Delia memandang di seberang jalan. Dalam mobil Barra ada perempuan yang tadi dilihatnya.
Cukup lama keduanya terdiam. Delia tidak ingin bicara lebih dulu karena bukan dia yang harus menjelaskan. Sedangkan Barra masih memandangnya. Kemudian berdiri menegakkan tubuh. "Yang kamu lihat bersamaku tadi namanya Cintiara," kata Barra mulai bicara."Kekasihmu?" tanya Delia menatap manik hitam suaminya.Barra diam."Nggak usah merasa canggung atau apa. Orang nggak waras tak kenal cemburu, Mas. Nggak kenal sakit hati juga. Susah senang dia akan terus tersenyum," Delia bicara dengan tenang. Di puncak rasa sakit, kecewa, trauma, dan bayangan buruk yang sekejab tadi menjelma, Delia bisa setegar itu. Biasanya dia histeris jika ada sesuatu yang membuatnya teringat lagi oleh tragedi setahun yang lalu. Tapi kali ini dia bisa tenang. Meski sebenarnya dalam hati merasakan luka. Dia tidak gila, jadi perih tetap ia rasakan.Cak Rohmat yang baru kembali dari membeli rokok, menyapa ramah pada Barra. Kemudian menekan remote control untuk membuka pintu mobil."Permisi, aku mau pulang." Delia membuka pintu mobilnya. Tidak lama kemudian Mak Ni datang dan mengangguk hormat pada pria yang sekarang menjadi majikannya.Delia baru bisa menangis setelah mobil bergerak pergi. Mak Ni yang tak paham apa yang sebenarnya terjadi, mengira Delia mengalami hal seperti biasanya jika kambuh. Histeris, menangis, dan terkadang diam seribu bahasa.* * *"Istrimu sangat cantik," kata Cintiara saat Barra mengantarkan kembali gadis itu ke kantornya. "Dia tadi melihat kita," lanjut Cintiara lagi."Nggak apa-apa. Jangan pikirkan itu."Mobil berhenti di depan kantor tempat Cintiara bekerja. Keduanya masih terdiam beberapa menit. "Aku takut jika akhirnya kamu jatuh cinta padanya.""Nggak akan," jawab Ibarra sambil memandang wajah gadis cantik yang saat itu tengah menatapnya. Jawaban yang tidak serta merta membuat Cintiara tenang. Mereka tiap hari hidup bersama, terikat pernikahan, siapa yang bisa menjamin hati pria itu tidak tergoda. Jujur saja, meski rambut Delia dibiarkan terurai, tanpa make up, hanya berpakaian kaus putih dan celana jeans warna biru, bahkan sedang mengalami depresi, tapi diakui Cintiara kalau Delia sangat cantik dan menarik.Cintiara melihat jam tangannya. "Aku turun dulu, ya. Jam istirahat sudah selesai." Cintiara tersenyum sangat manis, lalu meraih paper bag dari kursi belakang. Barra tadi membelikannya beberapa stel baju dan sepatu.Barra segera turun dan membukakan pintu mobil untuk kekasihnya. "Terima kasih untuk hari ini," ucap Cintiara sambil tersenyum. Ibarra membalas senyum gadisnya. Pria itu kembali masuk mobil setelah Cintiara hilang di balik pintu kaca kantornya.Mulai hari ini akan menjadi rumit jika Delia cerita pada orang tuanya atau kepada orang tua Barra. Dia harus bersikap menghadapi kemarahan yang bisa menghancurkan karirnya. Barra akan kehilangan segala-galanya jika orang tuanya tahu kalau ia masih menjalin asmara dengan Cintiara, sedangkan dirinya sudah menikah. Selingkuh kan namanya?Pria itu mengembuskan napas kasar. Harusnya ia tidak menuruti Cintiara yang mengajaknya bertemu untuk makan siang. Bukankah tadi pagi ia bilang akan mengajak gadis itu ke luar kota untuk makan malam. Keadaan akan runyam sebelum ia mempersiapkan segala-galanya.* * *Delia duduk memeluk lutut di lantai kamarnya sambil menunggu video call-nya pada Samudra di terima."Assalamu'alaikum, Delia," ucapan salam terdengar bersamaan dengan munculnya wajah Samudra yang tersenyum seperti biasa."Wa'alaikumsalam. Mas, sudah pulang dari rumah sakit?""Ya, sudah sejak tadi. Hei, kenapa kamu kelihatan sedih gitu? Tadi siang kamu baik-baik saja. Ada apa, Delia?"Hening. Delia hanya menatap wajah laki-laki yang ada di layar ponselnya. Orang yang selalu bisa membuatnya tenang. Dia tidak tahu harus bicara apa? Pikirannya mengambang, entah berpijak di mana. Hanya sedih dan bingung yang terasa."Delia," panggil Samudra lagi. "Ada apa?"Gadis itu masih diam. Samudra membiarkan. Seperti yang dibilang oleh dokter Era, jangan memaksa Delia untuk mengungkapkan sesuatu tanpa kehendaknya sendiri. Bicaralah secara halus sampai dia mau terbuka dan bicara."Dengar, Delia. Apapun yang kamu rasakan saat ini. Ada Mas yang siap mendengar apapun yang sedang kamu risaukan. Ingat nggak? Apa yang selalu Mas bilang sama kamu. Jangan biarkan rasa putus asa menguasaimu. Jangan rendah diri. Kamu kuat, kamu cerdas, kamu cantik. Kamu jangan takut. Oke."Delia hanya mengangguk sambil memandang Samudra di layar ponsel."Apapun yang membuatmu ketakutan, insecure, atau was-was, jangan pedulikan. Kamu berharga. Ingat itu, kamu sangat berharga. Jangan dengarkan atau melihat apa yang membuatmu sakit, tapi perhatikan apa yang bisa membuatmu bangkit. Ayo, bangkit dan berdiri tegak, Delia. Kamu mampu, Dek.""Ya, Mas," jawab Delia sambil mengusap air mata yang menetes di pipinya.Samudra memperhatikan dan menunggunya dengan sabar. Semenjak tragedi malam itu, Delia memiliki self esteem yang rendah. Membuatnya mengalami gangguan kecemasan yang berlebihan dan membuatnya khawatir berkelanjutan.Dia hampir saja pulih, tapi pernikahannya bisa jadi membuatnya kembali mengalami duck syndrome. Samudra tidak habis pikir dengan tujuan orang tuanya menikahkan Delia dengan Barra. Di mata mereka mungkin Barra adalah pria baik-baik. Cerdas, lincah, dengan karir yang mulai mapan dan cemerlang. Tapi bukan berarti baik untuk menjadi suami Delia. Samudra penasaran, adakah tujuan lain dari perjodohan itu?Tanpa disadari Delia dan Samudra. Dari pintu kamar yang terkuak, masuk Barra dan berdiri tegak memperhatikan istrinya yang sedang melakukan video call."Mas, bener kan akhir pekan ini kita ketemu di rumah Papa?" tanya Delia."Iya. Mas akan datang. Kita ketemu ya di sana!""Hu um. Udah dulu ya, Mas. Teleponnya aku tutup.""Oke, take care, Delia. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Delia membiarkan sang kakak yang menutup panggilan. Gadis itu meletakkan ponselnya begitu saja di lantai. Ketika menoleh, ia melihat Barra sedang berdiri memperhatikan. Membuat Delia terkejut dan merapatkan tubuhnya di sisi pembaringan.Bukannya segera mandi, Barra duduk di sebelah Delia yang gemetar. "Kamu telepon siapa?" tanya laki-laki itu datar.Delia diam. Degup jantungnya kian kencang berdebar. Meski air conditioner menyala dengan suhu rendah, tapi tubuhnya berkeringat."Aku nggak marah, aku hanya tanya, kamu menelepon siapa?"Setelah menarik napas beberapa kali seperti yang diajarkan Samudra atau dokter Era ketika ia mengalami kepanikan, baru Delia bicara. "Jangan khawatir, aku nggak cerita pada siapapun tentang apa yang kulihat tadi.""Yang aku tanyakan, siapa yang kamu telepon? Kamu telepon Samudra?"Delia mengangguk."Itu saja yang ingin aku tahu. Soal kamu cerita atau nggak pada orang lain tentang aku dan Cintiara. Aku nggak peduli." Barra berdiri, mengambil handuk dan masuk kamar mandi.Di bawah guyuran air shower, pria itu termenung. Membiarkan air membanjiri tubuhnya, tapi pikirannya ke mana-mana. Melihat Delia selalu ketakutan ketika melihatnya, membuat Barra lama-lama iba. Gadis yang malang. Mereka terjebak oleh pernikahan yang sama-sama tidak mereka kehendaki. Mereka menjadi korban kepentingan orang tua kedua belah pihak. Harusnya ia tak sekasar itu pada istrinya. Apa salah gadis itu? Sedikit saja tidak pernah mengusiknya.Barra keluar kamar mandi dengan handuk yang membelit pinggang. Membuat Delia menyembunyikan wajah di antara lengan dan lututnya. Gadis itu seolah mengkerut makin kecil karena takut.Setelah memakai baju, Barra mengangkat tubuh Delia ke atas tempat tidur. Membuat wanita itu memekik kaget lantas meringkuk membelakangi Barra. "Tidurlah, sudah malam. Kamu akan masuk angin kalau kelamaan duduk di lantai." Selesai bicara Barra keluar kamar sambil menyambar ponselnya di atas meja.Pria itu tercekat, saat melihat Mak Ni berdiri mematung di depan pintu kamarnya."Ada apa, Mak?""Eh, nggak apa-apa, Pak Barra," jawab Mak Ni gugup. Dia keluar kamar karena mendengar pekikan Delia."Nggak terjadi apa-apa sama Delia. Aku hanya menyuruhnya tidur. Kalau aku lakukan sesuatu padanya pun wajar kan? Dia istriku."Mak Ni mengangguk, kemudian membuka handle pintu kamar. "Maaf, Pak Barra. Saya masuk dulu," pamit Mak Ni kemudian menghilang masuk ke kamarnya.Seperti biasa, Barra akan menghabiskan separuh malamnya di ruang kerja. Merokok, membalas chat Cintiara, mengevaluasi pekerjaan, atau sekedar main game. Setelah benar-benar mengantuk, baru masuk kamar dan tidur. Tak jarang dia tertidur di kursi putarnya hingga menjelang pagi.* * *Aroma wangi masakan menyambut penciuman Barra, saat pria itu membuka pintu kamarnya. Laki-laki yang telah berpakaian rapi itu berhenti sejenak ketika mendengar suara tawa Delia dan Mak Ni di dapur. Selama menikah, baru kali ini dia mendengar istrinya tertawa renyah. Apa yang membuatnya seceria itu pagi ini? Bukankah tadi malam Delia hanya murung, bahkan ketakutan ketika diangkatnya ke tempat tidur. Apa dia benar-benar tidak ingat dan sakit hati saat melihatnya merangkul mesra Cintiara?"Orang nggak waras tak kenal cemburu, Mas. Nggak kenal sakit hati juga. Susah senang dia akan terus tersenyum." Kalimat Delia kemarin siang kembali terngiang.Barra melangkah ke arah meja makan dan menarik salah satu kursi untuk duduk. Melihat kehadirannya, Delia langsung diam. Wanita itu meletakkan mangkuk berisi rica-rica ayam di depannya. Mengambilkan piring, air minum, dan tisu. Hal yang baru kali ini dilakukan oleh Delia semenjak menjadi istrinya.Bukannya terus ikut duduk di sana, tapi Delia pergi ke belakang. Tempat biasa Mak Ni mencuci pakaian. Dia tidak ikut sarapan, melainkan memasukkan pakaian kotor ke dalam mesin cuci. Sebuah keganjilan yang membuat Barra heran, karena Delia tidak pernah seperti itu sebelumnya. "Ada apa, Mak?""Nggak ada apa-apa, Pak Barra. Mbak Delia kalau hatinya pas ceria ya seperti ini. Dia sebenarnya sangat rajin. Tadi pagi saya bilangin jangan terus-terusan bersedih. Harus bahagia, supaya bisa seperti dulu lagi. Bisa nyetir mobil, jalan-jalan, atau kembali bekerja. Akhirnya dia bisa ceria."Ceria? Setelah memergoki perselingkuhan suaminya dia bisa ceria? Mungkin karena di antara mereka memang sama-sama tidak ada rasa atau karena Delia memang masih belum pulih psikologisnya."Siapa yang punya ide masak ayam rica-rica?" Barra penasaran. Sebab dia tidak pernah bilang kalau masakan itu adalah kegemarannya."Mbak Delia, Pak. Kebetulan Mbak Delia dan Mas dokter suka ayam rica-rica. Terus tadi liat ayam di kulkas, dia pengen masak. Saya iyakan saja. Maaf kalau Pak Barra nggak berkenan." Mak Ni merasa bersalah."Nggak apa-apa," jawab Barra kemudian melanjutkan makannya. Ternyata hanya kebetulan saja, bukan karena mereka tahu apa yang disukainya. Kebetulan yang benar-benar kebetulan. Sebab Delia dan Samudra menyukai masakan yang sama seperti kesukaannya."Bilang ke Delia, Mak. Nanti jam tujuh malam saya ajak ke rumah mama saya untuk dinner. Mama menelepon tadi," pesan Barra pada asisten rumah tangganya. Karena Delia tidak mendekatinya hingga sang suami selesai sarapan dan hendak berangkat ke kantor."Iya, Pak Barra."* * *Matahari telah lengser ke langit barat, saat Barra melangkah masuk ke sebuah restoran. Tadi Samudra menelepon untuk mengajaknya bertemu setelah pulang kerja. Malas juga sebenarnya, tapi jika ingat kemarin Delia menelepon kakaknya itu. Barra jadi kepikiran, siapa tahu istrinya telah menceritakan hubungan antara dirinya dan Cintiara. Dia tidak akan mengelak, bahkan bertekad akan mengakuinya saja."Mau minum apa?" tanya Samudra setelah Barra duduk di kursi depannya."Nggak usah. Aku nggak akan lama. Ada apa ingin bertemu denganku?""Bagaimana kabarnya Delia?"Barra tersenyum sinis. "Kenapa tanya padaku? Bukankah kamu bisa bertanya langsung padanya. Tadi malam kalian ngobrol juga di telepon, kan?"Samudra menarik napas sejenak. Rupanya Barra tahu kalau tadi malam dirinya dan Delia berbincang di telepon."Kalau dia mau jujur, aku nggak akan bertanya padamu. Delia meneleponku, tapi nggak bilang apa-apa. Hanya menangis saja."Barra diam menatap laki-laki tampan di hadapannya. Ternyata Delia tidak menceritakan tentang dirinya dan Cintiara."Barra, ketika Delia akan menikah denganmu. Dia hampir pulih. Tapi tampaknya sekarang malah makin tertekan. Jangan sampai depresinya kambuh lagi. Jika memang kamu nggak mencintainya, tapi setidaknya kamu memiliki empati terhadapnya dan bicarakan baik-baik dengan keluarga.""Kamu begitu peduli.""Karena aku kakaknya.""Kakak angkat."Samudra tersenyum dan tetap bersikap tenang. "Ya, aku hanya kakak angkat. Aku hidup dan dibesarkan oleh keluarganya. Aku akui itu karena kenyataannya memang demikian. Aku bisa memakai seragam dokter juga karena keluarganya. Aku sadar asalku dari mana. Untuk itu aku sangat peduli pada Delia. Dia adikku.""Adik yang diam-diam kamu cintai." Perkataan datar Barra membuat Samudra terkesiap. Bagaimana bisa laki-laki itu tahu tentang perasaannya?* * *"Apa perkataanku salah?" tanya Barra penuh selidik."Seorang kakak pasti mencintai dan akan melindungi adiknya," jawab Samudra. Dia harus mengendalikan emosi. Jika sampai mengaku, keadaan bisa runyam. Barra bisa menimbulkan masalah baru dengan memanfaatkan pengakuannya. Bisa saja Barra menuduhnya menjadi penyebab kehancuran rumah tangganya dengan Delia. Padahal sejak awal Samudra sudah bisa merasakan kalau hubungan mereka tidak sebaik yang dikira keluarganya. Jika suatu hari nanti dia harus bicara jujur, mesti dipastikan waktunya tepat saat itu."Aku titip adikku.""Seorang suami juga tahu apa yang harus dilakukan pada istrinya," jawab Barra cepat.Samudra menarik napas berat. "Oke, kamu lebih berhak. Tapi jangan buat dia lebih sakit dari sebelumnya. Kamu tidak tahu bagaimana dia berjuang mengatasi trauma."Hening. "Aku mengenalmu sudah lama, dokter. Semenjak remaja kita sering bertemu. Sebagai sesama lelaki, aku bisa merasakan bagaimana perasaanmu pada Delia. Bukan perasaan seorang
Tangan Delia mulai gemetar saat ingat bagaimana lelaki jahanam itu menggagahi dan menyiksa kakaknya. Gadis itu menunduk dan memejamkan mata. Kedua tangannya diapit di antara paha untuk menyembunyikan getarnya. Kemudian menarik napas berulang kali hingga dadanya tak sesak lagi.Barra yang mulai paham dengan kebiasaan Delia mengambil air minum di pintu mobilnya. "Minumlah!""Terima kasih."Dua puluh menit kemudian mereka memasuki gerbang pemukiman elite kediaman Pak Adibrata. Mobil masuk ke halaman sebuah rumah mewah berlantai dua. Barra meraih tangan Delia ketika mereka melangkah menuju teras rumah. Tangan wanita itu terasa dingin dan gemetar dalam genggaman suaminya. Baru kali ini Barra bisa merasakan kecemasan Delia. "Yang berada di dalam sana kerabat semua. Kamu nggak usah takut."Delia mengangguk pelan. Di depan keluarga mereka harus terlihat mesra.Kehadiran mereka jadi pusat perhatian karena datang paling telat. Dengan senyum ramah, Barra membalas sapaan para kerabat dan membawa
Delia kaget saat tangannya diraih oleh seseorang dari belakang. Ketika menoleh, Barra sudah berdiri di sebelahnya dan mengajaknya masuk ke kamar. "Maaf, maaf karena tadi malam aku lupa membuka lagi kuncinya," ucap Delia setelah Barra merebahkan diri di ranjang. Dan dia berdiri di samping pembaringan."Nggak apa-apa," jawab Barra dengan mata terpejam, masih mengantuk. Dia baru bisa tidur kira-kira jam tiga pagi. Setelah tahu kamarnya masih dikunci, Barra tidur di salah satu kamar kosong di lantai dua itu. Sang papa mengajaknya bicara hingga jam satu malam. Bukan bicara tentang pekerjaan saja, tapi bagaimana dia harus memperlakukan Delia yang sebenarnya belum benar-benar pulih. Rupanya selama ini papanya mengawasi, bisa jadi bertanya juga pada Mak Ni. "Barra, papa nggak ingin mendengar kamu menyia-nyiakan Delia. Awas saja kalau kamu jadi lelaki yang nggak tahu tanggungjawab."Baru saja Delia duduk di sisi ranjang sebelah Barra, ia dikagetkan oleh sang suami yang kembali bangun dari ti
"Assalamu'alaikum, Mas.""Wa'alaikumsalam. Lagi ngapain?""Lagi santai. Mas Sam, di rumah sakit ya?""Ya, habis Shalat Zhuhur. Kamu sudah shalat?""Belum.""Loh, udah jam berapa ini? Bentar lagi udah masuk waktu Asar. Mas saja hampir telat tadi. Delia, jangan tinggalkan shalat selagi kamu tidak uzur. Shalat dulu, ya!""Iya, Mas.""Shalat dulu, nanti baru telepon mas lagi.""Hu um." Delia mematikan panggilannya dan segera bangkit untuk menemui Mak Ni yang tengah menyetrika. Ingin sembahyang di kamar wanita itu saja.Delia menatap ujung sajadah cukup lama setelah selesai berdoa. Ada tenteram yang menyusup perlahan ke sanubarinya. Ada ketenangan menghuni jiwanya. Gadis itu menunduk dan menangis. Ia memang harus kembali pulih dan bangkit. Biar pengorbanan yang dilakukan Samudra yang setia mendampinginya tidak sia-sia. Supaya orang tuanya juga bahagia melihatnya pulih seperti sedia kala.* * *"Mak Ni, mana kunci pintu balkon? Aku ingin mencari udara segar di luar." Delia mendekati pembant
Barra termenung di kursi ruang kerjanya sambil memperhatikan map warna kuning yang ada di atas meja. Di situ sudah lengkap surat-surat persyaratan untuk pengajuan nikah secara hukum negara. Namun perkataan Delia tadi malam masih tergiang di telinga. "Nggak usah, Mas. Nggak perlu ngurus surat nikah ke KUA. Mas, layak mendapatkan perempuan yang jauh lebih baik dariku. Aku ini ... perempuan nggak waras. Kekasihmu pasti jauh lebih baik untuk menjadi istrimu."Tidak waras. Dirinya pernah mengatakan hal itu juga, tapi sekarang kenapa ikut merasakan sakit ketika Delia mengatai dirinya sendiri. Sekejam itukah Barra?Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan laki-laki berkemeja warna biru itu. "Masuk!" perintahnya.Muncul office boy yang tadi dimintanya untuk membelikan makan siang karena ia malas keluar. "Makasih," ucapnya pada pemuda yang mengangguk hormat padanya.Baru saja membuka kotak nasi, ponselnya di atas meja berdenting. [Aku sedang makan siang. Kamu sudah makan apa belum?] Cintiara
Pak Irawan kemudian mengalihkan percakapan dengan membahas bisnisnya. Samudra anak yang paling bisa mengerti kalau diajak cerita, meski bisnis bukan dunianya. Dia tidak perlu lagi membahas tentang jodoh untuk Samudra. Sejak awal dia dan istrinya sudah sepakat memberikan kebebasan pada sang putra. Padahal banyak rekan bisnis mereka yang memiliki putri berprestasi, ada yang dokter juga, bahkan sudah ada rekan Pak Irawan yang berniat menjodohkan putrinya dengan Samudra. Namun Pak Irawan tidak ingin memaksakan kehendaknya. Dia menghargai keputusan anak lelakinya. Nanti saja kalau sudah kelewat usia dan Samudra belum segera menikah, baru mereka akan mengambil sikap.* * *Sabtu pagi keluarga Pak Irawan bersiap-siap hendak bepergian. Tadi malam telah disepakati kalau mereka akan traveling hari itu. Kulineran, pergi ke pacuan kuda, dan akan menginap di Malang. Kebetulan Samudra tidak ada jadwal piket untuk hari Sabtu ini.Dua mobil dipersiapkan. Satu mobil milik Pak Irawan, satunya lagi mobi
Sepanjang perjalanan tol Sidoarjo-Malang Delia sibuk dengan ponselnya. Dia melihat ulang video yang dikirimkan oleh sang adik. Senyum menghiasi bibirnya yang merah muda alami tanpa polesan lipstik. Di video itu Samudra memilih menjajarinya ketimbang menuruti tantangannya untuk berpacu dengan tunggangan masing-masing. Pasti kakaknya khawatir, karena baru pertama kali setelah setahun ini dirinya tidak pernah menunggang kuda. Makanya lebih memilih menjaganya daripada berlomba. "Kamu kakak yang baik, kamu anak yang berbakti, tentunya kamu akan jadi suami idaman yang sangat bertanggungjawab. Semoga kamu akan mendapatkan jodoh wanita sholehah, Mas." Doa tulus dalam hati Delia untuk Samudra, sambil menatap lekat video di layar ponsel.Apa yang dilakukan Delia tidak luput dari perhatian Barra. Walaupun laki-laki itu tengah mengemudi dan fokus pada jalan tol yang ramai oleh pengguna jalan. Namun ia tahu apa yang sedang dilakukan istrinya. Kira-kira apa tanggapan Delia jika laki-laki yang dian
Delia kembali masuk ke kamar untuk berganti pakaian. Dia memakai daster bercorak polkadot warna toska sebatas lutut. Rasa gamang dan takutnya berada dalam satu kamar dengan Barra kian terkikis. Toh dua bulan bersama, pria itu cukup anteng. Tentu saja tidak berselera karena yang dia cintai hanya Cintiara. Buktinya ketika melihat dirinya hanya memakai dalaman saja, pria itu memilih pergi meninggalkannya. Padahal Delia sebenarnya sangat ketakutan waktu itu.Selesai makan kantuknya datang, karena faktor kelelahan juga. Menunggu beberapa menit lagi untuk rebahan sudah tidak tahan. Jika Samudra tahu habis makan langsung tidur, pasti dirinya kena tegur.Barra masuk kamar setelah Delia terlelap. Istrinya tidur miring menghadap ke dinding seperti biasanya. Enam puluh hari ini, belum pernah sekalipun Delia tidur menghadap dirinya. Betah sekali tubuhnya miring ke satu arah saja.Beberapa saat lamanya Barra memandang wanita yang telah pulas dengan selimut menutupi kakinya. Setelah itu perlahan Ba