Share

Part 4 Dinner I

last update Last Updated: 2022-12-28 19:01:42

"Apa perkataanku salah?" tanya Barra penuh selidik.

"Seorang kakak pasti mencintai dan akan melindungi adiknya," jawab Samudra. Dia harus mengendalikan emosi. Jika sampai mengaku, keadaan bisa runyam. Barra bisa menimbulkan masalah baru dengan memanfaatkan pengakuannya. Bisa saja Barra menuduhnya menjadi penyebab kehancuran rumah tangganya dengan Delia. Padahal sejak awal Samudra sudah bisa merasakan kalau hubungan mereka tidak sebaik yang dikira keluarganya. Jika suatu hari nanti dia harus bicara jujur, mesti dipastikan waktunya tepat saat itu.

"Aku titip adikku."

"Seorang suami juga tahu apa yang harus dilakukan pada istrinya," jawab Barra cepat.

Samudra menarik napas berat. "Oke, kamu lebih berhak. Tapi jangan buat dia lebih sakit dari sebelumnya. Kamu tidak tahu bagaimana dia berjuang mengatasi trauma."

Hening.

"Aku mengenalmu sudah lama, dokter. Semenjak remaja kita sering bertemu. Sebagai sesama lelaki, aku bisa merasakan bagaimana perasaanmu pada Delia. Bukan perasaan seorang kakak pada adiknya, tapi lebih dari itu."

Hanya senyuman manis yang diberikan Samudra untuk lelaki bermuka sinis di hadapannya. Dia tidak perlu menanggapi omongan itu. Yang terpenting sekarang, mengingatkan Barra agar tidak membuat Delia makin tertekan.

Soal perasaannya itu tidak penting. Karena seorang kakak tidak mungkin akan menikahi adiknya sendiri. Jika bagi keluarganya pantas, tentu Samudra sudah dijodohkan dengan Delia. Bukankah selama ini dirinya yang berusaha mati-matian memulihkan gadis itu?

Bagi Pak Irawan dan Bu Hesti, Samudra tetaplah anak bagi mereka. Sesama anak tentunya tidak akan dinikahkan bukan?

Ketenangan yang ditujukan oleh Samudra membuat Barra makin tak nyaman. Usia mereka sama, tapi terlihat sekali kalau Samudra jauh lebih dewasa dari Barra. Padahal Barra memiliki koneksi lebih luas dibandingkan Samudra, dari orang-orang kalangan kelas atas tentunya.

Dokter itu hanya disibukkan dengan pasiennya yang berasal dari beberapa kalangan. Semua yang datang karena sakit dan butuh pengobatan. Sementara dirinya, pertemuannya dengan banyak orang karena bisnis. Mereka yang datang rata-rata orang ber-uang dan memiliki kerajaan bisnis yang mengular hingga ke manca negara.

"Hanya itu kan yang ingin kamu katakan? Aku harus menjaga Delia dan bersikap baik padanya," ucap Barra dengan angkuhnya.

"Barra, Delia yang tergganggu psikologisnya. Bukan sakit biasa setelah minum obat, istirahat, terus sembuh. Jangan membuatnya makin tertekan dan trauma."

"Makasih, kamu sudah mengingatkanku." Barra berdiri dan meninggalkan Samudra sendirian. Melihat sikap Barra seperti itu, membuat Samudra makin yakin kalau Delia tak baik-baik saja di sana.

Dirinya, keluarganya, sedaya upaya mengusahakan bagaimana agar Delia lekas pulih. Ketika mendekati sembuh, malah dia dijodohkan dengan lelaki yang belum tentu mencintainya. Tentu perjodohan itu ada tujuannya. Apakah ini paksaan dari pihak keluarga Barra, karena mereka pernah dibantu oleh Pak Irawan? Atau ada tujuan lain? Entahlah.

* * *

Langkah Barra tergesa-gesa memasuki lift. Sudah jam tujuh lebih lima belas menit. Mamanya berulang kali menelepon, kenapa dirinya dan Delia belum sampai juga. Padahal keluarga besar sedang menunggu.

Setelah bertemu dengan Samudra tadi, ia masih menyempatkan diri menjemput Cintiara dan mengantar pulang ke rumahnya. Gadis itu makin posesif saja setelah bertemu dengan Delia. Gadis gila yang dipikirnya biasa-biasa saja, ternyata sangat cantik dan menarik. Kekasih mana yang tidak was-was. Posisinya terancam, tapi apa yang bisa ia lakukan. Selain menunggu Barra melakukan tindakan. Dia tidak bisa memaksa karena tahu juga batasannya.

Barra termangu sejenak setelah membuka pintu rumah dan melepaskan sepatunya. Di sofa ruang tamu, Delia sudah menunggu dengan gaun warna ungu lilac sepanjang mata kaki, lengannya sebatas siku, dengan aksen pundak puffy. Menampilkan leher jenjangnya karena rambut yang biasa terurai panjang itu di ikat rapi ke atas. Penampilan yang berbeda, feminine look. Wajahnya tersapu bedak tipis dengan lipglos yang terlihat membasahi bibirnya yang sensual.

Delia menatap Barra sekilas. Jemarinya yang saling bertaut dan meremas menunjukkan dia sedang gelisah dan merasa tak nyaman.

Dari balik dinding dapur, Mak Ni melihat dua majikannya yang saling adu pandang. Menunggu reaksi Barra saat melihat penampilan istrinya yang berbeda. Tadi memang sengaja, dirinya memaksa Delia untuk berdandan. Memakai satu-satunya gaun yang sempat dibawa Delia dari rumah orang tuanya. "Ketemu mertua harus tampil cantik dan segar, Mbak. Apalagi banyak keluarga yang berkumpul di sana. Tadi mamanya Mbak Delia telepon saya, kalau beliau dan bapak akan hadir juga. Tentunya beliau akan bahagia melihat penampilan putrinya." Mak Ni membujuk. Akhirnya Delia mau juga untuk berdandan.

Tanpa bicara apa-apa, Barra segera masuk ke kamar untuk mandi. Tidak lama kemudian keluar memakai hem warna abu-abu dan celana hitam. "Ayo, kita berangkat," ucapnya sambil menyambar kontak mobil yang tadi diletakkannya di meja televisi.

Delia mengambil tas tangannya, kemudian tergesa-gesa mengejar langkah panjang Barra menuju lift. Tak ada pegangan tangan, atau hanya sekedar berjalan beriringan.

Dalam perjalanan pun mereka hanya saling diam. Barra fokus pada kemudi, sedangkan Delia memandang lalu lintas malam kota Surabaya. Ketika melewati Taman Bungkul, Delia sejenak bernostalgia. Dulu sebelum peristiwa laknat itu terjadi, tiap akhir pekan ia akan ke sana bersama kakak dan teman-temannya. Usianya dengan Melia hanya terpaut dua tahun saja, membuat keduanya terlihat seperti gadis kembar.

Taman itu tempat nongkrong untuk segala usia, dari anak-anak, remaja, hingga orang tua. Banyak sekali kuliner yang bisa dinikmati. Jajanan yang relatif murah dengan rasa yang terbilang lumayan enak. Suasananya sederhana untuk bersantai bersama orang-orang terdekat. Delia tiba-tiba merasa rindu pada sosok Melia yang bawel.

Seandainya saja sang kakak mau mendengarkan sarannya, tentu peristiwa kejam itu tidak akan pernah terjadi. Namun Melia terlanjur cinta mati pada lelaki yang membuat hidupnya berakhir.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Anggiria Dewi
betapa tragis nya nasib Melia ..
goodnovel comment avatar
Erni Erniati
g selamanya Orang yg kita cintai itu melindungi bisa jdi dia malH berbalik menyakiti
goodnovel comment avatar
Arif Zaif
sedihnya, orang yang di cintai melialah penyebab kematiannya,
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Cinta yang Kau Bawa Pergi    Part 157 Hari yang Indah 2

    Tangan Johan membingkai wajah sang anak. Mereka saling tatap dalam diam. Mata bening itu memandang sang ibu. Minta penjelasan, siapa pria yang bolak-balik menciuminya."Ini Bapaknya Ubed." Mahika bicara sambil tersenyum, meski hatinya menangis haru.Saat tangan Johan terulur untuk menggendong, Ubed tidak menolak. Meski masih kebingungan, bocah itu tidak memberontak meski diciumi bapaknya berulang kali.Mereka bertiga melepaskan rindu. Mahika juga mengabadikan momen pertemuan perdana itu dengan kamera ponselnya."Agustus ini aku dapat remisi, Ka," ucap Johan dengan mata berbinar."Alhamdulillah. Aksara sudah memberitahuku waktu dia baru pulang dari menjengukmu, Mas.""Ya, Alhamdulillah banget. Semoga segalanya dipermudahkan," kata Johan sambil mencium kening Mahika. Mahika juga menceritakan tentang kedua orang tuanya. Papanya ingin rujuk, tapi sang mama masih belum terbuka hatinya."Doakan saja semoga mereka bisa bersatu lagi," ucap Johan."Aamiin. Aku harap juga begitu, daripada hidu

  • Cinta yang Kau Bawa Pergi    Part 156 Hari yang Indah 1

    "Mama sudah nyaman hidup seperti ini, Ka. Fokus ibadah saja sekarang," jawab wanita yang selama ini terbiasa dipanggil Bu Raul. Bahkan setelah bercerai pun para tetangga masih memanggilnya dengan sebutan itu. Wanita yang masih menampakkan gurat kecantikannya memandang sang anak yang duduk di sampingnya."Papa tampak bersungguh-sungguh, Ma." Mahika mencoba meyakinkan. Sebab tadi papanya sampai menangis mengutarakan penyesalannya. Meski Mahika pernah murka, tapi rasa iba untuk sang papa tetap ada."Papamu hanya lelah hidup sendiri nggak ada yang ngurusi. Berapa kali dia sudah mengkhianati mama. Selama ini mama diam pura-pura nggak tahu. Demi keutuhan rumah tangga ini. Mama pikir dia hanya bermain-main lalu kembali pulang. Nyatanya ada benihnya yang tumbuh di rahim wanita lain."Mahika senyap. Tidak mungkin akan memaksakan jika mamanya merasa tidak nyaman. Sang mama sendiri sebenarnya sudah tidak ingin mengingat hal menyakitkan itu lagi. Dia juga sudah bilang memaafkan perbuatan suaminya

  • Cinta yang Kau Bawa Pergi    Part 155 Lamaran 2

    Jam tiga mereka telah bersiap untuk berangkat. Mak Ni menggandeng Riz masuk mobil dan mendudukkan di car seat. Sedangkan Delia menggendong Fia. Samudra juga telah bersiap hendak mengajak keluarganya berakhir pekan di rumah mertuanya. Sudah lama mereka tidak menginap di sana. Tinggallah Pak Irawan dan Bu Hesti yang melambaikan tangan ke arah anak, menantu, dan cucunya yang bergerak pergi dengan kendaraan masing-masing. "Tahun depan, kita hanya tinggal berdua di rumah, Pa. Nira pasti ikut suaminya juga," kata Bu Hesti sambil memandang Pak Irawan."Iya. Sudah semestinya begitu, Ma. Tugas kita membesarkan anak-anak dan mengantarkan mereka bertemu jodohnya. Setelah itu kita harus ridho jika akhirnya harus berjauhan. Toh mereka juga bisa datang sewaktu-waktu. Kalau kita kangen sama cucu juga nggak jauh kalau ingin menemui." Pak Irawan menghibur istrinya sambil mengajak wanita yang telah mendampinginya puluhan tahun masuk ke dalam rumah.* * *Agustus merupakan puncak musim kemarau. Walau

  • Cinta yang Kau Bawa Pergi    Part 154 Lamaran 1

    Tiga bulan kemudian ....Rumah megah itu terlihat semarak di pagi yang cerah. Beberapa mobil terparkir di halaman depan rumah. Para kerabat dengan sabar duduk menunggu acara di mulai. Mereka berpakaian laiknya menghadiri sebuah acara resepsi.Hari itu memang acara lamarannya Xavier dan Nira. Di salah satu sudut dinding ada backdrop dengan nuansa putih berkombinasi kuning keemasan. Hiasan bunga hidup semerbak wangi memenuhi penjuru ruangan. Bunga yang terdiri dari mawar putih, mawar merah muda, melati, dan bunga peony kesukaan Nira. Warnanya beraneka macam di sana. Ada putih, merah, kuning, dan merah muda. Bunga yang melambangkan bentuk cinta, romansa, dan keindahan.Nira yang memakai kebaya warna tosca tampak duduk anggun di dampingi Delia dan Diva. Dua kakaknya itu kini berhijab rapi sudah dua bulan ini. Sepulang dari umroh, Bu Hesti mengajak dua anak perempuannya dan sang menantu untuk berhijab. Ajakan yang disambut baik oleh mereka. Tepat jam sembilan pagi beberapa mobil memasuki

  • Cinta yang Kau Bawa Pergi    Part 153 Damai 2

    Di tempat lain, Cintiara tidak bisa tidur karena harus menggendong keponakannya yang sejak tadi menangis. Bayi perempuan yang baru dilahirkan dua minggu yang lalu itu tidak mau di tidurkan di kasur.Sementara Siska tidak mau menyusui. Wanita itu memilih meringkuk memeluk guling. Tidak peduli."Tidurkan saja, nanti kamu capek dan besok kamu harus kerja," seloroh seorang wanita yang tidak lain adalah ibunya Cintiara."Kasihan, Ma. Sebenarnya dia kehausan dan mau minum ASI.""Kasihkan saja susu yang kamu buat tadi.""Dia nggak mau," jawab Cintiara sambil terus menimang-nimang bayi tak berdosa itu.Kegagalan usaha Siska untuk menggugurkan kandungannya telah berakibat fatal pada bayinya. Kelopak matanya yang indah hanya bisa berkedip-kedip menatap lurus ke atas, tapi telinganya tidak bisa merespon suara apapun yang ada di sekitarnya. Tidak ada reflek kaget saat ada suara keras di dekatnya. Bahkan matanya tidak berkedip atau mengerutkan wajah seperti pada umumnya bayi yang terkejut.Cintia

  • Cinta yang Kau Bawa Pergi    Part 152 Damai 1

    Setiap pilihan pasti akan ada konsekuensinya. Dampak dari lingkungan, circle pertemanan, dan pekerjaan. Mahika juga harus siap jika muncul banyak pertanyaan saat anaknya masuk sekolah nanti. Sebelumnya semua itu sudah ia pikirkan secara detail. Perjalanannya pun tentu tidak akan mudah setelah ini. Namun ia yakin Ubaidillah akan tumbuh menjadi anak yang kuat.Mahika menyusut air mata kemudian melipat lagi kertas istimewa itu dan menyimpannya ke dalam tas. Dipandanginya bayi mungil yang terlelap di dalam kelambu. Lalu beralih melihat ke arah ponselnya yang berpendar. Ada pesan masuk dari Aisyah yang mengucapkan selamat atas kelahiran putranya, juga mengabari bahwa besok mereka akan datang sekeluarga untuk menengok Mahika dan anaknya.[Besok kami akan datang, Mbak. Anak-anak aku izinkan nggak masuk sekolah sehari, aku dan Mas Yuda juga akan libur. Ibu, Nur, dan anaknya juga akan ikut. Tapi suaminya nggak bisa ikut karena lagi tugas.]Buru-buru Mahika membalas pesan itu. Dia bahagia menun

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status