“Kamu … aku dengar namamu, Ayunira Larasti, kan?”
“….”
“Semoga bisa bertahan denganku selama enam bulan ke depan, ya?”
“….”
“Aku mengharapkan kerja sama darimu dengan tulus.”
Kerja sama apanya?! Ayunira menggemeretukkan giginya kesal.
Dia yang memilih menolehkan kepalanya ke arah luar jendela mobil, meremas erat kain daster kumalnya yang melekat di badan.
Air matanya sudah mulai mengering, dan rasa takutnya pun mulai digantikan oleh rasa kesal.
“Aku Kenan.”
Sedari tadi, semenjak mereka pergi dari halaman depan rumah Ayunira, Kenan terus saja merecoki suasana.
Dia cerewet sekali, layaknya burung beo yang mengulang-ulang ucapan.
Ucapannya yang melantur ke sana kemari pun, terasa begitu menyebalkan.
“Kenan Adijaya.”
Dia seolah-olah sengaja melakukannya, untuk mengejek kehidupan rumah tangganya bersama Arkan baru saja berakhir.
Perilakunya benar-benar ….
“Oh? Ada apa dengan pelipismu? Apa kamu terluk—!”
… Sangat memuakkan!
—PLAKK!
“JANGAN SENTUH AKU!” pekik Ayunira lantang, segera setelah ia menampar jemari tangan kanan Kenan yang hendak mengusap luka akibat dibentur cangkir teh.
Tepisannya itu mendadak mengubah ekspresi wajah Kenan.
Di mana, yang tadinya terlihat berusaha mengakrabkan diri kepada Ayunira, kini mulai berubah ke arah sebaliknya.
Pria bermata ungu tersebut mengatupkan bibirnya rapat-rapat, memandang sinis Ayunira sambil mengeluarkan kembali aura mengintimidasinya yang menggetarkan jiwa.
“Haha,” lirih Kenan tertawa hampa dengan pipi kanan sedikit mengernyit, juga mulai menggoreskan seringai lebar di parasnya yang memang rupawan.
“Tuan Putri satu ini sungguh arogan sekali,” dengusnya seakan-akan mengejek, mendorong kekesalan yang dipendam Ayunira supaya menjadi semakin memuncak.
“Tapi!”
Dalam sekejap mata, Kenan membalikkan keadaan di dalam mobil ini.
“Sepertinya kamu lupa.”
Dia mencengkeram balik pergelangan tangan yang tadi menampar jarinya, mendorong dan mengapitkan lengan ramping itu supaya terimpit oleh jari kokohnya ke kaca mobil, … dengan badannya yang sekarang semakin dicondongkan tuk mempertemukan wajah mereka berdua supaya lebih dekat.
“Kamu itu tawananku,” bisiknya halus, tepat di samping cuping telinga Ayunira. “Bukan tamu kehormatanku.”
Karena jarak di antara mereka sangat dekat sekali, itu membuat setiap helaan nafas yang Kenan keluarkan secara tidak sengaja, menyentuh permukaan kulit leher Ayunira sampai-sampai membuat wanita tersebut bergidik geli.
“Tawanan macam apa yang berani menolak orang yang menawannya, hm?” Tanya Kenan dengan nada suara seperti sedang bermain-main, menjauhkan wajah dari telinga Ayunira tuk memandang kembali paras pucat pasi dari wanita tersebut.
Kenan melepaskan cengkeraman pada pergelangan tangan Ayunira secara perlahan, kemudian lekas mengerahkan jari-jemarinya itu tuk mengusap lembut pipi lawan bicaranya ini, seolah-olah ia mengusap hal yang paling rapuh di dunia.
“Kamu tak akan begitu, kan?” Tanya Kenan memastikan, atau justru lebih mirip seperti menyuruh Ayunira bersikap demikian secara halus.
Sedangkan yang ditanyai sedari tadi, yakni Ayunira sendiri, dia hanya terdiam.
Lagi dan lagi, seperti sebuah kebiasaan sedari dulu, setiap ada orang yang berbicara kepadanya, dia tidak mampu melakukan kontak mata lebih lama.
Ada rasa malu dan rendah diri yang menariknya supaya tidak berani bertatapan langsung dengan siapa pun yang mencoba berurusan dengannya.
Apalagi, saat ia masih berada di rumah mantan suaminya, Arkan, terutama pas keluarga mertuanya datang berkunjung.
“Ah, kita sudah sampai,” tukas Kenan seraya menjauhkan diri dari mengimpit tubuh Ayunira sampai memojok ke sudut kursi paling dekat dengan kaca mobil, lalu lekas membuka pintu tuk keluar dari arahnya duduk.
Setelah kakinya sukses menapaki permukaan, Kenan tidak serta-merta langsung menutup pintu.
Dia menoleh, melirik Ayunira yang masih asyik menundukkan wajahnya sembari mencengkeram erat dasternya, kemudian bertanya.
“Kamu tidak mau turun?”
“….”
Seperti yang sudah terjadi di sebelum-sebelumnya, tidak ada jawaban pasti yang mau keluar dari mulut Ayunira.
Wanita itu benar-benar, secara terang-terangan ingin menghindari interaksi bersama Kenan Adijaya.
Saat Kenan menutup pintu mobil yang ia lewati tuk meraih jalan keluar, Ayunira merasakan sedikit kelegaan.
Setidaknya sampai ….
“Haduh, Tuan Putri satu ini benar-benar~!”
… Kaca mobil tempatnya bersandar yang ternyata memang sebuah pintu juga, dibuka dari luar oleh pria yang terkekeh kecil, seraya menatapnya dengan sorot mata aneh, sulit diartikan.
“Selain cengeng, ternyata kamu juga manja sekali, ya?”
“Ap—?”
Belum sempat mengutarakan keheranannya atas omongan Kenan barusan, tiba-tiba saja pria pemilik tubuh berisi itu mengulurkan kedua lengan bersarung tangan hitam miliknya tuk menyekop lipatan lutut dan juga ketiak Ayunira, supaya membawanya ke dalam pangkuan, mengeluarkan dirinya secara halus agar tidak terus mendiamkan diri di mobil.
“A-apa yang kamu lakukan?! Lepaskan aku!” pekik Ayunira sedikit berontak, dengan wajah pucatnya tadi kini sudah berubah warna menjadi merah menyala.
Habisnya, wanita itu tak pernah menyangka kalau Kenan akan membawanya pergi masuk ke dalam rumah megah, mewah, nan kawasannya sangat luas bak istana bangsawan kenamaan jaman dulu-dulu itu, dengan cara memalukan semacam ini.
Paling tidak, Ayunira sempat berpikir kalau Kenan bisa saja langsung menyeret tangannya secara paksa.
Namun, yang terjadi sekarang malah melenceng jauh dari ekspektasi.
“L-lepas! Aku bisa jalan sendiri!”
“Jangan malu-malu,” ucap Kenan sembari menyipitkan matanya seperti bulan sabit, mengulum senyum tertahan tatkala melihat Ayunira tampak kesulitan.
Wanita berwajah merah menyala sampai ke telinganya segala bagaikan kepiting rebus itu, bersikap menggemaskan sekali untuk sekarang.
Caranya memukul-mukul pelan dada Kenan yang bidang, serta tak berani menengadahkan parasnya yang terlihat memanas seperti air mendidih tersebut, berhasil membuat hati si pemilik nama belakang Adijaya merasa tergelitik.
Ah, dia rasa, tak ada salahnya kalau ia mencoba menggodanya sedikit.
“Apa ini pertama kalinya bagimu, Tuan Putri?” bisik Kenan dengan suara lembut dan terdengar agak serak, sampai membuat Ayunira tersentak untuk sesaat.
“J—j-jangan bicara omong kosong!” sanggah Ayunira, tak bosan-bosannya menghindari kontak mata dengan siapa pun, terutama dengan orang yang tengah memangkunya.
“Pffthaha.” Kenan tertawa pelan.
Cukup menarik, itu adalah kesannya yang ingin ia sampaikan, setelah mengenal lebih lama akan sosok Ayunira di pangkuan.
Dengan cepat, ia memanggil jajaran para pelayan perempuan yang ada, menurunkan Ayunira di dalam kamar yang tak kalah luas dengan ruang tamu rumah mewah ini, lalu menyuruh mereka semua mengurus Ayunira dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Tak lupa, Kenan juga memesankan kepada kepala pelayan di sana, untuk merobek dan membakar pakaian gembel yang Ayunira kenakan tadi.
Tanda bahwa masa lalu Ayunira, akan segera digantikan dengan masa depan yang lebih baik.
“Kau sudah membakarnya?” Tanya Kenan sambil menggulir beranda di ponselnya santai, tak terlalu menghiraukan kepala pelayan yang berdiri menghadap.
“Saya menjalankannya sesuai permintaan Anda, Tuan.”
“Bagus. Ah, ngomong-ngomong, apa Raihan sudah pulang?” Tanyanya sekali lagi, namun, kali ini ia menjarah setiap sudut rumah yang dijangkau oleh sorot tajam miliknya, dengan lirikan mata.
“Belum, Tuan. Apa ada sesuatu yang Anda perlukan dari Tuan muda?”
Kenan terdiam sejenak.
Tak berapa lama kemudian, ia berdiri dengan enggan.
“Aku sempat merokok di luar tadi,” tukasnya, seraya mulai melangkahkan kaki ke lantai atas tempat kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Ayunira berada.
“Aku harus mandi sebelum dia pulang.”
“Apakah Anda ingin disiapkan bak air hangat?” tawar kepala pelayan berjalan mengekori Kenan.
“Tidak. Tidak usah,” tolak Kenan. “Beritahu saja aku satu hal.”
“Gerangan apakah itu, Tuanku?”
“Beritahu aku ….”
Sebelum benar-benar menghilang ke balik pintu kamarnya, Kenan menatap kepala pelayan yang telah lama melayani rumahnya, kemudian menyeringai lebar.
“… Saat ‘dia’ sudah selesai.”
~•••~
Sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh majikannya, begitu melihat para bawahannya telah selesai memandikan dan mendandani wanita kumal yang dibawa oleh seorang Kenan Adijaya ini, kepala pelayan lekas pergi memberikan informasi.
Oleh sebab itulah, Kenan bisa berada di kamar tempat Ayunira mengganti penampilannya ini.
“Apa yang kamu inginkan?!” Tanya Ayunira sinis sekali, memandang pantulan bayangan Kenan yang tengah bersandar di pintu kamar sambil memangku tangan dalam cermin hias di depan.
Kenan mendengus kecil.
Dia tersenyum kecut dan memandang Ayunira yang berpenampilan pangling berkat bakat para pelayan kompetennya itu, dengan tatapan intens.
Seperti yang ia coba terka, Ayunira adalah berlian yang tersembunyi di balik tumpukkan batu.
Selama ini dia berpakaian sederhana, tanpa tahu jika ia memoles dirinya sedikit saja, maka cahaya kecantikan akan menguar dengan sendirinya.
“Hanya … ingin membicarakan hal penting, di antara sepasang calon pengantin?”
“P-pengantin?”
Oleh karena itu, Kenan tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini begitu saja.
Dia harus memanfaatkan apa yang ada, sampai kepuasan dalam dirinya tercapai semua.
“S-siapa yang akan menjadi pengantin siapa?!”
“Tentu saja, kamu dan aku.”
Dia berjalan mendekat, dekat sekali, lalu berhenti untuk berjongkok menekuk satu kaki, menengadahkan wajah tuk memandang Ayunira yang duduk di kursi meja rias, lalu berkata.
“Kita harus menikah.”
Perkataan yang seperti ultimatum, … undangan mengajak perang bagi Ayunira.
Menikah?Menikah … dengannya?PLAKK!Rentangan jejak cap lima jari yang berwarna merah menyala, mendarat dengan kuat dan sepenuh tenaga di pipi pria yang wajah pemilik rahang tegas tersebut, dengan tanpa peringatan dan juga aba-aba sebelumnya.Saking kerasnya dampratan yang mengeluarkan bentuk kekesalan memuncak itu, tangan ramping wanita bermanik mata hijau menyala tajam tersebut mampu membalikkan wajah sang tuan rumah kediaman besar ini, supaya menyamping.“Lancang sekali!” hardik wanita itu, yang tak lain adalah Ayunira Larasati, dengan bersuara tegas.Raut muka yang dipancarkan oleh wajah cantiknya tampak dipenuhi oleh kerutan emosi.Alisnya menekuk, netranya menajam, rona merah menghias, disertai dengan urat leher yang menegang, semakin memperjelas situasi Ayunira saat ini.Ya. Wanita itu merasa murka.“Apa kamu tengah mengejekku sekarang?!”Belum juga genap satu hari semenjak orang yang selama ini ia cinta, tiba-tiba menceraikannya.Dan kini, apa …? Ada seseorang yang memanfaatk
“Kamu … aku dengar namamu, Ayunira Larasti, kan?”“….”“Semoga bisa bertahan denganku selama enam bulan ke depan, ya?”“….”“Aku mengharapkan kerja sama darimu dengan tulus.”Kerja sama apanya?! Ayunira menggemeretukkan giginya kesal.Dia yang memilih menolehkan kepalanya ke arah luar jendela mobil, meremas erat kain daster kumalnya yang melekat di badan.Air matanya sudah mulai mengering, dan rasa takutnya pun mulai digantikan oleh rasa kesal.“Aku Kenan.”Sedari tadi, semenjak mereka pergi dari halaman depan rumah Ayunira, Kenan terus saja merecoki suasana.Dia cerewet sekali, layaknya burung beo yang mengulang-ulang ucapan.Ucapannya yang melantur ke sana kemari pun, terasa begitu menyebalkan.“Kenan Adijaya.”Dia seolah-olah sengaja melakukannya, untuk mengejek kehidupan rumah tangganya bersama Arkan baru saja berakhir.Perilakunya benar-benar ….“Oh? Ada apa dengan pelipismu? Apa kamu terluk—!”… Sangat memuakkan!—PLAKK!“JANGAN SENTUH AKU!” pekik Ayunira lantang, segera setelah
Mengambil … apa yang seharusnya menjadi miliknya sedari … dulu?“….”Pernyataan itu sangat mencolok sekali, sampai-sampai menjadikan sang suami, sang mertua, dan Ayunira sendiri, terbungkam dengan pikiran yang melayang-layang.Apa yang sebenarnya pria tak diundang ini bicarakan? Ayunira tak paham.“Nak, apa yang dia maksud?” Tanya ibu mertua Ayunira pada akhirnya kepada putranya, mewakili pertanyaan yang ingin sekali ia kemukakan.Namun, yang ditanyai, yakni Arkan, dia malah tak menjawab, dan lebih memilih untuk mendekati pria misterius tersebut sambil berkata, “K-Kenan. L-lama tidak berjumpa,” sapanya, bersikap sok kenal dan sok dekat sampai membuat orang yang dipanggilnya tersebut mengernyit heran.“Soal hutang setahun yang lalu itu ya? Ahaha~! Aku memang ingin melunasinya sekarang,” tukas Arkan sambil menepuk-nepuk bahu Kenan dan tertawa hampa.Pria itu tidak menyadari kalau ucapannya barusan bahkan berhasil membuat kedua orang tuanya kaget.Terlebih-lebih lagi Ayunira, yang baru t
“Kedua mempelai telah bersedia berjanji setia. Mereka berdua juga sudah memasang cincin di jari manis satu sama lain. Sebagai bentuk pengesahan terakhir dari upacara ini, silakan berciuman di depan semuanya.”DUG!Ayunira terbelalak lebar.Sudah cukup dengan ia menyetujui paksa ucap janji suci pernikahan itu, kini haruskah ia membiarkan dirinya dicium oleh Kenan?!Semua omong kosong ini benar-benar, sangat memuakkan!“Ayu.” Kenan memanggil pelan.Pria bertubuh jangkung itu melangkahkan kakinya tuk mendekat, lalu sedikit membungkuk dan menelengkan kepalanya melihat Ayunira yang masih menunduk menatap lantai altar.“Izin untuk mencium kamu ya?” Tanyanya entah pada siapa, karena orang yang dimaksudkan sengaja pura-pura tidak dengar.“….”Tak kunjung mendapatkan respons yang diinginkan, sementara berpuluh-puluh pasang mata telah berpusat kepada mereka seperti ingin menelanjangi, Kenan mengangkat telapak tangan, menangkup tulang rahang Ayunira, lalu mengarahkan wajah lembap istrinya itu su
DING! … DING!Suara bel besar dari luar altar pernikahan menyapu perhatian dari tamu undangan, yang tengah menanti dengan rapi di masing-masing bangku sesuai nomor antrean.Bunga lili putih dan pita-pita transparan yang menghiasi setiap sudut dinding tempat sakral ini sangat indah sekali.Bak hamparan bunga dari surga, juga bak berada di negeri dongeng.“Ekhem!”Di tengah-tengah nuansa putih suci dan berseri itu, terdapatlah sesosok orang yang berpenampilan kontras dari semuanya.Seorang pria berambut hitam keunguan, bersetelan jas hitam formal berpadu kemeja putih dan dasi kupu-kupu, berdiri dengan gagah di atas panggung yang sudah biasa menjadi tempat pertukaran janji suci dari orang-orang.Dia berdehem pelan sewaktu membenarkan dasinya yang seperti mencekik jalur pernafasan, saking gugupnya ia terhadap situasi sekarang.Kendati begitu ….“Wah, Tuan Adijaya ganteng sekali ya?”“Iyaaa ih! Rasa-rasanya gak rela lihat dia nikah di depan mata kepalaku sendiri!”“Aku jadi penasaran denga