หน้าหลัก / Romansa / Cintai Aku, Pak Dosen! / Chapter 5 : Harga Sebuah Pengkhianatan

แชร์

Chapter 5 : Harga Sebuah Pengkhianatan

ผู้เขียน: Ivy Morfeus
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-10-07 11:10:41

Wajah ramah Kaleb, seketika membuat Aerin menghela napas lega. Entah kenapa dia merasa Kaleb seperti malaikat untuknya, selalu datang saat ia butuhkan.

“Aku tidak menyangka kau akan datang ke bagian enrollment yang paling kacau ini,” kata Kaleb, tawanya ringan. “Kau beruntung. Aku ditugaskan di sini hari ini. Kau sudah dapat Student ID?”

“Belum. Aku tidak yakin harus ke mana. Antreannya panjang sekali.”

“Tentu saja. Ini birokrasi, darling. Ikuti aku. Aku tahu jalur cepatnya. Kau harus mendaftar ke Supervisor Departemen Sastra Inggris dulu.” Kaleb memimpin jalan menembus kerumunan.

“Kau sangat menyelamatkanku,” bisik Aerin.

“Sudah tugasku. Jadi, Aerin dari mana? Aku tahu logatmu bukan dari sini.”

“Aku dari Indonesia, Jakarta.”

“Wow. Jauh sekali. Kau tinggal di mana? Halls of Residence atau sewa flat?”

“Aku tinggal dengan teman lama Ayahku.” Aerin memilih kata-katanya hati-hati.

Kaleb mengangkat alisnya. “Menguntungkan. Itu berarti kau punya koneksi. Kami para senior harus berjuang untuk mendapatkan flat yang layak.”

Mereka tiba di meja yang lebih sepi.

“Oke, isi formulir ini dengan lengkap. Bagian ini tentang modul yang wajib kau ambil, dan ini adalah informasi tentang tutor akademismu. Jika beruntung, kau tidak akan mendapatkan Dr. Nathaniel.”

Aerin menyambar formulir itu dengan gugup. Takut rahasianya langsung terbakar di hari pertama ia kuliah. Ia heran, setiap bertemu dengan Kaleb, pemuda itu selalu menyebut nama Ronn.

“Dia seseram itu?”

“Sangat. Dia dosen brilian, Aerin, tapi dia juga sangat menjaga reputasinya. Dia tidak mau ada kesalahan, tidak mau ada drama di departemennya. Sangat kaku. Tapi kau akan menyukai karyanya,” jelas Kaleb, bersandar di meja. “Kau akan bertemu tutor-mu minggu depan.”

“Tutor?”

“Ya. Itu dosen pembimbingmu. Kau harus bertemu dengannya secara rutin. Aku harap kau tidak dapat yang terlalu gila.” Kaleb tersenyum, dan Aerin ikut tersenyum. Untuk sesaat, ia melupakan pita pink dan Lilith.

***~***

“Selesai! Kau resmi menjadi mahasiswa Harrowgate.” Kaleb menyerahkan Student ID baru Aerin. “Selamat datang di neraka kami.”

Aerin tertawa, lalu ia menatap Kaleb sambil tersenyum lebar.

“Terima kasih, Kaleb. Serius, kau penyelamat,” kata Aerin.

“Sama-sama. Sekarang, bagaimana kalau kita mencari kopi dan—"

“Tidak,” potong Aerin cepat. “Aku harus segera pergi. Aku punya janji. Sekali lagi, terima kasih banyak.”

Kaleb tampak kecewa, tiba-tiba ia mengambil ponsel di tangan Aerin, lalu mengetikkan sesuatu.

“Baiklah. Sampai jumpa di Freshers’ Week. Hubungi aku jika kau butuh panduan lagi.” ucap Kaleb, menyerahkan ponsel Aerin kembali.

Aerin sedikit kaget dengan sikap spontan Kaleb. Tapi ia tak merasa terganggu. Ia hanya mengangguk dan berbalik. Saat ia berjalan melewati gerbang aula, ia tanpa sengaja mengalihkan pandangannya ke area kantor fakultas di lantai atas.

Jantungnya mencelos.

Di koridor kaca, yang dikelilingi oleh buku-buku dan penghargaan, Ronn berdiri. Dr. Rowan Nathaniel. Ia mengenakan setelan jas yang rapi, berbicara dengan seorang wanita paruh baya yang terlihat seperti pimpinan departemen. Ronn terlihat berwibawa, karismatik, dan sangat disegani.

Ia terlihat seperti pria yang sangat sukses.

“Dia seperti punya dua kepribadian.” celetuk Aerin.

Tiba-tiba, mata Ronn beralih dari rekannya dan langsung mengunci mata Aerin di tengah keramaian. Tatapan Ronn tidak menunjukkan sapaan, melainkan peringatan keras dan dingin. Pria di sana bukanlah pria dengan sorot mata kelelahan yang memijat pelipisnya di dapur. Pria ini adalah Dr. Nathaniel—ia melihat Aerin, dan ia juga melihat Aerin berbicara dengan seorang mahasiswa.

Ronn lalu berbalik, kembali ke percakapannya, seolah Aerin hanyalah debu.

“Ck, Sekarang dia mengawasiku di kampus??”

***~***

Aerin kembali ke rumah saat senja. Ia segera naik ke kamar, jantungnya masih berdetak kencang karena kemarahan yang tertahan. Ronn sudah mengawasinya. Ia masih ingat dengan tatapan itu. Seakan mengatakan, “Aku sedang mengawasimu.”

“Apa-apaan dia itu?? Aku kan tidak melakukan apapun, kenapa dia melihatku seperti itu?? Seakan aku berbuat kesalahan besar!” omel Aerin. Napasnya menggebu-gebu. Amarahnya yang ia tahan sedari tadi, keluar begitu saja.

Ia menjatuhkan ranselnya dan matanya menangkap sesuatu di sudut ruangan.

Di balik tumpukan majalah lama yang ia temukan di lemari, ada kotak pengiriman kecil berwarna abu-abu gelap, dengan label toko desainer Italia yang sangat mewah. Kotak itu kosong, tetapi ada slip pengiriman yang terselip.

“Apa ini?” gumamnya penasaran.

Aerin mengambilnya. Tangannya bergetar. Ia tahu ia melanggar privasi, tetapi rasa penasarannya lebih besar.

Penerima: L. Nathaniel. Item: Perhiasan (Limited Edition) senilai £7,500. Tanggal Pengiriman: September 19, 2025.

Aerin mengeluarkan ponselnya, membuka aplikasi kalkulator dan mulai menghitung.

“Wah!” Ia hampir menjerit saat melihat angka yang muncul di kalkulator, “Ini setara Rp 168.000.000!”

“L itu Lilith ‘kan? Tentu, siapa lagi,” gumam Aerin, berbicara sendiri. Berarti Lilith berbohong kepada Ronn. Ronn mengklaim mereka kesulitan finansial. Tetapi Lilith menghabiskan ribuan Pound untuk membeli perhiasan di hari yang sama saat Lilith pergi pagi-pagi sekali dan Ronn bilang ia tidak tahu ke mana Lilith pergi.

Aerin menelan ludah. Ia memegang bukti kuat yang bisa menghancurkan Lilith. Ia mulai bimbang, ia kini terlibat lebih dalam dari yang ia kira.

Tiba-tiba, ia mendengar suara yang sangat lirih dari lantai bawah. Itu bukan suara teriakan Lilith, atau langkah Ronn yang lelah.

Itu adalah suara piano.

Melodi yang dimainkan itu kompleks dan menyayat hati, penuh kesedihan mendalam.

“Chopin? Siapa yang memainkan melodi seindah ini?” gumam Aerin. Itu adalah piano terlarang, yang Lilith larang untuk disentuh siapa pun.

Aerin memasukkan slip pengiriman Lilith di kantong roknya, lalu bergerak perlahan ke tangga. Ia mengintip ke ruang tamu.

Duduk di bangku piano kayu, adalah Ronn. Matanya terpejam, dan jarinya menari di atas tuts. Wajahnya tidak lagi menunjukkan kewibawaan seorang dosen, melainkan kesedihan yang polos dan tak tersentuh. Pria di depannya ini terlihat seperti pria yang sedang patah hati.

Aerin berdiri membeku, tangannya yang sedang masuk ke dalam saku, memegang bukti slip pengiriman milik Lilith, sambil mengamati permainan piano Ronn.

“Mau berapa lama kau sembunyi di sana? Keluarlah. Kau mau coba memainkannya?”

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Cintai Aku, Pak Dosen!   Chapter 58 : Kau Tidak Akan Muncul Tanpaku

    Ronn berjalan mendahului Aerin keluar dari The Old Pages. Ia tidak berteriak, tidak menyeret Aerin. Bahkan, Ronn membuka pintu mobil untuk Aerin dengan tenang yang tidak wajar—sebuah kesopanan dingin yang membuat Aerin makin gugup.‘Apa dia marah?’ pikir Aerin dalam hati. Ia duduk di kursi penumpang, tangan gemetar. Dia memegang sabuk pengaman terlalu lama, mencoba menenangkan degupan jantungnya yang tak karuan. Ronn masuk, menutup pintu, segera menyalakan mesin. Deruan mobil saat melaju tak mengurangi keheningan di antara mereka. Ronn membiarkan ketegangan itu tumbuh, membuatnya jauh lebih buruk daripada amarah yang meledak.‘Keheningan ini mencekikku, ugh!’ Aerin membuka kancing teratas kerahnya, memudahkan ia untuk bernapas.Setelah beberapa menit yang terasa seperti siksaan, Ronn akhirnya bicara, matanya tetap lurus menatap jalan.“Sejak kapan?” Suaranya sangat tenang, nyaris berbisik, tetapi mematikan. Ia tidak menyebut “kerja” atau “kafe”, karena Ronn tahu persis Aerin mengert

  • Cintai Aku, Pak Dosen!   Chapter 58 : Rahasia di Balik Apron

    “Aerin! Syukurlah kau datang. Aku hampir yakin kau sudah terbang,”Julian menyambut Aerin begitu ia masuk The Old Pages.Tapi Aerin hanya mengangguk gugup—dua kali menoleh ke belakang, seperti memberi kode diam-diam. Julian mengernyit. Tatapan hazelnya mengikuti arah lirikan Aerin… dan langsung menemukan sosok tinggi berwibawa memasuki kafe.Ronn.Aura gelapnya masuk lebih dulu dibanding tubuhnya.Liz langsung berdiri di samping Aerin, tersenyum sarkas.“Oh, hai Dr. Nathaniel. Kita sering sekali bertemu di luar kampus rupanya.” ucapnya sambil mengulurkan tangan.Ronn membalasnya, ia tersenyum tipis.“Kebetulan aktivitas saya berkurang saat libur semester.” ujar Ronn tanpa malu. Liz ingin membalas ucapan pria berusia 43 tahun itu, tapi buru-buru dicegah oleh Julian.Julian—yang memperhatikan tatapan para pelanggan wanita yang kagum melihat Ronn—hanya bisa mendesah dalam hati.‘Kalau dia bertahan di sini satu jam saja, omsetku akan naik.’Julian tersenyum licik. Ia tak bisa menyangkal,

  • Cintai Aku, Pak Dosen!   Chapter 57 : Ketika Tubuh Mengingat

    Lorong rumah itu gelap, hanya diterangi lampu dinding yang temaram.Ronn baru saja keluar dari kamar mandi di lantai bawah ketika ia berjalan melewati tangga dan memutuskan berhenti.Ia mendengar suara samar dari lantai atas. Kamar Aerin.Suara yang sangat lembut. Hampir seperti desahan kecil yang terjebak di antara mimpi dan kenyataan.“…Ronn…”Napasnya seketika berubah—lebih dalam, lebih lambat, lebih terkontrol. Ia menunggu. Dan suara itu kembali.Kali ini lebih lirih. Lebih terputus-putus.Seperti suara seseorang yang sedang memohon tanpa sadar.Ronn naik ke lantai dua dengan langkah sangat pelan, hampir tidak membuat suara sama sekali. Ia berhenti tepat di depan pintu kamar Aerin.Tangannya terangkat—bukan untuk membuka pintu, tapi sekadar menyentuh gagangnya.Gagang pintu itu dingin. Berarti Aerin sudah cukup lama berada di kamarnya sejak kejadian wastafel itu. Dan kemungkinan ia sedang tidur.‘Ia mengigau?’ Hatinya terus bertanya-tanya.Ronn menundukkan kepalanya, mendekatkan w

  • Cintai Aku, Pak Dosen!   Chapter 56 : Suara Wanita di Telepon

    Aerin masih terengah-engah di meja wastafel, pijakan kakinya gemetar, lututnya tidak stabil. Nafasnya patah-patah.‘Pria ini gila!’Ia menjerit dalam hati. Setelah Ronn ‘menyiksanya’ dengan kenikmatan yang sakit, ia dengan mudahnya membalik tubuh Aerin sehingga menghadap cermin. Di cermin, ia melihat dirinya—pipi merah, mata berkabut, bibir digigit bekas ciuman Ronn. Ia sangat berantakan.Ronn berdiri di belakangnya.Tinggi. Gelap. Mendominasi seluruh refleksi Aerin.Jemarinya yang tadi menyelinap lewat kain kini menggenggam pinggang Aerin pelan, seperti ia memegang sesuatu yang rapuh—atau sesuatu yang ia kuasai sepenuhnya.“Aerin.” suara Ronn rendah, menggesek tengkuknya. “Lihat ke depan.”Aerin memalingkan wajah dengan cepat, wajahnya panas, suara tercekat di tenggorokan.“Tidak… aku tak—”Jari Ronn menangkap dagunya. Satu tekanan lembut. Tidak kasar. Tidak memaksa. Tapi cukup membuat tubuh Aerin berhenti melawan.Ia mengarahkan wajah gadis itu menghadap ke cermin.Pelan. Halus.Nam

  • Cintai Aku, Pak Dosen!   Chapter 55 : Interogasi dengan Jemari

    Aerin masih duduk di kursi gantung, menyendok sisa Indomie-nya dengan canggung. Ronn berdiri di depannya, tubuhnya besar dan gelap di bawah cahaya taman. Kehadirannya saja sudah membuat kursi itu berhenti bergoyang. ‘Kenapa dia harus muncul sekarang?’ ‘Bagaimana kalau Lilith melihatku di sini?’ ‘Aku cuma ingin makan mie dengan tenang…’ Ronn tidak memedulikan Cup Noodle yang masih berasap. Tatapannya mengikuti setiap gerakan kecil Aerin dengan ketelitian yang hampir membuatnya takut. “Lilith pergi,” ujar Ronn, tanpa Aerin bertanya. “Perawatan kulit. Dokternya memprioritaskannya, seperti biasa.” Aerin terangkat sedikit alisnya—heran bagaimana pria itu selalu seperti membaca isi kepalanya. “Oh… selarut ini?” “Orang-orang tertentu,” Ronn duduk di kursi taman, tubuhnya condong sedikit ke depan, “selalu mendapatkan perlakuan khusus.” Aerin menyeruput kuah Indomie, tapi pikirannya melayang pada Rafferty. Kekasihnya itu juga seorang dokter di klinik kecantikan ‘Tapi kalau d

  • Cintai Aku, Pak Dosen!   Chapter 54 : Indomie

    “Lihat siapa yang datang,” ujar Lilith, suaranya tajam. Ia mengamati Aerin dari atas hingga bawah. “Kenapa kau membiarkan dia memakai mantelmu, Rowan? Rambutnya basah, pakaiannya kusut. Dia terlihat… menyedihkan.” Ronn dan Aerin baru saja tiba di rumah. Lilith, yang mengenakan gaun sutra tipis, sudah berdiri di ambang ruang tamu, kedua tangannya terlipat di depan dada . Matanya menatap mantel Ronn yang dikenakan Aerin. Aerin menegang. Ia merasakan tangan Ronn yang memegang siku Aerin sedikit mengencang. “Masuk, Lilith,” Ronn memerintah, suaranya datar dan dingin. Tetapi Lilith tidak bergerak. Ia mengabaikan suaminya, berjalan mendekat. Ia mendongak, menatap Aerin. “Kau sangat menyedihkan, Aerin. Besok sudah liburan, ‘kan?” Lilith menyesap anggurnya, senyumnya menyakitkan. “Daripada kau membuat dirimu sakit di sini dan mengacaukan rumah tangga kami, kenapa kau tidak kembali saja ke Indonesia? Di sana lebih hangat. Dan kau bisa menyembunyikan dirimu sampai semester berikutnya d

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status