Share

Part 5 Dinner II

last update Huling Na-update: 2022-12-28 19:02:08

Tangan Delia mulai gemetar saat ingat bagaimana lelaki jahanam itu menggagahi dan menyiksa kakaknya. Gadis itu menunduk dan memejamkan mata. Kedua tangannya diapit di antara paha untuk menyembunyikan getarnya. Kemudian menarik napas berulang kali hingga dadanya tak sesak lagi.

Barra yang mulai paham dengan kebiasaan Delia mengambil air minum di pintu mobilnya. "Minumlah!"

"Terima kasih."

Dua puluh menit kemudian mereka memasuki gerbang pemukiman elite kediaman Pak Adibrata. Mobil masuk ke halaman sebuah rumah mewah berlantai dua.

Barra meraih tangan Delia ketika mereka melangkah menuju teras rumah. Tangan wanita itu terasa dingin dan gemetar dalam genggaman suaminya. Baru kali ini Barra bisa merasakan kecemasan Delia. "Yang berada di dalam sana kerabat semua. Kamu nggak usah takut."

Delia mengangguk pelan. Di depan keluarga mereka harus terlihat mesra.

Kehadiran mereka jadi pusat perhatian karena datang paling telat. Dengan senyum ramah, Barra membalas sapaan para kerabat dan membawa Delia menyalami mereka satu per satu.

Bu Hesti segera menghampiri dan meraih tangan putrinya. "Kamu cantik malam ini, Sayang," bisik wanita itu di telinga Delia. "Sini duduk dekat mama." Bu Hesti mengajak sang anak duduk di sebelahnya dan berseberangan dengan Barra.

Meja panjang di ruang makan yang luas itu penuh dengan hidangan spesial dalam rangka perayaan anniversary pernikahan Pak Adibrata dan Bu Diyah yang ke tiga puluh empat tahun.

Setiap tahun mereka akan mengundang para kerabat dan besan untuk dinner bersama.

"Kapan nih resepsinya Barra dan Delia? Entar keburu hamil lho si Delianya." Salah seorang adik dari Pak Adibrata bertanya. Membuat Barra dan Delia saling memandang.

"Inilah yang akan kami bahas malam ini juga," jawab Pak Adibrata. Jawaban yang membuat Barra dan Delia kaget.

Bu Hesti meraih jemari putrinya dan digenggam erat. Wanita itu sebenarnya menyadari kalau tubuh Delia terlihat makin kurus, meski tidak mengurangi kecantikannya. Mungkin karena efek adaptasi dengan pernikahannya. Atau bisa jadi Delia tengah berbadan dua. Senyum wanita itu merekah saat berpandangan dengan putrinya. Andai itu benar, tentu akan menjadi kabar yang menggembirakan.

Acara makan malam telah usai, para kerabat sudah pamitan pulang. Ineke, adik bara yang sudah menikah juga pulang bersama suami dan mertuanya. Tinggallah Pak Irawan dan Bu Hesti.

Mereka duduk berenam di sofa ruang tamu.

"Barra, pernikahanmu dan Delia sudah diketahui banyak rekan bisnis kita. Sebaiknya kita segera menentukan kapan resepsi. Besok segera persiapkan surat-surat untuk pernikahan kalian di KUA. Supaya bulan depan kita langsung mengadakan resepsinya saja." Pak Adibrata bicara sambil menatap putranya.

"Bulan depan?" Barra kaget. Pun begitu juga dengan Delia.

"Ya. Papa dan Pak Irawan sudah membahasnya tadi."

"Kondisi Delia belum memungkinkan, Pa," bantah Barra. Itu bisa menjadi alasannya untuk menghindari resepsi.

Pak Adibrata memandang Delia yang diam di sebelah mamanya. Laki-laki itu juga melihat kalau sang menantu terlihat makin kurus. "Bagaimana Pak Irawan? Saya khawatir dengan kondisi Delia."

Pak Irawan memandang istri dan putrinya. Kemudian mereka membahasnya bersama dan sepakat kalau resepsi akan dilaksanakan dua bulan lagi.

Jam sebelas malam Pak Irawan dan Bu Hesti pamitan pulang. Wanita itu memeluk putrinya dengan rasa khawatir. Perasaan seorang ibu tentu saja peka, meski tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tadi ia sempat bertanya pada Delia, ternyata putrinya tidak sedang mengandung.

Barra mengajak istrinya menginap karena ada urusan penting yang hendak dibahasnya dengan sang papa.

"Dena, ambilkan piyama untuk Mbak Delia. Biar dia ganti baju." Perintah Bu Diyah pada anak bungsunya.

Naila pergi ke walk in closed untuk mengambil piyama. "Ini masih baru, Mbak. Tapi udah dicuci sama bibik." Sebuah piyama warna merah hati diberikan Naila pada kakak iparnya.

"Makasih." Delia masuk kamarnya Barra. Ini kali kedua dia akan bermalam di sana. Yang pertama sewaktu mereka baru menikah.

Wanita itu melepaskan gaunnya di depan cermin. Melihat lagi bayangan diri di sana. Benarkah yang dikatakan mamanya tadi kalau tubuhnya makin kurus?

Jemari Delia meraba tubuhnya sendiri. Dari lekuk dada hingga ke panggul. Memang benar, kalau tubuhnya lebih kurus daripada sebulan yang lalu. Padahal sebelum menikah badannya makin berisi setelah ia mulai pulih dari depresi.

Delia yang terlalu asyik kaget ketika pintu kamar terbuka tiba-tiba. Barra pun tercekat setelah menutup pintu. Selimut warna hitam ditarik Delia untuk menutupi tubuhnya. Dadanya berdebar hebat saat Barra menatapnya dalam diam. Seperti elang memperhatikan mangsanya.

Beberapa detik kemudian Barra kembali membuka pintu dan keluar. Tujuannya masuk kamar karena ingin mengganti celana panjangnya dengan celana pendek. Nyatanya dia disuguhkan oleh pemandangan tubuh mulus Delia yang baru kali ini dilihatnya.

"Ada apa? Katanya kamu mau ganti celana dulu?" tanya Pak Adibrata yang heran melihat putranya kembali dengan wajah tegang.

"Nggak jadi, Pa. Nanti saja!" Barra kembali duduk di kursi depan sang papa.

Sementara di kamar, Delia buru-buru lari ke arah pintu dan memutar kunci untuk memastikan dirinya aman di dalam. Dengan cepat, ia pun memakai piyama dari Naila tadi. Kemudian duduk di pinggir ranjang dengan perasaan ketakutan. Kejadian yang menimpa Melia masih menyisakan trauma.

Delia ingat bagaimana sang kakak diperlakukan oleh manusia sebejat laki-laki itu. Baju Melia terkoyak, dia diterkam dengan penuh keganasan. Sementara Delia diikat tidak jauh dari situ. Melihat dan mendengar bagaimana kakaknya meraung minta tolong, tapi dirinya tidak bisa berbuat apa-apa. Sedangkan di luar, anak buah kekasih Melia mengambil apapun barang berharga yang tampak di depan mata. Menyikat tanpa ampun para asisten rumah tangga dan satpam yang menghalanginya.

Sungguh itu malapetaka yang menjadi berita paling menggemparkan satu tahun yang lalu. Waktu itu Delia hanya di rumah berdua dengan kakaknya saja. Orang tuanya dan Nira sedang pergi liburan. Sementara Samudra memang sudah tinggal di rumah kontrakannya dekat rumah sakit.

Keringat dingin membasahi pelipis Delia yang menunduk dan gemetar.

* * *

Suara azan subuh yang berkumandang dari toa masjid membangunkan Delia yang tidur meringkuk di pinggir pembaringan. Wanita itu langsung duduk dan melihat ke sebelahnya. Kosong. Barra tidak ada di sana. Kemudian ia teringat kalau tadi malam telah mengunci pintu.

Delia keluar kamar. Suasana masih temaram dengan lampu malam yang menyala di ruang tengah lantai dua. Sepi. Baru dirinya dan asisten rumah tangga dibawah sana yang terbangun.

Lalu, Barra tidur di mana? Bagaimana jika mertuanya tahu kalau dirinya telah mengunci pintu dan membiarkan suaminya tidur di luar? Bagaimana kalau Barra marah?

Ketakutan menguasai pikiran Delia. Dia mematung di tengah ruangan sambil memandang pintu-pintu kamar yang masih tertutup rapat. Tidak mungkin ia akan membuka satu per satu kamar untuk mencari suaminya.

* * *

Selamat membaca

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (24)
goodnovel comment avatar
Hasta Rini
cerita tentang melia judulnya ap ya?
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
nanggung depresi mu delia, kenapa g gila aja sekalian. klu masih trauma ngapain mau aja dijodohkan. dasar cewek gila
goodnovel comment avatar
Anggiria Dewi
karya mu sungguh bikin aku kecanduan mbk lis ... ini padahal bawang mahal ,kenapa ceritanya mengandung bawang hiks hiks hiks ..
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Cinta yang Kau Bawa Pergi    Part 157 Hari yang Indah 2

    Tangan Johan membingkai wajah sang anak. Mereka saling tatap dalam diam. Mata bening itu memandang sang ibu. Minta penjelasan, siapa pria yang bolak-balik menciuminya."Ini Bapaknya Ubed." Mahika bicara sambil tersenyum, meski hatinya menangis haru.Saat tangan Johan terulur untuk menggendong, Ubed tidak menolak. Meski masih kebingungan, bocah itu tidak memberontak meski diciumi bapaknya berulang kali.Mereka bertiga melepaskan rindu. Mahika juga mengabadikan momen pertemuan perdana itu dengan kamera ponselnya."Agustus ini aku dapat remisi, Ka," ucap Johan dengan mata berbinar."Alhamdulillah. Aksara sudah memberitahuku waktu dia baru pulang dari menjengukmu, Mas.""Ya, Alhamdulillah banget. Semoga segalanya dipermudahkan," kata Johan sambil mencium kening Mahika. Mahika juga menceritakan tentang kedua orang tuanya. Papanya ingin rujuk, tapi sang mama masih belum terbuka hatinya."Doakan saja semoga mereka bisa bersatu lagi," ucap Johan."Aamiin. Aku harap juga begitu, daripada hidu

  • Cinta yang Kau Bawa Pergi    Part 156 Hari yang Indah 1

    "Mama sudah nyaman hidup seperti ini, Ka. Fokus ibadah saja sekarang," jawab wanita yang selama ini terbiasa dipanggil Bu Raul. Bahkan setelah bercerai pun para tetangga masih memanggilnya dengan sebutan itu. Wanita yang masih menampakkan gurat kecantikannya memandang sang anak yang duduk di sampingnya."Papa tampak bersungguh-sungguh, Ma." Mahika mencoba meyakinkan. Sebab tadi papanya sampai menangis mengutarakan penyesalannya. Meski Mahika pernah murka, tapi rasa iba untuk sang papa tetap ada."Papamu hanya lelah hidup sendiri nggak ada yang ngurusi. Berapa kali dia sudah mengkhianati mama. Selama ini mama diam pura-pura nggak tahu. Demi keutuhan rumah tangga ini. Mama pikir dia hanya bermain-main lalu kembali pulang. Nyatanya ada benihnya yang tumbuh di rahim wanita lain."Mahika senyap. Tidak mungkin akan memaksakan jika mamanya merasa tidak nyaman. Sang mama sendiri sebenarnya sudah tidak ingin mengingat hal menyakitkan itu lagi. Dia juga sudah bilang memaafkan perbuatan suaminya

  • Cinta yang Kau Bawa Pergi    Part 155 Lamaran 2

    Jam tiga mereka telah bersiap untuk berangkat. Mak Ni menggandeng Riz masuk mobil dan mendudukkan di car seat. Sedangkan Delia menggendong Fia. Samudra juga telah bersiap hendak mengajak keluarganya berakhir pekan di rumah mertuanya. Sudah lama mereka tidak menginap di sana. Tinggallah Pak Irawan dan Bu Hesti yang melambaikan tangan ke arah anak, menantu, dan cucunya yang bergerak pergi dengan kendaraan masing-masing. "Tahun depan, kita hanya tinggal berdua di rumah, Pa. Nira pasti ikut suaminya juga," kata Bu Hesti sambil memandang Pak Irawan."Iya. Sudah semestinya begitu, Ma. Tugas kita membesarkan anak-anak dan mengantarkan mereka bertemu jodohnya. Setelah itu kita harus ridho jika akhirnya harus berjauhan. Toh mereka juga bisa datang sewaktu-waktu. Kalau kita kangen sama cucu juga nggak jauh kalau ingin menemui." Pak Irawan menghibur istrinya sambil mengajak wanita yang telah mendampinginya puluhan tahun masuk ke dalam rumah.* * *Agustus merupakan puncak musim kemarau. Walau

  • Cinta yang Kau Bawa Pergi    Part 154 Lamaran 1

    Tiga bulan kemudian ....Rumah megah itu terlihat semarak di pagi yang cerah. Beberapa mobil terparkir di halaman depan rumah. Para kerabat dengan sabar duduk menunggu acara di mulai. Mereka berpakaian laiknya menghadiri sebuah acara resepsi.Hari itu memang acara lamarannya Xavier dan Nira. Di salah satu sudut dinding ada backdrop dengan nuansa putih berkombinasi kuning keemasan. Hiasan bunga hidup semerbak wangi memenuhi penjuru ruangan. Bunga yang terdiri dari mawar putih, mawar merah muda, melati, dan bunga peony kesukaan Nira. Warnanya beraneka macam di sana. Ada putih, merah, kuning, dan merah muda. Bunga yang melambangkan bentuk cinta, romansa, dan keindahan.Nira yang memakai kebaya warna tosca tampak duduk anggun di dampingi Delia dan Diva. Dua kakaknya itu kini berhijab rapi sudah dua bulan ini. Sepulang dari umroh, Bu Hesti mengajak dua anak perempuannya dan sang menantu untuk berhijab. Ajakan yang disambut baik oleh mereka. Tepat jam sembilan pagi beberapa mobil memasuki

  • Cinta yang Kau Bawa Pergi    Part 153 Damai 2

    Di tempat lain, Cintiara tidak bisa tidur karena harus menggendong keponakannya yang sejak tadi menangis. Bayi perempuan yang baru dilahirkan dua minggu yang lalu itu tidak mau di tidurkan di kasur.Sementara Siska tidak mau menyusui. Wanita itu memilih meringkuk memeluk guling. Tidak peduli."Tidurkan saja, nanti kamu capek dan besok kamu harus kerja," seloroh seorang wanita yang tidak lain adalah ibunya Cintiara."Kasihan, Ma. Sebenarnya dia kehausan dan mau minum ASI.""Kasihkan saja susu yang kamu buat tadi.""Dia nggak mau," jawab Cintiara sambil terus menimang-nimang bayi tak berdosa itu.Kegagalan usaha Siska untuk menggugurkan kandungannya telah berakibat fatal pada bayinya. Kelopak matanya yang indah hanya bisa berkedip-kedip menatap lurus ke atas, tapi telinganya tidak bisa merespon suara apapun yang ada di sekitarnya. Tidak ada reflek kaget saat ada suara keras di dekatnya. Bahkan matanya tidak berkedip atau mengerutkan wajah seperti pada umumnya bayi yang terkejut.Cintia

  • Cinta yang Kau Bawa Pergi    Part 152 Damai 1

    Setiap pilihan pasti akan ada konsekuensinya. Dampak dari lingkungan, circle pertemanan, dan pekerjaan. Mahika juga harus siap jika muncul banyak pertanyaan saat anaknya masuk sekolah nanti. Sebelumnya semua itu sudah ia pikirkan secara detail. Perjalanannya pun tentu tidak akan mudah setelah ini. Namun ia yakin Ubaidillah akan tumbuh menjadi anak yang kuat.Mahika menyusut air mata kemudian melipat lagi kertas istimewa itu dan menyimpannya ke dalam tas. Dipandanginya bayi mungil yang terlelap di dalam kelambu. Lalu beralih melihat ke arah ponselnya yang berpendar. Ada pesan masuk dari Aisyah yang mengucapkan selamat atas kelahiran putranya, juga mengabari bahwa besok mereka akan datang sekeluarga untuk menengok Mahika dan anaknya.[Besok kami akan datang, Mbak. Anak-anak aku izinkan nggak masuk sekolah sehari, aku dan Mas Yuda juga akan libur. Ibu, Nur, dan anaknya juga akan ikut. Tapi suaminya nggak bisa ikut karena lagi tugas.]Buru-buru Mahika membalas pesan itu. Dia bahagia menun

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status