Share

Part 6

Author: Khanna
last update Last Updated: 2021-09-29 08:53:51

“Halo Ra, aku mau ke kosanmu. Kamu jangan pergi-pergi dulu. Awas kalau nanti aku sampai di sana, kamunya nggak ada!”

 

Aku menelepon Nara setelah keluar dari kamar mandi. Dadaku belum terbalut oleh kain. Hanya handuk yang menutupi bagian bawah saja.

 

“Mau ngapain  ke sini? Tumben banget. Nggak sama cewek-cewek? Biasanya kuajak pergi selalu ditolak mentah-mentah. Ada saja wanita yang datang ke kamarmu.” Nara menjawabnya dari ujung sambungan.

 

“Hah! Aku lagi males sama mereka. Aku mau tanya pendapat sama kamu, Ra.”

 

Aku meletakkan ponsel di nakas dan meninggikan volume suara. Tanganku sibuk mencari baju untuk dipakai.

 

“Haha. Tumben-tumbennya nih. Iya cepat sini. Aku jadi penasaran. Zidan, laki-laki yang katanya sempurna ini bisa galau juga. Hahaha.”

 

“B*cotmu! Hahaha. Tunggu, aku lagi ganti baju. Di situ ada sarapan nggak, Ra? Soalnya perutku masih kosong.”

 

“Nggak ada. Beli aja sana! Sekalian buat aku juga. Haha.”

 

“Ya, ya, ya. Nanti aku mampir beli rames.”

 

“Yang enakan dikit kek, masa rames bae.”

 

“Udah minta gratisan. Protes lagi.”

 

“Hahaha. Daripada uangmu sia-sia dan nggak berguna, mendingan beli makanan enak buat teman setiamu ini ‘kan?”

 

“Jam sepagi ini, mana ada café yang sudah buka. Adanya warteg.”

 

“Sudah jam delapan lebih ini lho, Dan. Café sudah pada buka.”

 

“Iya … nanti aku mampir di café. Menunya terserah aku. Kumatiin dulu. Otw.”

 

“Oke Bos. Hahaha.”

 

Aku simpan ponsel di dalam tas dan bergegas pergi ke indekosnya. Aku juga harus mencari menu sarapan terlebih dulu. Sesuai permintaan Nara, aku mampir di salah satu café yang sudah buka di jam pagi.

 

Sembari menunggu pesananku selesai, aku duduk di salah satu kursi yang sudah disediakan. Ada beberapa menu yang kupilih. Bukan hanya untuk sarapan saja, aku pun memesan cemilan dan minumnya sekalian. Pasti akan menunggu beberapa waktu untuk mendapatkan semua pesananku.

 

Saat melihat ke arah pintu, ternyata ada seseorang yang sangat kukenal memasuki café ini. Ya, dia adalah Faniza. Wanitaku datang dengan menggandeng seorang om-om masuk ke café ini. Kebetulan yang sangat menyebalkan. Membuat hatiku bertambah hancur saja. Aku harus berpura-pura tidak mengenalinya. Itu permintaan dari Faniza sendiri. Padahal ingin rasanya melabrak om-om tidak tahu diri itu.

 

“Kenapa harus melihanya di sini? Sama om-om br*ngs*k lagi. Sialan!” Aku hanya bisa bergumam dan mengumpat tanpa bisa berbuat apa-apa.

 

Sesekali aku mencuri pandangan ke arah dua orang yang sedang asik bercengkrama. Faniza sepertinya melihat kehadiranku di café ini. Dia sama sepertiku, berpura-pura tidak mengenaliku. Miris sekali perasaanku saat ini.

 

Beberapa kali, aku membuang napas agar merasa lebih nyaman. Namun, tetap saja ada perasaan tidak biasa di dalam dada. Sesak dan ingin sekali marah. Tetapi, aku tak berdaya. Lebih baik aku cepat-cepat pergi dari sini, sebelum hatiku semakin terbakar api cemburu.

 

Aku sudah mendapatkan semua pesananku. Sebelum keluar dan pergi dari café, pandangan ini sempat kuarahkan kepada Faniza. Kebetulan, om-om itu entah pergi ke mana. Dia pun tersenyum padaku. Aku ikut tersenyum. Ternyata dia memang akting saja, nyatanya dia tersenyum saat tak ada om-om hidung belang di sampingnya. Aku yakin, Faniza pasti punya perasaan yang sama terhadapku.

 

Kini aku sudah berada di atas motor. Senyum tiba-tiba mengembang saat teringat bibirnya yang terukir manis untukku. Perasaanku yang sempat terbakar cemburu, kian luluh dan tidak lagi memendam amarah. Luar biasa sekali sihir yang diberikannya kepadaku. Hanya seulas senyum saja, sudah membuat hatiku kembali merasa tenang.

 

“Aku mencintaimu, Faniza. Semoga rencanaku ini akan membuatmu jatuh ke dalam pelukanku. Aku harus cepat-cepat ke kosan Nara. Aku butuh pendapat darinya dulu.”

 

Motorku mulai melaju menyusuri jalan raya menuju ke indekosnya Nara. Tempatnya tidak terlalu jauh, tetapi karena mencari menu sarapan terlebih dulu, aku harus menempuh jarak yang semakin jauh. Tidak apalah. Nara memang teman dekatku. Kami bertemu dalam satu kantor. Sebenarnya aku ingin pindah dekat dengan indekosnya, tetapi sudah tidak ada tempat yang kosong. Sampai sekarang, kami berada di indekos yang berbeda.

 

“Nara! Aku sudah ada di depan kamarmu. Cepat buka. Tanganku penuh sama makanan pesananmu!” Aku berteriak di depan pintu kamarnya. Jika tanganku kosong, aku akan langsung masuk tanpa harus permisi seperti ini.

 

“Oke Bro!” Dari dalam kamar, Nara menjawab ucapanku.

 

Pintu terbuka dan nampaklah seorang laki-laki dengan tinggi seperantara denganku. Matanya lumayan sipit. Rambutnya cepak dan ada kumis tipis yang membuatnya semakin menawan. Meski begitu, ia memilih untuk menjomblo entah sampai kapan.

 

Aku mengenalnya dari awal masuk kerja di kantor. Ia memang laki-laki baik dan punya akhlak yang bagus. Tentu karena awal datang ke sini aku pun seperti dirinya. Tetapi, bertambahnya waktu, aku mengenal teman-teman yang pergaulannya terlampau bebas. Aku iseng mencoba dan ternyata merasa sangat nyaman dan bahagia. Keinginanku menjadi kenyataan. Aku memang ingin bebas sejak dulu. Nara sering menasihatiku, tetapi hanya kuanggap angin lalu.

 

Sekarang Nara mungkin sudah bosan dengan tingkahku yang tidak pernah berubah. Meski begitu, ia tetap setia berteman denganku. Justru kami saling berbagi, tidak ada diskriminasi yang terjadi meski sikapku semakin jauh berbeda dari aku yang dulu ia kenal.

 

“Nih! Bukan hanya sarapan. Aku bawa cemilan sama minuman. Nggak tanggung-tanggung kubelikan semuanya untukmu.” Aku meletakkan kantong yang berisi makanan dan minuman itu di atas nakas. 

 

“Oke, Dan. Terima kasih. Nggak sia-sia berteman sama orang kaya. Hahaha.”

 

“Sialan! Harusnya tadi aku beli bir juga. Ah … malah kelupaan.” Aku merebahkan badan di kasur.

 

“Nggak butuh begituan, Dan. Ini aja sudah cukup.”

 

“Ck! Dari dulu kenapa kamu masih begini terus, Ra? Padahal aku sudah berubah kayak gini. Apa kamu nggak merasa terkekang? Padahal kamu sering ngomong yang aneh-aneh juga ‘kan? Apa bener kamu nggak pernah melakukannya?”

 

“Melakukan apa?” Nara mulai sibuk dengan makanan yang baru saja aku bawa.

 

“Ya itulah. Main sama cewek. Masa nggak pernah? Kamu pasti bohong.”

 

“Hehehe. Aku nggak berani, Dan. Aku sering ngomong kayak gitu, memang melihatmu. Kamu juga yang sering cerita aneh-aneh kepadaku. Wajar dong, kalau aku jadi ikut ngomong kayak gitu.”

 

“Apa kamu nggak mau coba, Ra? Nikmat banget lho. Nggak nyesel dan bakal ketagihan kalau kamu sudah merasakannya. Aku juga gitu. Hehe.”

 

“Besok aja kalau sudah nikah. Hahaha. Itu lebih nikmat sih kayaknya.”

 

“Payah. Hahaha. Dulu aku sempat berpikir kayak gitu. Tapi, waktu diajak Henri pergi ke klub malam, semua berubah. Di situ juga aku bertemu sama Faniza. Hidupku semakin lengkap saat mengenal wanita itu.”

 

“Iya deh. Aku memang sangat payah. Ayo makan dulu, aku sudah lapar. Katanya mau tanya sesuatu. Aku jadi penasaran. Cepat makan dulu.”

 

“Oh iya, aku malah lupa.” Aku bangkit dan segera ikut sarapan. Nara sudah mempersiapkan semuanya. Aku tinggal menikmatinya saja.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta yang Salah   Part 40

    “Apa mungkin ini orang yang sama? Ah … kayaknya bukan. Eh tunggu, kayaknya aku pernah lihat orang ini, tapi di mana ya?” Isi di dalam kepalaku kembali memutar waktu ke belakang.“Oh iya, wanita di dekat lampu merah yang nolongin orang gila itu, iya ini kayaknya orang yang sama. Hmm, alamatnya di mana?”Aku pun membaca keterangan yang ada di dalamnya. Justru salah fokus tentang status perkawinannya. Di sana tertulis cerai hidup. Artinya saat ini wanita pemilik dompet ini adalah seorang janda. Aku yakin, orang ini bukan bu gurunya Alicia. Salah aku juga terlalu cuek dengan lingkungan sekolahnya anak gadisku. Dengan bu gurunya saja tidak mengenalnya. Apalagi posisinya sebagai guru baru.“Aku simpan dulu, tunggu sampai besok. Kalau nggak ada yang mencarinya, terpaksa aku yang harus mengembalikannya.”Dompet itu kusimpan di dalam laci meja kantor. Aku pulang malam. Jadi, tidak enak saat akan datang ke rumah jand

  • Cinta yang Salah   Part 39

    “Oh ya? Alis seneng dong, kalau lagi sama bu guru.” Sekilas aku melihatnya, karena saat ini sedang menyetir mobil.“Seneng banget dong, Pi. Bu guru baru sih, tapi Alis sudah seneng sama dia, Pi. Baik banget.”Nada bicaranya yang manja, membuatku menjadi tersenyum-senyum sendiri. Meski Alis berbeda dari anak seusianya, tetapi dia tetap merasakan kebahagiaan seperti yang lainnya. Setiap harinya selalu ceria. Semoga hal baik seperti ini akan terus dirasakan olehnya sampai kapan pun. Andai saja, Faniza masih hidup, dia pasti akan sangat bahagia melihat anak gadisnya yang tumbuh cantik dan pintar seperti sekarang ini.Sejak kematian Faniza, aku menutup diri dari wanita lain. Hidupku fokus hanya untuk mengurus Alicia saja. Rasa cinta itu mungkin ikut mati bersama dengan kepergiannya untuk selamanya. Alasanku masih berdiri kokoh di dunia ini, hanya karena malaikat kecilku. Dia masih sangat membutuhkanku. Tentu saja, aku pun harus bisa sekuat baj

  • Cinta yang Salah   Part 38

    Aku mencoba membuka mata perlahan. Sejenak bergeming, saat mendapati diri ini sedang terbaring di ranjang pesakitan. Sekujur tubuhku terasa sakit. Ingatan ini mencoba untuk lebih fokus dan kembali memutar waktu ke belakang. Apa yang sebenarnya telah terjadi padaku? Kenapa sekarang aku tak berdaya di ruangan bernuansa putih seperti ini?Saat serpihan ingatan itu mulai terkumpul, seketika itu terperanjat dan ingin bangkit dari pembaringan ini. Namun, badanku terasa sangat sakit. Ada seseorang yang melarangku bangun saat menyadari diri ini telah tersadar.“Zidan! Jangan bergerak dulu. Kamu sedang berada di rumah sakit, Dan. Kamu baru saja kecelakaan.” Ibu yang melarang dan seketika mendekatiku. Matanya sembap, mungkin air matanya tak mau berhenti.“Bu! Faniza sama Alicia di mana, Bu? Dia baik-baik saja ‘kan?”Pertama yang akan ditanyakan, tentu tentang istri dan anakku. Aku gusar saat melihat di ruangan ini hanya ada aku seorang

  • Cinta yang Salah   Part 37

    “Mi, bangun, Mi. Ayo kita pergi dari sini. Bangun, Mi.”Saat dini hari, aku sudah berusaha membangunkan Faniza dari tidurnya. Aku berniat pergi meninggalkan rumah ini tanpa permisi. Semua dilakukan agar pernikahanku baik-baik saja. Sudah dipikirkan berapa kali pun, tetap saja aku tidak ingin meninggalkannya. Cinta ini buta hanya untuk Faniza seorang.“Pi, kenapa kamu sudah membangunkanku sepagi ini?” Faniza mengerjap dan berusaha duduk di sampingku.“Mi, ayo kita pergi dari sini, Mi. Aku nggak mau berpisah darimu. Aku sangat mencintaimu, Mi. Ayo, Mi. kita pergi sekarang juga.”Faniza tertegun mendengrakan ucapanku. Matanya membelalak tak percaya. Keningnya pun mengerut.“Kamu gila, Pi? Kita nggak sepatutnya melakukan hal semacam itu, Pi. Kita turuti saja permintaan orang tuamu. Ayah pasti nggak akan menelantarkanku, Pi. Dia baik banget. Apalagi dia tau sekarang aku adalah anak kandungnya. Meski kita berpisa

  • Cinta yang Salah   Part 36

    Saat di dalam mobil, hingga sampai di rumah. Semua membisu. Amarahku sangat membara di dalam dada. Pertanyaanku lagi-lagi belum terjawab seutuhnya. Ada saja yang memotong bagian terpenting itu. Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu? Kenapa juga harus aku yang menanggung perbuatan mereka. Sangat tidak adil.“Yah. Jelaskan sekarang juga.”Kami baru saja memasuki rumah. Namun, rasa penasaran di dalam dada ini sudah tidak tertahankan lagi.“Baik, Dan. Kita duduk dulu di sana. Kita bicarakan baik-baik.”Ayah menunjuk ke ruang keluarga yang cukup luas. Kami pergi ke sana dan duduk di tempat masing-masing.“Kamu harus dewasa ya, Dan. Pikirkan baik-baik apa yang seharusnya akan kamu lakukan nanti. Ayah hanya tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada kalian.”“Iya, Yah! Katakan sekarang, jangan lama-lama. Aku mau tau semua yang terjadi di masa lalu.”Aku tak sabar dan selalu menekan agar aya

  • Cinta yang Salah   Part 35

    “Mana mungkin kamu menikah sama anaknya mas Lutfan. Kamu nggak boleh menikah sama dia, Faniza. Jangan menikah sama anaknya mbak Salwa. Itu nggak boleh terjadi.”Aku tercengang mendengarnya. Dari mana ibu mertuaku mengetahui nama ibuku? Apa Faniza sudah memberitahukannya?“Bu, kenapa ibu tau nama istrinya ayah mertuaku? Aku belum pernah cerita apa pun sama Ibu ‘kan? Apa Ibu hanya mengarang saja?”Faniza pun heran sepertiku. Alisnya mengerut seolah kepalanya dipenuhi oleh banyak pertanyaan.“Kamu nggak boleh nikah sama dia, Faniza. Itu mas Lutfan, ayahmu.”“Bu! Ibu jangan seperti ini! Ibu itu gila. Jiwa Ibu terganggu. Ibu nggak boleh ngomong seperti ini, Bu. Mereka orang tua suamiku, Bu. Orang tuanya Zidan. Mereka ke sini ingin menjenguk besannya. Iya, Ibu sekarang sudah punya besan, Bu. Ada cucu Ibu juga. Aku sudah punya anak sama Zidan. Namanya Alicia, Bu. Ibu cepat sehat ya? Biar bisa cepat main sama

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status