Share

Part 8

“Dan, jemput aku di bandara sekarang juga.”

 

“Lho, Ay. Ngapain di situ?”

 

“Jemput aku dulu. Ceritanya nanti kalau sudah ada kosanmu. Aku tunggu, cepat ya.”

 

“Iya, Ay.”

 

Panggilan itu terputus. Ternyata yang menghubungiku adalah Faniza. Dia memintaku untuk menjemputnya di bandara. Aku bingung, kenapa dia berada di tempat seperti itu? Bukannya dia sedang bekerja melayani om-om?

 

“Ra, aku pergi dulu. Kamu pulang pakai ojek online saja ya? Ini masalah penting.” Aku bergegas membereskan barang-barang yang kubawa ke dalam tas.

 

“Masalah penting apa?” Nara melihatku menunggu jawaban.

 

“Biasalah, tentang Faniza. Sudah ya, aku pergi dulu.”

 

“Dasar bucin!” ejeknya.

 

Aku mengacungkan jari tengah kepadanya seraya pergi membawa tas di pundak. Aku berlari menuju ke parkiran motor untuk mempersingkat waktu. Ada perasaan khawatir di dalam dada.

 

“Sebenarnya ada apa sih, kenapa Faniza ada di bandara?” Aku bergumam saat mengendari motor, menyusuri jalan menuju ke tempat Faniza berada.

 

Tak butuh waktu lama, aku pun sampai di bandara. Sengaja motor ini melaju sangat kencang. Aku khawatir akan terjadi apa-apa pada Faniza jika terlalu lama di jalan.

 

“Ay! Ngapain kamu di sini!” Aku berlari menghampirinya yang sedang duduk menunggu. Dia sedang asik bermain ponsel.

 

“Eh sudah sampai. Ayo pulang.” Dia bangkit dari duduknya dan menggandeng tanganku, serta meminta untuk pergi dari sini. Senyumnya diukir manis hanya untukku.

 

“Jawab dulu pertanyaanku. Kenapa kamu di tempat ini?” Kuulangi pertanyaan yang sama. Rasa penasaranku semakin memenuhi relung hati.

 

“Ayo pulang dulu ke kosanmu. Nanti aku ceritakan semuanya di sana. Aku capek banget, Dan.” Dia bergelayut manja padaku. Tentu saja, aku luluh seketika dan menuruti apa kemauannya.

 

“Ya sudah, ayo pulang dulu.” Aku mencubit hidungnya yang mancung.

 

“Ihh, sakit, Dan,” protesnya seraya menyingkirkan tanganku.

 

“Kamu sih, manja. Jadi gemes. Hehe.”

 

Kami berjalan beriringan. Tangan Faniza bergelayut manja di lenganku. Saat ini, aku merasa sebagai laki-laki yang sangat berharga. Faniza memperlakukanku seperti ini. Tanpaku sepertinya hidupnya hampa, begitu juga denganku. Aku yakin Faniza cinta kepadaku.

 

Menurut kata orang, kami sangat cocok. Aku tampan dan Faniza cantik. Mereka mengira kami sudah resmi berpacaran, karena memang setiap harinya selalu bersama. Aku sangat mengharapkannya, tetapi pada kenyataannya status kami tidak jelas. Meski begitu, Faniza enjoy saja. Tentu saja, aku jadi enak.

 

Sebagian dari mereka menganggap kami masih bersaudara. Wajah kami memang mirip. Ada bagian tertentu yang membuat kami menjadi terlihat sebagai kakak beradik. Bagiku mungkin karena berjodoh. Katanya jodoh adalah cerminan diri. Tanpa disadari wajah akan terlihat mirip satu sama lain.

 

“Jadi apa masalahnya? Kenapa kamu bisa ada di sana, Ay?”

 

Sesampainya di indekos, aku kembali mencercanya dengan pertanyaan yang sama. Dari tadi aku sudah sangat penasaran dan menahan sebisa mungkin. Saat di jalan aku pun ingin bertanya, tetapi mengurungkannya. Faniza pasti tidak akan menjawab. Lebih baik diam saja dan menikmati dekapan eratnya.

 

“Penasaran banget?” Dia mengucapkannya dengan sangat santai dan melewatiku begitu saja menuju ke tempat tidur.

 

“Ya iya dong. Apa? Cepat ceritakan padaku, Ay.” Aku membuntutinya dan ikut duduk di kasur.

 

“Aku mau dibawa pergi sama om-om.” Dia merebahkan badan dan menatap langit-langit.

 

“Terus?” Aku masih penasaran dengan ceritanya.

 

“Ya nggak mau dong. Dia mengancamku. Tapi aku lari ke security. Aku ngomong kalau om-om itu menggangguku. Ya sudah deh. Aku disuruh duduk di tempat yang lebih aman.”

 

“Terus?” Pertanyaanku masih sama saja.

 

“Ya duduklah. Nunggu kamu datang. Aku ngomong kalau aku baru saja antar teman ke bandara. Terus lagi nunggu jemputan pulang malah diganggu sama om-om. Gitu sih.”

 

“Oh gitu? Pintar dong. Hehehe.”

 

“Pasti dong. Aku sudah beberapa kali mau dibawa kabur sama orang. Katanya nggak mau melepaskan wanita secantik aku. Hehe. Banyak buktinya kan, kalau aku memang cantik. Nggak kaleng-kaleng.” Senyumnya mengembang sangat manis.

 

“Iya Ay, kamu itu sangat cantik. Aku saja ingin membawamu pergi ke KUA, malah kamu nggak mau.” Wajahku tepat di hadapannya, menatap matanya dengan serius.

 

“Apa sih, Dan? Kita nggak nikah saja sudah bisa bersenang-senang kayak gini kok. Kamu mau yang gimana lagi?” Tangannya menarik hidungku.

 

“Nggak tau, Ay. Intinya aku mau kamu seutuhnya. Aku mau menikah sama kamu, Ay. Mau ya? Semua masalahmu akan menjadi masalahku juga. Kita berdua melangkah bersama, Ay. Kamu bisa berhenti dari pekerjaan itu.”

 

Jari lentiknya yang tadi memainkan hidungku, kini berhenti. Dia mengembuskan napasnya. Guratan wajahnya terlihat memendam sebuah masalah teramat besar. Jika aku menekannya untuk bercerita, aku takut dia malah akan tidak nyaman dan akhirnya marah kepadaku.

 

“Jangan sekarang, Dan. Nanti kalau aku sudah siap, aku akan ngomong sama kamu. Tolong ya, jangan bahas ini lagi. Atau mungkin kamu cari wanita lain saja yang mau cepat dinikahi. Aku nggak bisa kalau harus cepat-cepat menikah, Dan. Maaf ya?”

 

Jawaban yang sudah aku perkirakan. Namanya berusaha,harus berulang kali bukan? Tentu aku tidak menyerah untuk kembali bertanya soal hal yang sama. Tetapi karena Faniza sudah meminta sampai memohon seperti itu, mungkin aku tidak lagi bertanya menyangkut persoalan ini. Mungkin aku harus secepatnya merealisasikan ide gilaku.

 

“Iya Ay, maaf ya kalau aku membuatmu nggak nyaman. Tapi ingat ya, aku akan selalu menunggumu. Aku selalu ada untukmu.” Aku mendaratkan bibir di pipinya.

 

Faniza tersenyum dan membelai rambutku yang menjuntai di kening. Gaya rambutku memang agak panjang dan berponi. Jika tahu Kim Seok Jin, itulah gambaranku. Wanita mana yang bisa menolak pesonaku. Ya, kecuali Faniza, meski sudah sering mengajaknya untuk menikah tetap saja ditolak mentah-mentah.

 

Aku pun tidak tahu kenapa bisa sangat menyukai wanita itu. Padahal banyak yang sudah mengantri menginginkan pinanganku. Aku mau berhubungan dengan wanita lain hanya untuk pelampiasan saja. Siapa suruh mereka mendekat dan menggodaku. Mereka yang menginginkannya sendiri, tentu aku tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada.

 

“Ay, nanti malam aku mau lagi ya?” Aku tidur di sebelahnya, menggenggam erat tangannya.

 

“Boleh. Apa sih yang nggak buat kamu, Dan. Hehehe.”

 

“Terima kasih.” Kukecup tangannya yang ada digenggamanku.

 

“Kamu yang selalu ada untukku, Dan. Mana mungkin aku menolaknya.”

 

Aku hanya mengangguk dan menikmati kebersamaan ini. Mungkin suatu saat nanti, aku bisa membawa Faniza pulang dan mempertemukannya kepada ayah dan ibu.

 

*** 

 

“Dan, aku mau mandi.  Katanya kamu mau, aku harus mandi dulu dong.”

 

“Iya Ay, sana mandi. Aku tadi sudah mandi. Harus wangi dong.” Tanganku mencolek dagunya yang lancip.

 

“Iya, Zidan.” Dia menghilang di balik pintu kamar mandi.

 

“Mumpung Faniza mandi, aku siapkan dulu semuanya,” gumamku seraya mencari kondom di laci nakas.

 

Malam ini aku berniat merealisasikan ide gilaku. Semoga saja, kondom yang sudah aku tusuk-tusuk dengan jarum akan membuat Faniza menjadi hamil. Ya, aku sangat berharap cairan itu masuk menembus rahimnya dan mencari sel telur untuk dibuahi. Dengan seperti itu, mungkin Faniza akan mau menikah denganku secepatnya dan dia akan meninggalkan pekerjaan busuknya itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status