Share

Part 6

“Halo Ra, aku mau ke kosanmu. Kamu jangan pergi-pergi dulu. Awas kalau nanti aku sampai di sana, kamunya nggak ada!”

 

Aku menelepon Nara setelah keluar dari kamar mandi. Dadaku belum terbalut oleh kain. Hanya handuk yang menutupi bagian bawah saja.

 

“Mau ngapain  ke sini? Tumben banget. Nggak sama cewek-cewek? Biasanya kuajak pergi selalu ditolak mentah-mentah. Ada saja wanita yang datang ke kamarmu.” Nara menjawabnya dari ujung sambungan.

 

“Hah! Aku lagi males sama mereka. Aku mau tanya pendapat sama kamu, Ra.”

 

Aku meletakkan ponsel di nakas dan meninggikan volume suara. Tanganku sibuk mencari baju untuk dipakai.

 

“Haha. Tumben-tumbennya nih. Iya cepat sini. Aku jadi penasaran. Zidan, laki-laki yang katanya sempurna ini bisa galau juga. Hahaha.”

 

“B*cotmu! Hahaha. Tunggu, aku lagi ganti baju. Di situ ada sarapan nggak, Ra? Soalnya perutku masih kosong.”

 

“Nggak ada. Beli aja sana! Sekalian buat aku juga. Haha.”

 

“Ya, ya, ya. Nanti aku mampir beli rames.”

 

“Yang enakan dikit kek, masa rames bae.”

 

“Udah minta gratisan. Protes lagi.”

 

“Hahaha. Daripada uangmu sia-sia dan nggak berguna, mendingan beli makanan enak buat teman setiamu ini ‘kan?”

 

“Jam sepagi ini, mana ada café yang sudah buka. Adanya warteg.”

 

“Sudah jam delapan lebih ini lho, Dan. Café sudah pada buka.”

 

“Iya … nanti aku mampir di café. Menunya terserah aku. Kumatiin dulu. Otw.”

 

“Oke Bos. Hahaha.”

 

Aku simpan ponsel di dalam tas dan bergegas pergi ke indekosnya. Aku juga harus mencari menu sarapan terlebih dulu. Sesuai permintaan Nara, aku mampir di salah satu café yang sudah buka di jam pagi.

 

Sembari menunggu pesananku selesai, aku duduk di salah satu kursi yang sudah disediakan. Ada beberapa menu yang kupilih. Bukan hanya untuk sarapan saja, aku pun memesan cemilan dan minumnya sekalian. Pasti akan menunggu beberapa waktu untuk mendapatkan semua pesananku.

 

Saat melihat ke arah pintu, ternyata ada seseorang yang sangat kukenal memasuki café ini. Ya, dia adalah Faniza. Wanitaku datang dengan menggandeng seorang om-om masuk ke café ini. Kebetulan yang sangat menyebalkan. Membuat hatiku bertambah hancur saja. Aku harus berpura-pura tidak mengenalinya. Itu permintaan dari Faniza sendiri. Padahal ingin rasanya melabrak om-om tidak tahu diri itu.

 

“Kenapa harus melihanya di sini? Sama om-om br*ngs*k lagi. Sialan!” Aku hanya bisa bergumam dan mengumpat tanpa bisa berbuat apa-apa.

 

Sesekali aku mencuri pandangan ke arah dua orang yang sedang asik bercengkrama. Faniza sepertinya melihat kehadiranku di café ini. Dia sama sepertiku, berpura-pura tidak mengenaliku. Miris sekali perasaanku saat ini.

 

Beberapa kali, aku membuang napas agar merasa lebih nyaman. Namun, tetap saja ada perasaan tidak biasa di dalam dada. Sesak dan ingin sekali marah. Tetapi, aku tak berdaya. Lebih baik aku cepat-cepat pergi dari sini, sebelum hatiku semakin terbakar api cemburu.

 

Aku sudah mendapatkan semua pesananku. Sebelum keluar dan pergi dari café, pandangan ini sempat kuarahkan kepada Faniza. Kebetulan, om-om itu entah pergi ke mana. Dia pun tersenyum padaku. Aku ikut tersenyum. Ternyata dia memang akting saja, nyatanya dia tersenyum saat tak ada om-om hidung belang di sampingnya. Aku yakin, Faniza pasti punya perasaan yang sama terhadapku.

 

Kini aku sudah berada di atas motor. Senyum tiba-tiba mengembang saat teringat bibirnya yang terukir manis untukku. Perasaanku yang sempat terbakar cemburu, kian luluh dan tidak lagi memendam amarah. Luar biasa sekali sihir yang diberikannya kepadaku. Hanya seulas senyum saja, sudah membuat hatiku kembali merasa tenang.

 

“Aku mencintaimu, Faniza. Semoga rencanaku ini akan membuatmu jatuh ke dalam pelukanku. Aku harus cepat-cepat ke kosan Nara. Aku butuh pendapat darinya dulu.”

 

Motorku mulai melaju menyusuri jalan raya menuju ke indekosnya Nara. Tempatnya tidak terlalu jauh, tetapi karena mencari menu sarapan terlebih dulu, aku harus menempuh jarak yang semakin jauh. Tidak apalah. Nara memang teman dekatku. Kami bertemu dalam satu kantor. Sebenarnya aku ingin pindah dekat dengan indekosnya, tetapi sudah tidak ada tempat yang kosong. Sampai sekarang, kami berada di indekos yang berbeda.

 

“Nara! Aku sudah ada di depan kamarmu. Cepat buka. Tanganku penuh sama makanan pesananmu!” Aku berteriak di depan pintu kamarnya. Jika tanganku kosong, aku akan langsung masuk tanpa harus permisi seperti ini.

 

“Oke Bro!” Dari dalam kamar, Nara menjawab ucapanku.

 

Pintu terbuka dan nampaklah seorang laki-laki dengan tinggi seperantara denganku. Matanya lumayan sipit. Rambutnya cepak dan ada kumis tipis yang membuatnya semakin menawan. Meski begitu, ia memilih untuk menjomblo entah sampai kapan.

 

Aku mengenalnya dari awal masuk kerja di kantor. Ia memang laki-laki baik dan punya akhlak yang bagus. Tentu karena awal datang ke sini aku pun seperti dirinya. Tetapi, bertambahnya waktu, aku mengenal teman-teman yang pergaulannya terlampau bebas. Aku iseng mencoba dan ternyata merasa sangat nyaman dan bahagia. Keinginanku menjadi kenyataan. Aku memang ingin bebas sejak dulu. Nara sering menasihatiku, tetapi hanya kuanggap angin lalu.

 

Sekarang Nara mungkin sudah bosan dengan tingkahku yang tidak pernah berubah. Meski begitu, ia tetap setia berteman denganku. Justru kami saling berbagi, tidak ada diskriminasi yang terjadi meski sikapku semakin jauh berbeda dari aku yang dulu ia kenal.

 

“Nih! Bukan hanya sarapan. Aku bawa cemilan sama minuman. Nggak tanggung-tanggung kubelikan semuanya untukmu.” Aku meletakkan kantong yang berisi makanan dan minuman itu di atas nakas. 

 

“Oke, Dan. Terima kasih. Nggak sia-sia berteman sama orang kaya. Hahaha.”

 

“Sialan! Harusnya tadi aku beli bir juga. Ah … malah kelupaan.” Aku merebahkan badan di kasur.

 

“Nggak butuh begituan, Dan. Ini aja sudah cukup.”

 

“Ck! Dari dulu kenapa kamu masih begini terus, Ra? Padahal aku sudah berubah kayak gini. Apa kamu nggak merasa terkekang? Padahal kamu sering ngomong yang aneh-aneh juga ‘kan? Apa bener kamu nggak pernah melakukannya?”

 

“Melakukan apa?” Nara mulai sibuk dengan makanan yang baru saja aku bawa.

 

“Ya itulah. Main sama cewek. Masa nggak pernah? Kamu pasti bohong.”

 

“Hehehe. Aku nggak berani, Dan. Aku sering ngomong kayak gitu, memang melihatmu. Kamu juga yang sering cerita aneh-aneh kepadaku. Wajar dong, kalau aku jadi ikut ngomong kayak gitu.”

 

“Apa kamu nggak mau coba, Ra? Nikmat banget lho. Nggak nyesel dan bakal ketagihan kalau kamu sudah merasakannya. Aku juga gitu. Hehe.”

 

“Besok aja kalau sudah nikah. Hahaha. Itu lebih nikmat sih kayaknya.”

 

“Payah. Hahaha. Dulu aku sempat berpikir kayak gitu. Tapi, waktu diajak Henri pergi ke klub malam, semua berubah. Di situ juga aku bertemu sama Faniza. Hidupku semakin lengkap saat mengenal wanita itu.”

 

“Iya deh. Aku memang sangat payah. Ayo makan dulu, aku sudah lapar. Katanya mau tanya sesuatu. Aku jadi penasaran. Cepat makan dulu.”

 

“Oh iya, aku malah lupa.” Aku bangkit dan segera ikut sarapan. Nara sudah mempersiapkan semuanya. Aku tinggal menikmatinya saja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status