Tangan Delia mulai gemetar saat ingat bagaimana lelaki jahanam itu menggagahi dan menyiksa kakaknya. Gadis itu menunduk dan memejamkan mata. Kedua tangannya diapit di antara paha untuk menyembunyikan getarnya. Kemudian menarik napas berulang kali hingga dadanya tak sesak lagi.
Barra yang mulai paham dengan kebiasaan Delia mengambil air minum di pintu mobilnya. "Minumlah!""Terima kasih."Dua puluh menit kemudian mereka memasuki gerbang pemukiman elite kediaman Pak Adibrata. Mobil masuk ke halaman sebuah rumah mewah berlantai dua.Barra meraih tangan Delia ketika mereka melangkah menuju teras rumah. Tangan wanita itu terasa dingin dan gemetar dalam genggaman suaminya. Baru kali ini Barra bisa merasakan kecemasan Delia. "Yang berada di dalam sana kerabat semua. Kamu nggak usah takut."Delia mengangguk pelan. Di depan keluarga mereka harus terlihat mesra.Kehadiran mereka jadi pusat perhatian karena datang paling telat. Dengan senyum ramah, Barra membalas sapaan para kerabat dan membawa Delia menyalami mereka satu per satu.Bu Hesti segera menghampiri dan meraih tangan putrinya. "Kamu cantik malam ini, Sayang," bisik wanita itu di telinga Delia. "Sini duduk dekat mama." Bu Hesti mengajak sang anak duduk di sebelahnya dan berseberangan dengan Barra.Meja panjang di ruang makan yang luas itu penuh dengan hidangan spesial dalam rangka perayaan anniversary pernikahan Pak Adibrata dan Bu Diyah yang ke tiga puluh empat tahun.Setiap tahun mereka akan mengundang para kerabat dan besan untuk dinner bersama."Kapan nih resepsinya Barra dan Delia? Entar keburu hamil lho si Delianya." Salah seorang adik dari Pak Adibrata bertanya. Membuat Barra dan Delia saling memandang."Inilah yang akan kami bahas malam ini juga," jawab Pak Adibrata. Jawaban yang membuat Barra dan Delia kaget.Bu Hesti meraih jemari putrinya dan digenggam erat. Wanita itu sebenarnya menyadari kalau tubuh Delia terlihat makin kurus, meski tidak mengurangi kecantikannya. Mungkin karena efek adaptasi dengan pernikahannya. Atau bisa jadi Delia tengah berbadan dua. Senyum wanita itu merekah saat berpandangan dengan putrinya. Andai itu benar, tentu akan menjadi kabar yang menggembirakan.Acara makan malam telah usai, para kerabat sudah pamitan pulang. Ineke, adik bara yang sudah menikah juga pulang bersama suami dan mertuanya. Tinggallah Pak Irawan dan Bu Hesti.Mereka duduk berenam di sofa ruang tamu."Barra, pernikahanmu dan Delia sudah diketahui banyak rekan bisnis kita. Sebaiknya kita segera menentukan kapan resepsi. Besok segera persiapkan surat-surat untuk pernikahan kalian di KUA. Supaya bulan depan kita langsung mengadakan resepsinya saja." Pak Adibrata bicara sambil menatap putranya."Bulan depan?" Barra kaget. Pun begitu juga dengan Delia."Ya. Papa dan Pak Irawan sudah membahasnya tadi.""Kondisi Delia belum memungkinkan, Pa," bantah Barra. Itu bisa menjadi alasannya untuk menghindari resepsi.Pak Adibrata memandang Delia yang diam di sebelah mamanya. Laki-laki itu juga melihat kalau sang menantu terlihat makin kurus. "Bagaimana Pak Irawan? Saya khawatir dengan kondisi Delia."Pak Irawan memandang istri dan putrinya. Kemudian mereka membahasnya bersama dan sepakat kalau resepsi akan dilaksanakan dua bulan lagi.Jam sebelas malam Pak Irawan dan Bu Hesti pamitan pulang. Wanita itu memeluk putrinya dengan rasa khawatir. Perasaan seorang ibu tentu saja peka, meski tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tadi ia sempat bertanya pada Delia, ternyata putrinya tidak sedang mengandung.Barra mengajak istrinya menginap karena ada urusan penting yang hendak dibahasnya dengan sang papa."Dena, ambilkan piyama untuk Mbak Delia. Biar dia ganti baju." Perintah Bu Diyah pada anak bungsunya.Naila pergi ke walk in closed untuk mengambil piyama. "Ini masih baru, Mbak. Tapi udah dicuci sama bibik." Sebuah piyama warna merah hati diberikan Naila pada kakak iparnya."Makasih." Delia masuk kamarnya Barra. Ini kali kedua dia akan bermalam di sana. Yang pertama sewaktu mereka baru menikah.Wanita itu melepaskan gaunnya di depan cermin. Melihat lagi bayangan diri di sana. Benarkah yang dikatakan mamanya tadi kalau tubuhnya makin kurus?Jemari Delia meraba tubuhnya sendiri. Dari lekuk dada hingga ke panggul. Memang benar, kalau tubuhnya lebih kurus daripada sebulan yang lalu. Padahal sebelum menikah badannya makin berisi setelah ia mulai pulih dari depresi.Delia yang terlalu asyik kaget ketika pintu kamar terbuka tiba-tiba. Barra pun tercekat setelah menutup pintu. Selimut warna hitam ditarik Delia untuk menutupi tubuhnya. Dadanya berdebar hebat saat Barra menatapnya dalam diam. Seperti elang memperhatikan mangsanya.Beberapa detik kemudian Barra kembali membuka pintu dan keluar. Tujuannya masuk kamar karena ingin mengganti celana panjangnya dengan celana pendek. Nyatanya dia disuguhkan oleh pemandangan tubuh mulus Delia yang baru kali ini dilihatnya."Ada apa? Katanya kamu mau ganti celana dulu?" tanya Pak Adibrata yang heran melihat putranya kembali dengan wajah tegang."Nggak jadi, Pa. Nanti saja!" Barra kembali duduk di kursi depan sang papa.Sementara di kamar, Delia buru-buru lari ke arah pintu dan memutar kunci untuk memastikan dirinya aman di dalam. Dengan cepat, ia pun memakai piyama dari Naila tadi. Kemudian duduk di pinggir ranjang dengan perasaan ketakutan. Kejadian yang menimpa Melia masih menyisakan trauma.Delia ingat bagaimana sang kakak diperlakukan oleh manusia sebejat laki-laki itu. Baju Melia terkoyak, dia diterkam dengan penuh keganasan. Sementara Delia diikat tidak jauh dari situ. Melihat dan mendengar bagaimana kakaknya meraung minta tolong, tapi dirinya tidak bisa berbuat apa-apa. Sedangkan di luar, anak buah kekasih Melia mengambil apapun barang berharga yang tampak di depan mata. Menyikat tanpa ampun para asisten rumah tangga dan satpam yang menghalanginya.Sungguh itu malapetaka yang menjadi berita paling menggemparkan satu tahun yang lalu. Waktu itu Delia hanya di rumah berdua dengan kakaknya saja. Orang tuanya dan Nira sedang pergi liburan. Sementara Samudra memang sudah tinggal di rumah kontrakannya dekat rumah sakit.Keringat dingin membasahi pelipis Delia yang menunduk dan gemetar.* * *Suara azan subuh yang berkumandang dari toa masjid membangunkan Delia yang tidur meringkuk di pinggir pembaringan. Wanita itu langsung duduk dan melihat ke sebelahnya. Kosong. Barra tidak ada di sana. Kemudian ia teringat kalau tadi malam telah mengunci pintu.Delia keluar kamar. Suasana masih temaram dengan lampu malam yang menyala di ruang tengah lantai dua. Sepi. Baru dirinya dan asisten rumah tangga dibawah sana yang terbangun.Lalu, Barra tidur di mana? Bagaimana jika mertuanya tahu kalau dirinya telah mengunci pintu dan membiarkan suaminya tidur di luar? Bagaimana kalau Barra marah?Ketakutan menguasai pikiran Delia. Dia mematung di tengah ruangan sambil memandang pintu-pintu kamar yang masih tertutup rapat. Tidak mungkin ia akan membuka satu per satu kamar untuk mencari suaminya.* * *Selamat membacaDelia kaget saat tangannya diraih oleh seseorang dari belakang. Ketika menoleh, Barra sudah berdiri di sebelahnya dan mengajaknya masuk ke kamar. "Maaf, maaf karena tadi malam aku lupa membuka lagi kuncinya," ucap Delia setelah Barra merebahkan diri di ranjang. Dan dia berdiri di samping pembaringan."Nggak apa-apa," jawab Barra dengan mata terpejam, masih mengantuk. Dia baru bisa tidur kira-kira jam tiga pagi. Setelah tahu kamarnya masih dikunci, Barra tidur di salah satu kamar kosong di lantai dua itu. Sang papa mengajaknya bicara hingga jam satu malam. Bukan bicara tentang pekerjaan saja, tapi bagaimana dia harus memperlakukan Delia yang sebenarnya belum benar-benar pulih. Rupanya selama ini papanya mengawasi, bisa jadi bertanya juga pada Mak Ni. "Barra, papa nggak ingin mendengar kamu menyia-nyiakan Delia. Awas saja kalau kamu jadi lelaki yang nggak tahu tanggungjawab."Baru saja Delia duduk di sisi ranjang sebelah Barra, ia dikagetkan oleh sang suami yang kembali bangun dari ti
"Assalamu'alaikum, Mas.""Wa'alaikumsalam. Lagi ngapain?""Lagi santai. Mas Sam, di rumah sakit ya?""Ya, habis Shalat Zhuhur. Kamu sudah shalat?""Belum.""Loh, udah jam berapa ini? Bentar lagi udah masuk waktu Asar. Mas saja hampir telat tadi. Delia, jangan tinggalkan shalat selagi kamu tidak uzur. Shalat dulu, ya!""Iya, Mas.""Shalat dulu, nanti baru telepon mas lagi.""Hu um." Delia mematikan panggilannya dan segera bangkit untuk menemui Mak Ni yang tengah menyetrika. Ingin sembahyang di kamar wanita itu saja.Delia menatap ujung sajadah cukup lama setelah selesai berdoa. Ada tenteram yang menyusup perlahan ke sanubarinya. Ada ketenangan menghuni jiwanya. Gadis itu menunduk dan menangis. Ia memang harus kembali pulih dan bangkit. Biar pengorbanan yang dilakukan Samudra yang setia mendampinginya tidak sia-sia. Supaya orang tuanya juga bahagia melihatnya pulih seperti sedia kala.* * *"Mak Ni, mana kunci pintu balkon? Aku ingin mencari udara segar di luar." Delia mendekati pembant
Barra termenung di kursi ruang kerjanya sambil memperhatikan map warna kuning yang ada di atas meja. Di situ sudah lengkap surat-surat persyaratan untuk pengajuan nikah secara hukum negara. Namun perkataan Delia tadi malam masih tergiang di telinga. "Nggak usah, Mas. Nggak perlu ngurus surat nikah ke KUA. Mas, layak mendapatkan perempuan yang jauh lebih baik dariku. Aku ini ... perempuan nggak waras. Kekasihmu pasti jauh lebih baik untuk menjadi istrimu."Tidak waras. Dirinya pernah mengatakan hal itu juga, tapi sekarang kenapa ikut merasakan sakit ketika Delia mengatai dirinya sendiri. Sekejam itukah Barra?Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan laki-laki berkemeja warna biru itu. "Masuk!" perintahnya.Muncul office boy yang tadi dimintanya untuk membelikan makan siang karena ia malas keluar. "Makasih," ucapnya pada pemuda yang mengangguk hormat padanya.Baru saja membuka kotak nasi, ponselnya di atas meja berdenting. [Aku sedang makan siang. Kamu sudah makan apa belum?] Cintiara
Pak Irawan kemudian mengalihkan percakapan dengan membahas bisnisnya. Samudra anak yang paling bisa mengerti kalau diajak cerita, meski bisnis bukan dunianya. Dia tidak perlu lagi membahas tentang jodoh untuk Samudra. Sejak awal dia dan istrinya sudah sepakat memberikan kebebasan pada sang putra. Padahal banyak rekan bisnis mereka yang memiliki putri berprestasi, ada yang dokter juga, bahkan sudah ada rekan Pak Irawan yang berniat menjodohkan putrinya dengan Samudra. Namun Pak Irawan tidak ingin memaksakan kehendaknya. Dia menghargai keputusan anak lelakinya. Nanti saja kalau sudah kelewat usia dan Samudra belum segera menikah, baru mereka akan mengambil sikap.* * *Sabtu pagi keluarga Pak Irawan bersiap-siap hendak bepergian. Tadi malam telah disepakati kalau mereka akan traveling hari itu. Kulineran, pergi ke pacuan kuda, dan akan menginap di Malang. Kebetulan Samudra tidak ada jadwal piket untuk hari Sabtu ini.Dua mobil dipersiapkan. Satu mobil milik Pak Irawan, satunya lagi mobi
Sepanjang perjalanan tol Sidoarjo-Malang Delia sibuk dengan ponselnya. Dia melihat ulang video yang dikirimkan oleh sang adik. Senyum menghiasi bibirnya yang merah muda alami tanpa polesan lipstik. Di video itu Samudra memilih menjajarinya ketimbang menuruti tantangannya untuk berpacu dengan tunggangan masing-masing. Pasti kakaknya khawatir, karena baru pertama kali setelah setahun ini dirinya tidak pernah menunggang kuda. Makanya lebih memilih menjaganya daripada berlomba. "Kamu kakak yang baik, kamu anak yang berbakti, tentunya kamu akan jadi suami idaman yang sangat bertanggungjawab. Semoga kamu akan mendapatkan jodoh wanita sholehah, Mas." Doa tulus dalam hati Delia untuk Samudra, sambil menatap lekat video di layar ponsel.Apa yang dilakukan Delia tidak luput dari perhatian Barra. Walaupun laki-laki itu tengah mengemudi dan fokus pada jalan tol yang ramai oleh pengguna jalan. Namun ia tahu apa yang sedang dilakukan istrinya. Kira-kira apa tanggapan Delia jika laki-laki yang dian
Delia kembali masuk ke kamar untuk berganti pakaian. Dia memakai daster bercorak polkadot warna toska sebatas lutut. Rasa gamang dan takutnya berada dalam satu kamar dengan Barra kian terkikis. Toh dua bulan bersama, pria itu cukup anteng. Tentu saja tidak berselera karena yang dia cintai hanya Cintiara. Buktinya ketika melihat dirinya hanya memakai dalaman saja, pria itu memilih pergi meninggalkannya. Padahal Delia sebenarnya sangat ketakutan waktu itu.Selesai makan kantuknya datang, karena faktor kelelahan juga. Menunggu beberapa menit lagi untuk rebahan sudah tidak tahan. Jika Samudra tahu habis makan langsung tidur, pasti dirinya kena tegur.Barra masuk kamar setelah Delia terlelap. Istrinya tidur miring menghadap ke dinding seperti biasanya. Enam puluh hari ini, belum pernah sekalipun Delia tidur menghadap dirinya. Betah sekali tubuhnya miring ke satu arah saja.Beberapa saat lamanya Barra memandang wanita yang telah pulas dengan selimut menutupi kakinya. Setelah itu perlahan Ba
Barra belum bisa terlelap. Di sebelahnya Delia masih tidur dengan pulas. Hawa dingin pegunungan sangat mendukung untuk memanjakan diri tidur lebih nyaman, apalagi tubuh Delia juga lebih relaks setelah di pijat tadi.Namun Barra yang tersiksa. Ada yang memberontak dalam diri dan membuatnya tidak bisa tidur hingga dini hari. Bangkit dari pembaringan, berdiri di pintu kaca balkon sambil menatap pekatnya malam tanpa batas, lantas berbaring lagi. Dan begitu terus berulang-ulang. Tidak munafik. Sebagai laki-laki dewasa dia menginginkannya. Kalau meminta pun itu adalah haknya, tapi ... sungguh sangat rumit.Barra keluar kamar dan menuruni tangga. Dia berhenti ketika melihat lampu ruang tengah masih menyala. Ternyata Samudra duduk sendirian di sofa. Namun pandangannya bukan pada layar televisi yang menyala dan menayangkan acara pertandingan bola. Samudra seperti sedang termenung. Apa laki-laki itu juga tidak bisa tidur seperti dirinya? Setelah diam lama di anak tangga, akhirnya Barra kembal
Wanita yang membuatnya tidak bisa tidur hampir semalaman, pagi ini sangat ceria di samping pria yang diam-diam mencintainya. Barra segera keluar kamar, ketika menuruni tangga ada papa mertua yang tersenyum menyambutnya. "Selamat pagi, Pa.""Pagi, Barra. Semalam papamu nelepon, katanya lagi staycation juga di Sarangan. Sekalian mau kondangan sore nanti."Barra mengangguk. Di kantor kemarin papanya sudah memberitahu."Pagi ini, Samudra pengen ke paralayang bersama Nira. Kamu mau ikut atau pergi ke luar sendiri bersama Delia?""Nanti saya tanyakan ke Delia dulu, Pa.""Oke."Barra tidak bisa berkonsentrasi saat diajak bicara mertuanya. Kebersamaan Delia dan Samudra di depan membuat pikirannya kacau. Namun setelah keluar villa, tinggal Samudra saja yang masih duduk di sana. Ke mana Delia?"Mas, ini kopi untukmu!" Tiba-tiba Delia sudah berdiri di belakangnya sambil membawa nampan berisi segelas teh panas dan secangkir kopi panas yang dari aromanya saja Barra tahu kalau itu kopi robusta. Dia