Siska masih ragu-ragu. "Maksudku, Kakek Susilo pasti sudah bangun."Dia menganalisis situasinya dengan rasional. "Bukannya kamu bilang cuma ada Agnes di sana? Itu artinya semua orang sudah pulang. Mana mungkin mereka pulang kalau Kakek Susilo belum bangun?""Benar juga." Yara mengangguk setuju."Rara, kamu belum tidur semalaman 'kan?" Siska menghiburnya dengan lembut. "Mending kamu tidur dulu sebentar, wajahmu jelas sangat kecapekan."Yara memang lelah. Tubuhnya tegang seperti seutas tali yang ditarik dari kedua ujungnya kuat-kuat."Oke." Yara berganti pakaian, makan sedikit bubur, dan pergi tidur.Matahari sudah hampir terbit. Sebelum berangkat kerja, Yudha menyempatkan pergi ke rumah sakit terlebih dahulu.Dia masih belum melihat Yara."Bu," tanya Yudha pada Agnes dengan nada tidak senang. "Yara nggak ke sini?""Kamu ingin dia ke sini?" Agnes merendahkan suaranya. "Yudha, kakekmu akhirnya menerima perceraianmu. Kamu ingin membuatnya pingsan lagi?"Dia memperingatkan Yudha, "Dia nggak
Kakek Susilo melambaikan tangan padanya.Melanie cepat-cepat mendekat dengan riang."Di bawah tempat tidur, ada pispot yang kupakai tadi malam. Buangkan isinya, lalu bersihkan dan bawa kembali."Pispot?Melanie tertegun sesaat sebelum akhirnya menyadari benda apa itu, lalu dia langsung terlihat seperti ingin muntah.Dia jelas merasa bahwa Kakek sedang menggodanya, jadi dia menampakkan wajah sedih dan tidak senang."Kenapa? Nggak mau?" Kakek tidak terkejut. "Jadi ingat, selama aku hidup, jangan mimpi bisa masuk keluarga Lastana."Melanie meledak-ledak. "Kenapa kamu ingin mempersulit aku? Kenapa kamu nggak minta Rara membersihkan pispot untukmu?"Dia tidak percaya Yara mau melakukan hal rendahan seperti itu.Alhasil, Kakek Susilo tersenyum lembut. "Kamu pikir Rara belum pernah melakukannya?""Saat awal menikah dengan Yudha, dia pertama tinggal di rumah keluarga besar. Dia membantuku membersihkan pispot dan bahkan mencuci seprai kotorku dengan tangannya sendiri.""Di matamu, aku cuma lela
"Ya." Ketika Melanie kembali, dia melihat Silvia datang."Kak, aku minta maaf padamu atas anakku Rara." Silvia menyeka air matanya. "Anak itu ... aku terlalu memanjakan dia."Santo sama sekali tidak menyukai Silvia. Ditambah marah pada Yara, dia sangat tidak ingin bertemu Silvia.Dia mengibaskan tangannya dan menyuruhnya pergi. "Sudah, kamu pulang saja. Zaina perlu istirahat sekarang. Kamu nggak perlu datang ke sini lagi.""Ya sudah Kak, kamu jaga kesehatan." Silvia mengerutkan bibirnya."Ayah, aku antarkan Bibi Silvia keluar dulu ya." Melanie ikut pergi mengikuti.Keduanya pergi untuk bicara di koridor."Melly, ibumu masih mungkin bangun lagi?" tanya Silvia ingin bergosip.Melanie mendengus. "Lebih baik mati saja.""Nak, kamu ini." Silvia diam-diam bersukacita dalam hati dan merendahkan suaranya. "Melly, ibu punya kabar baik untukmu. Agnes menghubungiku dan memberi tahu bahwa Yudha akan menceraikan Yara.""Beneran?" Melanie sangat gembira. Agnes tampaknya sudah menerima dia sepenuhnya
Setelah Yara menerima pesan itu, dia bergegas ke rumah sakit tanpa menduga akan bertemu Melanie di lantai pertama."Mau apa lagi kamu ke sini?" kata Melanie seolah bersikap sangat hati-hati."Bukan urusanmu." Yara tidak mau memedulikan dia dan berusaha berjalan secepat mungkin.Namun, Melanie penuh kecurigaan dan bersikeras mengikutinya. "Kamu masih ingin ditampar ayahku lagi?"Yara menoleh tajam. "Tenang saja, aku ke sini bukan untuk menjenguk Bibi.""Oh, jadi Kakek Susilo?" Melanie menyeringai mengejek. "Yara, kamu nggak punya malu ya? Keluarga Lastana nggak menerima kedatanganmu, kamu masih nggak tahu malu juga datang ke sini?"Yara berhenti dan berbalik untuk menatapnya, "Melanie, aku datang ke rumah sakit bukan untuk menjenguk Kakek. Gita memanggilku ke sini."Dia benar-benar muak. "Bisakah kamu berhenti mengikutiku?"Gita?Seluruh tubuh Melanie kaku karena waspada dan dia buru-buru berlari menarik Yara."Ibuku sudah bangun.""Benarkah?" Yara tampak terkejut.Melanie mengangguk. "
Gita sedang duduk di meja kerjanya, sepertinya sedang menulis sesuatu. Saat Yara masuk, dia hanya mengangkat kepalanya dan melirik sekilas."Ah! Sebenarnya nggak ada apa-apa. Aku barusan mau telepon biar kamu nggak perlu datang.""Hah?" Yara merasa aneh.Gita menunduk dan memaksakan senyuman. "Sebenarnya, darah yang sesuai dengan golongan darah bibimu di bank darah hampir habis. Kalau kamu bisa, aku mau ....""Nggak masalah." Yara segera menarik lengan bajunya. "Ambil sebanyak-banyaknya kalau butuh."Hidung Gita terasa perih. "Oke, langsung ke ruang donor darah saja. Aku masih ada pekerjaan lain, jadi nggak bisa menemanimu ke sana.""Oke." Yara selalu merasa ada yang salah dengan Gita, jadi dia memastikan sebelum pergi, "Gita, kamu baik-baik saja?""Ah?" Gita tertawa datar. "Nggak apa-apa, aku baik-baik saja. Cepat pergi."Setelah Yara menjauh, Gita melihat ke arah sudut lemari dengan pandangan marah.Tak lama kemudian, Melanie keluar dari belakang. Setelah dia berpisah dengan Yara bar
Tanto tertawa marah. "Yudha, kamu cemburu?""Jangan asal bicara." Yudha menatap Tanto dingin. "Aku cuma mau mengingatkan, Yara sebentar lagi bukan bagian dari keluarga Lastana. Sebaiknya kamu jaga jarak darinya."Tanto mengangkat sudut kanan bibirnya. "Bukan bagian dari keluarga Lastana. Lebih-lebih lagi, bukan istrimu. Bukan urusanmu dia mau pergi dengan siapa."Setelah sengaja menyulut kemarahan Yudha, dia memasukkan tangan ke dalam sakunya dan bersenandung, berjalan memasuki kamar rumah sakit.Wajah Yudha sangat muram. Dia tadi baru saja tiba saat melihat Tanto dan Yara meninggalkan rumah sakit sambil bergandengan.Dia baru tahu mereka cukup dekat juga, bahkan sampai pergi sarapan bersama.Kobaran api yang dia sendiri tidak mengerti langsung menyala dalam hatinya.Tentu saja dia tidak cemburu. Dia hanya takut mereka akan mengundang gosip jika ada orang lain yang mengetahui interaksi mereka.Yudha percaya bahwa sebagai kepala keluarga, dia berhak menjaga nama baik keluarga Lastana. I
"Bukan begitu," sela Melanie. "Dok, di keluarga saya sedang ada masalah. Saya harap ibu saya belum akan bangun untuk saat ini.""Apa?" Faris bahkan lebih terkejut lagi. "Apa maksudnya?""Dok, tolong bantu saya." Melanie menangis pelan. "Saya sedang ada salah paham dengan ibu saya saat ini. Kalau dia bangun, konflik di antara kami hanya akan semakin besar."Dia meraih lengan baju Faris memohon-mohon, "Dok, saya cuma perlu sedikit waktu untuk menemukan bukti. Bisakah Anda membantu saya?"Memanfaatkan situasi ini, dia memasukkan kartu itu ke dalam saku Faris.Faris merasa agak malu, tetapi godaan 2 miliar itu jauh terlalu besar. "Saya cuma perlu memastikan dia nggak bangun, 'kan?"Melanie mengangguk. "Ya, terima kasih, Dokter Faris."Faris mengikuti Melanie menemui Zaina. Ketika dia tiba di bangsal, Gita juga ada di sana."Dok," kata Gita gembira. "Bibi Zaina sudah pulih dengan baik dan menunjukkan tanda-tanda akan bangun.""Benarkah? Coba diperiksa dulu." Faris pura-pura memeriksa Zaina
Yara berpikir lama sebelum sampai pada kesimpulan, "Aku nggak bisa menebaknya sama sekali."Dia menjelaskan, "Di keluarga Lastana, Paman selalu dianggap sebagai orang yang paling nggak bisa diandalkan dan nggak punya ambisi. Tapi menurutku selama ini ... dia bukan orang semacam itu."Siska mengangguk sambil berpikir, "Benar juga, memang sulit dimengerti.""Hah?" Yara merasa aneh. Siska harusnya sangat jarang berhubungan dengan Tanto, kenapa dia bisa berkata sulit ditebak?"Maksudku ...." Siska memulai keahlian komentar kasarnya. "Dia jelas-jelas bukan orang baik, tapi dia sempat perhatian padamu. Benar-benar sulit dimengerti."Yara tertawa. "Kalau begitu, mungkinkah aku bisa minta tolong dia memberikan lukisan ini kepada Kakek?""Harusnya sih bisa." Siska mengangguk setuju dan tidak bisa menahan diri mengata-ngatai, "Masih mending daripada diberikan kepada Yudha yang buta itu.""Oke, begitu saja." Yara segera menghubungi Tanto dan mereka berdua membuat janji bertemu.Keesokan harinya,