Share

Part 8

Author: Khanna
last update Last Updated: 2021-10-02 17:22:50

“Dan, jemput aku di bandara sekarang juga.”

 

“Lho, Ay. Ngapain di situ?”

 

“Jemput aku dulu. Ceritanya nanti kalau sudah ada kosanmu. Aku tunggu, cepat ya.”

 

“Iya, Ay.”

 

Panggilan itu terputus. Ternyata yang menghubungiku adalah Faniza. Dia memintaku untuk menjemputnya di bandara. Aku bingung, kenapa dia berada di tempat seperti itu? Bukannya dia sedang bekerja melayani om-om?

 

“Ra, aku pergi dulu. Kamu pulang pakai ojek online saja ya? Ini masalah penting.” Aku bergegas membereskan barang-barang yang kubawa ke dalam tas.

 

“Masalah penting apa?” Nara melihatku menunggu jawaban.

 

“Biasalah, tentang Faniza. Sudah ya, aku pergi dulu.”

 

“Dasar bucin!” ejeknya.

 

Aku mengacungkan jari tengah kepadanya seraya pergi membawa tas di pundak. Aku berlari menuju ke parkiran motor untuk mempersingkat waktu. Ada perasaan khawatir di dalam dada.

 

“Sebenarnya ada apa sih, kenapa Faniza ada di bandara?” Aku bergumam saat mengendari motor, menyusuri jalan menuju ke tempat Faniza berada.

 

Tak butuh waktu lama, aku pun sampai di bandara. Sengaja motor ini melaju sangat kencang. Aku khawatir akan terjadi apa-apa pada Faniza jika terlalu lama di jalan.

 

“Ay! Ngapain kamu di sini!” Aku berlari menghampirinya yang sedang duduk menunggu. Dia sedang asik bermain ponsel.

 

“Eh sudah sampai. Ayo pulang.” Dia bangkit dari duduknya dan menggandeng tanganku, serta meminta untuk pergi dari sini. Senyumnya diukir manis hanya untukku.

 

“Jawab dulu pertanyaanku. Kenapa kamu di tempat ini?” Kuulangi pertanyaan yang sama. Rasa penasaranku semakin memenuhi relung hati.

 

“Ayo pulang dulu ke kosanmu. Nanti aku ceritakan semuanya di sana. Aku capek banget, Dan.” Dia bergelayut manja padaku. Tentu saja, aku luluh seketika dan menuruti apa kemauannya.

 

“Ya sudah, ayo pulang dulu.” Aku mencubit hidungnya yang mancung.

 

“Ihh, sakit, Dan,” protesnya seraya menyingkirkan tanganku.

 

“Kamu sih, manja. Jadi gemes. Hehe.”

 

Kami berjalan beriringan. Tangan Faniza bergelayut manja di lenganku. Saat ini, aku merasa sebagai laki-laki yang sangat berharga. Faniza memperlakukanku seperti ini. Tanpaku sepertinya hidupnya hampa, begitu juga denganku. Aku yakin Faniza cinta kepadaku.

 

Menurut kata orang, kami sangat cocok. Aku tampan dan Faniza cantik. Mereka mengira kami sudah resmi berpacaran, karena memang setiap harinya selalu bersama. Aku sangat mengharapkannya, tetapi pada kenyataannya status kami tidak jelas. Meski begitu, Faniza enjoy saja. Tentu saja, aku jadi enak.

 

Sebagian dari mereka menganggap kami masih bersaudara. Wajah kami memang mirip. Ada bagian tertentu yang membuat kami menjadi terlihat sebagai kakak beradik. Bagiku mungkin karena berjodoh. Katanya jodoh adalah cerminan diri. Tanpa disadari wajah akan terlihat mirip satu sama lain.

 

“Jadi apa masalahnya? Kenapa kamu bisa ada di sana, Ay?”

 

Sesampainya di indekos, aku kembali mencercanya dengan pertanyaan yang sama. Dari tadi aku sudah sangat penasaran dan menahan sebisa mungkin. Saat di jalan aku pun ingin bertanya, tetapi mengurungkannya. Faniza pasti tidak akan menjawab. Lebih baik diam saja dan menikmati dekapan eratnya.

 

“Penasaran banget?” Dia mengucapkannya dengan sangat santai dan melewatiku begitu saja menuju ke tempat tidur.

 

“Ya iya dong. Apa? Cepat ceritakan padaku, Ay.” Aku membuntutinya dan ikut duduk di kasur.

 

“Aku mau dibawa pergi sama om-om.” Dia merebahkan badan dan menatap langit-langit.

 

“Terus?” Aku masih penasaran dengan ceritanya.

 

“Ya nggak mau dong. Dia mengancamku. Tapi aku lari ke security. Aku ngomong kalau om-om itu menggangguku. Ya sudah deh. Aku disuruh duduk di tempat yang lebih aman.”

 

“Terus?” Pertanyaanku masih sama saja.

 

“Ya duduklah. Nunggu kamu datang. Aku ngomong kalau aku baru saja antar teman ke bandara. Terus lagi nunggu jemputan pulang malah diganggu sama om-om. Gitu sih.”

 

“Oh gitu? Pintar dong. Hehehe.”

 

“Pasti dong. Aku sudah beberapa kali mau dibawa kabur sama orang. Katanya nggak mau melepaskan wanita secantik aku. Hehe. Banyak buktinya kan, kalau aku memang cantik. Nggak kaleng-kaleng.” Senyumnya mengembang sangat manis.

 

“Iya Ay, kamu itu sangat cantik. Aku saja ingin membawamu pergi ke KUA, malah kamu nggak mau.” Wajahku tepat di hadapannya, menatap matanya dengan serius.

 

“Apa sih, Dan? Kita nggak nikah saja sudah bisa bersenang-senang kayak gini kok. Kamu mau yang gimana lagi?” Tangannya menarik hidungku.

 

“Nggak tau, Ay. Intinya aku mau kamu seutuhnya. Aku mau menikah sama kamu, Ay. Mau ya? Semua masalahmu akan menjadi masalahku juga. Kita berdua melangkah bersama, Ay. Kamu bisa berhenti dari pekerjaan itu.”

 

Jari lentiknya yang tadi memainkan hidungku, kini berhenti. Dia mengembuskan napasnya. Guratan wajahnya terlihat memendam sebuah masalah teramat besar. Jika aku menekannya untuk bercerita, aku takut dia malah akan tidak nyaman dan akhirnya marah kepadaku.

 

“Jangan sekarang, Dan. Nanti kalau aku sudah siap, aku akan ngomong sama kamu. Tolong ya, jangan bahas ini lagi. Atau mungkin kamu cari wanita lain saja yang mau cepat dinikahi. Aku nggak bisa kalau harus cepat-cepat menikah, Dan. Maaf ya?”

 

Jawaban yang sudah aku perkirakan. Namanya berusaha,harus berulang kali bukan? Tentu aku tidak menyerah untuk kembali bertanya soal hal yang sama. Tetapi karena Faniza sudah meminta sampai memohon seperti itu, mungkin aku tidak lagi bertanya menyangkut persoalan ini. Mungkin aku harus secepatnya merealisasikan ide gilaku.

 

“Iya Ay, maaf ya kalau aku membuatmu nggak nyaman. Tapi ingat ya, aku akan selalu menunggumu. Aku selalu ada untukmu.” Aku mendaratkan bibir di pipinya.

 

Faniza tersenyum dan membelai rambutku yang menjuntai di kening. Gaya rambutku memang agak panjang dan berponi. Jika tahu Kim Seok Jin, itulah gambaranku. Wanita mana yang bisa menolak pesonaku. Ya, kecuali Faniza, meski sudah sering mengajaknya untuk menikah tetap saja ditolak mentah-mentah.

 

Aku pun tidak tahu kenapa bisa sangat menyukai wanita itu. Padahal banyak yang sudah mengantri menginginkan pinanganku. Aku mau berhubungan dengan wanita lain hanya untuk pelampiasan saja. Siapa suruh mereka mendekat dan menggodaku. Mereka yang menginginkannya sendiri, tentu aku tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada.

 

“Ay, nanti malam aku mau lagi ya?” Aku tidur di sebelahnya, menggenggam erat tangannya.

 

“Boleh. Apa sih yang nggak buat kamu, Dan. Hehehe.”

 

“Terima kasih.” Kukecup tangannya yang ada digenggamanku.

 

“Kamu yang selalu ada untukku, Dan. Mana mungkin aku menolaknya.”

 

Aku hanya mengangguk dan menikmati kebersamaan ini. Mungkin suatu saat nanti, aku bisa membawa Faniza pulang dan mempertemukannya kepada ayah dan ibu.

 

*** 

 

“Dan, aku mau mandi.  Katanya kamu mau, aku harus mandi dulu dong.”

 

“Iya Ay, sana mandi. Aku tadi sudah mandi. Harus wangi dong.” Tanganku mencolek dagunya yang lancip.

 

“Iya, Zidan.” Dia menghilang di balik pintu kamar mandi.

 

“Mumpung Faniza mandi, aku siapkan dulu semuanya,” gumamku seraya mencari kondom di laci nakas.

 

Malam ini aku berniat merealisasikan ide gilaku. Semoga saja, kondom yang sudah aku tusuk-tusuk dengan jarum akan membuat Faniza menjadi hamil. Ya, aku sangat berharap cairan itu masuk menembus rahimnya dan mencari sel telur untuk dibuahi. Dengan seperti itu, mungkin Faniza akan mau menikah denganku secepatnya dan dia akan meninggalkan pekerjaan busuknya itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta yang Salah   Part 40

    “Apa mungkin ini orang yang sama? Ah … kayaknya bukan. Eh tunggu, kayaknya aku pernah lihat orang ini, tapi di mana ya?” Isi di dalam kepalaku kembali memutar waktu ke belakang.“Oh iya, wanita di dekat lampu merah yang nolongin orang gila itu, iya ini kayaknya orang yang sama. Hmm, alamatnya di mana?”Aku pun membaca keterangan yang ada di dalamnya. Justru salah fokus tentang status perkawinannya. Di sana tertulis cerai hidup. Artinya saat ini wanita pemilik dompet ini adalah seorang janda. Aku yakin, orang ini bukan bu gurunya Alicia. Salah aku juga terlalu cuek dengan lingkungan sekolahnya anak gadisku. Dengan bu gurunya saja tidak mengenalnya. Apalagi posisinya sebagai guru baru.“Aku simpan dulu, tunggu sampai besok. Kalau nggak ada yang mencarinya, terpaksa aku yang harus mengembalikannya.”Dompet itu kusimpan di dalam laci meja kantor. Aku pulang malam. Jadi, tidak enak saat akan datang ke rumah jand

  • Cinta yang Salah   Part 39

    “Oh ya? Alis seneng dong, kalau lagi sama bu guru.” Sekilas aku melihatnya, karena saat ini sedang menyetir mobil.“Seneng banget dong, Pi. Bu guru baru sih, tapi Alis sudah seneng sama dia, Pi. Baik banget.”Nada bicaranya yang manja, membuatku menjadi tersenyum-senyum sendiri. Meski Alis berbeda dari anak seusianya, tetapi dia tetap merasakan kebahagiaan seperti yang lainnya. Setiap harinya selalu ceria. Semoga hal baik seperti ini akan terus dirasakan olehnya sampai kapan pun. Andai saja, Faniza masih hidup, dia pasti akan sangat bahagia melihat anak gadisnya yang tumbuh cantik dan pintar seperti sekarang ini.Sejak kematian Faniza, aku menutup diri dari wanita lain. Hidupku fokus hanya untuk mengurus Alicia saja. Rasa cinta itu mungkin ikut mati bersama dengan kepergiannya untuk selamanya. Alasanku masih berdiri kokoh di dunia ini, hanya karena malaikat kecilku. Dia masih sangat membutuhkanku. Tentu saja, aku pun harus bisa sekuat baj

  • Cinta yang Salah   Part 38

    Aku mencoba membuka mata perlahan. Sejenak bergeming, saat mendapati diri ini sedang terbaring di ranjang pesakitan. Sekujur tubuhku terasa sakit. Ingatan ini mencoba untuk lebih fokus dan kembali memutar waktu ke belakang. Apa yang sebenarnya telah terjadi padaku? Kenapa sekarang aku tak berdaya di ruangan bernuansa putih seperti ini?Saat serpihan ingatan itu mulai terkumpul, seketika itu terperanjat dan ingin bangkit dari pembaringan ini. Namun, badanku terasa sangat sakit. Ada seseorang yang melarangku bangun saat menyadari diri ini telah tersadar.“Zidan! Jangan bergerak dulu. Kamu sedang berada di rumah sakit, Dan. Kamu baru saja kecelakaan.” Ibu yang melarang dan seketika mendekatiku. Matanya sembap, mungkin air matanya tak mau berhenti.“Bu! Faniza sama Alicia di mana, Bu? Dia baik-baik saja ‘kan?”Pertama yang akan ditanyakan, tentu tentang istri dan anakku. Aku gusar saat melihat di ruangan ini hanya ada aku seorang

  • Cinta yang Salah   Part 37

    “Mi, bangun, Mi. Ayo kita pergi dari sini. Bangun, Mi.”Saat dini hari, aku sudah berusaha membangunkan Faniza dari tidurnya. Aku berniat pergi meninggalkan rumah ini tanpa permisi. Semua dilakukan agar pernikahanku baik-baik saja. Sudah dipikirkan berapa kali pun, tetap saja aku tidak ingin meninggalkannya. Cinta ini buta hanya untuk Faniza seorang.“Pi, kenapa kamu sudah membangunkanku sepagi ini?” Faniza mengerjap dan berusaha duduk di sampingku.“Mi, ayo kita pergi dari sini, Mi. Aku nggak mau berpisah darimu. Aku sangat mencintaimu, Mi. Ayo, Mi. kita pergi sekarang juga.”Faniza tertegun mendengrakan ucapanku. Matanya membelalak tak percaya. Keningnya pun mengerut.“Kamu gila, Pi? Kita nggak sepatutnya melakukan hal semacam itu, Pi. Kita turuti saja permintaan orang tuamu. Ayah pasti nggak akan menelantarkanku, Pi. Dia baik banget. Apalagi dia tau sekarang aku adalah anak kandungnya. Meski kita berpisa

  • Cinta yang Salah   Part 36

    Saat di dalam mobil, hingga sampai di rumah. Semua membisu. Amarahku sangat membara di dalam dada. Pertanyaanku lagi-lagi belum terjawab seutuhnya. Ada saja yang memotong bagian terpenting itu. Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu? Kenapa juga harus aku yang menanggung perbuatan mereka. Sangat tidak adil.“Yah. Jelaskan sekarang juga.”Kami baru saja memasuki rumah. Namun, rasa penasaran di dalam dada ini sudah tidak tertahankan lagi.“Baik, Dan. Kita duduk dulu di sana. Kita bicarakan baik-baik.”Ayah menunjuk ke ruang keluarga yang cukup luas. Kami pergi ke sana dan duduk di tempat masing-masing.“Kamu harus dewasa ya, Dan. Pikirkan baik-baik apa yang seharusnya akan kamu lakukan nanti. Ayah hanya tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada kalian.”“Iya, Yah! Katakan sekarang, jangan lama-lama. Aku mau tau semua yang terjadi di masa lalu.”Aku tak sabar dan selalu menekan agar aya

  • Cinta yang Salah   Part 35

    “Mana mungkin kamu menikah sama anaknya mas Lutfan. Kamu nggak boleh menikah sama dia, Faniza. Jangan menikah sama anaknya mbak Salwa. Itu nggak boleh terjadi.”Aku tercengang mendengarnya. Dari mana ibu mertuaku mengetahui nama ibuku? Apa Faniza sudah memberitahukannya?“Bu, kenapa ibu tau nama istrinya ayah mertuaku? Aku belum pernah cerita apa pun sama Ibu ‘kan? Apa Ibu hanya mengarang saja?”Faniza pun heran sepertiku. Alisnya mengerut seolah kepalanya dipenuhi oleh banyak pertanyaan.“Kamu nggak boleh nikah sama dia, Faniza. Itu mas Lutfan, ayahmu.”“Bu! Ibu jangan seperti ini! Ibu itu gila. Jiwa Ibu terganggu. Ibu nggak boleh ngomong seperti ini, Bu. Mereka orang tua suamiku, Bu. Orang tuanya Zidan. Mereka ke sini ingin menjenguk besannya. Iya, Ibu sekarang sudah punya besan, Bu. Ada cucu Ibu juga. Aku sudah punya anak sama Zidan. Namanya Alicia, Bu. Ibu cepat sehat ya? Biar bisa cepat main sama

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status