Share

Part 4 Dinner I

"Apa perkataanku salah?" tanya Barra penuh selidik.

"Seorang kakak pasti mencintai dan akan melindungi adiknya," jawab Samudra. Dia harus mengendalikan emosi. Jika sampai mengaku, keadaan bisa runyam. Barra bisa menimbulkan masalah baru dengan memanfaatkan pengakuannya. Bisa saja Barra menuduhnya menjadi penyebab kehancuran rumah tangganya dengan Delia. Padahal sejak awal Samudra sudah bisa merasakan kalau hubungan mereka tidak sebaik yang dikira keluarganya. Jika suatu hari nanti dia harus bicara jujur, mesti dipastikan waktunya tepat saat itu.

"Aku titip adikku."

"Seorang suami juga tahu apa yang harus dilakukan pada istrinya," jawab Barra cepat.

Samudra menarik napas berat. "Oke, kamu lebih berhak. Tapi jangan buat dia lebih sakit dari sebelumnya. Kamu tidak tahu bagaimana dia berjuang mengatasi trauma."

Hening.

"Aku mengenalmu sudah lama, dokter. Semenjak remaja kita sering bertemu. Sebagai sesama lelaki, aku bisa merasakan bagaimana perasaanmu pada Delia. Bukan perasaan seorang kakak pada adiknya, tapi lebih dari itu."

Hanya senyuman manis yang diberikan Samudra untuk lelaki bermuka sinis di hadapannya. Dia tidak perlu menanggapi omongan itu. Yang terpenting sekarang, mengingatkan Barra agar tidak membuat Delia makin tertekan.

Soal perasaannya itu tidak penting. Karena seorang kakak tidak mungkin akan menikahi adiknya sendiri. Jika bagi keluarganya pantas, tentu Samudra sudah dijodohkan dengan Delia. Bukankah selama ini dirinya yang berusaha mati-matian memulihkan gadis itu?

Bagi Pak Irawan dan Bu Hesti, Samudra tetaplah anak bagi mereka. Sesama anak tentunya tidak akan dinikahkan bukan?

Ketenangan yang ditujukan oleh Samudra membuat Barra makin tak nyaman. Usia mereka sama, tapi terlihat sekali kalau Samudra jauh lebih dewasa dari Barra. Padahal Barra memiliki koneksi lebih luas dibandingkan Samudra, dari orang-orang kalangan kelas atas tentunya.

Dokter itu hanya disibukkan dengan pasiennya yang berasal dari beberapa kalangan. Semua yang datang karena sakit dan butuh pengobatan. Sementara dirinya, pertemuannya dengan banyak orang karena bisnis. Mereka yang datang rata-rata orang ber-uang dan memiliki kerajaan bisnis yang mengular hingga ke manca negara.

"Hanya itu kan yang ingin kamu katakan? Aku harus menjaga Delia dan bersikap baik padanya," ucap Barra dengan angkuhnya.

"Barra, Delia yang tergganggu psikologisnya. Bukan sakit biasa setelah minum obat, istirahat, terus sembuh. Jangan membuatnya makin tertekan dan trauma."

"Makasih, kamu sudah mengingatkanku." Barra berdiri dan meninggalkan Samudra sendirian. Melihat sikap Barra seperti itu, membuat Samudra makin yakin kalau Delia tak baik-baik saja di sana.

Dirinya, keluarganya, sedaya upaya mengusahakan bagaimana agar Delia lekas pulih. Ketika mendekati sembuh, malah dia dijodohkan dengan lelaki yang belum tentu mencintainya. Tentu perjodohan itu ada tujuannya. Apakah ini paksaan dari pihak keluarga Barra, karena mereka pernah dibantu oleh Pak Irawan? Atau ada tujuan lain? Entahlah.

* * *

Langkah Barra tergesa-gesa memasuki lift. Sudah jam tujuh lebih lima belas menit. Mamanya berulang kali menelepon, kenapa dirinya dan Delia belum sampai juga. Padahal keluarga besar sedang menunggu.

Setelah bertemu dengan Samudra tadi, ia masih menyempatkan diri menjemput Cintiara dan mengantar pulang ke rumahnya. Gadis itu makin posesif saja setelah bertemu dengan Delia. Gadis gila yang dipikirnya biasa-biasa saja, ternyata sangat cantik dan menarik. Kekasih mana yang tidak was-was. Posisinya terancam, tapi apa yang bisa ia lakukan. Selain menunggu Barra melakukan tindakan. Dia tidak bisa memaksa karena tahu juga batasannya.

Barra termangu sejenak setelah membuka pintu rumah dan melepaskan sepatunya. Di sofa ruang tamu, Delia sudah menunggu dengan gaun warna ungu lilac sepanjang mata kaki, lengannya sebatas siku, dengan aksen pundak puffy. Menampilkan leher jenjangnya karena rambut yang biasa terurai panjang itu di ikat rapi ke atas. Penampilan yang berbeda, feminine look. Wajahnya tersapu bedak tipis dengan lipglos yang terlihat membasahi bibirnya yang sensual.

Delia menatap Barra sekilas. Jemarinya yang saling bertaut dan meremas menunjukkan dia sedang gelisah dan merasa tak nyaman.

Dari balik dinding dapur, Mak Ni melihat dua majikannya yang saling adu pandang. Menunggu reaksi Barra saat melihat penampilan istrinya yang berbeda. Tadi memang sengaja, dirinya memaksa Delia untuk berdandan. Memakai satu-satunya gaun yang sempat dibawa Delia dari rumah orang tuanya. "Ketemu mertua harus tampil cantik dan segar, Mbak. Apalagi banyak keluarga yang berkumpul di sana. Tadi mamanya Mbak Delia telepon saya, kalau beliau dan bapak akan hadir juga. Tentunya beliau akan bahagia melihat penampilan putrinya." Mak Ni membujuk. Akhirnya Delia mau juga untuk berdandan.

Tanpa bicara apa-apa, Barra segera masuk ke kamar untuk mandi. Tidak lama kemudian keluar memakai hem warna abu-abu dan celana hitam. "Ayo, kita berangkat," ucapnya sambil menyambar kontak mobil yang tadi diletakkannya di meja televisi.

Delia mengambil tas tangannya, kemudian tergesa-gesa mengejar langkah panjang Barra menuju lift. Tak ada pegangan tangan, atau hanya sekedar berjalan beriringan.

Dalam perjalanan pun mereka hanya saling diam. Barra fokus pada kemudi, sedangkan Delia memandang lalu lintas malam kota Surabaya. Ketika melewati Taman Bungkul, Delia sejenak bernostalgia. Dulu sebelum peristiwa laknat itu terjadi, tiap akhir pekan ia akan ke sana bersama kakak dan teman-temannya. Usianya dengan Melia hanya terpaut dua tahun saja, membuat keduanya terlihat seperti gadis kembar.

Taman itu tempat nongkrong untuk segala usia, dari anak-anak, remaja, hingga orang tua. Banyak sekali kuliner yang bisa dinikmati. Jajanan yang relatif murah dengan rasa yang terbilang lumayan enak. Suasananya sederhana untuk bersantai bersama orang-orang terdekat. Delia tiba-tiba merasa rindu pada sosok Melia yang bawel.

Seandainya saja sang kakak mau mendengarkan sarannya, tentu peristiwa kejam itu tidak akan pernah terjadi. Namun Melia terlanjur cinta mati pada lelaki yang membuat hidupnya berakhir.

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Anggiria Dewi
betapa tragis nya nasib Melia ..
goodnovel comment avatar
Erni Erniati
g selamanya Orang yg kita cintai itu melindungi bisa jdi dia malH berbalik menyakiti
goodnovel comment avatar
Arif Zaif
sedihnya, orang yang di cintai melialah penyebab kematiannya,
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status