Masuk
“Jadi ini yang kau lakukan saat pamit untuk mengerjakan tugas?? Menginap sekamar dengan pria asing??”
Suara Ronn menggelegar, membuat tubuh Aerin bergetar. “Dia pacarku, bukan orang asing—” Dengan tanpa diduga, Ronn membuka kemeja hitamnya, lalu melemparnya kasar ke atas ranjang. “Buka bajumu! Aku akan tunjukkan betapa bahayanya berdua saja di kamar dengan seorang pria.” ***~*** "Sudah sampai, Sayang," kata Danadyaksa. Aerin mendongak, ia mengerjap-kerjapkan matanya sebentar. Penerbangan selama tiga belas jam dari Jakarta ke London benar-benar melelahkan. Ia sampai tak sadar tertidur di dalam taxi saat menuju rumah Ronn, teman ayahnya sekaligus calon dosen yang akan mengajarnya nanti. “Kau tidur nyenyak sekali,” kata Danadyaksa sambil mengusap pipi Aerin. Aerin menguap pelan, lalu menyusul Danadyaksa keluar dari taxi. Sebuah rumah bergaya klasik di London berdiri kokoh di hadapannya. Dindingnya bata merah. Halamannya ditumbuhi tanaman rambat, dan sebuah plang kayu kecil di dekat pintu bertuliskan No. 11. Terlihat hangat. Dan itu melegakan Aerin. Ding, dong! Ayahnya membunyikan bel. Sedangkan Aerin tak henti melihat sekelilingnya. Tak lama kemudian, pintu terbuka. Aerin menoleh. Tiba-tiba, seperti slow motion dalam sebuah drama, angin dingin berhembus dengan sangat pelan, menerpa wajah pria tinggi dengan rambut hitam bergelombang di hadapannya. Sinar keemasan matahari menyinari rahangnya yang tajam, memperlihatkan dengan jelas janggut tipisnya yang terawat, menambah kesan maskulin pada penampilannya. ‘Dia terlihat lebih muda dari Papa,’ gumam Aerin dalam hati. Ia menebak usianya yang mungkin awal empat puluhan. Pria itu mengenakan kemeja putih yang digulung lengannya. Wajahnya sangat tampan, tapi matanya terlihat lelah. “Dann!” sapanya, suaranya yang dalam dan berat tak menutupi keterkejutannya saat melihat Danadyaksa. “Ronnl!” Ayahnya tersenyum lebar. Mereka berpelukan layaknya teman lama. “Lama tidak bertemu, kawan.” "Sudah lama sekali. Kenapa kau tidak meneleponku lebih dulu? Aku bisa menjemputmu di bandara," tanya Ronn, menatap Ayah Aerin dengan tatapan protes. “Kejutan,” canda Danadyaksa. “Aku bersamanya.” Ia menoleh pada Aerin. “Ini putriku, Aerin.” Ronn menatap Aerin. Berbeda dengan tatapannya pada teman lamanya itu, ia justru menatap Aerin dingin, tanpa senyum. “Dia yang akan tinggal di sini?” “Ya,” jawab Danadyaksa. “Maaf ya, tiba-tiba begini.” Ronn mengangguk, tapi sorot matanya masih sama. Ia mengulurkan tangan. “Rowan Nathaniel. Kau bisa memanggilku Ronn.” Aerin membalas uluran tangannya. Tangan besar itu terasa hangat, tapi genggamannya kuat. “Aerin.” “Masuklah,” ajak Ronn mempersilakan mereka masuk. Di dalam, seperti dugaan Aerin, rumah itu terasa nyaman. Hal pertama yang memancing perhatiannya adalah sebuah piano grand yang berdiri di sudut ruangan, tertutup kain beludru. Mata Aerin terpaku pada piano itu. Kenangannya beberapa tahun yang lalu tiba-tiba hadir, saat ia dan ayahnya sering menghabiskan waktu bersama dengan piano—Dandyaksa yang memainkan piano, sedangkan Aerin bernyanyi mengikuti alunannya. Ronn mengamati tatapan Aerin. “Aku dulu suka main itu,” katanya, suaranya datar. “Sekarang, tidak lagi.” “Kenapa?” tanya Aerin, refleks. “Tidak ada waktu. Lagipula, hanya hobi anak-anak,” jawabnya, nada suaranya sedikit meremehkan. Aerin terdiam. Dadanya sesak. Ronn tidak tahu apa yang ia bicarakan. Ayah Aerin merasakan ketegangan itu. Bergegas ia mengalihkan pembicaraan. “Ronn, dia mahasiswi Sastra Inggris di Harrowgate University, lho. Kau akan jadi dosennya, kan?” Ronn mempersilahkan kedua bapak dan anak itu untuk duduk. Lalu ia ikut duduk di ujung sofa abu-abu tua itu. Ia mengangguk. “Di departemen itu, ya. Tapi aku tidak mengajar kelas dasar.” “Tidak masalah. Aerin pintar kok, dia akan mudah mengikuti kelas,” kata Ayahnya bangga. Ronn menoleh lagi ke arah Aerin, ia tersenyum tipis. “Kita lihat saja nanti.” Aerin menunduk. Sejujurnya, ia tidak menyukai kondisi ini. Di mana ia merasa ayahnya seperti lepas tangan dan menyerahkan dirinya ke orang lain untuk dididik. Apalagi orang itu menatapnya, seolah mengatakan: “Aku ragu”. Ia benci itu. Ayah Aerin mengeluarkan sebuah tas dari ranselnya. “Ini, Ronn. Selama Aerin tinggal di sini. Jangan menolak, ya. Ini sebagai tanda terima kasih.” “Tidak usah, Dann,” tolak Ronn. "Tidak, Ronn. Ini bukan hutang. Anggap saja untuk biaya sewa kamar Aerin," kata Danadyaksa. Ronn melirik ke arah Aerin yang duduk di samping ayahnya. Tatapan mata mereka bertemu beberapa detik. ‘Sekarang aku jadi merasa Papa sedang menjualku,’ gerutu Aerin dalam hati, walaupun kenyataannya ia sangat tahu bukan seperti itu. Ronn menghela napas. “Baiklah. Terima kasih.” Ia mengambil tas itu. Setelah beberapa saat mengobrol, Ayah Aerin melihat arlojinya. “Ronn, aku harus segera ke bandara. Pesawatku satu jam lagi.” “Kau tidak berniat menginap semalam dulu di sini? Aku bisa mengajakmu keliling kota London besok,” kata Ronn. Danadyaksa tersenyum. Ia menepuk bahu Ronn. “Lain kali, Ronn, aku akan mampir lebih lama. Kita bisa pergi berempat—aku, Aerin, kau dan Lilith.” Danadyaksa mengalihkan pandangannya ke Aerin, ia memeluknya untuk yang terakhir kali, “Be good here, Sweetheart.” Aerin mengangguk. Matanya sudah berkaca-kaca. “Ring me everyday, will you? Do you understand, Sweetheart?” tambah Danadyaksa. “I will. I promise,” jawab Aerin. Tak berapa lama, taxi Danadyaksa sudah menghilang di persimpangan. Kini tinggal Aerin yang berdiri canggung di teras rumah. “Kamarmu di atas. Ikut aku,” Ronn memecah keheningan dengan perintahnya. Ia mengambil koper Aerin lalu memimpin langkahnya menaiki tangga. Aerin mengikutinya. Hingga sampai di ujung lorong, Ronn membuka sebuah pintu. Kamar itu kecil, tapi terlihat nyaman. Ada ranjang, meja belajar, dan lemari. Jendela kamarnya menghadap ke jalanan. Ronn meletakkan koper Aerin di samping ranjang. “Kalau butuh sesuatu, katakan saja.” “Terima kasih,” gumam Aerin. Ronn menatapnya. Tatapannya tidak lagi dingin, tapi juga tidak ramah. Ada sesuatu di dalamnya—kelelahan, dan mungkin juga kesedihan. Tapi Aerin tak ingin tahu. Ia hanya ingin istirahat untuk saat ini. “Aku sudah mendengarnya dari Dann,” Aerin yang baru saja akan duduk di atas ranjang, mengurungkan niatnya. Matanya melirik Ronn dengan waspada. ‘Apa yang Papa ceritakan padanya?’ tanya Aerin dalam hati. “Kau sedang istirahat dari dunia entertainment karena alasan kesehatanmu. Dan memutuskan untuk mengisi waktu luang dengan kuliah,” “Papa tidak menyebutkan detail tentang alasannya?” tanya Aerin, memastikan. Ronn menatap Aerin dari ujung kaki hingga ujung rambutnya. Lalu mendengus, seolah sedang mengejek. “Tidak. Tapi yang kulihat, kau sangat baik-baik saja. Jadi, aku berharap kau tidak bersikap seperti anak manja yang sedang berpura-pura sakit agar tidak bertanggungjawab dengan pilihan yang sudah diambilnya.” Aerin mendelik. Ia tak menyangka wajah tampan berwibawa itu tidak sesuai dengan isi otaknya yang sembarangan. “Aku sedang tidak berpura-pura sakit, Mr. Nathaniel! Dan tentang tanggung jawabku di dunia entartain, itu bukan urusanmu!” Emosi Aerin terpancing. Ini sudah kesekian kalinya orang berpikir bahwa dia sedang kabur dari tanggungjawabnya sebagai penyanyi yang sedang naik daun di Indonesia. Tapi, ia tak bisa membela diri dengan membeberkan alasan sebenarnya ke khalayak umum, karena itu justru akan memicu bahaya yang lebih besar lagi untuknya. “Ck, ck, ck… Emosimu, Nona Penyanyi, sungguh memperjelas bahwa kau tidak bisa menerima kritikan dari orang lain.” Aerin mengepalkan tangannya kuat-kuat, hingga buku-buku jarinya memutih. Napasnya memburu, ia ingin sekali meneriakkan di telinga pria itu bahwa ia datang ke London karena kabur dari penguntit yang hampir membunuhnya. “Rowan! Dari mana saja kau?? Apa-apaan ini??”Ronn berjalan mendahului Aerin keluar dari The Old Pages. Ia tidak berteriak, tidak menyeret Aerin. Bahkan, Ronn membuka pintu mobil untuk Aerin dengan tenang yang tidak wajar—sebuah kesopanan dingin yang membuat Aerin makin gugup.‘Apa dia marah?’ pikir Aerin dalam hati. Ia duduk di kursi penumpang, tangan gemetar. Dia memegang sabuk pengaman terlalu lama, mencoba menenangkan degupan jantungnya yang tak karuan. Ronn masuk, menutup pintu, segera menyalakan mesin. Deruan mobil saat melaju tak mengurangi keheningan di antara mereka. Ronn membiarkan ketegangan itu tumbuh, membuatnya jauh lebih buruk daripada amarah yang meledak.‘Keheningan ini mencekikku, ugh!’ Aerin membuka kancing teratas kerahnya, memudahkan ia untuk bernapas.Setelah beberapa menit yang terasa seperti siksaan, Ronn akhirnya bicara, matanya tetap lurus menatap jalan.“Sejak kapan?” Suaranya sangat tenang, nyaris berbisik, tetapi mematikan. Ia tidak menyebut “kerja” atau “kafe”, karena Ronn tahu persis Aerin mengert
“Aerin! Syukurlah kau datang. Aku hampir yakin kau sudah terbang,”Julian menyambut Aerin begitu ia masuk The Old Pages.Tapi Aerin hanya mengangguk gugup—dua kali menoleh ke belakang, seperti memberi kode diam-diam. Julian mengernyit. Tatapan hazelnya mengikuti arah lirikan Aerin… dan langsung menemukan sosok tinggi berwibawa memasuki kafe.Ronn.Aura gelapnya masuk lebih dulu dibanding tubuhnya.Liz langsung berdiri di samping Aerin, tersenyum sarkas.“Oh, hai Dr. Nathaniel. Kita sering sekali bertemu di luar kampus rupanya.” ucapnya sambil mengulurkan tangan.Ronn membalasnya, ia tersenyum tipis.“Kebetulan aktivitas saya berkurang saat libur semester.” ujar Ronn tanpa malu. Liz ingin membalas ucapan pria berusia 43 tahun itu, tapi buru-buru dicegah oleh Julian.Julian—yang memperhatikan tatapan para pelanggan wanita yang kagum melihat Ronn—hanya bisa mendesah dalam hati.‘Kalau dia bertahan di sini satu jam saja, omsetku akan naik.’Julian tersenyum licik. Ia tak bisa menyangkal,
Lorong rumah itu gelap, hanya diterangi lampu dinding yang temaram.Ronn baru saja keluar dari kamar mandi di lantai bawah ketika ia berjalan melewati tangga dan memutuskan berhenti.Ia mendengar suara samar dari lantai atas. Kamar Aerin.Suara yang sangat lembut. Hampir seperti desahan kecil yang terjebak di antara mimpi dan kenyataan.“…Ronn…”Napasnya seketika berubah—lebih dalam, lebih lambat, lebih terkontrol. Ia menunggu. Dan suara itu kembali.Kali ini lebih lirih. Lebih terputus-putus.Seperti suara seseorang yang sedang memohon tanpa sadar.Ronn naik ke lantai dua dengan langkah sangat pelan, hampir tidak membuat suara sama sekali. Ia berhenti tepat di depan pintu kamar Aerin.Tangannya terangkat—bukan untuk membuka pintu, tapi sekadar menyentuh gagangnya.Gagang pintu itu dingin. Berarti Aerin sudah cukup lama berada di kamarnya sejak kejadian wastafel itu. Dan kemungkinan ia sedang tidur.‘Ia mengigau?’ Hatinya terus bertanya-tanya.Ronn menundukkan kepalanya, mendekatkan w
Aerin masih terengah-engah di meja wastafel, pijakan kakinya gemetar, lututnya tidak stabil. Nafasnya patah-patah.‘Pria ini gila!’Ia menjerit dalam hati. Setelah Ronn ‘menyiksanya’ dengan kenikmatan yang sakit, ia dengan mudahnya membalik tubuh Aerin sehingga menghadap cermin. Di cermin, ia melihat dirinya—pipi merah, mata berkabut, bibir digigit bekas ciuman Ronn. Ia sangat berantakan.Ronn berdiri di belakangnya.Tinggi. Gelap. Mendominasi seluruh refleksi Aerin.Jemarinya yang tadi menyelinap lewat kain kini menggenggam pinggang Aerin pelan, seperti ia memegang sesuatu yang rapuh—atau sesuatu yang ia kuasai sepenuhnya.“Aerin.” suara Ronn rendah, menggesek tengkuknya. “Lihat ke depan.”Aerin memalingkan wajah dengan cepat, wajahnya panas, suara tercekat di tenggorokan.“Tidak… aku tak—”Jari Ronn menangkap dagunya. Satu tekanan lembut. Tidak kasar. Tidak memaksa. Tapi cukup membuat tubuh Aerin berhenti melawan.Ia mengarahkan wajah gadis itu menghadap ke cermin.Pelan. Halus.Nam
Aerin masih duduk di kursi gantung, menyendok sisa Indomie-nya dengan canggung. Ronn berdiri di depannya, tubuhnya besar dan gelap di bawah cahaya taman. Kehadirannya saja sudah membuat kursi itu berhenti bergoyang. ‘Kenapa dia harus muncul sekarang?’ ‘Bagaimana kalau Lilith melihatku di sini?’ ‘Aku cuma ingin makan mie dengan tenang…’ Ronn tidak memedulikan Cup Noodle yang masih berasap. Tatapannya mengikuti setiap gerakan kecil Aerin dengan ketelitian yang hampir membuatnya takut. “Lilith pergi,” ujar Ronn, tanpa Aerin bertanya. “Perawatan kulit. Dokternya memprioritaskannya, seperti biasa.” Aerin terangkat sedikit alisnya—heran bagaimana pria itu selalu seperti membaca isi kepalanya. “Oh… selarut ini?” “Orang-orang tertentu,” Ronn duduk di kursi taman, tubuhnya condong sedikit ke depan, “selalu mendapatkan perlakuan khusus.” Aerin menyeruput kuah Indomie, tapi pikirannya melayang pada Rafferty. Kekasihnya itu juga seorang dokter di klinik kecantikan ‘Tapi kalau d
“Lihat siapa yang datang,” ujar Lilith, suaranya tajam. Ia mengamati Aerin dari atas hingga bawah. “Kenapa kau membiarkan dia memakai mantelmu, Rowan? Rambutnya basah, pakaiannya kusut. Dia terlihat… menyedihkan.” Ronn dan Aerin baru saja tiba di rumah. Lilith, yang mengenakan gaun sutra tipis, sudah berdiri di ambang ruang tamu, kedua tangannya terlipat di depan dada . Matanya menatap mantel Ronn yang dikenakan Aerin. Aerin menegang. Ia merasakan tangan Ronn yang memegang siku Aerin sedikit mengencang. “Masuk, Lilith,” Ronn memerintah, suaranya datar dan dingin. Tetapi Lilith tidak bergerak. Ia mengabaikan suaminya, berjalan mendekat. Ia mendongak, menatap Aerin. “Kau sangat menyedihkan, Aerin. Besok sudah liburan, ‘kan?” Lilith menyesap anggurnya, senyumnya menyakitkan. “Daripada kau membuat dirimu sakit di sini dan mengacaukan rumah tangga kami, kenapa kau tidak kembali saja ke Indonesia? Di sana lebih hangat. Dan kau bisa menyembunyikan dirimu sampai semester berikutnya d







