Share

Part 5 Dinner II

Tangan Delia mulai gemetar saat ingat bagaimana lelaki jahanam itu menggagahi dan menyiksa kakaknya. Gadis itu menunduk dan memejamkan mata. Kedua tangannya diapit di antara paha untuk menyembunyikan getarnya. Kemudian menarik napas berulang kali hingga dadanya tak sesak lagi.

Barra yang mulai paham dengan kebiasaan Delia mengambil air minum di pintu mobilnya. "Minumlah!"

"Terima kasih."

Dua puluh menit kemudian mereka memasuki gerbang pemukiman elite kediaman Pak Adibrata. Mobil masuk ke halaman sebuah rumah mewah berlantai dua.

Barra meraih tangan Delia ketika mereka melangkah menuju teras rumah. Tangan wanita itu terasa dingin dan gemetar dalam genggaman suaminya. Baru kali ini Barra bisa merasakan kecemasan Delia. "Yang berada di dalam sana kerabat semua. Kamu nggak usah takut."

Delia mengangguk pelan. Di depan keluarga mereka harus terlihat mesra.

Kehadiran mereka jadi pusat perhatian karena datang paling telat. Dengan senyum ramah, Barra membalas sapaan para kerabat dan membawa Delia menyalami mereka satu per satu.

Bu Hesti segera menghampiri dan meraih tangan putrinya. "Kamu cantik malam ini, Sayang," bisik wanita itu di telinga Delia. "Sini duduk dekat mama." Bu Hesti mengajak sang anak duduk di sebelahnya dan berseberangan dengan Barra.

Meja panjang di ruang makan yang luas itu penuh dengan hidangan spesial dalam rangka perayaan anniversary pernikahan Pak Adibrata dan Bu Diyah yang ke tiga puluh empat tahun.

Setiap tahun mereka akan mengundang para kerabat dan besan untuk dinner bersama.

"Kapan nih resepsinya Barra dan Delia? Entar keburu hamil lho si Delianya." Salah seorang adik dari Pak Adibrata bertanya. Membuat Barra dan Delia saling memandang.

"Inilah yang akan kami bahas malam ini juga," jawab Pak Adibrata. Jawaban yang membuat Barra dan Delia kaget.

Bu Hesti meraih jemari putrinya dan digenggam erat. Wanita itu sebenarnya menyadari kalau tubuh Delia terlihat makin kurus, meski tidak mengurangi kecantikannya. Mungkin karena efek adaptasi dengan pernikahannya. Atau bisa jadi Delia tengah berbadan dua. Senyum wanita itu merekah saat berpandangan dengan putrinya. Andai itu benar, tentu akan menjadi kabar yang menggembirakan.

Acara makan malam telah usai, para kerabat sudah pamitan pulang. Ineke, adik bara yang sudah menikah juga pulang bersama suami dan mertuanya. Tinggallah Pak Irawan dan Bu Hesti.

Mereka duduk berenam di sofa ruang tamu.

"Barra, pernikahanmu dan Delia sudah diketahui banyak rekan bisnis kita. Sebaiknya kita segera menentukan kapan resepsi. Besok segera persiapkan surat-surat untuk pernikahan kalian di KUA. Supaya bulan depan kita langsung mengadakan resepsinya saja." Pak Adibrata bicara sambil menatap putranya.

"Bulan depan?" Barra kaget. Pun begitu juga dengan Delia.

"Ya. Papa dan Pak Irawan sudah membahasnya tadi."

"Kondisi Delia belum memungkinkan, Pa," bantah Barra. Itu bisa menjadi alasannya untuk menghindari resepsi.

Pak Adibrata memandang Delia yang diam di sebelah mamanya. Laki-laki itu juga melihat kalau sang menantu terlihat makin kurus. "Bagaimana Pak Irawan? Saya khawatir dengan kondisi Delia."

Pak Irawan memandang istri dan putrinya. Kemudian mereka membahasnya bersama dan sepakat kalau resepsi akan dilaksanakan dua bulan lagi.

Jam sebelas malam Pak Irawan dan Bu Hesti pamitan pulang. Wanita itu memeluk putrinya dengan rasa khawatir. Perasaan seorang ibu tentu saja peka, meski tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tadi ia sempat bertanya pada Delia, ternyata putrinya tidak sedang mengandung.

Barra mengajak istrinya menginap karena ada urusan penting yang hendak dibahasnya dengan sang papa.

"Dena, ambilkan piyama untuk Mbak Delia. Biar dia ganti baju." Perintah Bu Diyah pada anak bungsunya.

Naila pergi ke walk in closed untuk mengambil piyama. "Ini masih baru, Mbak. Tapi udah dicuci sama bibik." Sebuah piyama warna merah hati diberikan Naila pada kakak iparnya.

"Makasih." Delia masuk kamarnya Barra. Ini kali kedua dia akan bermalam di sana. Yang pertama sewaktu mereka baru menikah.

Wanita itu melepaskan gaunnya di depan cermin. Melihat lagi bayangan diri di sana. Benarkah yang dikatakan mamanya tadi kalau tubuhnya makin kurus?

Jemari Delia meraba tubuhnya sendiri. Dari lekuk dada hingga ke panggul. Memang benar, kalau tubuhnya lebih kurus daripada sebulan yang lalu. Padahal sebelum menikah badannya makin berisi setelah ia mulai pulih dari depresi.

Delia yang terlalu asyik kaget ketika pintu kamar terbuka tiba-tiba. Barra pun tercekat setelah menutup pintu. Selimut warna hitam ditarik Delia untuk menutupi tubuhnya. Dadanya berdebar hebat saat Barra menatapnya dalam diam. Seperti elang memperhatikan mangsanya.

Beberapa detik kemudian Barra kembali membuka pintu dan keluar. Tujuannya masuk kamar karena ingin mengganti celana panjangnya dengan celana pendek. Nyatanya dia disuguhkan oleh pemandangan tubuh mulus Delia yang baru kali ini dilihatnya.

"Ada apa? Katanya kamu mau ganti celana dulu?" tanya Pak Adibrata yang heran melihat putranya kembali dengan wajah tegang.

"Nggak jadi, Pa. Nanti saja!" Barra kembali duduk di kursi depan sang papa.

Sementara di kamar, Delia buru-buru lari ke arah pintu dan memutar kunci untuk memastikan dirinya aman di dalam. Dengan cepat, ia pun memakai piyama dari Naila tadi. Kemudian duduk di pinggir ranjang dengan perasaan ketakutan. Kejadian yang menimpa Melia masih menyisakan trauma.

Delia ingat bagaimana sang kakak diperlakukan oleh manusia sebejat laki-laki itu. Baju Melia terkoyak, dia diterkam dengan penuh keganasan. Sementara Delia diikat tidak jauh dari situ. Melihat dan mendengar bagaimana kakaknya meraung minta tolong, tapi dirinya tidak bisa berbuat apa-apa. Sedangkan di luar, anak buah kekasih Melia mengambil apapun barang berharga yang tampak di depan mata. Menyikat tanpa ampun para asisten rumah tangga dan satpam yang menghalanginya.

Sungguh itu malapetaka yang menjadi berita paling menggemparkan satu tahun yang lalu. Waktu itu Delia hanya di rumah berdua dengan kakaknya saja. Orang tuanya dan Nira sedang pergi liburan. Sementara Samudra memang sudah tinggal di rumah kontrakannya dekat rumah sakit.

Keringat dingin membasahi pelipis Delia yang menunduk dan gemetar.

* * *

Suara azan subuh yang berkumandang dari toa masjid membangunkan Delia yang tidur meringkuk di pinggir pembaringan. Wanita itu langsung duduk dan melihat ke sebelahnya. Kosong. Barra tidak ada di sana. Kemudian ia teringat kalau tadi malam telah mengunci pintu.

Delia keluar kamar. Suasana masih temaram dengan lampu malam yang menyala di ruang tengah lantai dua. Sepi. Baru dirinya dan asisten rumah tangga dibawah sana yang terbangun.

Lalu, Barra tidur di mana? Bagaimana jika mertuanya tahu kalau dirinya telah mengunci pintu dan membiarkan suaminya tidur di luar? Bagaimana kalau Barra marah?

Ketakutan menguasai pikiran Delia. Dia mematung di tengah ruangan sambil memandang pintu-pintu kamar yang masih tertutup rapat. Tidak mungkin ia akan membuka satu per satu kamar untuk mencari suaminya.

* * *

Selamat membaca

Komen (23)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
nanggung depresi mu delia, kenapa g gila aja sekalian. klu masih trauma ngapain mau aja dijodohkan. dasar cewek gila
goodnovel comment avatar
Anggiria Dewi
karya mu sungguh bikin aku kecanduan mbk lis ... ini padahal bawang mahal ,kenapa ceritanya mengandung bawang hiks hiks hiks ..
goodnovel comment avatar
Lis Susanawati
hu um, Kak. kemarin kelupaan mau posting ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status