Menikah?
Menikah … dengannya?
PLAKK! Rentangan jejak cap lima jari yang berwarna merah menyala, mendarat dengan kuat dan sepenuh tenaga di pipi pria yang wajah pemilik rahang tegas tersebut, dengan tanpa peringatan dan juga aba-aba sebelumnya.Saking kerasnya dampratan yang mengeluarkan bentuk kekesalan memuncak itu, tangan ramping wanita bermanik mata hijau menyala tajam tersebut mampu membalikkan wajah sang tuan rumah kediaman besar ini, supaya menyamping.
“Lancang sekali!” hardik wanita itu, yang tak lain adalah Ayunira Larasati, dengan bersuara tegas. Raut muka yang dipancarkan oleh wajah cantiknya tampak dipenuhi oleh kerutan emosi.Alisnya menekuk, netranya menajam, rona merah menghias, disertai dengan urat leher yang menegang, semakin memperjelas situasi Ayunira saat ini.
Ya. Wanita itu merasa murka.
“Apa kamu tengah mengejekku sekarang?!” Belum juga genap satu hari semenjak orang yang selama ini ia cinta, tiba-tiba menceraikannya.Dan kini, apa …? Ada seseorang yang memanfaatkan kekosongan statusnya untuk kepentingan dirinya sendiri?!
Dalam dua puluh satu tahun ia hidup di dunia, baru kali ini Ayunira merasakan sebuah penghinaan besar.
“….” Sedangkan itu, di sisi pria yang tidak terlalu kaget karena ia sudah menduga akan mendapatkan reaksi barusan begitu mengutarakan maksudnya secara langsung tanpa berbasa-basi terlebih dahulu, yakni Kenan Adijaya, dia mengatupkan bibirnya sejenak.Wajahnya memang tak bergerak sedikit pun dari posisi menoleh ke arah lain, berkat “tamparan cinta” dari Ayunira. Namun, tidak dengan lirikan mata.
“Jika aku jawab dengan ‘iya’, maka ….” Netra berwarna ungu ametis itu mendelik jeli.Memandang intens akan sang wanita berstatus janda baru tersebut dengan emosi yang sulit ditebak, seakan-akan mencoba mencari celah sekecil apa pun untuk menelanjangi harga diri Ayunira bulat-bulat.
“… Apa yang akan kamu lakukan?” Tanya Kenan bersuara lembut, sembari mengangkat sudut bibinya membentuk seringai licik, dengan mata ungunya sengaja disipitkan. Tak berhenti hanya sampai situ, seolah-olah merasa tertantang untuk membuat Ayunira yang dari tadi berontak entah secara lisan ataupun gelagat kembali dibuat bungkam seribu bahasa, Kenan lanjut bertanya. “Bukankah yang mendorongmu kepadaku itu, adalah pria yang selama ini kamu anggap sebagai cinta sejati?” tukasnya, mendadak mendorong lidah Ayunira menjadi kelu seketika. “Jadi, kenapa kamu harus marah kepadaku? Itu bukan salahku.” Helai rambut hitam keunguan itu berayun dengan lembut, mengikuti gerak wajah rupawan sang empu yang kini berniat tuk memamerkan seluruhnya tentang betapa berkarismanya patrian senyum miring yang ia punya. “Hatiku menjadi sangat terluka.” Tangan kanan Kenan yang berukuran lebih besar dari tangan Ayunira nan bertulang kokoh itu terangkat.Mendekat membingkai pipi tirus wanita berwarna rambut kuning kecokelatan bak gandum yang matang sempurna, lalu menggerakkan ibu jarinya pelan tuk memberikan sedikit usapan.
“Lain kali, tolong. Jangan begitu lagi, ya?” “… Ha.” Setelah lama mendiamkan diri, akhirnya suara Ayunira yang sempat tertahan di kerongkongan kembali diperdengarkan lagi.Wanita itu mengernyitkan alisnya kesal, dan mengeluarkan suara helaan nafas yang justru lebih mirip dengan sebuah dengusan.
Selain itu, secara tiba-tiba mendapatkan dorongan keberanian entah dari mana, ia mencengkeram erat jari-jemari Kenan yang membingkai pipinya, berupaya membuat si pria itu merasa kesakitan lalu menjauhi wajahnya.
“Lain kali itu tidak akan pernah ada!” Namun. Alih-alih meringis dan meminta tolong supaya Ayunira berhenti mencengkeram erat jarinya, Kenan justru menampakkan sisi berbanding terbalik. “Aku akan pulang!” Pria berambut hitam keunguan itu semakin menyipitkan mata dan melebarkan seringainya, dengan rona merah menyala mulai merambat menghiasi muka.Ekspresinya sekarang itu, jelas-jelas tengah menunjukkan bahwa ia tak merasakan cengkeraman yang Ayunira kerahkan sekuat tenaga untuk melukai jarinya.
Melainkan sebaliknya.
Dia menyukainya.
“Mau bertaruh denganku?” Tanya Kenan antusias, menengadahkan wajahnya bergaris rahang tegas itu supaya lebih dekat dengan wajah kaget Ayunira. “Apa?” gumam Ayunira sambil melongo, dengan alis yang masih menekuk tajam. Akan tetapi, berkat dari keterkejutan atas ucapan tidak masuk akalnya sang tuan rumah kediaman besar kalangan orang berada, cengkeraman pada jari di dekat pipinya tersebut mulai mengendur.Sehingga, secara alami, Kenan menarik kembali jari-jemarinya itu, untuk kemudian segera ia letakan di atas tumpuan lututnya sendiri.
“Menurutku, setelah batas waktu enam bulan itu berakhir, kamu tidak akan pernah pergi dari sini.” Sebelum menjawab ucapan itu, Ayunira mengepalkan tangannya erat-erat, mencoba menyembunyikan rasa gentar yang sebenarnya sudah ada sedari awal ia dibawa Kenan.Dirasa telah membentengi dirinya dan yakin kalau ia tak akan dan tak boleh takut dengan perkataan macam apa pun yang Kenan lontarkan, Ayunira bertanya balik dengan nada menantang.
“Mengapa begitu?” “Dua. Hanya ada dua jawaban.” Kenan menyahut, seraya menunjukkan jari telunjuk dan tengah tangan kanannya membentuk huruf v. “Pertama, ….” Kenan menjeda kalimatnya sejenak, sengaja hanya untuk melipat jari tengahnya terlebih dahulu, sehingga yang tampak hanya acungan jari telunjuk.Setelah itu, ia lekas kembali melanjutkan pernyataannya yang sempat menggantung.
“… Kamu akan merasa nyaman dan ingin tetap tinggal di sini, karena jatuh cinta kepadaku.” “A—ap—?!” Sebuah pernyataan yang telah sukses menarik emosi Ayunira, supaya menjadi naik pitam lagi.Namun.
“Itu tidak akan pernah terj—!” Belum juga ia melayangkan protes, Kenan memotong ucapan Ayunira dengan suaranya yang terdengar bermain-main, tapi tetap tak meninggalkan kesan wibawa. “—Kedua.” Selain itu, Kenan juga mulai bangkit dari posenya menekuk satu kaki di hadapan Ayunira, dan memamerkan betapa tinggi besarnya tubuh yang sehat secara rohani dan jasmani.Dia mengarahkan pupil mata ungu ametis miliknya yang terlihat memabukkan tersebut, tuk menatap serius sang wanita yang kini duduk dan menengadahkan wajah pucat pasi sembari menggigit bibirnya seperti menahan rasa takut.
Di mana di sudut pandang Ayunira sendiri, Kenan tampak menatapnya dengan pandangan yang seperti sedang merendahkan.
“Mungkin saja aku, di kemudian hari nanti ….” Kenan merunduk, merentangkan masing-masing kedua telapak tangannya untuk, kemudian ia daratkan di bahu ringkih Ayunira. “… Aku jadi tak memiliki niatan untuk …." Wajahnya mendekat, sapuan nafasnya terasa hangat di leher, dan pangkal hidung bangirnya nyaris bersinggungan dengan cuping telinga kiri sang wanita … yang dijadikan jaminan hutang oleh mantan suaminya ini. “… Melepaskanmu pergi,” bisik Kenan lembut, memaksa tubuh Ayunira memberikan respons bergidik ngeri dan merasa merinding seketika. TEP! “…?” Ayunira mencoba memberontak kecil.Dia membuat Kenan mengangkat sebelah alisnya heran, begitu ia merasakan ada telapak tangan gemetaran yang kini tengah menyentuh dadanya, sambil memberikan sedikit tekanan seolah-olah mendorongnya untuk pergi.
Menyusul adegan itu, ….
“Se—sebenarnya ….” … Kini, mulai terdengarlah suara parau. “… Apa yang—k-kamu … inginkan dariku?” Yakni suara yang berasal dari Ayunira, selagi wanita itu memberanikan diri menengadahkan wajah dengan sepasang mata hijau berkaca-kaca.Sepertinya, keberaniannya yang sempat menemani walau dalam waktu sesaat itu, kini telah sepenuhnya sirna.
Air mata mulai jatuh melintasi pipi, dan berakhir membasahi gaun berkualitas mewah yang dipakaikan para pelayan kediaman ini untuknya.
“Se—seperti yang kamu bilang. Aku ini tidak ada harganya.” Wanita itu menunduk, menghindari kontak mata lebih lama. “Pendidikanku tidak tinggi, jadi aku tidak akan ada gunanya.” Entah dia menyadarinya atau tidak, yang jelas, ada satu perubahan pada diri Kenan begitu ia mendapati wanita dalam kungkungannya mulai bersikap berbanding terbalik dengan apa yang beberapa waktu lalu terjadi.Apalagi, saat gendang telinganya mendengar kata-kata berikutnya.
“Aku juga … tak akan bisa memberikanmu anak.” Tatapan mata ungu mengkilap nan terasa alat hipnotis milik Kenan, mendadak berubah menjadi kosong nan menggelap. “Aku ini … orang buangan.” “….” Melihat bagaimana sosok orang bernama Ayunira Larasati, yang sempat membuatnya merasa tertantang karena perlawanannya itu tadi, kini mulai menjadi wanita cengeng kembali sama seperti wanita yang ia dapati di rumah teman lamanya itu, entah kenapa … ini membuat seringai licik di wajah Kenan mulai menghilangkan jejak. “Aku … tak akan bisa memberikanmu keuntungan. Jadi, ….” Kelopak mata yang tadi menyipit bagaikan bulan sabit selagi ia menyeringai, sekarang telah digantikan dengan sorot yang tajam bagaikan es runcing yang siap menghunjam.Perlahan tapi pasti, tangan kanannya mulai bergeser dari bahu Ayunira, merayap sedikit ke perpotongan leher.
Lalu, …!
“… Tolong pulangkan ak—!” SYUKK! “—Tubuhmu.” … Tangan itu naik tuk menjawil dagu, mengarahkan paksa wanita berlinang air mata itu supaya berkontak mata dengan dirinya.Diri yang seperti percaya dan menganggap bahwa orang lain, ….
“Aku menginginkannya.” … Harus menuruti semua perkataannya.“Bagaimana?”Pagi yang baru telah berlalu.Hari ini, Kenan direpotkan oleh rasa terganggu, saat mengetahui bahwa wanita yang telah sah menjadi istrinya itu, tak kunjung menampakkan batang hidungnya sedikit pun.Jangankan tuk keluar dari kamar dan bertegur sapa dengan penghuni rumah ini.“Beliau masih mendiamkan diri.”Mendengar penuturan dari kepala pelayan, Kenan jadi tahu kalau istrinya, Ayunira Larasati Adijaya, memang seperti sudah tak memiliki niatan tuk hidup terus.“Beliau tidak mengisi perutnya sedari malam. Saya jadi khawatir, Tuan.”Dia tidak menolak atau pun menerima makanan yang disodorkan kepala pelayan ke kamarnya.Walau masakan yang disajikan tercium wangi, serta berbahan dasar makanan kualitas terbaik, sepertinya itu tak cukup untuk menggugah selera Ayunira.Diam. Dia hanya mendiamkannya.Yang wanita itu lakukan sampai pagi buta ini hanya berbaring menyamping kanan, dengan sorot mata hijau kosongnya memandang ke arah luar kaca jendela secara hampa.“Haa.” Kenan menghel
BRUKK!Pada akhirnya, kesempatan untuk melarikan diri yang kedua kali selagi ada momen dirinya keluar dari kediaman, justru tak kunjung datang.Bagaimana bisa ia melakukan itu, sedangkan, orang yang paling ingin dihindarinya saja terus-menerus berada di sampingnya sepanjang hari ini, dan seperti sedang mengawasinya dari jarak yang sangat-sangat dekat?Benar-benar seperti mimpi di siang bolong saja!“….”Sehingga, di sinilah Ayunira sekarang.Selepas membersihkan diri dan mengeringkan rambut, wanita itu berbaring pasrah di atas ranjang, menatap kosong langit-langit kamarnya yang lagi-lagi masih belum terasa akrab, seterusnya melamunkan sesuatu.“Apakah aku, akan berakhir di sini selamanya?” pikirnya dalam hati, merasa takut sekaligus bimbang dengan situa
“Kita sampai.” Kenan bergumam kecil, memberitahu Ayunira secara tidak langsung selagi ia memarkirkan mobilnya dengan hati-hati di tempat yang sudah semistiknya.Tak lama dari itu, selepas mematikan mesinnya, ia pun segera keluar dari mobil, dan lekas bergegas mengitari kendaraan roda empat itu untuk membukakan pintu bagi wanita yang ditaksir sebagai calon pasangan hidupnya tersebut.“Silakan melangkah keluar, Tuan Putri,” tukas Kenan sambil melintangkan tangan kiri di depan dada, tangan kanan merentang meminta uluran lengan Ayunira, badan sedikit membungkuk, dan kepala yang ditundukkan, kurang lebih semacam meniru apa yang tadi Imelda lakukan.“….”Ayunira mengatupkan bibirnya rapat.Manik mata hijau zamrud itu mendelik.Menatap tidak suka akan rentangan jemari
CHIRP~! CHIRP!Pagi kedua dan ketiga sudah terlewat, dan kini, pagi keempat pun telah datang.Suasananya yang hangat nan menentramkan membawa Ayunira tuk membuka terpejamnya kelopak mata dan menampakkan netra hijau indahnya secara lambat, seakan-akan pasrah dengan keadaan.“Selamat pagi, Nona.”“….”Wanita itu diam.Nyaris tak bergerak sama sekali, dan hanya menatap kosong langit-langit selagi ia masih membaringkan diri di ranjang.Seakan-akan dia adalah orang yang tunarungu, Ayunira tak mengindahkan sapaan sang kepala pelayan, dan hanya menebalkan muka tuk memalingkan wajahnya ke arah samping lain.“Mari kita bersiap-siap mengawali pagi dengan penuh semangat~!”
“…!”Ayunira diam membisu.Wanita itu mematung, kaku seperti patung, dan mulai memalingkan wajahnya tuk menoleh ke samping supaya menatap permukaan tanah berlapis papin blok saja, sebab tak berani menghadap serta memandang langsung akan pria yang kini tengah mengungkungnya.Keringat dingin mulai muncul, datang berjatuhan membasahi dahi.Ditatap intens oleh Kenan dalam posisi yang memojokkan seperti itu, ini sama saja dengan adegan saat sang raja hutan mengagumi mangsa yang memberikannya seonggok daging segar.“Ke mana Imelda?”Cukup lama hanya mendiamkan diri dan lebih memilih tuk memandang Ayunira secara lamat-lamat saja, kini, hal pertama yang ditanyakan oleh Kenan adalah keberadaan kepala pelayan pribadinya, yang membuat wanita dalam kungkungannya tersebut terlonjak kaget.“Kenapa dia tak bersama denganmu?” Tanya Kenan sekali lagi, yang masih diberikan jawaban tak pasti berupa wajah bermulut tersegel rapat nan dipalingkan ke arah lain.Bertepatan dengan rampungnya pertanyaan barusa
“Apa ada yang Anda perlukan?”Sarapan pagi di dalam kamar berlangsung dengan lancar.Ayunira makan dengan lahap tanpa menyisakan sedikit pun makanan yang disodorkan, dan berhasil membuat sang kepala pelayan menyunggingkan senyuman merasa puas sekaligus terlihat bangga. “Tidak ada, terima kasih,” tukas Ayunira sembari menyodorkan nampan berisikan perkakas yang ia gunakan tuk makan, secara malu-malu.Sang kepala pelayan, Imelda, lekas memanggil sodoran tersebut.Sebelum ia benar-benar membalikkan badannya dan pergi meninggalkan Ayunira kembali, Imelda menatap wanita bermata hijau yang tengah duduk melamun di atas tepi ranjang itu, seterusnya bersuara.“Apakah ada suatu hal lain yang sekiranya bisa Saya bantu?” Tanya Imelda sekali lagi, yang justru menyundul hati sang narasumber tuk merasakan sedikit kekesalan.“Tidak ada, tapi ….”Namun, berkat kesadaran diri bahwa ia harus bersabar demi mencapai “rencana itu” dengan tanpa menimbulkan kecurigaan apa pun, dia, si wanita tersebut, Ayunir