Share

Bab 0003

Di dalam mobil, Yudha merasa seluruh darah di tubuhnya membeku.

Dia melihat dengan jelas mobilnya menabrak Yara.

Kenapa bisa sampai terjadi? Tangannya gemetaran dan gagal membuka pintu mobil sampai beberapa kali hingga akhirnya pintu terbuka.

Setelah keluar, dia melihat Yara terbaring di depan mobil.

Dia meringkuk memeluk salah satu kakinya. Keningnya berkerut dan matanya menatap penuh ketakutan.

"Yara, kamu beneran sudah gila, ya?"

Yudha menggeram, tidak lagi bisa membendung emosinya.

"Sebegitu gilanya kamu ingin uang dariku?"

"Kamu mau minta berapa? Dua ratus miliar? Empat ratus miliar? Dua triliun?"

"Berapa yang kamu mau? Akan kuberikan."

Hingga saat ini, tubuhnya masih gemetaran.

Beraninya-beraninya.

Sudah cukup sekali saja dia dijebak dengan trik mengancam nyawa seperti ini. Wanita itu pikir dia akan jatuh ke lubang yang sama dua kali?

Yudha tidak peduli dia mau hidup atau mati!

"Nggak, nggak ...."

Yara menggelengkan kepalanya tak berdaya. Dia belum pernah melihat Yudha seperti ini.

"Aku nggak mau uang."

Dia menahan rasa sakit yang semakin hebat dan mengeluarkan ponselnya dengan tangan gemetar, mencari sebuah pesan dan menunjukkannya pada Yudha.

"Aku cuma mau ... mengembalikan kamu kepada Melanie."

Yudha mengambil ponselnya dan membaca isi pesan itu.

Melanie: "Rara, sudah setahun, aku masih belum bisa melupakan Yudha. Aku mau pulang, bisakah kamu mengembalikan dia padaku?"

Yudha meremas erat ponselnya.

Dia memalingkan muka dan melihat Yara pingsan karena menahan sakit entah sejak kapan.

"Menyusahkan saja!" Yudha buru-buru menggendongnya ke dalam mobil dan melaju ke rumah sakit.

Saat Yara terbangun kembali, dia sudah ada di rumah sakit.

Membuka mata, pikirannya masih samar-samar. Dia mendengar Silvia di sampingnya sedang berbisik-bisik di telepon. Suaranya lembut dan penuh kasih sayang yang belum pernah dia dengar sebelumnya.

"Jangan khawatir, nggak ada masalah."

"Langsung pulang saja, nggak usah pikirkan yang macam-macam. Semua orang di sini sudah kangen."

"Kamu ...."

Silvia menoleh, mendapati Yara sedang menatapnya.

"Ya sudah, sambung lagi nanti. Kita bisa ngobrol lagi setelah kamu pulang nanti." Dia cepat-cepat menutup panggilan dan senyuman di wajahnya luntur seketika.

"Itu siapa?" Yara sangat penasaran. "Bu, kamu ngobrol sama siapa barusan?"

"Bukan urusanmu." Silvia menyimpan ponselnya, takut Yara akan mengambilnya.

Yara sudah punya tebakan dalam hatinya. "Melanie?"

"Aku sudah bilang, ini bukan urusanmu. Nggak usah tanya-tanya!" teriak Silvia. "Apa kakimu nggak sakit lagi? Kenapa nggak sekalian ditabrak mati saja!"

Yara sangat marah, tetapi pikirannya justru sangat jernih.

Silvia menaruh obat bius di minuman Yudha dan membujuk Yudha untuk menceraikannya. Mungkinkah karena Melanie akan pulang?

Memikirkan kemungkinan ini, hatinya terasa pilu.

"Jadi kamu memberi obat bius dalam minuman Yudha, untuk mengingatkan dia tentang kejadian tahun lalu, biar dia semakin membenci aku. Semua itu demi Melanie?"

Pandangan mata Silvia tergagap sebentar, kemudian dia mulai marah-marah lagi.

"Yara, kamu nggak punya malu? Kamu tahu Melly mau pulang, tapi kamu masih ingin menguasai posisi Nyonya Lastana?"

Wanita itu tertawa merendahkan.

"Kamu sengaja membuat Yudha melukai kakimu karena kamu tahu posisimu terancam. Jadi, kamu ingin Yudha merasa bersalah supaya hatinya melembut dan nggak jadi menceraikanmu, iya 'kan?"

Ternyata benar seperti dugaannya.

Yara tertawa marah. Bagus, bagus sekali. Semakin keras Silvia mendorong dia untuk menyerahkan posisinya kepada Melanie, semakin dia ingin mempersulitnya.

"Benar, kamu benar." Dia tersenyum penuh dendam. "Aku cuma mau mempertahankan namaku sebagai Nyonya Lastana. Aku nggak akan membiarkan Melanie mendapatkan keinginannya. Apa kamu puas ...."

Sebelum dia selesai bicara, dia melihat Yudha membuka pintu dan berjalan masuk dengan wajah penuh emosi.

Yudha memegang makan malam di tangannya. Dia merasa sangat konyol. Betapa bodohnya dia, ditipu Yara lagi dan lagi.

Yara, wanita yang begitu licik. Bahkan ibunya pun membencinya, itu semua hasil dari ulahnya sendiri.

Dia melempar makan malam itu ke lantai dan menginjaknya kuat-kuat. Tatapannya tajam kepada Yara. "Perjanjian cerainya akan kutandatangani dan kuserahkan padamu!"

Menanggung penderitaan satu hari lebih lama karena pernikahan dengan wanita semacam ini adalah sebuah penghinaan bagi dirinya sendiri.

Yudha keluar dan membanting pintu.

Yara sungguh menyesal, tidak seharusnya dia asal bicara. Kemudian dia melihat Silvia di samping tersenyum lebar bahagia.

"Anakmu itu siapa, Melanie atau aku?" Akhirnya dia bertanya.

Silvia memandang Yara dari atas ke bawah dan mendecakkan lidah.

"Aku juga mau punya anak cerdas dan cantik seperti Melly. Tapi sayangnya, itu bukan rezekiku."

"Keluar!" Yara mengambil bantal di sebelahnya dan melemparkannya.

"Sudah gila kamu!" Kemarahan Silvia sampai membuatnya melompat berdiri. "Beraninya memukul ibu sendiri? Dasar binatang."

"Apa kamu masih layak jadi ibu? Keluar! Aku nggak mau lihat wajahmu lagi."

Yara meraih sesuatu dari meja dan melemparkannya. Dia benar-benar tidak ingin melihat Silvia lagi, sama sekali tidak ingin.

"Iya, iya. Kamu kira aku senang datang ke sini?"

Silvia membawa tasnya dan melirik sinis, lalu berbalik pergi dengan langkah dibuat-buat.

Kalau tidak dipanggil Yudha, dia tidak mau repot-repot mengunjungi anak tidak berguna itu.

Yara berbaring di tempat tidur, hilang harapan dalam kehampaan.

Dia melewati malam sendirian di rumah sakit. Tanpa diduga, dia melihat Melanie saat membuka mata keesokan harinya.

Setelah setahun tidak bertemu, Melanie tampak semakin cantik.

Rambutnya pirang bergelombang. Riasannya sempurna, berbalut gaun dengan potongan pas. Sepatunya hak tinggi delapan sentimeter.

Benar-benar menanggalkan penampilan kacau-balau dan penuh hinaan pada saat dia belum pergi ke luar negeri. Dia telah kembali lagi menjadi nona keluarga Lubis yang menjadi bahan iri semua orang.

Melanie adalah kakak sepupu Yara.

Mereka lahir di tahun yang sama, bulan yang sama, dan hari yang sama. Kata keluarga, Melani lahir hanya kurang dari satu jam lebih cepat sebelum Yara.

Namun, perbedaan waktu kurang dari satu jam ini adalah perbedaan yang membuat mereka menjalani kehidupan yang benar-benar berbeda.

Ayah Melanie adalah kepala keluarga Lubis, yang memimpin perusahaan keluarga Lubis. Dia adalah pria rendah hati, lemah lembut, dan sangat murah hati.

Sedangkan ayah Yara adalah putra ketiga keluarga Lubis. Dia adalah pecandu alkohol, penjudi, dan tidak pernah serius dalam pekerjaannya. Dia minum terlalu banyak sampai meninggal enam bulan lalu.

Ibu Melanie adalah wanita yang bisa memuaskan semua imajinasi Yara akan seorang ibu. Dia sangat lembut dan cantik. Setiap kali bertemu Yara, dia akan memanggilnya Rara dengan suara yang sangat teduh.

Dia akan bertanya, Rara sudah makan? Rara juga suka melukis?

Dia selalu mengatakan bahwa Rara akan menjadi pelukis ternama di masa depan.

Sedangkan ibu Yara ... hanya akan merobek lukisannya lagi dan lagi, menyuruhnya berhenti bermimpi menjadi pelukis, mengatakan padanya bahwa lukisannya tidak punya harga sama sekali.

"Rara?" Melanie melambaikan tangannya di depan wajah Yara. "Kamu kenapa? Sudah nggak kenal sama wajah sepupumu lagi?"

Yara cepat-cepat menyeka air matanya sebisanya dan berkata, "Melanie, akhirnya kamu pulang."

Dia buru-buru menundukkan kepala, tidak berani menatap mata Melanie secara langsung.

Setelah kejadian itu, dia selalu berharap bisa meminta maaf langsung kepada Melanie, tetapi Melanie menolak bertemu dengannya.

Kini, bertatap muka lagi, Yana merasa malu.

Melanie menggeret sebuah kursi dan duduk di samping tempat tidur seolah semuanya baik-baik saja.

"Aku dengar dari Yudha, dia nggak sengaja nyerempet kaki kamu. Tapi akhir-akhir ini dia terlalu sibuk menyiapkan kepulanganku, jadi dia nggak pernah sempat berkunjung. Kamu nggak keberatan, 'kan?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status