Share

Bab 0004

"N-nggak apa-apa kok." Yara merasa hatinya diremas-remas dan cepat-cepat menggelengkan kepala.

Benar juga. Melanie pulang, tentu saja dia akan menemui Yudha secepatnya.

Atau mungkin Yudha pergi menjemputnya di bandara.

Tidak salah, orang yang paling bahagia dengan kepulangannya pasti adalah Yudha.

Tidak hanya Yudha, tetapi juga Silvia, keluarga Lastana .... Semua orang menantikan kepulangannya.

"Syukurlah kalau kamu nggak keberatan." Melanie meraih tangan Yara dengan penuh perhatian.

Yara tanpa sadar mengelak, lalu dia mendongak dengan rasa bersalah, tetapi tidak ada sesirat pun ekspresi menyalahkan di wajah Melanie.

Dia tersenyum ringan. "Kalau sesuatu terjadi padamu, Yudha dan aku akan merasa sangat bersalah."

Yara merasa dadanya sesak, hampir tidak bisa bernapas.

"Rara, aku tahu nggak seharusnya aku pulang, apalagi mengirim pesan itu ...."

"Nggak," bantah Yara, tiba-tiba tersulut sesuatu.

Mata Melanie mulai berkaca-kaca.

"Kukira aku nggak akan pernah pulang lagi seumur hidup. Kukira aku nggak bisa bertemu Yudha lagi, tapi ...."

Dia menangis sesenggukan.

"Tapi ternyata, aku selalu rindu padanya setiap saat aku nggak melihatnya. Aku sudah nggak tahan lagi, Rara, kamu bisa maafin aku, 'kan?"

"Melanie, kamu nggak salah!" Yara menggelengkan kepalanya kuat-kuat.

Dialah yang melakukan kesalahan, jadi apa haknya menyalahkan orang lain?

"Kalau begitu, kamu bersedia menceraikan Yudha, 'kan?" Melanie meraih tangan Yara dan menatapnya dengan air mata berlinang.

Yara tertegun sejenak. "Aku bersedia."

"Perjanjian cerainya sudah kusiapkan. Kalau Yudha sudah tanda tangan, kami bisa langsung pergi ke kantor catatan sipil."

"Baguslah." Melanie menyeka air matanya. "Yudha agak sibuk akhir-akhir ini. Nanti akan kuingatkan."

Dia bangkit dan hendak pergi.

"Melanie," panggil Yara. "Kejadian tahun lalu ...."

"Yang sudah lalu nggak usah dibicarakan lagi," sela Melanie. "Rara, aku pulang dulu. Sampai jumpa lagi kalau aku punya waktu."

"Melanie!" Yara ingin menjelaskan. "Waktu itu, ada yang menjebak aku dan Yudha."

Langkah Melanie terhenti. Dia melirik Yara dari sudut matanya, menunggu Yara menjelaskan lebih banyak.

Yara sebenarnya tidak tahu harus berkata apa lagi.

Akankah Melanie percaya? Ibunya saja tidak percaya.

Dia berpikir sejenak dan melanjutkan, "Tapi aku tahu, bagaimanapun juga, kamu adalah korban yang paling dirugikan. M-maafkan aku ...."

Melanie tidak menanggapi dan segera pergi.

Dia langsung pergi ke Perusahaan Lastana.

Gedung Grup Lastana yang menjulang tinggi di hadapannya adalah salah satu bangunan populer di kota ini. Melambangkan harta, status, kekuasaan, kehormatan, dan segala sesuatu yang membuat orang tergila-gila.

Melanie melihat ke lantai paling atas. Selama ini, sasarannya bukan hanya satu itu.

Yudha adalah kepala keluarga Lastana saat ini. Di usianya yang ke-27 tahun, dia telah menjadi legenda tersendiri di keluarga Lastana.

Siapa yang tidak menginginkan pria seperti dia?

Melanie teringat tentang kemarin. Yudha adalah yang pertama dia hubungi sebelum dia pulang dari luar negeri.

Namun, Yudha berkata bahwa dia melukai Yara dan harus tinggal di rumah sakit, tidak bisa menjemputnya di bandara.

Oleh karena itu, Melanie segera pergi ke rumah sakit setelah turun dari pesawat. Untungnya Yudha tidak ada.

Benar juga. Mana mungkin dia merawat gadis licik itu?

Melanie mengerutkan bibirnya dan memanggil nomor Yudha lagi.

Tak lama kemudian, dia tiba di kantor Direktur di lantai atas gedung Perusahaan Lastana.

"Aku langsung pergi ke rumah sakit setelah turun dari pesawat. Aku takut kalau Rara terluka parah, untungnya dia baik-baik saja."

Melanie duduk di sofa dan memperhatikan Yudha dari kejauhan.

Setelah setahun tidak bertemu, pria itu tampak semakin dewasa dan memikat. Wajah tampannya yang sempurna masih tetap terlihat tenang, tidak pernah menampakkan emosi atau kemarahan.

"Apa kata dokter?"

"Ha?"

Melanie tertegun sejenak sebelum akhirnya sadar bahwa Yudha bertanya tentang keadaan Yara.

"Oh, kata dokter, dia baik-baik saja. Sudah bisa pulang dan rawat jalan di rumah kapan saja."

Wanita itu tertawa pelan. "Tetapi kamu tahu sendiri, Rara itu nggak tahan sakit. Mungkin dia harus dirawat di rumah sakit beberapa hari."

Yudha mendengus. Matanya tidak pernah lepas dari dokumen di atas meja.

Keduanya terdiam beberapa saat, lalu Melanie berdiri dan melangkah maju, "Yudha? Apa kata-katamu sebelumnya masih berlaku?"

Jari-jari Yudha yang bergerak membalik-balik dokumen terhenti sejenak.

Melanie melanjutkan, "Selama aku bersedia, apa kamu masih ingin menikah denganku?"

"Masih." Yudha akhirnya menutup dokumen itu dan menatap Melanie. "Tapi butuh waktu untuk menyelesaikan proses perceraiannya."

"Nggak masalah, aku nggak terburu-buru." Melanie ingin menangis bahagia. "Tapi, ada satu hal lagi yang ingin aku tanyakan."

Dia berkata dengan canggung, "Saat menceraikan Rara, bisakah kamu memberinya uang lebih banyak?"

Wajah Yudha tiba-tiba berubah kelam. "Dia sengaja memberitahumu soal ini?"

Melanie tampak bimbang sejenak, kemudian segera menyangkal, "Nggak, kok. Tapi Yudha, kamu juga tahu, Rara nggak tahu apa-apa. Dia nggak punya penghasilan sendiri."

"Itu karena dia nggak berguna!" Yudha membuka sebuah dokumen dengan kasar, muak mendengar nama Yara.

Dia bersumpah dalam hati bahwa setelah kaki Yara sembuh, dia sendiri yang akan mulai mengurus perceraian mereka.

"Yudha, jangan bilang begitu. Rara juga kasihan, kamu tahu 'kan orang tuanya ...."

"Dia selalu membuntuti aku sejak kecil, melihat aku belajar melukis, dia juga belajar melukis. Sayangnya, dia nggak punya bakat. Masa depannya jadi tertunda."

"Aku pulang dari luar negeri kali ini untuk bekerja di perusahaan desain Baruy. Mereka suka karya-karyaku yang mendapat penghargaan di luar negeri dan menawarkan posisi direktur bagian padaku. Kalau Rara masih mau melukis, aku juga bisa membantunya masuk sebagai pelukis."

"Alah, susah-susah," kata Yudha tidak senang.

"Tapi aku kan kakak sepupunya. Kalau bisa bantu, aku harus bantu dia." Melanie berpikir sejenak, lalu bertanya ragu-ragu, "Ngomong-ngomong, Bibi tahu nggak kalau aku pulang? Bagaimana kalau aku ikut pulang ke rumah ...."

"Kita pikir lagi nanti." Yudha jelas sudah kehabisan kesabarannya.

Melanie terpaksa harus pergi. Tidak masalah, selama Yudha dan Yara berhasil bercerai, dia bisa mendapatkan apa pun yang dia inginkan.

Waktu berlalu.

Seminggu kemudian, Yara akhirnya keluar dari rumah sakit.

Dia tidak melupakan perjanjiannya dengan Melanie dan segera mengirim pesan kepada Yudha.

"Perjanjian cerainya sudah ditandatangani? Buat waktu luang untuk pergi menyelesaikan prosesnya."

Dia tahu Yudha sangat sibuk, jadi dia tidak menunggu balasan sama sekali. Dia pulang dan menatap barang-barangnya yang sudah dikemas. Setelah berpikir sebentar, dia pergi ke rumah Siska.

Siska Jayadi adalah sahabat Yara. Dia seorang seleb media sosial yang suka mengeluh di balik identitas anonim.

Ketika dia mendengar Yara akan menceraikan Yudha, dia ternganga. "Rara, bukannya kamu cinta setengah mati sama Yudha?"

"Melanie sudah pulang," kata Yara lemah.

"Ah?" Siska juga tahu tentang yang terjadi saat itu. "Memangnya kenapa kalau dia pulang? Kamu juga korban, kenapa kamu harus menyerahkan posisimu cuma karena dia pulang?"

"Aku korban juga, ya?" Yara tersenyum pahit. "Tapi cuma kamu yang percaya."

"Kamu sudah yakin?" Siska mendekap Yara dalam pelukannya. "Lalu kamu bilang apa ke ibumu? Dia pasti ingin mengulitimu hidup-hidup."

Yara ingin tertawa sekaligus menangis menanggapinya. "Kamu mungkin nggak percaya, tapi ibuku setuju seratus persen aku harus menyerahkan posisiku kepada Melanie."

"Kenapa?" Siska merasa luar biasa, "Kecuali ... Melanie diam-diam adalah anak ibumu, keuntungan apa yang bisa didapat ibumu kalau Yudha menceraikanmu dan menikahi Melanie?"

Yara juga tidak tahu jawaban atas pertanyaan itu. Tiba-tiba, ponselnya berdering.

Telepon dari Yudha.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status