"Apa perkataanku salah?" tanya Barra penuh selidik.
"Seorang kakak pasti mencintai dan akan melindungi adiknya," jawab Samudra. Dia harus mengendalikan emosi. Jika sampai mengaku, keadaan bisa runyam. Barra bisa menimbulkan masalah baru dengan memanfaatkan pengakuannya. Bisa saja Barra menuduhnya menjadi penyebab kehancuran rumah tangganya dengan Delia. Padahal sejak awal Samudra sudah bisa merasakan kalau hubungan mereka tidak sebaik yang dikira keluarganya. Jika suatu hari nanti dia harus bicara jujur, mesti dipastikan waktunya tepat saat itu."Aku titip adikku.""Seorang suami juga tahu apa yang harus dilakukan pada istrinya," jawab Barra cepat.Samudra menarik napas berat. "Oke, kamu lebih berhak. Tapi jangan buat dia lebih sakit dari sebelumnya. Kamu tidak tahu bagaimana dia berjuang mengatasi trauma."Hening."Aku mengenalmu sudah lama, dokter. Semenjak remaja kita sering bertemu. Sebagai sesama lelaki, aku bisa merasakan bagaimana perasaanmu pada Delia. Bukan perasaan seorang kakak pada adiknya, tapi lebih dari itu."Hanya senyuman manis yang diberikan Samudra untuk lelaki bermuka sinis di hadapannya. Dia tidak perlu menanggapi omongan itu. Yang terpenting sekarang, mengingatkan Barra agar tidak membuat Delia makin tertekan.Soal perasaannya itu tidak penting. Karena seorang kakak tidak mungkin akan menikahi adiknya sendiri. Jika bagi keluarganya pantas, tentu Samudra sudah dijodohkan dengan Delia. Bukankah selama ini dirinya yang berusaha mati-matian memulihkan gadis itu?Bagi Pak Irawan dan Bu Hesti, Samudra tetaplah anak bagi mereka. Sesama anak tentunya tidak akan dinikahkan bukan?Ketenangan yang ditujukan oleh Samudra membuat Barra makin tak nyaman. Usia mereka sama, tapi terlihat sekali kalau Samudra jauh lebih dewasa dari Barra. Padahal Barra memiliki koneksi lebih luas dibandingkan Samudra, dari orang-orang kalangan kelas atas tentunya.Dokter itu hanya disibukkan dengan pasiennya yang berasal dari beberapa kalangan. Semua yang datang karena sakit dan butuh pengobatan. Sementara dirinya, pertemuannya dengan banyak orang karena bisnis. Mereka yang datang rata-rata orang ber-uang dan memiliki kerajaan bisnis yang mengular hingga ke manca negara."Hanya itu kan yang ingin kamu katakan? Aku harus menjaga Delia dan bersikap baik padanya," ucap Barra dengan angkuhnya."Barra, Delia yang tergganggu psikologisnya. Bukan sakit biasa setelah minum obat, istirahat, terus sembuh. Jangan membuatnya makin tertekan dan trauma.""Makasih, kamu sudah mengingatkanku." Barra berdiri dan meninggalkan Samudra sendirian. Melihat sikap Barra seperti itu, membuat Samudra makin yakin kalau Delia tak baik-baik saja di sana.Dirinya, keluarganya, sedaya upaya mengusahakan bagaimana agar Delia lekas pulih. Ketika mendekati sembuh, malah dia dijodohkan dengan lelaki yang belum tentu mencintainya. Tentu perjodohan itu ada tujuannya. Apakah ini paksaan dari pihak keluarga Barra, karena mereka pernah dibantu oleh Pak Irawan? Atau ada tujuan lain? Entahlah.* * *Langkah Barra tergesa-gesa memasuki lift. Sudah jam tujuh lebih lima belas menit. Mamanya berulang kali menelepon, kenapa dirinya dan Delia belum sampai juga. Padahal keluarga besar sedang menunggu.Setelah bertemu dengan Samudra tadi, ia masih menyempatkan diri menjemput Cintiara dan mengantar pulang ke rumahnya. Gadis itu makin posesif saja setelah bertemu dengan Delia. Gadis gila yang dipikirnya biasa-biasa saja, ternyata sangat cantik dan menarik. Kekasih mana yang tidak was-was. Posisinya terancam, tapi apa yang bisa ia lakukan. Selain menunggu Barra melakukan tindakan. Dia tidak bisa memaksa karena tahu juga batasannya.Barra termangu sejenak setelah membuka pintu rumah dan melepaskan sepatunya. Di sofa ruang tamu, Delia sudah menunggu dengan gaun warna ungu lilac sepanjang mata kaki, lengannya sebatas siku, dengan aksen pundak puffy. Menampilkan leher jenjangnya karena rambut yang biasa terurai panjang itu di ikat rapi ke atas. Penampilan yang berbeda, feminine look. Wajahnya tersapu bedak tipis dengan lipglos yang terlihat membasahi bibirnya yang sensual.Delia menatap Barra sekilas. Jemarinya yang saling bertaut dan meremas menunjukkan dia sedang gelisah dan merasa tak nyaman.Dari balik dinding dapur, Mak Ni melihat dua majikannya yang saling adu pandang. Menunggu reaksi Barra saat melihat penampilan istrinya yang berbeda. Tadi memang sengaja, dirinya memaksa Delia untuk berdandan. Memakai satu-satunya gaun yang sempat dibawa Delia dari rumah orang tuanya. "Ketemu mertua harus tampil cantik dan segar, Mbak. Apalagi banyak keluarga yang berkumpul di sana. Tadi mamanya Mbak Delia telepon saya, kalau beliau dan bapak akan hadir juga. Tentunya beliau akan bahagia melihat penampilan putrinya." Mak Ni membujuk. Akhirnya Delia mau juga untuk berdandan.Tanpa bicara apa-apa, Barra segera masuk ke kamar untuk mandi. Tidak lama kemudian keluar memakai hem warna abu-abu dan celana hitam. "Ayo, kita berangkat," ucapnya sambil menyambar kontak mobil yang tadi diletakkannya di meja televisi.Delia mengambil tas tangannya, kemudian tergesa-gesa mengejar langkah panjang Barra menuju lift. Tak ada pegangan tangan, atau hanya sekedar berjalan beriringan.Dalam perjalanan pun mereka hanya saling diam. Barra fokus pada kemudi, sedangkan Delia memandang lalu lintas malam kota Surabaya. Ketika melewati Taman Bungkul, Delia sejenak bernostalgia. Dulu sebelum peristiwa laknat itu terjadi, tiap akhir pekan ia akan ke sana bersama kakak dan teman-temannya. Usianya dengan Melia hanya terpaut dua tahun saja, membuat keduanya terlihat seperti gadis kembar.Taman itu tempat nongkrong untuk segala usia, dari anak-anak, remaja, hingga orang tua. Banyak sekali kuliner yang bisa dinikmati. Jajanan yang relatif murah dengan rasa yang terbilang lumayan enak. Suasananya sederhana untuk bersantai bersama orang-orang terdekat. Delia tiba-tiba merasa rindu pada sosok Melia yang bawel.Seandainya saja sang kakak mau mendengarkan sarannya, tentu peristiwa kejam itu tidak akan pernah terjadi. Namun Melia terlanjur cinta mati pada lelaki yang membuat hidupnya berakhir.Tangan Delia mulai gemetar saat ingat bagaimana lelaki jahanam itu menggagahi dan menyiksa kakaknya. Gadis itu menunduk dan memejamkan mata. Kedua tangannya diapit di antara paha untuk menyembunyikan getarnya. Kemudian menarik napas berulang kali hingga dadanya tak sesak lagi.Barra yang mulai paham dengan kebiasaan Delia mengambil air minum di pintu mobilnya. "Minumlah!""Terima kasih."Dua puluh menit kemudian mereka memasuki gerbang pemukiman elite kediaman Pak Adibrata. Mobil masuk ke halaman sebuah rumah mewah berlantai dua. Barra meraih tangan Delia ketika mereka melangkah menuju teras rumah. Tangan wanita itu terasa dingin dan gemetar dalam genggaman suaminya. Baru kali ini Barra bisa merasakan kecemasan Delia. "Yang berada di dalam sana kerabat semua. Kamu nggak usah takut."Delia mengangguk pelan. Di depan keluarga mereka harus terlihat mesra.Kehadiran mereka jadi pusat perhatian karena datang paling telat. Dengan senyum ramah, Barra membalas sapaan para kerabat dan membawa
Delia kaget saat tangannya diraih oleh seseorang dari belakang. Ketika menoleh, Barra sudah berdiri di sebelahnya dan mengajaknya masuk ke kamar. "Maaf, maaf karena tadi malam aku lupa membuka lagi kuncinya," ucap Delia setelah Barra merebahkan diri di ranjang. Dan dia berdiri di samping pembaringan."Nggak apa-apa," jawab Barra dengan mata terpejam, masih mengantuk. Dia baru bisa tidur kira-kira jam tiga pagi. Setelah tahu kamarnya masih dikunci, Barra tidur di salah satu kamar kosong di lantai dua itu. Sang papa mengajaknya bicara hingga jam satu malam. Bukan bicara tentang pekerjaan saja, tapi bagaimana dia harus memperlakukan Delia yang sebenarnya belum benar-benar pulih. Rupanya selama ini papanya mengawasi, bisa jadi bertanya juga pada Mak Ni. "Barra, papa nggak ingin mendengar kamu menyia-nyiakan Delia. Awas saja kalau kamu jadi lelaki yang nggak tahu tanggungjawab."Baru saja Delia duduk di sisi ranjang sebelah Barra, ia dikagetkan oleh sang suami yang kembali bangun dari ti
"Assalamu'alaikum, Mas.""Wa'alaikumsalam. Lagi ngapain?""Lagi santai. Mas Sam, di rumah sakit ya?""Ya, habis Shalat Zhuhur. Kamu sudah shalat?""Belum.""Loh, udah jam berapa ini? Bentar lagi udah masuk waktu Asar. Mas saja hampir telat tadi. Delia, jangan tinggalkan shalat selagi kamu tidak uzur. Shalat dulu, ya!""Iya, Mas.""Shalat dulu, nanti baru telepon mas lagi.""Hu um." Delia mematikan panggilannya dan segera bangkit untuk menemui Mak Ni yang tengah menyetrika. Ingin sembahyang di kamar wanita itu saja.Delia menatap ujung sajadah cukup lama setelah selesai berdoa. Ada tenteram yang menyusup perlahan ke sanubarinya. Ada ketenangan menghuni jiwanya. Gadis itu menunduk dan menangis. Ia memang harus kembali pulih dan bangkit. Biar pengorbanan yang dilakukan Samudra yang setia mendampinginya tidak sia-sia. Supaya orang tuanya juga bahagia melihatnya pulih seperti sedia kala.* * *"Mak Ni, mana kunci pintu balkon? Aku ingin mencari udara segar di luar." Delia mendekati pembant
Barra termenung di kursi ruang kerjanya sambil memperhatikan map warna kuning yang ada di atas meja. Di situ sudah lengkap surat-surat persyaratan untuk pengajuan nikah secara hukum negara. Namun perkataan Delia tadi malam masih tergiang di telinga. "Nggak usah, Mas. Nggak perlu ngurus surat nikah ke KUA. Mas, layak mendapatkan perempuan yang jauh lebih baik dariku. Aku ini ... perempuan nggak waras. Kekasihmu pasti jauh lebih baik untuk menjadi istrimu."Tidak waras. Dirinya pernah mengatakan hal itu juga, tapi sekarang kenapa ikut merasakan sakit ketika Delia mengatai dirinya sendiri. Sekejam itukah Barra?Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan laki-laki berkemeja warna biru itu. "Masuk!" perintahnya.Muncul office boy yang tadi dimintanya untuk membelikan makan siang karena ia malas keluar. "Makasih," ucapnya pada pemuda yang mengangguk hormat padanya.Baru saja membuka kotak nasi, ponselnya di atas meja berdenting. [Aku sedang makan siang. Kamu sudah makan apa belum?] Cintiara
Pak Irawan kemudian mengalihkan percakapan dengan membahas bisnisnya. Samudra anak yang paling bisa mengerti kalau diajak cerita, meski bisnis bukan dunianya. Dia tidak perlu lagi membahas tentang jodoh untuk Samudra. Sejak awal dia dan istrinya sudah sepakat memberikan kebebasan pada sang putra. Padahal banyak rekan bisnis mereka yang memiliki putri berprestasi, ada yang dokter juga, bahkan sudah ada rekan Pak Irawan yang berniat menjodohkan putrinya dengan Samudra. Namun Pak Irawan tidak ingin memaksakan kehendaknya. Dia menghargai keputusan anak lelakinya. Nanti saja kalau sudah kelewat usia dan Samudra belum segera menikah, baru mereka akan mengambil sikap.* * *Sabtu pagi keluarga Pak Irawan bersiap-siap hendak bepergian. Tadi malam telah disepakati kalau mereka akan traveling hari itu. Kulineran, pergi ke pacuan kuda, dan akan menginap di Malang. Kebetulan Samudra tidak ada jadwal piket untuk hari Sabtu ini.Dua mobil dipersiapkan. Satu mobil milik Pak Irawan, satunya lagi mobi
Sepanjang perjalanan tol Sidoarjo-Malang Delia sibuk dengan ponselnya. Dia melihat ulang video yang dikirimkan oleh sang adik. Senyum menghiasi bibirnya yang merah muda alami tanpa polesan lipstik. Di video itu Samudra memilih menjajarinya ketimbang menuruti tantangannya untuk berpacu dengan tunggangan masing-masing. Pasti kakaknya khawatir, karena baru pertama kali setelah setahun ini dirinya tidak pernah menunggang kuda. Makanya lebih memilih menjaganya daripada berlomba. "Kamu kakak yang baik, kamu anak yang berbakti, tentunya kamu akan jadi suami idaman yang sangat bertanggungjawab. Semoga kamu akan mendapatkan jodoh wanita sholehah, Mas." Doa tulus dalam hati Delia untuk Samudra, sambil menatap lekat video di layar ponsel.Apa yang dilakukan Delia tidak luput dari perhatian Barra. Walaupun laki-laki itu tengah mengemudi dan fokus pada jalan tol yang ramai oleh pengguna jalan. Namun ia tahu apa yang sedang dilakukan istrinya. Kira-kira apa tanggapan Delia jika laki-laki yang dian
Delia kembali masuk ke kamar untuk berganti pakaian. Dia memakai daster bercorak polkadot warna toska sebatas lutut. Rasa gamang dan takutnya berada dalam satu kamar dengan Barra kian terkikis. Toh dua bulan bersama, pria itu cukup anteng. Tentu saja tidak berselera karena yang dia cintai hanya Cintiara. Buktinya ketika melihat dirinya hanya memakai dalaman saja, pria itu memilih pergi meninggalkannya. Padahal Delia sebenarnya sangat ketakutan waktu itu.Selesai makan kantuknya datang, karena faktor kelelahan juga. Menunggu beberapa menit lagi untuk rebahan sudah tidak tahan. Jika Samudra tahu habis makan langsung tidur, pasti dirinya kena tegur.Barra masuk kamar setelah Delia terlelap. Istrinya tidur miring menghadap ke dinding seperti biasanya. Enam puluh hari ini, belum pernah sekalipun Delia tidur menghadap dirinya. Betah sekali tubuhnya miring ke satu arah saja.Beberapa saat lamanya Barra memandang wanita yang telah pulas dengan selimut menutupi kakinya. Setelah itu perlahan Ba
Barra belum bisa terlelap. Di sebelahnya Delia masih tidur dengan pulas. Hawa dingin pegunungan sangat mendukung untuk memanjakan diri tidur lebih nyaman, apalagi tubuh Delia juga lebih relaks setelah di pijat tadi.Namun Barra yang tersiksa. Ada yang memberontak dalam diri dan membuatnya tidak bisa tidur hingga dini hari. Bangkit dari pembaringan, berdiri di pintu kaca balkon sambil menatap pekatnya malam tanpa batas, lantas berbaring lagi. Dan begitu terus berulang-ulang. Tidak munafik. Sebagai laki-laki dewasa dia menginginkannya. Kalau meminta pun itu adalah haknya, tapi ... sungguh sangat rumit.Barra keluar kamar dan menuruni tangga. Dia berhenti ketika melihat lampu ruang tengah masih menyala. Ternyata Samudra duduk sendirian di sofa. Namun pandangannya bukan pada layar televisi yang menyala dan menayangkan acara pertandingan bola. Samudra seperti sedang termenung. Apa laki-laki itu juga tidak bisa tidur seperti dirinya? Setelah diam lama di anak tangga, akhirnya Barra kembal