Delia memandang di seberang jalan. Dalam mobil Barra ada perempuan yang tadi dilihatnya.
Cukup lama keduanya terdiam. Delia tidak ingin bicara lebih dulu karena bukan dia yang harus menjelaskan. Sedangkan Barra masih memandangnya. Kemudian berdiri menegakkan tubuh. "Yang kamu lihat bersamaku tadi namanya Cintiara," kata Barra mulai bicara."Kekasihmu?" tanya Delia menatap manik hitam suaminya.Barra diam."Nggak usah merasa canggung atau apa. Orang nggak waras tak kenal cemburu, Mas. Nggak kenal sakit hati juga. Susah senang dia akan terus tersenyum," Delia bicara dengan tenang. Di puncak rasa sakit, kecewa, trauma, dan bayangan buruk yang sekejab tadi menjelma, Delia bisa setegar itu. Biasanya dia histeris jika ada sesuatu yang membuatnya teringat lagi oleh tragedi setahun yang lalu. Tapi kali ini dia bisa tenang. Meski sebenarnya dalam hati merasakan luka. Dia tidak gila, jadi perih tetap ia rasakan.Cak Rohmat yang baru kembali dari membeli rokok, menyapa ramah pada Barra. Kemudian menekan remote control untuk membuka pintu mobil."Permisi, aku mau pulang." Delia membuka pintu mobilnya. Tidak lama kemudian Mak Ni datang dan mengangguk hormat pada pria yang sekarang menjadi majikannya.Delia baru bisa menangis setelah mobil bergerak pergi. Mak Ni yang tak paham apa yang sebenarnya terjadi, mengira Delia mengalami hal seperti biasanya jika kambuh. Histeris, menangis, dan terkadang diam seribu bahasa.* * *"Istrimu sangat cantik," kata Cintiara saat Barra mengantarkan kembali gadis itu ke kantornya. "Dia tadi melihat kita," lanjut Cintiara lagi."Nggak apa-apa. Jangan pikirkan itu."Mobil berhenti di depan kantor tempat Cintiara bekerja. Keduanya masih terdiam beberapa menit. "Aku takut jika akhirnya kamu jatuh cinta padanya.""Nggak akan," jawab Ibarra sambil memandang wajah gadis cantik yang saat itu tengah menatapnya. Jawaban yang tidak serta merta membuat Cintiara tenang. Mereka tiap hari hidup bersama, terikat pernikahan, siapa yang bisa menjamin hati pria itu tidak tergoda. Jujur saja, meski rambut Delia dibiarkan terurai, tanpa make up, hanya berpakaian kaus putih dan celana jeans warna biru, bahkan sedang mengalami depresi, tapi diakui Cintiara kalau Delia sangat cantik dan menarik.Cintiara melihat jam tangannya. "Aku turun dulu, ya. Jam istirahat sudah selesai." Cintiara tersenyum sangat manis, lalu meraih paper bag dari kursi belakang. Barra tadi membelikannya beberapa stel baju dan sepatu.Barra segera turun dan membukakan pintu mobil untuk kekasihnya. "Terima kasih untuk hari ini," ucap Cintiara sambil tersenyum. Ibarra membalas senyum gadisnya. Pria itu kembali masuk mobil setelah Cintiara hilang di balik pintu kaca kantornya.Mulai hari ini akan menjadi rumit jika Delia cerita pada orang tuanya atau kepada orang tua Barra. Dia harus bersikap menghadapi kemarahan yang bisa menghancurkan karirnya. Barra akan kehilangan segala-galanya jika orang tuanya tahu kalau ia masih menjalin asmara dengan Cintiara, sedangkan dirinya sudah menikah. Selingkuh kan namanya?Pria itu mengembuskan napas kasar. Harusnya ia tidak menuruti Cintiara yang mengajaknya bertemu untuk makan siang. Bukankah tadi pagi ia bilang akan mengajak gadis itu ke luar kota untuk makan malam. Keadaan akan runyam sebelum ia mempersiapkan segala-galanya.* * *Delia duduk memeluk lutut di lantai kamarnya sambil menunggu video call-nya pada Samudra di terima."Assalamu'alaikum, Delia," ucapan salam terdengar bersamaan dengan munculnya wajah Samudra yang tersenyum seperti biasa."Wa'alaikumsalam. Mas, sudah pulang dari rumah sakit?""Ya, sudah sejak tadi. Hei, kenapa kamu kelihatan sedih gitu? Tadi siang kamu baik-baik saja. Ada apa, Delia?"Hening. Delia hanya menatap wajah laki-laki yang ada di layar ponselnya. Orang yang selalu bisa membuatnya tenang. Dia tidak tahu harus bicara apa? Pikirannya mengambang, entah berpijak di mana. Hanya sedih dan bingung yang terasa."Delia," panggil Samudra lagi. "Ada apa?"Gadis itu masih diam. Samudra membiarkan. Seperti yang dibilang oleh dokter Era, jangan memaksa Delia untuk mengungkapkan sesuatu tanpa kehendaknya sendiri. Bicaralah secara halus sampai dia mau terbuka dan bicara."Dengar, Delia. Apapun yang kamu rasakan saat ini. Ada Mas yang siap mendengar apapun yang sedang kamu risaukan. Ingat nggak? Apa yang selalu Mas bilang sama kamu. Jangan biarkan rasa putus asa menguasaimu. Jangan rendah diri. Kamu kuat, kamu cerdas, kamu cantik. Kamu jangan takut. Oke."Delia hanya mengangguk sambil memandang Samudra di layar ponsel."Apapun yang membuatmu ketakutan, insecure, atau was-was, jangan pedulikan. Kamu berharga. Ingat itu, kamu sangat berharga. Jangan dengarkan atau melihat apa yang membuatmu sakit, tapi perhatikan apa yang bisa membuatmu bangkit. Ayo, bangkit dan berdiri tegak, Delia. Kamu mampu, Dek.""Ya, Mas," jawab Delia sambil mengusap air mata yang menetes di pipinya.Samudra memperhatikan dan menunggunya dengan sabar. Semenjak tragedi malam itu, Delia memiliki self esteem yang rendah. Membuatnya mengalami gangguan kecemasan yang berlebihan dan membuatnya khawatir berkelanjutan.Dia hampir saja pulih, tapi pernikahannya bisa jadi membuatnya kembali mengalami duck syndrome. Samudra tidak habis pikir dengan tujuan orang tuanya menikahkan Delia dengan Barra. Di mata mereka mungkin Barra adalah pria baik-baik. Cerdas, lincah, dengan karir yang mulai mapan dan cemerlang. Tapi bukan berarti baik untuk menjadi suami Delia. Samudra penasaran, adakah tujuan lain dari perjodohan itu?Tanpa disadari Delia dan Samudra. Dari pintu kamar yang terkuak, masuk Barra dan berdiri tegak memperhatikan istrinya yang sedang melakukan video call."Mas, bener kan akhir pekan ini kita ketemu di rumah Papa?" tanya Delia."Iya. Mas akan datang. Kita ketemu ya di sana!""Hu um. Udah dulu ya, Mas. Teleponnya aku tutup.""Oke, take care, Delia. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Delia membiarkan sang kakak yang menutup panggilan. Gadis itu meletakkan ponselnya begitu saja di lantai. Ketika menoleh, ia melihat Barra sedang berdiri memperhatikan. Membuat Delia terkejut dan merapatkan tubuhnya di sisi pembaringan.Bukannya segera mandi, Barra duduk di sebelah Delia yang gemetar. "Kamu telepon siapa?" tanya laki-laki itu datar.Delia diam. Degup jantungnya kian kencang berdebar. Meski air conditioner menyala dengan suhu rendah, tapi tubuhnya berkeringat."Aku nggak marah, aku hanya tanya, kamu menelepon siapa?"Setelah menarik napas beberapa kali seperti yang diajarkan Samudra atau dokter Era ketika ia mengalami kepanikan, baru Delia bicara. "Jangan khawatir, aku nggak cerita pada siapapun tentang apa yang kulihat tadi.""Yang aku tanyakan, siapa yang kamu telepon? Kamu telepon Samudra?"Delia mengangguk."Itu saja yang ingin aku tahu. Soal kamu cerita atau nggak pada orang lain tentang aku dan Cintiara. Aku nggak peduli." Barra berdiri, mengambil handuk dan masuk kamar mandi.Di bawah guyuran air shower, pria itu termenung. Membiarkan air membanjiri tubuhnya, tapi pikirannya ke mana-mana. Melihat Delia selalu ketakutan ketika melihatnya, membuat Barra lama-lama iba. Gadis yang malang. Mereka terjebak oleh pernikahan yang sama-sama tidak mereka kehendaki. Mereka menjadi korban kepentingan orang tua kedua belah pihak. Harusnya ia tak sekasar itu pada istrinya. Apa salah gadis itu? Sedikit saja tidak pernah mengusiknya.Barra keluar kamar mandi dengan handuk yang membelit pinggang. Membuat Delia menyembunyikan wajah di antara lengan dan lututnya. Gadis itu seolah mengkerut makin kecil karena takut.Setelah memakai baju, Barra mengangkat tubuh Delia ke atas tempat tidur. Membuat wanita itu memekik kaget lantas meringkuk membelakangi Barra. "Tidurlah, sudah malam. Kamu akan masuk angin kalau kelamaan duduk di lantai." Selesai bicara Barra keluar kamar sambil menyambar ponselnya di atas meja.Pria itu tercekat, saat melihat Mak Ni berdiri mematung di depan pintu kamarnya."Ada apa, Mak?""Eh, nggak apa-apa, Pak Barra," jawab Mak Ni gugup. Dia keluar kamar karena mendengar pekikan Delia."Nggak terjadi apa-apa sama Delia. Aku hanya menyuruhnya tidur. Kalau aku lakukan sesuatu padanya pun wajar kan? Dia istriku."Mak Ni mengangguk, kemudian membuka handle pintu kamar. "Maaf, Pak Barra. Saya masuk dulu," pamit Mak Ni kemudian menghilang masuk ke kamarnya.Seperti biasa, Barra akan menghabiskan separuh malamnya di ruang kerja. Merokok, membalas chat Cintiara, mengevaluasi pekerjaan, atau sekedar main game. Setelah benar-benar mengantuk, baru masuk kamar dan tidur. Tak jarang dia tertidur di kursi putarnya hingga menjelang pagi.* * *Aroma wangi masakan menyambut penciuman Barra, saat pria itu membuka pintu kamarnya. Laki-laki yang telah berpakaian rapi itu berhenti sejenak ketika mendengar suara tawa Delia dan Mak Ni di dapur. Selama menikah, baru kali ini dia mendengar istrinya tertawa renyah. Apa yang membuatnya seceria itu pagi ini? Bukankah tadi malam Delia hanya murung, bahkan ketakutan ketika diangkatnya ke tempat tidur. Apa dia benar-benar tidak ingat dan sakit hati saat melihatnya merangkul mesra Cintiara?"Orang nggak waras tak kenal cemburu, Mas. Nggak kenal sakit hati juga. Susah senang dia akan terus tersenyum." Kalimat Delia kemarin siang kembali terngiang.Barra melangkah ke arah meja makan dan menarik salah satu kursi untuk duduk. Melihat kehadirannya, Delia langsung diam. Wanita itu meletakkan mangkuk berisi rica-rica ayam di depannya. Mengambilkan piring, air minum, dan tisu. Hal yang baru kali ini dilakukan oleh Delia semenjak menjadi istrinya.Bukannya terus ikut duduk di sana, tapi Delia pergi ke belakang. Tempat biasa Mak Ni mencuci pakaian. Dia tidak ikut sarapan, melainkan memasukkan pakaian kotor ke dalam mesin cuci. Sebuah keganjilan yang membuat Barra heran, karena Delia tidak pernah seperti itu sebelumnya. "Ada apa, Mak?""Nggak ada apa-apa, Pak Barra. Mbak Delia kalau hatinya pas ceria ya seperti ini. Dia sebenarnya sangat rajin. Tadi pagi saya bilangin jangan terus-terusan bersedih. Harus bahagia, supaya bisa seperti dulu lagi. Bisa nyetir mobil, jalan-jalan, atau kembali bekerja. Akhirnya dia bisa ceria."Ceria? Setelah memergoki perselingkuhan suaminya dia bisa ceria? Mungkin karena di antara mereka memang sama-sama tidak ada rasa atau karena Delia memang masih belum pulih psikologisnya."Siapa yang punya ide masak ayam rica-rica?" Barra penasaran. Sebab dia tidak pernah bilang kalau masakan itu adalah kegemarannya."Mbak Delia, Pak. Kebetulan Mbak Delia dan Mas dokter suka ayam rica-rica. Terus tadi liat ayam di kulkas, dia pengen masak. Saya iyakan saja. Maaf kalau Pak Barra nggak berkenan." Mak Ni merasa bersalah."Nggak apa-apa," jawab Barra kemudian melanjutkan makannya. Ternyata hanya kebetulan saja, bukan karena mereka tahu apa yang disukainya. Kebetulan yang benar-benar kebetulan. Sebab Delia dan Samudra menyukai masakan yang sama seperti kesukaannya."Bilang ke Delia, Mak. Nanti jam tujuh malam saya ajak ke rumah mama saya untuk dinner. Mama menelepon tadi," pesan Barra pada asisten rumah tangganya. Karena Delia tidak mendekatinya hingga sang suami selesai sarapan dan hendak berangkat ke kantor."Iya, Pak Barra."* * *Matahari telah lengser ke langit barat, saat Barra melangkah masuk ke sebuah restoran. Tadi Samudra menelepon untuk mengajaknya bertemu setelah pulang kerja. Malas juga sebenarnya, tapi jika ingat kemarin Delia menelepon kakaknya itu. Barra jadi kepikiran, siapa tahu istrinya telah menceritakan hubungan antara dirinya dan Cintiara. Dia tidak akan mengelak, bahkan bertekad akan mengakuinya saja."Mau minum apa?" tanya Samudra setelah Barra duduk di kursi depannya."Nggak usah. Aku nggak akan lama. Ada apa ingin bertemu denganku?""Bagaimana kabarnya Delia?"Barra tersenyum sinis. "Kenapa tanya padaku? Bukankah kamu bisa bertanya langsung padanya. Tadi malam kalian ngobrol juga di telepon, kan?"Samudra menarik napas sejenak. Rupanya Barra tahu kalau tadi malam dirinya dan Delia berbincang di telepon."Kalau dia mau jujur, aku nggak akan bertanya padamu. Delia meneleponku, tapi nggak bilang apa-apa. Hanya menangis saja."Barra diam menatap laki-laki tampan di hadapannya. Ternyata Delia tidak menceritakan tentang dirinya dan Cintiara."Barra, ketika Delia akan menikah denganmu. Dia hampir pulih. Tapi tampaknya sekarang malah makin tertekan. Jangan sampai depresinya kambuh lagi. Jika memang kamu nggak mencintainya, tapi setidaknya kamu memiliki empati terhadapnya dan bicarakan baik-baik dengan keluarga.""Kamu begitu peduli.""Karena aku kakaknya.""Kakak angkat."Samudra tersenyum dan tetap bersikap tenang. "Ya, aku hanya kakak angkat. Aku hidup dan dibesarkan oleh keluarganya. Aku akui itu karena kenyataannya memang demikian. Aku bisa memakai seragam dokter juga karena keluarganya. Aku sadar asalku dari mana. Untuk itu aku sangat peduli pada Delia. Dia adikku.""Adik yang diam-diam kamu cintai." Perkataan datar Barra membuat Samudra terkesiap. Bagaimana bisa laki-laki itu tahu tentang perasaannya?* * *Tangan Johan membingkai wajah sang anak. Mereka saling tatap dalam diam. Mata bening itu memandang sang ibu. Minta penjelasan, siapa pria yang bolak-balik menciuminya."Ini Bapaknya Ubed." Mahika bicara sambil tersenyum, meski hatinya menangis haru.Saat tangan Johan terulur untuk menggendong, Ubed tidak menolak. Meski masih kebingungan, bocah itu tidak memberontak meski diciumi bapaknya berulang kali.Mereka bertiga melepaskan rindu. Mahika juga mengabadikan momen pertemuan perdana itu dengan kamera ponselnya."Agustus ini aku dapat remisi, Ka," ucap Johan dengan mata berbinar."Alhamdulillah. Aksara sudah memberitahuku waktu dia baru pulang dari menjengukmu, Mas.""Ya, Alhamdulillah banget. Semoga segalanya dipermudahkan," kata Johan sambil mencium kening Mahika. Mahika juga menceritakan tentang kedua orang tuanya. Papanya ingin rujuk, tapi sang mama masih belum terbuka hatinya."Doakan saja semoga mereka bisa bersatu lagi," ucap Johan."Aamiin. Aku harap juga begitu, daripada hidu
"Mama sudah nyaman hidup seperti ini, Ka. Fokus ibadah saja sekarang," jawab wanita yang selama ini terbiasa dipanggil Bu Raul. Bahkan setelah bercerai pun para tetangga masih memanggilnya dengan sebutan itu. Wanita yang masih menampakkan gurat kecantikannya memandang sang anak yang duduk di sampingnya."Papa tampak bersungguh-sungguh, Ma." Mahika mencoba meyakinkan. Sebab tadi papanya sampai menangis mengutarakan penyesalannya. Meski Mahika pernah murka, tapi rasa iba untuk sang papa tetap ada."Papamu hanya lelah hidup sendiri nggak ada yang ngurusi. Berapa kali dia sudah mengkhianati mama. Selama ini mama diam pura-pura nggak tahu. Demi keutuhan rumah tangga ini. Mama pikir dia hanya bermain-main lalu kembali pulang. Nyatanya ada benihnya yang tumbuh di rahim wanita lain."Mahika senyap. Tidak mungkin akan memaksakan jika mamanya merasa tidak nyaman. Sang mama sendiri sebenarnya sudah tidak ingin mengingat hal menyakitkan itu lagi. Dia juga sudah bilang memaafkan perbuatan suaminya
Jam tiga mereka telah bersiap untuk berangkat. Mak Ni menggandeng Riz masuk mobil dan mendudukkan di car seat. Sedangkan Delia menggendong Fia. Samudra juga telah bersiap hendak mengajak keluarganya berakhir pekan di rumah mertuanya. Sudah lama mereka tidak menginap di sana. Tinggallah Pak Irawan dan Bu Hesti yang melambaikan tangan ke arah anak, menantu, dan cucunya yang bergerak pergi dengan kendaraan masing-masing. "Tahun depan, kita hanya tinggal berdua di rumah, Pa. Nira pasti ikut suaminya juga," kata Bu Hesti sambil memandang Pak Irawan."Iya. Sudah semestinya begitu, Ma. Tugas kita membesarkan anak-anak dan mengantarkan mereka bertemu jodohnya. Setelah itu kita harus ridho jika akhirnya harus berjauhan. Toh mereka juga bisa datang sewaktu-waktu. Kalau kita kangen sama cucu juga nggak jauh kalau ingin menemui." Pak Irawan menghibur istrinya sambil mengajak wanita yang telah mendampinginya puluhan tahun masuk ke dalam rumah.* * *Agustus merupakan puncak musim kemarau. Walau
Tiga bulan kemudian ....Rumah megah itu terlihat semarak di pagi yang cerah. Beberapa mobil terparkir di halaman depan rumah. Para kerabat dengan sabar duduk menunggu acara di mulai. Mereka berpakaian laiknya menghadiri sebuah acara resepsi.Hari itu memang acara lamarannya Xavier dan Nira. Di salah satu sudut dinding ada backdrop dengan nuansa putih berkombinasi kuning keemasan. Hiasan bunga hidup semerbak wangi memenuhi penjuru ruangan. Bunga yang terdiri dari mawar putih, mawar merah muda, melati, dan bunga peony kesukaan Nira. Warnanya beraneka macam di sana. Ada putih, merah, kuning, dan merah muda. Bunga yang melambangkan bentuk cinta, romansa, dan keindahan.Nira yang memakai kebaya warna tosca tampak duduk anggun di dampingi Delia dan Diva. Dua kakaknya itu kini berhijab rapi sudah dua bulan ini. Sepulang dari umroh, Bu Hesti mengajak dua anak perempuannya dan sang menantu untuk berhijab. Ajakan yang disambut baik oleh mereka. Tepat jam sembilan pagi beberapa mobil memasuki
Di tempat lain, Cintiara tidak bisa tidur karena harus menggendong keponakannya yang sejak tadi menangis. Bayi perempuan yang baru dilahirkan dua minggu yang lalu itu tidak mau di tidurkan di kasur.Sementara Siska tidak mau menyusui. Wanita itu memilih meringkuk memeluk guling. Tidak peduli."Tidurkan saja, nanti kamu capek dan besok kamu harus kerja," seloroh seorang wanita yang tidak lain adalah ibunya Cintiara."Kasihan, Ma. Sebenarnya dia kehausan dan mau minum ASI.""Kasihkan saja susu yang kamu buat tadi.""Dia nggak mau," jawab Cintiara sambil terus menimang-nimang bayi tak berdosa itu.Kegagalan usaha Siska untuk menggugurkan kandungannya telah berakibat fatal pada bayinya. Kelopak matanya yang indah hanya bisa berkedip-kedip menatap lurus ke atas, tapi telinganya tidak bisa merespon suara apapun yang ada di sekitarnya. Tidak ada reflek kaget saat ada suara keras di dekatnya. Bahkan matanya tidak berkedip atau mengerutkan wajah seperti pada umumnya bayi yang terkejut.Cintia
Setiap pilihan pasti akan ada konsekuensinya. Dampak dari lingkungan, circle pertemanan, dan pekerjaan. Mahika juga harus siap jika muncul banyak pertanyaan saat anaknya masuk sekolah nanti. Sebelumnya semua itu sudah ia pikirkan secara detail. Perjalanannya pun tentu tidak akan mudah setelah ini. Namun ia yakin Ubaidillah akan tumbuh menjadi anak yang kuat.Mahika menyusut air mata kemudian melipat lagi kertas istimewa itu dan menyimpannya ke dalam tas. Dipandanginya bayi mungil yang terlelap di dalam kelambu. Lalu beralih melihat ke arah ponselnya yang berpendar. Ada pesan masuk dari Aisyah yang mengucapkan selamat atas kelahiran putranya, juga mengabari bahwa besok mereka akan datang sekeluarga untuk menengok Mahika dan anaknya.[Besok kami akan datang, Mbak. Anak-anak aku izinkan nggak masuk sekolah sehari, aku dan Mas Yuda juga akan libur. Ibu, Nur, dan anaknya juga akan ikut. Tapi suaminya nggak bisa ikut karena lagi tugas.]Buru-buru Mahika membalas pesan itu. Dia bahagia menun
Di dalam mobil, Barra menunggu Delia yang masih diam. Mereka sekarang sudah berada di parkiran rumah sakit. Parcel buah dan kado telah siap di bangku tengah. Tapi seandainya Delia berubah pikiran, Barra langsung mengajaknya pergi. "Ayo, kita turun, Mas!" ajak Delia pada akhirnya. Barra mengangguk dan langsung membuka pintu. Kemudian mengambilkan parcel dan kado yang tadi mereka beli dalam perjalanan. Pria itu tersenyum pada wanita cantik yang mengaitkan tangan di lengannya. Dengan senyuman, ia ingin menguatkan wanita hebat yang amat dicintainya.Mereka menaiki lift untuk ke lantai dua, di mana Mahika di rawat. Sayangnya tadi Delia tidak sempat mengabari Samudra kalau mau menjenguk Mahika. Kalau hari aktif kerja, pasti kakaknya itu ada di rumah sakit. Tapi hari Minggu begini, biasanya dia mengajak istri dan anaknya ke rumah mertua atau ke rumah orang tua mereka sendiri.Sekarang Barra dan Delia berdiri di depan kamar perawatan Mahika. Tampak di depan pintu ada beberapa pasang sandal.
Kebahagiaan menyelimuti Mahika dan Johan. Pria itu tidak sedetikpun beralih beralih dari anak dan istrinya. Baik keluarga Johan maupun Mahika memberikan ruang untuk pasangan suami istri itu menikmati kebersamaan yang tak lebih dari sehari semalam.Mereka juga tidak peduli dengan kasak kusuk di luar kamar karena status Johan yang masih menjadi narapidana. Tentu saja perbincangan itu bermula dari beberapa orang yang melihat Johan di antar oleh petugas rutan, kemudian diceritakan kepada pengunjung lainnya. Namun pihak rumah sakit juga sudah diberitahu sebelumnya. Samudra termasuk mengambil peran, memberikan masukan bahwa Johan tidaklah berbahaya.Johan sendiri hanya ingin memanfaatkan waktu bersama putranya tanpa peduli telah menjadi bahan pergunjingan."Mas, masih ingat dokter Samudra 'kan?" tanya Mahika saat keduanya makan buah apel. Mahika sudah bisa berjalan dan kini mereka duduk berhadapan. Johan duduk di kursi menghadap Mahika yang duduk di tempat tidurnya.Sementara Bu Hanum dan m
Matahari pagi terbit dari balik gunung di sebelah timur sana. Cuaca lumayan cerah setelah kemarin sore hujan deras mengguyur mayapada. Mahika berdiri di balkon apartemen sambil mencari sinar mentari pagi. Pertemuannya dengan Delia, Barra, dan Samudra beberapa minggu yang lalu masih ia pikirkan hingga sepagi ini. Sebenarnya apapun penerimaan dan pendapat mereka tentang dirinya dan Johan, tak menjadi masalah baginya. Mahika juga paham bagaimana perasaan keluarga Delia setelah terjadi kasus itu. Dirinya tidak bisa memaksa mereka untuk benar-benar tulus memaafkan. Namun Mahika berdoa supaya kelak, pintu maaf dengan keikhlasan dari keluarga besar Pak Irawan akan diberikan untuk Johan. Semoga mereka juga mengerti dan percaya bahwa kejadian itu ada andil besar teman-teman Johan.Mahika juga tidak bisa mengontrol pemikiran orang sesuai keinginannya. Tidak bisa. Apalagi untuk menyetir pemahaman orang lain tentang semua penjelasannya. Namun ia bisa mengontrol diri supaya menerima apapun pandan