nama saya Xavier.""Delia."Xavier juga menyalami Mak Ni. Dia mengira wanita itu ibunya Delia. "Saya Xavier, Bu.""Hmm, saya Mak Ni. Saya pembantunya Mbak Delia, Mas." Pria modis berambut panjang yang dicepol dengan aksen undercut di sisi samping dan belakang rambut itu tersenyum ramah.Mereka tidak banyak bicara, hanya sesekali cowok itu menoleh pada Delia. Dilihat dari penampilannya, dia bisa menduga kalau Delia bukan berasal dar
"Assalamu'alaikum," sapanya sambil duduk di tepi ranjang."Wa'alaikumsalam. Kamu sudah pulang?" Pertanyaan yang sangat antusias dari Barra."Ya, barusan.""Aku mencarimu di villa. Rupanya kamu nggak ke sana. Kemarin pergi ke mana?""Aku nggak ke villa.""Lalu ke mana?"Delia tidak memberitahu. "Maaf, Mas. Aku mau mandi dulu.""Aku akan datang ke situ.""Aku mau istirahat. Besok baru kita bertemu. Assalamu'alaikum." Tanpa menunggu balasan salam dari Barra, Delia mengakhiri panggilan dan meletakkan ponselnya di atas ranjang. Hatinya mulai tenang sekarang. Memilih memahami diri sendiri saja, membiarkan kehidupan mengalir sebagaimana mestinya. Jika besok harus bertemu, tak mengapa. Memang waktunya untuk bertemu. Karena mau sampai kapan menghindar yang justru tidak akan menyelesaikan permasalahan.Kalau ikutkan kata hati, ada amarah yang masih berkejaran dengan rasa legowo menerima keadaan. Rasa ikhlas itu memang tidak segampang yang diucapkan. Namun ia akan berusaha tetap tegar, supaya o
Cinta yang Kau Bawa PergiPart 30 Perempuan dan Keputusannya"Nggak nyangka kita bertemu di sini," kata Xavier sambil tersenyum senang. Delia menyambut sikap ramah pria muda di sebelahnya. Bukan bersikap genit, bukan untuk membuat Barra cemburu. Dia melakukannya untuk menunjukkan sikap profesionalnya. Yang pasti mereka akan menjadi partner kerja. Xavier sendiri belum tahu kalau Delia adalah putri dari pemilik PT Mahakarya Construction. Yang ia tahu, wanita itu adalah staf dari Pak Feri, pria yang baru dikenalnya beberapa bulan ini.Jujur diakui, Delia memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Bisa menjawab semua pertanyaan Barra dan beberapa sanggahannya. Menjelaskan secara terperinci sambil menyertakan alasannya. Xavier tidak tahu kalau Delia sedang berdebat dengan suaminya sendiri."Bu Delia, rencana pembangunan kantor di lantai dasar apartemen sebaiknya fokus dengan efisiensi penggunaan tempatnya. Yang penting fungsi kantornya," bantah Barra saat Delia setuju dengan konsep desain in
Mobil memasuki Tunjungan Plaza Surabaya ketika suasana benar-benar redup karena hujan deras. Keduanya langsung menuju ke lantai atas, ke Solaria. Mengambil tempat duduk paling pinggir karena hanya tempat itu yang tersisa, soalnya ramai pengunjung di sana sore itu."Kamu mau makan apa?" "Nggak, aku pesan black currant saja.""Beneran nggak mau makan?" tanya Barra sekali lagi.Delia menggeleng. "Aku masih kenyang."Barra pergi memesan minuman. Karena harus pesan dan membayar dulu baru dilayani kalau makan di Solaria."Aku mencarimu ke Malang kemarin." Barra mulai bicara, membuat Delia memasukkan kembali ponsel ke dalam tasnya."Untuk apa mencariku?""Kamu kan istriku."Delia tersenyum simpul. Baru sekarang bilang istri. Empat bulan ini dia malah seperti pihak ketiga di antara hubungan Barra dan Tiara."Malam ini kita pulang ke apartemen," ajak Barra."Aku ke sana hanya untuk mengambil berkas, karena malam ini aku janjian bertemu Mas Samudra."Mendengar nama pria itu disebut, membuat ro
"Aku mau pulang, Mas." Delia berdiri sambil meraih tali tasnya. Barra juga ikut berdiri dan meraih kunci mobilnya di atas meja. "Kuantar!"Sebentar kemudian mereka berkendara membelah malam dan hujan. Di sisi lain, Delia sadar posisinya sebagai istri yang harus taat pada suami. Barra memang salah, tapi sejauh mana kesalahannya, Delia tidak tahu. Apakah mereka pernah berhubungan lebih dari sekedar berpelukan atau sudah ke ranah ranjang? Sekecil apapun kecurangan pasangan, sakitnya memang tak mudah dihilangkan."Kita makan dulu!" Barra membelokkan mobilnya ke sebuah rumah makan ikan bakar. Jarum jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam saat itu. Antara dirinya dan Delia pun belum ada yang mandi. Aroma asap dari bumbu bercampur dengan bau agak hangus ikan yang di bakar menguar ke udara yang basah. Membangkitkan selera setiap perut lapar yang menantikan hidangan.Delia bersemangat untuk menunggu pesanannya di antar. Perutnya memang sudah terasa lapar, makanya tidak menolak saat diajak ma