Home / Romansa / Cintai Aku, Pak Dosen! / Chapter 2 : Tiga Aturan Sang Istri

Share

Chapter 2 : Tiga Aturan Sang Istri

Author: Ivy Morfeus
last update Last Updated: 2025-10-07 11:00:18

Aerin terkesiap. Kata-kata yang sudah berada di ujung lidahnya, kembali tertelan saat  mendengar suara teriakan dari lantai bawah. Itu suara seorang wanita.

Suara wanita itu begitu nyaring, memantul tajam dari lantai bawah. Spontan Aerin mundur selangkah. Jantungnya berdegup kencang, bersamaan dengan ketakutan yang langsung menyergap leher Aerin.

“Uhuk, uhuk…” Aerin terbatuk, tangannya menyentuh lehernya yang terasa sesak. Sekilas, suara teriakan itu mengingatkannya pada beberapa menit sebelum kejadian ia tercekik di Jakarta, suara penguntit itu.

Ronn—atau Rowan—membeku. Matanya yang lelah kini memancarkan kejutan yang cepat ia tutupi. Ia berbalik, rahangnya mengeras.

“Tunggu di sini,” bisik Ronn, tak begitu mendengar suara batuk Aerin. Matanya menatap Aerin tajam, seakan memberi tanda bahwa ini adalah perintah.

“Tapi… siapa…” Aerin bahkan tidak menyelesaikan kalimatnya, ia terbatuk lagi.

“Aku bilang, tunggu di sini.” Tatapannya mengunci mata Aerin, dingin dan memperingatkan.

Tanpa menunggu jawaban, Ronn berbalik dan menuruni tangga dengan langkah cepat. Aerin berdiri diam di samping kopernya, berusaha menarik napas panjang untuk memberi ruang lebih banyak pada oksigen. Ia mendengar pintu di lantai bawah dibanting.

***~***

Suara-suara di lantai bawah terdengar seperti raungan teredam. Aerin tidak bisa menangkap semua kata, tetapi intonasinya sudah cukup jelas. Itu adalah pertengkaran sengit.

“...tiba-tiba... tidak ada yang memberitahuku... privasi...” terdengar suara wanita itu, putus asa dan penuh amarah.

Kemudian suara Ronn, lebih tenang, tetapi tegas. “...dia anak teman lama... hanya beberapa bulan... kita sudah bahas ini...”

Aerin berjalan perlahan menuju pintu kamarnya yang terbuka. Ia menyentuh kusen.

Suara Lilith semakin meninggi. “...dan uang itu? Apakah kita selemah itu? Kamu adalah Dosen terbaik di departemen itu, Ronn! Dan kamu merusak semuanya demi sogokan?!”

Terdengar suara Ronn yang kini sedikit lebih keras. “Jaga bicaramu, Lilith! Danadyaksa adalah teman lamaku. Aku tidak menjual apa pun. Itu adalah—”

“Itu uang yang kamu terima untuk menyembunyikan putrinya di rumah kita! Apa bedanya kamu yang menjual integritas dengan diriku yang harus... berkorban demi uang?” potong Lilith tajam.

Keheningan yang mematikan mengikuti kata-kata itu. Aerin tersentak mundur, tangannya mencengkeram kusen pintu. Kata-kata itu menghantamnya.

Uang sogokan. Menjual integritas.

Ia merasa dipermalukan, terperangkap dalam konflik yang bahkan bukan miliknya.

***~***

Tiba-tiba, suara Ronn terdengar dari tangga. “Baiklah, aku akan mempertemukanmu dengannya. Tapi kendalikan dirimu.”

Aerin bergegas kembali ke tengah kamar, berpura-pura sedang memeriksa tas ranselnya. Pintu kamar terbuka.

Ronn berdiri di sana, matanya memerah karena amarah yang ditahan. Di belakangnya, berdiri seorang wanita yang tak kalah tingginya. Rambut pirangnya diikat longgar, dan ia mengenakan gaun sutra ungu yang elegan. Wajahnya cantik, tetapi saat ini dipenuhi amarah yang dingin.

“Aerin,” kata Ronn, suaranya kaku. “Ini Lilith, istriku.”

Lilith menatap Aerin dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tatapannya adalah penghinaan yang dingin.

“Jadi, ini,” ujar Lilith, suaranya merendah dan penuh sarkasme. “Mahasiswi yang datang secara tiba-tiba dan menghancurkan semua privasi kita.”

Aerin merasa pipinya panas. Ia mencoba bersikap sopan. “Halo, Lilith. Senang bertemu denganmu. Aku benar-benar minta maaf atas kedatanganku yang mendadak ini.”

Lilith tersenyum, tapi matanya tidak. “Oh, tidak perlu minta maaf padaku. Minta maaflah pada Rowan. Dialah yang harus menanggung semua ini.”

Ia melangkah masuk, mengabaikan Ronn. “Tapi katakan padaku, sayang. Ayahmu seorang konglomerat, bukan? Apakah ia tidak punya properti di London yang bisa ia beli untukmu? Kenapa harus mengacaukan rumah seorang dosen yang sedang naik daun?”

Ronn melangkah maju, tangannya memegang lengan Lilith. “Lilith, cukup. Ayah Aerin adalah teman lama yang sedang kesulitan—”

Lilith menarik tangannya. “Kesulitan? Rowan, kita yang kesulitan! Kita yang harus hidup berpura-pura di depan semua orang. Dan sekarang kita harus berpura-pura bahwa kita senang kedatangan tamu yang tidak kita harapkan.”

Ia menunjuk koper Aerin. “Di sini hanya kamar tamu. Aku harap kamu mengerti. Dan kamu akan membayar sewa.”

“Aku akan membayar sewa,” jawab Aerin pelan. “Dan aku tidak akan mengganggu kalian.”

Lilith tertawa kecil. “Membayar sewa? Uang sogokan ayahmu itu bahkan tidak cukup untuk menutupi kerugian kita bulan ini. Dan gangguan? Sayangku, keberadaanmu di sini sudah menjadi risiko skandal yang sangat besar.”

Ronn memijat pangkal hidungnya. “Lilith, keluarlah! Aku akan bicara dengan Aerin.”

“Tidak,” balas Lilith keras kepala. Ia menatap Aerin lagi. “Dengarkan baik-baik. Aku akan bicara padamu sebagai tuan rumah. Di rumah ini ada tiga aturan. Satu, jangan sentuh piano itu. Dua, jangan pernah mengundang siapa pun. Aku ulangi, siapa pun. Tiga, dan ini yang paling penting… jangan pernah mengganggu karier suamiku.”

Lilith memberikan tatapan terakhir yang dingin, lalu berbalik dan keluar kamar. Sepatu haknya terdengar keras menuruni tangga, menghilang di lantai bawah.

Keheningan kembali menyelimuti kamar.

“Aku minta maaf,” kata Ronn, suaranya sangat lelah.

Aerin menggeleng, ia mengambil ranselnya. “Tidak apa-apa. Aku tahu aku merepotkan.”

“Aku akan bicara padanya. Aku janji. Tapi untuk sekarang…” Ronn menunjuk kamar mandi yang ada di sudut. “Bersihkan dirimu. Makan. Dan jangan memikirkannya.”

“Dia marah karena kau menyuapnya,” ujar Aerin. Ini bukan pertanyaan.

Ronn menghela napas panjang. Ia menyandarkan bahunya di kusen pintu, tampak benar-benar hancur.

“Dia marah karena banyak hal, Aerin. Dan itu bukan urusanmu. Jangan pernah mencampuri urusan kami.”

Ia menatap Aerin, dan kali ini, tatapannya lembut, tetapi tegas. “Lakukan apa yang Ayahmu suruh. Beristirahatlah. Kau aman di sini. Kunci pintu ini. Dan jangan pernah membukanya, untuk siapa pun.”

Ronn berbalik, meninggalkan Aerin sendirian. Suara langkahnya hilang di lorong.

Aerin menutup pintu, memutar kunci. Ia bersandar di pintu yang dingin. Jangan pernah membukanya, untuk siapa pun. Termasuk untuk wanita yang baru saja meneriakinya.

Ia melihat ke sudut ruangan, di mana kopernya tergeletak. Uang sogokan. Air mata yang ia tahan sejak di Jakarta akhirnya tumpah. Ia tidak lagi diintimidasi oleh bayangan masa lalu. Ia sekarang diintimidasi oleh realitas masa depannya. Di tempat yang seharusnya menjadi surga, ia justru terjebak dalam neraka pernikahan orang lain.

Kamar itu terasa aman, tapi hatinya tidak.

***~***

“Eekkhh…”

Genggaman dingin dan kuat itu mencengkeram lehernya, menyesakkan. Aerin meronta, paru-parunya terasa hampa. Bisikan putus asanya tercekat di tenggorokan, air mata membasahi pipi, menciptakan sungai kecil di antara peluh ketakutan saat ia merasa udara mulai menipis, dan kegelapan menggerogoti pandangannya.

Alunan musik yang tadinya merdu terhenti, digantikan keheningan yang memekakkan telinga.

Matanya bergerak tak wajar. Gerakan kakinya melemah, tak berdaya. Dalam sisa kesadarannya, ia mengingat ayahnya, ingin berteriak memanggilnya, namun suaranya tercekat.

“P-pa…”

***~***

“Papa!”

Aerin tersentak, napasnya terengah-engah, jantungnya berdebar kencang. Matanya mengerjap cepat, butuh beberapa detik sampai ia menyadari kamar yang ia tinggali di rumah Ronn, di London.

“Ah, benar. Aku sekarang di London,” gumamnya.

Baru sehari ia mendarat di London, tapi ternyata mimpi buruk itu masih mengikuti. Aerin menyandarkan punggungnya ke sandaran kepala ranjang.

“Mimpi buruk itu… kenapa belum hilang juga?” Aerin bertanya pada diri sendiri. “Aku sudah sangat jauh. Hampir 12 ribu kilometer dari Jakarta. Dia tak mungkin bisa menemukan ku di sini.”

Ia tertawa hambar, teringat usahanya menghafal jarak kilometer Jakarta-London di pesawat kemarin, hanya untuk membuatnya tenang.

Aerin menarik napas panjang. Sekali, dua kali, kelima kalinya hingga ia merasa tenang. Ia melirik jam digital di atas nakasnya, pukul delapan pagi. Aerin bergegas masuk ke kamar mandi. Ada yang ingin dilakukannya hari ini: mengunjungi Harrowgate University sebelum hari pertamanya kuliah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cintai Aku, Pak Dosen!   Chapter 7 : Tertangkap Basah di Paddington

    Ronn terduduk di bangku kerja, tetapi pikirannya terasa jauh. Meja kayunya terasa dingin, sama seperti suasana rumah tangganya. Mata kuliah yang harus ia persiapkan untuk minggu depan terasa seperti debu; ia hanya bisa memikirkan satu hal: Aerin.|| “Kau memang suami yang sangat romantis, Ronn.” ||Ronn mendengus keras. Ia mengambil gelas air dan meminumnya hingga tandas. “Gadis kecil itu. Apa haknya dia menilai pernikahanku?” geramnya. Sindiran seorang remaja. Sebuah evaluasi tajam tentang kegagalannya dari seorang gadis yang baru ia kenal seminggu."Masalahnya bukan lagi uang, Lilith, atau utang. Masalahnya adalah kendali," Ronn bergumam pada dirinya sendiri, jemarinya mengetuk-ngetuk ponsel.Ia membuka aplikasi location tracking yang terpasang di ponsel Aerin. Titik hijau kecil itu sudah jauh dari rumah. Ronn melihat peta dan segera mengonfirmasi: Aerin tidak berada di Bloomsbury, tempat Perpustakaan Nasional seharusnya berada.Gadis ini berbohong."Perpustakaan Nasional untuk ris

  • Cintai Aku, Pak Dosen!   Chapter 6 : Kencan Pertama dengan Pacar

    Ronn masih duduk di bangku piano kayu, tangannya tergantung di atas tuts. Aerin sudah keluar dari persembunyiannya dan berdiri di dekat ambang pintu, bersandar pada kusen. Keheningan di antara mereka dipenuhi oleh gema melodi Chopin yang baru saja berhenti."Kau tidak suka Chopin, Aerin?" Ronn memecah keheningan, suaranya kembali datar, menutupi kerentanan beberapa saat lalu.Aerin menghela napas, tangannya memegang erat slip perhiasan di saku roknya. “Aku suka. Papa sering memainkannya,”Ronn menggeser duduknya, ia mengangguk. “Artinya, kau mahir memainkannya, mau coba?”“Aku kira, larangan memainkan piano hanya untukku,” ucap Aerin, sedikit menyindir.“Lilith hanya tidak suka mendengar suara bising. Tapi dia sedang tidak di sini. Dan aku butuh menyegarkan pikiranku.” Ronn membela diri. “Jadi hari ini, Nona Penyanyi, kau bisa sepuasnya memainkan piano malam ini.”Aerin tersenyum hambar. Lalu menggeleng pelan. “Sayangnya aku tak bisa memainkan piano.”Ronn menatap Aerin, menerka-nerka

  • Cintai Aku, Pak Dosen!   Chapter 5 : Harga Sebuah Pengkhianatan

    Wajah ramah Kaleb, seketika membuat Aerin menghela napas lega. Entah kenapa dia merasa Kaleb seperti malaikat untuknya, selalu datang saat ia butuhkan.“Aku tidak menyangka kau akan datang ke bagian enrollment yang paling kacau ini,” kata Kaleb, tawanya ringan. “Kau beruntung. Aku ditugaskan di sini hari ini. Kau sudah dapat Student ID?”“Belum. Aku tidak yakin harus ke mana. Antreannya panjang sekali.”“Tentu saja. Ini birokrasi, darling. Ikuti aku. Aku tahu jalur cepatnya. Kau harus mendaftar ke Supervisor Departemen Sastra Inggris dulu.” Kaleb memimpin jalan menembus kerumunan.“Kau sangat menyelamatkanku,” bisik Aerin.“Sudah tugasku. Jadi, Aerin dari mana? Aku tahu logatmu bukan dari sini.”“Aku dari Indonesia, Jakarta.”“Wow. Jauh sekali. Kau tinggal di mana? Halls of Residence atau sewa flat?”“Aku tinggal dengan teman lama Ayahku.” Aerin memilih kata-katanya hati-hati.Kaleb mengangkat alisnya. “Menguntungkan. Itu berarti kau punya koneksi. Kami para senior harus berjuang untu

  • Cintai Aku, Pak Dosen!   Chapter 4 : Aku Tidak Peduli dengan Rumah Tanggamu

    ‘Jadi, sekarang dia memantau lokasiku? Apa dia tahu aku sedang bersama seseorang? Dasar dosen gila!’ rutuk Aerin dalam hati. Senyum Aerin langsung luntur. Rasa dingin menjalar di punggungnya.Baru kemarin dia tiba-tiba di London, tapi sudah beberapa kali dia memaki seseorang di dalam hati. Ini akan jadi kebiasaan buruknya yang baru.Kaleb yang menyadari perubahan itu, tak tahan untuk bertanya. “Ada apa? Kau terlihat seperti baru saja mendapat pesan dari Dr. Nathaniel. Ekspresi wajahmu persis dengan mahasiswa-mahasiswa bimbingannya saat mendapat chat darinya.”Kaleb bermaksud menggoda. Tapi Aerin justru menggeleng panik. “Tidak, bukan. Aku… harus pergi sekarang. Ada urusan mendadak.”“Sekarang? Tapi aku belum selesai menyelesaikan tur kampus kita.” Kaleb tampak bingung.“Maafkan aku, Kaleb. Tapi aku harus segera pulang. Aku baru ingat aku punya janji yang tidak bisa dibatalkan,” Aerin mengambil barang-barang yang sudah ia masukkan ke keranjang. “Sampai jumpa di kampus. Dan terima kasih

  • Cintai Aku, Pak Dosen!   Chapter 3 : Pita Pink di Gerbang Harrowgate

    “Pagi,” sapa Ronn, tanpa antusiasme, saat melihat Aerin muncul dari tangga.“Pagi,” balas Aerin, suaranya pelan. Ia berdiri canggung di dekat pintu dapur.“Mau sarapan? Aku bisa membuatkan toast atau pancake dengan cepat.” Ronn menawari, gesturnya kaku.Aerin menggeleng cepat. “Terima kasih, tapi tidak usah. Aku belum lapar.”Ronn menatap Aerin sebentar, lalu mengangkat bahu. “Baiklah. Tapi pastikan kau tidak melewatkan sarapan, jika kau tidak ingin mendengar ayahmu memakiku. Ada banyak kafe di dekat stasiun tube (kereta bawah tanah).”“Aku akan beli di sana. Aku ingin mencoba porridge pot,” jawab Aerin, suaranya tegas.Ronn mengangguk, melirik Aerin sebentar menatap pakaian yang Aerin gunakan saat ini : sweater lengan tiga per empat berwarna coklat gelap, dipadu dengan rok plisket krem dan sepatu boots setinggi mata kaki, di bahunya tersampir tas kecil dengan warna senada. Ronn menyesap kopinya. “Ide bagus. Mau ke mana?”“Ke kampus,” jawab Aerin, meremas tali tali tasnya. “Aku mau me

  • Cintai Aku, Pak Dosen!   Chapter 2 : Tiga Aturan Sang Istri

    Aerin terkesiap. Kata-kata yang sudah berada di ujung lidahnya, kembali tertelan saat mendengar suara teriakan dari lantai bawah. Itu suara seorang wanita.Suara wanita itu begitu nyaring, memantul tajam dari lantai bawah. Spontan Aerin mundur selangkah. Jantungnya berdegup kencang, bersamaan dengan ketakutan yang langsung menyergap leher Aerin.“Uhuk, uhuk…” Aerin terbatuk, tangannya menyentuh lehernya yang terasa sesak. Sekilas, suara teriakan itu mengingatkannya pada beberapa menit sebelum kejadian ia tercekik di Jakarta, suara penguntit itu.Ronn—atau Rowan—membeku. Matanya yang lelah kini memancarkan kejutan yang cepat ia tutupi. Ia berbalik, rahangnya mengeras.“Tunggu di sini,” bisik Ronn, tak begitu mendengar suara batuk Aerin. Matanya menatap Aerin tajam, seakan memberi tanda bahwa ini adalah perintah.“Tapi… siapa…” Aerin bahkan tidak menyelesaikan kalimatnya, ia terbatuk lagi.“Aku bilang, tunggu di sini.” Tatapannya mengunci mata Aerin, dingin dan memperingatkan.Tanpa me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status