‘Jadi, sekarang dia memantau lokasiku? Apa dia tahu aku sedang bersama seseorang? Dasar dosen gila!’ rutuk Aerin dalam hati. Senyum Aerin langsung luntur. Rasa dingin menjalar di punggungnya.
Baru kemarin dia tiba-tiba di London, tapi sudah beberapa kali dia memaki seseorang di dalam hati. Ini akan jadi kebiasaan buruknya yang baru. Kaleb yang menyadari perubahan itu, tak tahan untuk bertanya. “Ada apa? Kau terlihat seperti baru saja mendapat pesan dari Dr. Nathaniel. Ekspresi wajahmu persis dengan mahasiswa-mahasiswa bimbingannya saat mendapat chat darinya.” Kaleb bermaksud menggoda. Tapi Aerin justru menggeleng panik. “Tidak, bukan. Aku… harus pergi sekarang. Ada urusan mendadak.” “Sekarang? Tapi aku belum selesai menyelesaikan tur kampus kita.” Kaleb tampak bingung. “Maafkan aku, Kaleb. Tapi aku harus segera pulang. Aku baru ingat aku punya janji yang tidak bisa dibatalkan,” Aerin mengambil barang-barang yang sudah ia masukkan ke keranjang. “Sampai jumpa di kampus. Dan terima kasih banyak.” “Tunggu! Biar kuantar kau ke stasiun—” “Tidak usah!” Aerin memotongnya, suaranya lebih keras dari yang ia inginkan. “Aku bisa sendiri. Sampai jumpa.” Aerin membayar dengan cepat dan bergegas keluar, meninggalkan Kaleb yang berdiri bingung di lorong toko. ***~*** Langit London sudah berubah menjadi warna biru tua yang suram saat Aerin menekan bel rumah nomor 11. Ia sedang berbicara di telepon dengan suara yang ia kenali dan rindukan, Rafferty, kekasihnya. “...Ya, Sayang. Hari ini berjalan dengan baik. Aku melihat kampus. Jangan khawatir. Tidak, aku tidak akan keluar. Aku janji.” Ia menunggu beberapa saat. Tapi tak kunjung mendengar respon dari balik pintu. Ia mengeluarkan kunci duplikat rumah yang sempat Ronn beri semalam. Ia memutar kunci. Ronn pasti sudah meninggalkannya terkunci. “Aku sangat merindukanmu. Kapan kau selesai shift? Sudah. Iya, aku masuk sekarang. Sampai besok. Aku mencintaimu.” Aerin menutup telepon tepat saat ia menutup pintu. Ia bersandar di pintu, menghela napas lega. Akhirnya hari ini ia lewati dengan aman, walaupun di awal hari ia sempat merasa sangat takut. “Oh, manis sekali. Baru sampai sudah menelepon kekasihmu?” Suara Lilith, tajam dan dingin, langsung menusuknya dari ruang tamu. Lilith duduk di sofa, menyesap anggur merah. Ia mengenakan gaun sutra hitam, dan matanya tidak menunjukkan kehangatan. Aerin menegakkan tubuhnya, terkejut. “Lilith. Aku tidak tahu kau sudah di rumah.” “Tentu saja aku di rumah. Aku tidak punya tempat lain untuk 'melarikan diri', Aerin. Jadi, Sayang? Aku mencintaimu?” Lilith mengulang kata-kata itu dengan nada mengejek. “Siapa dia? Kekasihmu di Jakarta? Atau… kau baru saja berkenalan dengan seseorang di jalan tadi dan tiba-tiba cinta pada pandangan pertama?” Lilith tertawa mengejek. Tatapan matanya terlihat meremehkan. Aerin sungguh merasa terganggu. Ia memutuskan untuk segera naik ke kamarnya. Tapi, seolah membaca pikiran Aerin, Lilith menghadangnya. Postur tubuhnya yang lebih tinggi beelasanubuhnya sedikit membungkuk, ia memposisikan bibirnya tepat di telinga Aerin. “Dengar, anak muda. Aku tidak peduli bagaimana kehidupanmu sebelumnya di Jakarta. Aku hanya berharap kau tidak bertingkah liar di sini. Seperti mengucapkan kata-kata 'mencintai' pada Dosen yang baru kau temui di kampus.” Jantung Aerin mencelos. Matanya membulat. Ia menatap Lilith dengan aneh. “Apa maksudmu? Yang kau katakan barusan itu tidak pantas!" bisik Aerin. Lilith tersenyum sinis, ia menyesap anggurnya, matanya mengunci Aerin. “Aku walimu selama di London. Kau tinggal di rumahku. Jadi aku hanya memperingatimu, Aerin. Sekarang, naik ke kamarmu.” Lilith tidak menjawab. Ia hanya memberinya tatapan mengancam. Tanpa menunggu kata-kata berikutnya, Aerin segera naik ke lantai dua, dengan setengah berlari. Begitu ia masuk ke kamar, ia segera menutup pintu kamar dan menguncinya. Ia membuka aplikasi Spotify dari ponselnya dan mulai memutar playlist lagu favoritnya kencang-kencang. “Sialan!” Aerin meneriakkan kata itu di bantal yang sudah ‘membekap’ wajahnya kuat, agar suaranya teredam. Tapi itu tak membuat hatinya tenang. Tangannya yang mencengkram bantal terlihat bergetar. Makiannya lama-lama berganti menjadi isakan. ***~*** “Aerin! Buka pintunya!” Suara gedoran pintu membangunkan Aerin. Ia menggeser bantal yang menutupi sebagian wajahnya. “Ah, aku tertidur, ya.” gumam Aerin. “Aerin! Kau dengar aku?” Aerin menoleh ke arah pintu. Itu suara Ronn. Dengan langkah lunglai, dia bangkit dari ranjangnya. “Ada apa?” tanya Aerin singkat saat pintu sudah dibuka. “... Ayahmu menelepon,” Ronn menatap wajah Aerin dengan seksama, ia mengernyit ketika menyadari betapa bengkaknya kedua mata Aerin, “Apa yang kau lakukan? Kenapa tidak mengangkat telepon Ayahmu? Dia sangat khawatir.” Seolah baru saja disadarkan, ia segera mengambil ponselnya yang tadi sempat ia lempar ke atas kasur. Gelap. Ponselnya mati kehabisan baterai karena sedari tadi ia gunakan untuk menyetel musik. Ronn bersandar di kusen pintu. Kedua tangannya terlipat di depan dadanya. “Kau sudah makan malam?” tanya Ronn. Aerin hanya menggeleng. Tangannya sibuk mencari kabel charger nya, seakan tak peduli dengan sosok Ronn yang tengah memandanginya. “... Lilith mengganggumu?” tanya Ronn lagi. Pertanyaan itu sukses membuat aktivitas Aerin berhenti. Aerin tak segera menjawab. Di kepalanya masih teringat adegan beberapa jam lalu, kata-katanya yang menyakitkan terngiang lagi. Membuat satu titik jauh di dalam dadanya menjadi nyeri. “Tidak.” jawab Aerin akhirnya. Ia harus berbohong, karena tak ingin membahasnya lebih jauh. Kejadian pita pink tadi pagi lebih mendominasi kekhawatirannya. “... Maafkan Lilith. Kami sedang dalam masa sulit. Hubungan—” “Maaf,” Aerin berbalik, menghadap Ronn yang masih berdiri di depan pintu kamarnya. “aku tidak ingin tahu tentang rumah tanggamu, Ronn. Aku tidak peduli. Jadi, tolong katakan pada Lilith untuk tidak sok tahu dengan kehidupanku.” ***~*** Pukul delapan pagi. Aerin mengoleskan Lip Vinyl berwarna teracotta ke bibirnya. Setelah memastikan make up nya sempurna, ia segera mengecek ranselnya, memastikan semua dokumen pendaftaran ada di tempatnya. Tiba-tiba ia menghentikan aktivitasnya. Ia menajamkan pendengarannya. Rumah itu hening; Lilith mungkin sudah pergi, dan Ronn—ia asumsikan—juga sudah berangkat. “Baguslah. Aku tidak harus menghadapi mereka pagi-pagi begini. Bisa kacau mood ku seharian.” Tak sadar, Aerin bersenandung. Ia mengeluarkan ponsel, bermaksud mengecek sekali jadwal keberangkatan tube, tapi tak sengaja jarinya membuka foto pita pink yang ia ambil di gerbang kampus kemarin. Rasa mual menjalar, tetapi ia memaksakan diri untuk mengabaikannya. “Jangan sekarang. Pendaftaran dulu. Itu yang terpenting.” ucap Aerin tegas. Ia keluar rumah tanpa sarapan, hanya menelan sebatang cereal bar di stasiun tube, dan memaksakan diri menghadapi keramaian London. ***~*** Aula pendaftaran Harrowgate University terasa seperti pasar yang kacau. Ratusan mahasiswa baru, orang tua yang cemas, dan staf yang lelah. Aerin memegang kertas-kertasnya dengan erat. Ia berdiri diam di tempat. Ia menoleh ke sana kemari dengan wajah cemas. “Aku harus mulai dari mana ini?” ucap Aerin risau. Sebenarnya, dia bukan orang yang mudah gugup atau takut keramaian. Tapi sejak kejadian penguntit yang hampir mencelakainya beberapa bulan lalu, membuat ia was-was di keramaian. “Kau terlihat butuh bantuan, freshers.” Aerin menoleh. Kaleb tersenyum santai di sampingnya, memegang clipboard dan mengenakan kaus staff orientasi. “Kaleb?”Ronn terduduk di bangku kerja, tetapi pikirannya terasa jauh. Meja kayunya terasa dingin, sama seperti suasana rumah tangganya. Mata kuliah yang harus ia persiapkan untuk minggu depan terasa seperti debu; ia hanya bisa memikirkan satu hal: Aerin.|| “Kau memang suami yang sangat romantis, Ronn.” ||Ronn mendengus keras. Ia mengambil gelas air dan meminumnya hingga tandas. “Gadis kecil itu. Apa haknya dia menilai pernikahanku?” geramnya. Sindiran seorang remaja. Sebuah evaluasi tajam tentang kegagalannya dari seorang gadis yang baru ia kenal seminggu."Masalahnya bukan lagi uang, Lilith, atau utang. Masalahnya adalah kendali," Ronn bergumam pada dirinya sendiri, jemarinya mengetuk-ngetuk ponsel.Ia membuka aplikasi location tracking yang terpasang di ponsel Aerin. Titik hijau kecil itu sudah jauh dari rumah. Ronn melihat peta dan segera mengonfirmasi: Aerin tidak berada di Bloomsbury, tempat Perpustakaan Nasional seharusnya berada.Gadis ini berbohong."Perpustakaan Nasional untuk ris
Ronn masih duduk di bangku piano kayu, tangannya tergantung di atas tuts. Aerin sudah keluar dari persembunyiannya dan berdiri di dekat ambang pintu, bersandar pada kusen. Keheningan di antara mereka dipenuhi oleh gema melodi Chopin yang baru saja berhenti."Kau tidak suka Chopin, Aerin?" Ronn memecah keheningan, suaranya kembali datar, menutupi kerentanan beberapa saat lalu.Aerin menghela napas, tangannya memegang erat slip perhiasan di saku roknya. “Aku suka. Papa sering memainkannya,”Ronn menggeser duduknya, ia mengangguk. “Artinya, kau mahir memainkannya, mau coba?”“Aku kira, larangan memainkan piano hanya untukku,” ucap Aerin, sedikit menyindir.“Lilith hanya tidak suka mendengar suara bising. Tapi dia sedang tidak di sini. Dan aku butuh menyegarkan pikiranku.” Ronn membela diri. “Jadi hari ini, Nona Penyanyi, kau bisa sepuasnya memainkan piano malam ini.”Aerin tersenyum hambar. Lalu menggeleng pelan. “Sayangnya aku tak bisa memainkan piano.”Ronn menatap Aerin, menerka-nerka
Wajah ramah Kaleb, seketika membuat Aerin menghela napas lega. Entah kenapa dia merasa Kaleb seperti malaikat untuknya, selalu datang saat ia butuhkan.“Aku tidak menyangka kau akan datang ke bagian enrollment yang paling kacau ini,” kata Kaleb, tawanya ringan. “Kau beruntung. Aku ditugaskan di sini hari ini. Kau sudah dapat Student ID?”“Belum. Aku tidak yakin harus ke mana. Antreannya panjang sekali.”“Tentu saja. Ini birokrasi, darling. Ikuti aku. Aku tahu jalur cepatnya. Kau harus mendaftar ke Supervisor Departemen Sastra Inggris dulu.” Kaleb memimpin jalan menembus kerumunan.“Kau sangat menyelamatkanku,” bisik Aerin.“Sudah tugasku. Jadi, Aerin dari mana? Aku tahu logatmu bukan dari sini.”“Aku dari Indonesia, Jakarta.”“Wow. Jauh sekali. Kau tinggal di mana? Halls of Residence atau sewa flat?”“Aku tinggal dengan teman lama Ayahku.” Aerin memilih kata-katanya hati-hati.Kaleb mengangkat alisnya. “Menguntungkan. Itu berarti kau punya koneksi. Kami para senior harus berjuang untu
‘Jadi, sekarang dia memantau lokasiku? Apa dia tahu aku sedang bersama seseorang? Dasar dosen gila!’ rutuk Aerin dalam hati. Senyum Aerin langsung luntur. Rasa dingin menjalar di punggungnya.Baru kemarin dia tiba-tiba di London, tapi sudah beberapa kali dia memaki seseorang di dalam hati. Ini akan jadi kebiasaan buruknya yang baru.Kaleb yang menyadari perubahan itu, tak tahan untuk bertanya. “Ada apa? Kau terlihat seperti baru saja mendapat pesan dari Dr. Nathaniel. Ekspresi wajahmu persis dengan mahasiswa-mahasiswa bimbingannya saat mendapat chat darinya.”Kaleb bermaksud menggoda. Tapi Aerin justru menggeleng panik. “Tidak, bukan. Aku… harus pergi sekarang. Ada urusan mendadak.”“Sekarang? Tapi aku belum selesai menyelesaikan tur kampus kita.” Kaleb tampak bingung.“Maafkan aku, Kaleb. Tapi aku harus segera pulang. Aku baru ingat aku punya janji yang tidak bisa dibatalkan,” Aerin mengambil barang-barang yang sudah ia masukkan ke keranjang. “Sampai jumpa di kampus. Dan terima kasih
“Pagi,” sapa Ronn, tanpa antusiasme, saat melihat Aerin muncul dari tangga.“Pagi,” balas Aerin, suaranya pelan. Ia berdiri canggung di dekat pintu dapur.“Mau sarapan? Aku bisa membuatkan toast atau pancake dengan cepat.” Ronn menawari, gesturnya kaku.Aerin menggeleng cepat. “Terima kasih, tapi tidak usah. Aku belum lapar.”Ronn menatap Aerin sebentar, lalu mengangkat bahu. “Baiklah. Tapi pastikan kau tidak melewatkan sarapan, jika kau tidak ingin mendengar ayahmu memakiku. Ada banyak kafe di dekat stasiun tube (kereta bawah tanah).”“Aku akan beli di sana. Aku ingin mencoba porridge pot,” jawab Aerin, suaranya tegas.Ronn mengangguk, melirik Aerin sebentar menatap pakaian yang Aerin gunakan saat ini : sweater lengan tiga per empat berwarna coklat gelap, dipadu dengan rok plisket krem dan sepatu boots setinggi mata kaki, di bahunya tersampir tas kecil dengan warna senada. Ronn menyesap kopinya. “Ide bagus. Mau ke mana?”“Ke kampus,” jawab Aerin, meremas tali tali tasnya. “Aku mau me
Aerin terkesiap. Kata-kata yang sudah berada di ujung lidahnya, kembali tertelan saat mendengar suara teriakan dari lantai bawah. Itu suara seorang wanita.Suara wanita itu begitu nyaring, memantul tajam dari lantai bawah. Spontan Aerin mundur selangkah. Jantungnya berdegup kencang, bersamaan dengan ketakutan yang langsung menyergap leher Aerin.“Uhuk, uhuk…” Aerin terbatuk, tangannya menyentuh lehernya yang terasa sesak. Sekilas, suara teriakan itu mengingatkannya pada beberapa menit sebelum kejadian ia tercekik di Jakarta, suara penguntit itu.Ronn—atau Rowan—membeku. Matanya yang lelah kini memancarkan kejutan yang cepat ia tutupi. Ia berbalik, rahangnya mengeras.“Tunggu di sini,” bisik Ronn, tak begitu mendengar suara batuk Aerin. Matanya menatap Aerin tajam, seakan memberi tanda bahwa ini adalah perintah.“Tapi… siapa…” Aerin bahkan tidak menyelesaikan kalimatnya, ia terbatuk lagi.“Aku bilang, tunggu di sini.” Tatapannya mengunci mata Aerin, dingin dan memperingatkan.Tanpa me