Share

Part 7

Sarapan di piring sudah ludes masuk ke dalam perut. Nara yang kembali membereskan segalanya. Piring kotor dan sampah ia letakkan di tempat semestinya.

 

“Kamu mau ngomong apa, Dan? Aku penasaran banget.” Dia mendekatiku.

 

Aku menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Semoga setelah aku berbicara kepada Nara akan ada kesimpulan dan solusi terbaik.

 

“Tentang Faniza, Ra. Aku mau menikahinya, tapi dia selalu menolak. Aku bingung, padahal wanita lain ingin sekali menikah denganku. Ini malah ditolak terus.” Raut wajahku mendadak sayu.

 

“Ngapain menikah? Kalian sudah biasa berhubungan badan ‘kan? Hahaha.” Nara justru meledekku. Keningnya pun mengernyit. Dasar memang.

 

“Jangan gitu dong. Tau sendiri kan, pekerjaan Faniza kayak apa? Aku mau dia berhenti dari dunianya yang suram itu. Aku mau semua miliknya menjadi milikku seorang, Ra.”

 

“Apa bedanya sama kamu? Kamu juga gitu kan? Wanita mana saja diembat. Kenapa Faniza disuruh berhenti dari pekerjaannya? Aneh sih.”

 

Aku memukul lengannya dengan tangan yang mengepal. Jawabannya selalu saja membuatku emosi. Aku sedang serius, malah dianggap bercanda. Ingin kujitak kepalanya keras-keras.

 

“Ngapain mukul aku! Sakit tau! Kamu pikir tanganmu selembut kapas, hah!” Dia memprotesku dan memegang lengannya bekas pukulan yang kuhadiahkan untuknya.

 

“Aku serius! Jangan bercanda terus!” Aku melotot padanya.

 

“Aku juga nggak bercanda kok. Aku benar kan, kalau kamu itu suka tidur sama cewek lain juga? Terus apa bedanya? Kenapa kamu melarang Faniza? Perbaiki dirimu dulu dong.”

 

“Iya, aku juga tau aku salah. Tapi, dia yang menyuruhku untuk bersenang-senang sama wanita lain. Aku melakukan semua itu tanpa rasa cinta, Ra. Seandainya Faniza mau kunikahi, mungkin aku nggak akan memainkan wanita lain lagi. Aku sudah sangat bahagia kalau Faniza mau menikah denganku.”

 

“Terus kenapa Faniza menolakmu? Bukannya dia juga suka sama kamu? Buktinya dia nggak mau dibayar kalau habis main sama kamu. Itu katamu sih. Aku nggak tau kenyataannya. Hehehe.”

 

“Iya … dia memang mau melakukan apa saja untukku tanpa uang sepeser pun. Aku juga meyakini kalau dia suka kepadaku. Tapi entahlah, dia selalu menolak untuk kunikahi. Katanya dia harus tetap bekerja untuk menunaikan tanggung jawabnya. Padahal aku sudah bersedia menggantikan posisinya kalau dia mau menikah sama aku. Tetap saja dia nggak mau. Dia nggak mau cerita tentang masalah pribadinya. Aku jadi bingung, Ra.”

 

“Dia ‘kan sudah bekerja di kantor, apa uang masih kurang? Dia suka berfoya-foya mungkin.”

 

“Aku tau, dia nggak suka kayak gitu. Mangkanya aku jadi tambah bingung. Sebenarnya apa masalah yang ia tutupi dariku.” Aku mengembuskan napas karena terasa semakin berat.

 

“Intinya dia butuh uang banyak. Apa dia tetap nggak mau, meski tau kalau kamu orang kaya?”

 

“Iya, dia tetap menolak. Aku jadi kepikiran sesuatu agar dia mau menikah denganku, Ra.”

 

“Apa?”

 

“Dia sangat berhati-hati saat berhubungan. Katanya takut hamil, nanti nggak bisa kerja kayak gitu lagi. Selama ini memang selalu pakai pengaman biar dia nggak hamil. Aku jadi kepikiran mau kutusuk-tusuk kondom itu biar kebobolan. Kalau hamil, aku tanggung jawab dan bisa menikah dengannya. Hehe.”

 

“Gila kamu, Dan, Dan. Nanti orang tuamu gimana? Pasti marah besar, Dan. Apa nggak ada cara lain? Padahal ibumu sangat percaya kamu di sini masih kayak dulu. Anak yang bisa menjaga diri. Kalau nekat begitu, nasibmu gimana nanti?”

 

“Nggak ada cara lain, Ra. Faniza akan berhenti dari pekerjaan kotornya saat dia hamil saja. Aku juga cemburu banget waktu banyak om-om yang telepon padanya. Aku nggak habis pikir, badannya tergadaikan begitu saja. Aku nggak terima, Ra.”

 

“Hmmm, bukannya kamu sama saja kayak om-om itu, Dan? Kamu sudah banyak menjamah banyak wanita lain di luar sana. Hahaha.”

 

“Nara! Aku lagi serius! Kamu jangan ngomong kayak gitu terus! Bantu aku cari solusinya kek. Aku benar-benar jatuh cinta sama Faniza. Aku janji nggak akan menyentuh wanita lain kalau Faniza sudah kudapatkan. Bantu aku dong.”

 

“Hahaha. Seorang Zidan akhirnya menyerah juga di tangan seorang wanita. Terlalu bucin kau! Hahaha.”

 

“Biarlah … aku nyaman sama dia. Gimana? Apa aku harus melakukan cara itu? Aku nggak mau melihat Faniza dipegang oleh laki-laki selain diriku. Kalau bisa, aku akan menghajar laki-laki itu. Tapi nggak bakal bisa, itu memang pekerjaannya.”

 

“Kamu nggak mikirin perasaan orang tuamu?”

 

“Mungkin harus begitu caranya, Ra. Aku juga sudah capek melampiaskan hasratku pada wanita lain. Aku mau serius sama Faniza. Kamu mendukungku ‘kan?”

 

“Kalau memang itu yang terbaik, ya sudah. Terserah kamu saja, Dan. Semoga saja, kamu bisa kembali kayak dulu setelah mendapatkan Faniza. Aku pasti mendukungmu. Meski tetap saja caramu itu salah.”

 

“Iya Ra, aku suka kebebasanaku. Aku bahagia menjalani hidupku kayak gini. Tapi aku punya niat untuk berhenti kalau sudah mendapatkan Faniza. Caranya dia harus kuhamili agar mau menikah denganku. Menurutku nggak ada cara lain.”

 

Nara membuang napasnya. Mungkin dia bingung harus memberikan solusi apa kepadaku. Semua caraku memang salah. Tetapi, hanya cara seperti itu yang mungkin bisa menaklukkan hati Faniza.

 

“Terserah kamu saja, Dan. Kamu sudah tau baik dan buruknya. Semua ada di tanganmu.”

 

Nara tidak berani mengiyakan pendapatku. Dia berada di zona abu-abu. Semua kembali padaku. Meski begitu, aku tetap merasa lega sudah bercerita kepadanya. Meski semua kembali lagi padaku. Keputusan tetap ada di tanganku.

 

“Tentang restu orang tuaku, itu dipikirkan belakangan. Kalau aku membawa Faniza dengan keadaan hamil, sudah pasti kami akan langsung dinikahkan. Bagaimanapun, orang tuaku pasti nggak akan mau merasa malu di depan umum. Entah mereka akan marah atau nggak, yang penting aku sudah menikah dengan Faniza. Itu yang terbaik, Ra. Aku akan melakukannya. Menikahi Faniza adalah keingiannku yang harus terwujud.”

 

“Ya, terserah saja, Dan. Tapi apa Faniza nggak akan marah kalau kamu menggunakan cara kayak gitu? Padahal dia mati-matian mempertahankan agar dirinya nggak hamil hanya untuk tetap bekerja sampingan dan mendapat uang lebih.”

 

“Aku akan menaggung segala yang menjadi tanggungannya. Entah itu apa, aku siap, Ra.”

 

“Ya oke. Kalau bisa, kamu cari tau juga tentang alasannya itu. Tanggungan apa yang dia maksud.”

 

“Itu gampang, Ra. Setelah aku menghamilinya, semua akan kukorek alasan yang selama ini dia tutupi dariku.”

 

“Iya, semoga apa yang kamu harapkan bisa berjalan dengan lancar, Dan. Aku nggak bisa berbuat apa-apa.”

 

“Hahaha. Iya bener. Aku mau cari solusi ke sini, tetap saja kamu nggak memberikan jawaban yang memuaskan. Tapi terima kasih, sudah mau mendengarkan kegalauanku. Hahaha.”

 

“Gini-gini aku tetap temanmu. Pastilah aku mau mendengarkan semua permasalahanmu. Zidan kok galau, nggak pantes, Dan. Hahaha. Padahal wanita pada ngantri, malah milih orang yang selalu menolakmu. Manusia memang aneh.”

 

“Iya, aku juga heran.”

 

Setelah percakapanku dengan Nara usai, aku mengajaknya pergi ke gym. Daripada tidak ada kegiatan, lebih baik membentuk badan agar terlihat semakin menawan di mata wanita.

 

*** 

 

Hari sudah sore, aku dan Nara masih betah di tempat gym. Sejak jam sebelas sampai jam tiga sore, kami masih sibuk dengan segala yang ada di dalam tempat gym ini.

 

Kring, kring, kring ….

 

Ponselku berdering. Aku segera mengambilnya. Biasanya ibu akan meneleponku. Mungkin saja, panggilan itu memang dari beliau.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status