"Jangan mendekat atau aku akan membunuhmu!" ucap seorang gadis dengan nada bergetar takut.
Mata sipitnya menatap tajam ke arah sekumpulan pria berbaju hitam yang perlahan kian mengikis jarak dengannya. Tubuh gadis itu sudah membentur tembok, dia terjebak di sana. Tidak ada celah untuk melarikan diri.
Seringaian ganjil menjadi momok mengerikan bagi si gadis. Berteriak pun akan terasa percuma, ini sudah larut malam, di saat seperti ini tidak ada satu pun orang yang akan melewati gang sempit nan gelap seperti itu.
"Ahaha, kalian dengar teman-teman? Gadis cantik ini akan membunuh kita. Oh, mengapa tiba-tiba aku merasa merinding?" ledek pria berjanggut tipis yang memiliki rambut panjang terikat.
"Aku rela mati setelah bersenang-senang dengannya," ungkap pria lainnya yang tak kalah menyeramkan. Gelegar tawa pun terdengar.
"Oh Tuhan, kumohon selamatkan aku," batin si gadis, mengucap doa di sela khawatirnya.
"Jangan macam-macam! Sebaiknya kalian segera pergi dari sini!"
Gertakan yang dilakukan sang gadis, tidak mendapat respon apa pun. Hanya membuat mereka kian menyeringai keji.
"Aku tidak bercanda, sekarang juga aku akan segera menelpon polisi," ancamnya dengan ragu, membuat keempat pria matang itu malah terkekeh geli lalu naik tingkat menjadi tertawa lepas.
"Lakukan apa pun yang bisa kau lakukan, Nona. Kami sama sekali tidak akan menghalangimu. Tapi satu hal yang perlu kau tahu, tidak akan ada seorang pun yang bisa menghalangi hasrat kami untuk bermain denganmu," sahut salah satu lelaki itu dengan seringai bengisnya.
Mereka dengan kejamnya memanfaatkan situasi yang tidak menguntungkan bagi si gadis. Situasi di mana ia seakan-akan seperti kelinci yang akan disantap serigala.
Sang gadis terus melangkah mundur, meski hal itu sia-sia karena mereka juga akan melangkah maju untuk menggapai gadis malang itu. Namun, sang gadis tetap berusaha kabur, walaupun hanya suatu perbuatan yang percuma, ia tidak akan dengan mudah membiarkan mereka mengambil kehormatannya.
Ia akan mempertahankan harga dirinya, meskipun kemungkinan berhasilnya hanya satu persen, ia tidak akan menyerah. Yang sangat diharapkannya adalah Tuhan mengirim seseorang untuk menolongnya.
"Ah, aku sudah tidak sabar. Kau terlalu banyak basa-basi dan aku tidak suka itu." Satu dari keempat pria itu mendekatkan dirinya ke arah si gadis. Tatapan bajingan itu sudah tampak seperti macan buas yang siap menerkam korbannya hidup-hidup.
Pria itu mengarahkan tangan ke depan, berniat menyentuh pipi mulus sang gadis cantik. Akan tetapi, sungguh disayangkan ia tak berhasil melakukannya. Gadis itu menangkis tangan si pria dengan kasar. Ia bahkan dengan beraninya menampar wajah sang pria itu, tanpa memikirkan akibat yang akan ia terima.
Pria itu terdiam. Ia langsung memegang pipinya yang terasa panas karena tamparan gadis cantik di hadapannya ini.
"Hahaha, kau sangat berani, ya. Tangan halusmu sangat kurang ajar terhadapku, tapi tak mengapa karena kau akan mendapatkan balasannya pula.
Plak!
Pria itu menampar balik si gadis hingga sudut bibirnya berdarah. Darah dibalas darah, nyawa dibalas nyawa! Prinsip itu telah tertanam kuat di dalam otaknya.
Mereka yang menyaksikan di belakang, hanya tersenyum miring, walau pada awalnya sempat kaget karena aksi berani sang gadis. Namun, melihat pembalasan sang bos membuat mereka menyeringai senang.
"Drama yang bagus," celetuk salah seorang di antara mereka.
Sang gadis kembali ingin menampar pria yang di depannya, tertanda dengan tangan mulusnya yang telah terangkat melayang. Akan tetapi, hal tersebut gagal karena si pria itu lebih dahulu memerangkap tangannya.
"Hah, jalang sialan! Kau membuat kesabaranku habis," umpat bandit itu menggertakkan giginya.
"Kau memang sangat merepotkan! Cuih," lanjutnya, tersulut emosi.
"Kau pria brengsek! Sampai kapan pun aku tidak sudi berurusan dengan orang seperti kalian!" bentak gadis itu masih memiliki sisi berani yang terbilang nekat. Perlawanannya bagaikan menyemburkan bensin ke arah api. Bukannya padam, justru api itu semakin membesar.
"Selain seksi, bibirmu sangat pedas ternyata. Ahhh, aku tidak sabar untuk menggigitnya."
Tanpa ba bi bu pria itu menyerang Fidella—nama gadis itu secara beringas. Pria lainnya hanya menjadi penonton setia, membiarkan sang bos menikmati mangsa mereka terlebih dulu. Baru setelahnya bagian mereka akan tiba, itulah peraturannya.
Sekuat tenaga Fidella menahan wajah si pria yang sedang berusaha menciumnya penuh paksaan. Fidella berteriak, bahkan menjerit histeris. Ia berharap Tuhan segera mengirim bala bantuan untuk menyelamatkan harga dirinya yang terancam noda.
"Tolonggg, arghh, tolonggg!" teriak Fidella seraya memiringkan wajahnya ke arah yang berlawanan dengan pergerakan wajah pria sialan itu.
Teriakan Fidella semakin membuat pria itu tertantang. Bahkan hasrat birahinya meningkat tak tertahan.
Masih dengan mencengkram erat pundak Fidella. Bandit sialan yang sedang dipengaruhi alkohol itu terus mendorong tubuh Fidella dan mendekatkan wajahnya pada Fidella. Ia benar-benar ingin segera meraup bibir seksi yang kentara manis itu.
"Apa yang sedang kalian lakukan?" Sebuah suara tiba-tiba muncul di tengah aksi bejat yang belum sempat terlaksana.
Semua orang mengarahkan pandangannya kearah sumber suara. Di sana, tepatnya di belakang sekumpulan pria yang sedang merongrong seorang gadis. Berdiri sesosok pria misterius. Ia mengenakan pakaian serba hitam, tubuhnya yang tinggi dengan berat seimbang membuat penampilan pria itu kentara pas dan profesional.
Tampilan fisiknya cukup menegaskan jika pria dengan lengking suara bariton yang dibuat datar itu memang tangguh.Tak banyak kata terucap, setelah mendengar suara orang misterius itu keempat bajingan tadi berangsur pergi dari sana.
Mereka terlihat cukup ketakutan atau lebih tepatnya terancam oleh pria itu. Semua berandal tadi sempat memamerkan senyum tunduk pada sang penguasa yang sesungguhnya.
Fidella terdiam, manik almond-nya menangkap siluet seseorang yang berdiri sekitar dua meter dari tempatnya terdiam. Getar penasaran dan getir ketakutan berlomba di hati Fidella. Di satu sisi ia ingin tahu siapa sosok penolongnya. Namun, di sisi lain, Fidella takut jika pria itu sama brengseknya dengan berandal tadi.
Minimnya penerangan di gang itu memang cukup mencekam dan mengganggu pandangan. Akan tetapi, Fidella masih bisa menangkap dengan jelas gerak tangan pria misterius itu. Pria itu menyuruhnya pergi, meski hanya isyarat tentu Fidella sudah sangat paham dengan hal itu.
"Te-terima kasih!" ungkap Fidella lantang dan bergetar, pria itu hanya mengangguk lantas menghilang ditelan kegelapan malam.
"Siapa pun dirimu, aku sangat berterima kasih," batin Fidella tulus.
"Argh, shh," ringis Fidella sangat merasakan bibirnya bengkak. Tenaga pria itu tak main -main.
Setelahnya, Fidella pun dengan segera beranjak dari tempat terkutuk itu. Ia bersumpah tidak akan melewati jalan ini lagi seorang diri, apalagi di tengah malam seperti ini.
***
"Kau adalah orang yang paling ingin aku benci dan aku bodoh karena tidak mampu melakukannya."
-Sagara Affandra-
To be continued
Fidella Agri, gadis itu menopang dagu dengan sebelah tangan, sementara tangan lainnya sibuk menusuk-nusuk helai white toast yang dikenal sebagai roti. Roti berselimut selai kacang itu, seharusnya sudah memenuhi isi perut Fidella.Wajahnya nampak pucat tanpa riasan, hal yang tidak biasa ia lakukan selama ini. Fidella adalah pribadi yang perfeksionis dalam segala hal, dia tidak pernah ingin tampil biasa di depan orang-orang. Oleh sebab itu, make up menjadi salah satu kebutuhan vital yang tidak boleh Fidella lewatkan dalam kesehariannya.Akan tetapi, hal itu tidak begitu ia perhatikan hari ini. Aneh, semua orang dapat merasakan adanya kejanggalan, meski Fidella tak bermaksud mengutarakan isi hatinya.Pandangan gadis itu sayu bagai sekuntum mawar yang tidak tersentuh kesegaran air belasan hari lamanya. Entah hal apa yang sedang Fidella pikirkan, yang jelas sepertinya itu cukup mengganggu."Kau ke
"Kau tahu, seseorang yang tidak bisa berkaca diri adalah pecundang sejati." -Sagara Affandra-Tatapan murka itu tak sedetik pun menyingkir dari mata Fidella. Rasa kesal, kecewa, dan marah berbaur jadi satu.Kesal, saat mendengar dokter lain menggantikannya untuk mengoperasi Mr. Janson. Kecewa, pada Dr. Harold yang sudah bertindak sewenang-wenang dan menyalahi aturan. Marah, karena ternyata Sagara adalah orang yang menggantikan dirinya.Benar-benar sial. Fidella merasa hari ini Tuhan tidak mengizikannya untuk merasa sedikit tenang.Langkah tak sabar Fidella menunjukkan bahwa gadis itu ingin segera menuntaskan permasalahan ini dengan Sagara. Pecundang sialan itu selalu bisa membuat Fidella jadi kebakaran jenggot.Beberapa
"Maaf, semua ini memang salahku." Fidella menunduk sesal. Ia tahu kata maaf tidak akan memperbaiki keadaan. Hanya saja Fidella tetap melakukannya, setidaknya dengan meminta maaf bisa sedikit mengurangi rasa bersalah di hatinya.Fidella sedang berada di ruang kerja Dr. Harold, terletak di lantai enam belas dengan ukuran cukup luas membuat siapa saja bisa melihat pemandangan kota New York yang padat dan tidak pernah tenang. Bangunan-bangunan klasik menjulang tinggi seperti hendak menggapai langit di kawasan Civic Center Manhattan.Di sebelah utara tampaklah Broadway dan kawasan Chinatown. Beralih ke timur terdapat pemandangan indah dari sungai East dan jembatan Brooklyn yang bisa kita nikmati dengan mudah kapan saja.Semua keindahan yang bisa memanjakan mata itu sama sekali tidak memberikan hiburan apa pun untuk Fidella. Wanita itu masih berdiri di samping sofa. Memainkan jemarinya tanpa sadar, sementara Dr. Harold s
"Sudah lama?" tanya Fidella menghampiri Stevan, napasnya terdengar tak beraturan selepas berlari sepanjang jalan takut tunangannya menanti terlalu lama."Tidak, hanya lima belas menit. Satu jam pun aku sanggup untuk menunggumu, Sayang." Stevan mulai menggombal, Fidella tersipu lantas memukul pelan dada bidang prianya.Stevan mengunci tangan mungil itu di sana, mengikis jarak antara dirinya dengan Fidella kemudian merengkuh kekasihnya erat."Ahh, aku sangat merindukan pelukan hangat wanita manja ini," tutur Stevan, menyimpan dagunya pada puncak kepala Fidella."Aku juga sangat merindukanmu, Honey. Kau tahu, akhir-akhir ini Sagara kembali berulah. Aku selalu dibuat kesal setengah mati olehnya," gerutu Fidella sambil mengeratkan pelukannya.Gadis itu menenggelamkan wajah lelahnya pada dada bidang sang kekasih; mencium aroma maskulin khas prianya yang teramat ia suka.
Stevan Anderson, pria itu masih sibuk berkutat dengan segudang pekerjaan yang sudah menjadi tanggung jawabnya di perusahaan San Capital Corporation, milik keluarganya. Ia menjabat sebagai manager keuangan di sana.Pria itu perlu belajar banyak tentang berbagai ilmu dan taktik dalam menjalankan usaha, sebelum kelak menggantikan sang ayah sebagai direktur utama. Terlahir dari pasangan Sammuel Anderson dan Jenna Kirania, membuat kehidupan Stevan begitu diberkati dengan harta kekayaan yang melimpah.Statusnya sebagai anak tunggal di keluarga besar Anderson, mau tidak mau memposisikan Stevan sebagai satu-satunya harapan untuk meneruskan bisnis yang telah dirintis kedua orang tuanya. Sejak kecil, pria muda bertalenta ini memang sudah diarahkan untuk belajar bisnis dan mengelola perusahaan.Tidak seperti kebanyakan anak konglomerat lain yang merasa terkekang atau terbebani oleh keinginan orang tuanya. Stevan j
Fidella tengah disibukkan dengan persiapan pernikahannya yang akan digelar kurang lebih tiga hari lagi. Mulai dari menyewa gedung resepsi sampai menentukan tema dekorasi dilakukan oleh pihak keluarga Fidella.Stevan dan orang tuanya masih berada di Perancis; mengurus masalah pekerjaan yang sulit untuk ditinggalkan. Meskipun harus menyiapkan segala sesuatunya sendiri, Nyonya Hara dan Reno Vinandra sama sekali tidak keberatan, terlebih ini demi kelancaran acara pernikahan putri sulung mereka.Sejauh ini semuanya berjalan sebagaimana mestinya dan terencana dengan baik. Jika dipresentasekan, mungkin persiapan pernikahan Fidella kurang lebih sudah mencapai angka 95%.Wanita itu sangat bahagia, tidak menyangka jika hubungannya dengan Stevan yang baru berjalan satu tahun terakhir ini bisa berujung di pelaminan. Ia berjanji pada dirinya sendiri akan menjadi istri yang baik untuk Stevan. Kepala wanita itu sudah dipenuhi ole
"Aku sudah sangat merindukanmu.""Ahh, mengapa aku belum dipanggil juga? Rasanya satu menit ini sudah seperti satu jam. Waktu berjalan sangat lambat, ish, menyebalkan!" Fidella terus mendumel tak karuan, sebegitu tidak sabarnya dia menanti detik-detik terindah dalam hidupnya ini."Aku sangat bahagia dan juga gugup, honey."Ketukan pintu terdengar sangat nyaring hingga membuat Fidella cukup terkejut akan hal itu. Nyonya Hara masuk menghampiri Fidella dengan tergesa.Wanita paruh baya yang nampak anggun dengan gaun putihnya itu memandang miris putrinya. Hatinya kian teriris melihat ekspresi bahagia Fidella.Wanita itu nampak sangat cantik menggunakan gaun pengantin panjang serta penutup wajah. Rambut sebahu yang dibiarkan tergerai membuat Fidella terlihat semakin manis. Sebuah aksesoris berbentuk kupu-kupu berwarna perak yang mengkilap semakin menambah kesan anggun pada penampi
"Angin tidak hanya berembus di satu tempat, Fidella. Semua akan berlalu dengan semestinya, kuatlah."-Sagara Affandra-***Hai, Fidella.Ini hari kesepuluh kita tidak saling menyapa. Seharusnya kita bertemu sekarang, berdiri di depan altar dan mengucap janji sehidup semati.Kau pasti sangat cantik hari ini, kerugian bagiku karena tidak bisa melihat kecantikanmu itu. Membayangkannya saja sudah membuatku senang, apalagi jika aku berada di sana.Cih, apa yang sedang aku lakukan sekarang? Memuji padahal aku sedang menyakitimu. Maaf, tolong maafkan manusia bodoh dan brengsek ini.Aku tidak bisa menjadi mempelai priamu. Aku tidak bisa memenuhi janjiku untuk membahagiakanmu. Aku tidak bisa menjadi rumah untuk hatimu berpulang jika ia lelah.Bukan a