Share

Bab 0012

"Tentu saja boleh."

Yara menyerahkan rancangan desainnya.

"Waktu itu aku berani menunjukkannya ke Bu Anita juga berkat dorongan darimu."

Bibirnya tersenyum sepintas. "Aku juga ingin mendengar pendapatmu kali ini."

Melanie melihat-lihat rancangan desain itu, sekilas kegembiraan muncul di matanya.

Namun, tak lama kemudian, rasa iri kembali membumbung tak terkendali.

Desain Yara selalu terkesan berani, kreativitas, dan membuat takjub.

Pecundang ini adalah pelukis jenius sejak kecil. Tidak peduli seberapa keras Silvia menghukumnya, dia tidak pernah mau berhenti melukis.

Melanie sangat membencinya. Dia juga awalnya punya bakat dan mau bekerja keras. Namun, di hadapan seseorang dengan bakat sejati, semua itu tidak berarti apa-apa.

"Gimana menurutmu? Ada yang salah?"

Yara bertanya dengan hati merendah.

Dia hendak bercerai tanpa mendapat bagian harta. Dia harus mempertahankan pekerjaan ini.

"Bagus, kok. Jarang sekali kamu bisa menggambar seperti ini."

Melanie menenangkan hatinya kembali.

Memangnya kenapa kalau dia jenius?

Bukankah dia masih menurut di bawah manipulasinya?

Begitu tiba di perusahaan, Melanie secara pribadi mengantar Yara ke kantor Anita.

Di depan Anita, Melanie menepuk bahu Yara. "Jangan khawatir, rancangannya pasti nggak akan ada masalah."

Dia lalu menghadap Anita. "Aku serahkan ke Bu Anita, ya."

Anita berdiri dan menyaksikan Melanie pergi sambil tersenyum.

Sedetik kemudian, raut mukanya berubah keruh.

Melanie datang bersama Yara dan Melanie menyebutkan-nyebut rancangan desain. Dia pasti sedang memberi isyarat.

Rancangan desain ini pasti hasil karya Melanie lagi.

Dia melihat-lihat sekilas dan memang benar masih senada dengan kemampuan Melanie.

Dia mendecakkan lidah dan menatap Yara dengan mata dingin.

"Ada yang salah? Bu Anita masih kurang puas?"

Yara bertanya, langsung menjurus ke intinya.

"Kurang puas? Mana mungkin aku kurang puas?"

Anita melemparkan rancangan itu ke atas meja. "Bu Melanie saja puas, mana mungkin aku nggak puas?"

Yara kebingungan. Mungkinkah Anita menyalahkan dirinya karena melompati wewenang dan menunjukkan rancangannya kepada Melanie terlebih dahulu?

Dia pun hanya bisa berkata, "Bu Anita jangan khawatir, lain kali saya pasti tunjukkan pekerjaan saya ke sini dulu setelah selesai."

Lain kali?

Anita merasa Yara menganggapnya seperti orang bodoh.

Tidak ingin berlama-lama mengobrol tidak berguna, dia melambaikan tangannya menyuruh Yara segera pergi.

Dia tidak ingin menyerahkan pesanan kepada Yara lagi dalam waktu dekat.

Yara kembali ke tempat duduknya. Mengingat tentang perjanjian perceraian yang sudah ditandatangani pagi tadi, dia mengirim pesan ke Yudha.

"Perjanjian perceraiannya sudah lengkap nggak ada masalah. Kapan kita bisa pergi menyelesaikan prosesnya?"

Ketika Yudha membaca pesan itu, hatinya tersulut api entah dari mana.

Mereka berdua baru saja tidur bersama tadi malam, sekarang Yara sudah tidak sabar ingin menyelesaikan perceraiannya?

Dia bersedia cerai tanpa minta dibagi harta sedikit pun. Mungkinkah dia berencana melakukan sesuatu saat pergi ke kantor catatan sipil nantinya?

Yudha pun mengetikkan beberapa kata kejam.

"Sesuka itu kamu dengan kencan butamu?"

Sebelum sempat menekan tombol kirim, ada ketukan dari luar pintu.

Melanie datang.

Yudha meletakkan ponselnya.

"Yudha, tadi malam ...."

"Ada yang memasukkan obat dalam minumanku."

"Aku maklum. Cuma, aku sudah sebulan pulang dari luar negeri. Keluargaku juga ikut cemas."

"Akhir-akhir ini ada beberapa proyek besar di perusahaan. Aku beneran nggak punya waktu. Persiapan pernikahannya tinggal dilanjutkan saja seperti biasa."

"Yudha," panggil Melanie sambil menghela napas pelan. "Cuma butuh waktu sepuluh menit untuk pergi ke kantor catatan sipil. Atau mungkin kamu nggak jadi mau menceraikan Rara?"

"Ya nggak lah," sangkal Yudha.

"Kuharap juga begitu. Kalau soal hubungan, siapa yang tergoda duluan itulah yang kalah. Aku rela kalah darimu, tapi aku nggak mau kamu merasakan jadi serendah aku ...."

Dia berhenti dan berkata, "Yudha, kamu nggak boleh melakukan kesalahan yang sama lagi."

"Oke, jangan dipikirkan. Aku pasti akan meluangkan waktu untuk menyelesaikan perceraian secepatnya."

Yudha entah kenapa merasa sangat kesal.

Setelah Melanie pergi, dia mengangkat ponselnya lagi, melihat pesan yang baru saja dia ketik. Lalu menghapus semuanya.

Seperti apa hubungan Rara dengan pasangan kencan butanya? Itu bukan urusan Yudha.

Dengan wajah cemberut, dia menulis ulang pesannya sebelum dikirimkan.

"Nanti kuhubungi kalau aku sudah punya waktu. Yang penting jangan ingkari janjimu."

Yara membaca pesan itu beberapa kali. Ketidaksabaran Yudha melekat kuat di setiap kata-katanya.

Tampaknya, pernikahan ini sudah resmi memasuki hitungan mundur.

Dalam beberapa hari berikutnya, Yudha belum kunjung menghubunginya lagi, tetapi dia mendapat pesanan baru.

Pada pesanan ini, klien itu menunjuk dia secara langsung untuk mengerjakan pesanannya.

Yara sangat senang, akhirnya ada yang mengakui hasil kerjanya.

Namun, Anita sangat khawatir: Hari ini Melanie sedang dalam perjalanan bisnis ke luar kota. Setidaknya tiga sampai lima hari lagi baru dia bisa pulang.

Setelah mengantar pergi kliennya, dia memanggil Yara ke kantor.

"Kamu tahu Bu Melanie sedang dalam perjalanan bisnis, 'kan?"

"Ya." Yara tidak mengerti mengapa Anita tiba-tiba mengatakan ini.

"Waktu yang diberikan klien cuma tiga hari," kata Anita dengan makna tersembunyi, berharap Yara mau sukarela menyerah.

"Saya akan lembur selama tiga hari, pasti bisa siap tepat waktu." Yara tidak akan melepaskan kesempatan ini.

Anita sangat marah, terutama saat melihat wajah Yara tampak berbinar.

Patutkah dia merasa bahagia? Karya yang dihargai orang lain itu adalah hasil jiplakan.

"Oke kalau begitu." Dia merasa Yara belum akan belajar kalau belum melakukan kesalahan. "Cuma tiga hari. Klien ini baru pertama ke sini, jadi sangat penting kamu melakukannya dengan baik."

"Saya mengerti. Bu Anita nggak perlu khawatir, saya pasti akan mengerjakannya sebaik mungkin."

Setelah pulang kerja, Yara terjun mengarungi babak ujian baru.

Pelanggan baru, informasinya yang kurang lengkap, dan hanya diberi waktu tiga hari. Memang sangat sulit untuk merealisasikan isi pikiran klien ini.

Demi menyelesaikan pesanan ini, dia hanya tidur tiga atau empat jam sehari.

Tiga hari kemudian, Anita melihat rancangan desainnya dan bahkan dia sendiri terkejut.

"Ini gambaranmu sendiri?"

Dia tidak bisa menahan diri untuk tidak menanyakan ini. Rancangan kali lebih matang dari yang sebelumnya.

Yara mengangguk, tampak jelas warna hitam di bawah matanya. "Menurut Bu Anita bagaimana?"

Anita tidak berkata apa-apa. Dia benar-benar tidak bisa memahami Yara.

Melanie tidak mungkin punya waktu untuk membantu Yara kali ini.

Mungkinkah Yara juga seorang desainer berbakat?

Dia berkata dengan makna samar-samar, "Aku nggak bisa komentar apa-apa. Keputusan akhir ada di tangan klien."

Dia berjalan ke pintu, lalu berbalik dan berkata, "Kenapa kamu berdiri saja di situ? Ikuti aku menemui kliennya. Orangnya sudah datang mau melihat pekerjaanmu."

"Baik." Yara sungguh senang, merasa bahwa usahanya beberapa hari terakhir ini tidak sia-sia.

Di ruang VIP, klien bernama Xilla Zayana sedang menikmati dengan lahap semua buah-buahan dan makanan ringan di depannya.

Waktu itu juga sama. Memang klien ini sepertinya sedikit istimewa.

Anita menamainya orang kaya baru.

Memang, tidak peduli orang kaya baru atau yang sudah kaya beberapa generasi. Asal mereka mampu membayar biaya desainnya, tidak akan ada yang ditolak di sini.

"Nona Xilla, maaf membuat Anda menunggu."

Anita menyambutnya dengan senyuman dan menyerahkan rancangan desainnya.

"Gaun pesanan Anda sudah dirancang. Yara, desainer kami, lembur sampai tiga hari membuatnya."

Xilla membalik-balik rancangan desain itu dengan santai, kemudian dia menatap Yara.

"Ini desain yang kamu buat selama tiga hari?"

Yara melihat semacam kesadisan di kedua mata itu dan dia mengangguk agak ragu.

"Benar, Nona Xilla, apa ada yang salah menurut Anda? Kalau ada yang kurang pas, pasti akan saya perbaiki ...."

Sebelum Yara sempat menyelesaikan kata-katanya, Xilla melemparkan rancangan itu langsung ke wajahnya.

Yara tidak sempat menghindar. Pipinya tergores ujung kertasnya, membuatnya menarik napas dalam-dalam kesakitan.

"Ah ...."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
mea tahu
rara anjig mati aja sana ............
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status