Home / Romansa / Cintai Aku, Pak Dosen! / Chapter 3 : Pita Pink di Gerbang Harrowgate

Share

Chapter 3 : Pita Pink di Gerbang Harrowgate

Author: Ivy Morfeus
last update Last Updated: 2025-10-07 11:05:47

“Pagi,” sapa Ronn, tanpa antusiasme, saat melihat Aerin muncul dari tangga.

“Pagi,” balas Aerin, suaranya pelan. Ia berdiri canggung di dekat pintu dapur.

“Mau sarapan? Aku bisa membuatkan toast atau pancake dengan cepat.” Ronn menawari, gesturnya kaku.

Aerin menggeleng cepat. “Terima kasih, tapi tidak usah. Aku belum lapar.”

Ronn menatap Aerin sebentar, lalu mengangkat bahu. “Baiklah. Tapi pastikan kau tidak melewatkan sarapan, jika kau tidak ingin mendengar ayahmu memakiku. Ada banyak kafe di dekat stasiun tube (kereta bawah tanah).”

“Aku akan beli di sana. Aku ingin mencoba porridge pot,” jawab Aerin, suaranya tegas.

Ronn mengangguk, melirik Aerin sebentar menatap pakaian yang Aerin gunakan saat ini : sweater lengan tiga per empat berwarna coklat gelap, dipadu dengan rok plisket krem dan sepatu boots setinggi mata kaki, di bahunya tersampir tas kecil dengan warna senada. Ronn menyesap kopinya. “Ide bagus. Mau ke mana?”

“Ke kampus,” jawab Aerin, meremas tali tali tasnya. “Aku mau melihat-lihat Harrowgate. Hari ini hari Minggu, jadi pasti sepi. Aku ingin tahu rute bus atau tube-nya.”

Ronn meletakkan cangkirnya. “Aku bisa mengantarmu.”

“Tidak usah. Ronn, sungguh. Aku harus belajar menggunakan maps dan bus di sini. Kalau terus-terusan diantar, aku tidak akan mandiri.”

Ronn menatapnya lama. Tatapannya itu tidak dingin lagi, hanya kosong dan penuh rasa lelah. “Baiklah. Pastikan untuk membawa mantel-mu.”

Aerin menoleh, melihat ke sekeliling, “Aku tidak melihat Lilith,”

Sedetik setelahnya, ia merutuki dalam hati karena tidak bisa menahan diri untuk bertanya.

Wajah Ronn mengeras sesaat. “Dia sudah pergi sejak dini hari. Aku tidak tahu ke mana. Dan itu juga bukan urusanmu.”

Nada suaranya kembali ke perintah, mengingatkan Aerin pada aturan semalam.

“Aku tidak ingin ada skandal. Ingat itu. Dan jangan sampai ada masalah.”

Aerin memutar matanya. Wajahnya terlihat sedikit kesal. “Aku mengerti aturanmu. Aku juga ingin kabur dari masalah. Aku tidak akan menciptakan yang baru di sini.” Aerin mengambil mantelnya. “Aku pergi.”

Ia berjalan menuju pintu depan. Ronn mengikutinya.

“Tunggu sebentar.” Ronn berdiri di ambang pintu, menghalangi cahaya musim gugur yang menembus kaca. “Kamu belum tahu rute tercepat. Ambil bus nomor 137 dari sudut jalan, turun di stasiun tube St. John’s Wood. Lalu lanjut dua pemberhentian ke arah utara. Itu yang paling cepat.”

Aerin mengangguk, walaupun ia masih kesal, ia tetap memasukkan instruksi itu ke dalam ponselnya. “Terima kasih. Aku akan pulang sebelum gelap.”

Saat Aerin hampir membuka pintu, Ronn tiba-tiba berkata, suaranya lebih mirip disebut bisikan.

“Aku tidak membencimu, Aerin.”

Aerin menoleh, terkejut.

“Aku membenci kenyataan bahwa kamu ada di sini. Karena itu adalah bukti, bahwa aku dan Lilith sudah benar-benar gagal.”

Ronn menarik napas, matanya menatap ke kejauhan. “Ayahmu datang untuk menyelamatkanmu, Aerin. Sekaligus membuat kami merasa terjebak. Tapi aku tidak menyalahkan ayahmu, karena aku lah yang bersedia mengabulkan permohonannya.”

Aerin menatapnya, tidak tahu harus merespons apa. Pria yang disangka dingin dan sinis ini tiba-tiba menjadi sangat rapuh. Ia menelan ludah.

“Aku hanya ingin memastikan aku tidak gagal dalam satu hal lagi.”

Aerin sebenarnya tak begitu mengerti. Tapi ia tetap saja mengangguk. Ia memegang kenop pintu, udara dingin dari luar menyergap tangannya. Ia pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

***~***

Aerin berjalan di trotoar. Halls of Residence yang besar dan megah milik Harrowgate University terlihat di kejauhan. Ia sudah berhasil membeli porridge pot dan duduk di bangku taman terdekat, mengawasi gerbang utama.

“Hmm… hangat sekali!” serunya dengan gembira, ia mengusap-usap perutnya, “Apa aku bisa membuatnya sendiri, ya? Ah, tapi dapurnya… tidak, tidak! Aku tidak ingin membuat masalah dengan wanita itu!”

Aerin menyuap sesendok porridge pot lagi. Semua terasa normal. Sampai ia melihat kilasan warna di sudut matanya—sebuah benda kecil dan familier yang diselipkan di balik tanaman rambat yang menjulang tinggi di pagar besi Harrowgate University.

Aerin berhenti bernapas. Ia mengenali warna itu. Warna pink yang sangat spesifik.

‘Pita pink?’ ucapnya dalam hati.

Perlahan, ia mendekat. Itu adalah pita kecil berwarna pink, dililitkan dengan rapi pada jeruji besi. Itu adalah warna pita yang selalu ia gunakan untuk mengikat mikrofonnya.

Aerin menoleh cepat ke segala arah. Jalanan lengang. Hanya ada beberapa pejalan kaki dan seekor anjing yang sedang berjalan.

Pita itu terlalu mirip dengan yang biasa ia gunakan. Aerin menyentuhnya dengan ujung jari gemetar. Ia ragu, tapi ia membenci mempunyai pikiran seperti ini: seseorang tahu dia ada di sini.

“P-papa! Aku harus memastikan ini ke Papa.”

Tangan Aerin bergetar saat ia mengeluarkan ponsel. Ia bergerak cepat, mengambil beberapa foto pita itu sebagai bukti, sebelum rasa panik menguasai akalnya. Ia menoleh cepat ke segala arah. Jalanan lengang. Lalu kembali menatap layar ponselnya. Ia baru saja akan menelepon ayahnya saat tiba-tiba sebuah suara mengagetkannya.

“Hei, kau baik-baik saja?”

Aerin tersentak. Seorang pria berdiri di dekatnya. Ia tampak sedikit lebih tua dari Aerin, mungkin akhir dua puluhan, dengan jaket hoodie universitas dan senyum ramah.

“Wajahmu sangat pucat. Dan kau berdiri di sini seperti baru melihat hantu,” kata pria itu, nadanya lembut.

Aerin melihat ke sekeliling lagi, lalu berusaha menenangkan dirinya. 

‘Tenang, Aerin. Lebih aman ada orang di dekatmu.’

“Ya. Aku baik-baik saja,” jawab Aerin, berusaha menjaga suaranya tetap stabil. “Aku… hanya tersesat. Ini Harrowgate University, kan?”

Pria itu tersenyum lebar. “Benar sekali. Selamat datang. Aku Kaleb, mahasiswa tingkat akhir di sini. Baru mau masuk? Kau terlihat seperti fresher (mahasiswa baru) yang sangat gugup.”

“Aerin,” balas Aerin. “Dan ya, aku akan memulai kuliah di Sastra Inggris minggu depan. Aku hanya ingin mengamati lokasi Freshers’ Week agar tidak terlihat terlalu bodoh nanti.”

Kaleb tertawa. “Aku mengerti. Semua fresher juga begitu. Itu wajar. Hari ini hari Minggu, jadi bangunannya memang terkunci. Mau kutunjukkan setidaknya di mana gedungnya?”

Aerin berpikir cepat. Ini kesempatan, setidaknya ia tidak akan sendirian mengelilingi Harrowgate yang luas.

“Kau tidak keberatan?” tanya Aerin.

“Sama sekali tidak. Aku bosan, dan ini hari Minggu. Lagipula, aku juga dari Sastra Inggris. Aku tahu semua seluk-beluknya,” jawab Kaleb, matanya berbinar. “Ayo, kita mulai dari Student Union.”

***~***

Mereka berjalan kaki menyusuri jalan setapak kampus yang luas. Kaleb menjelaskan setiap detail dengan antusiasme yang menular.

“Kau harus lihat perpustakaan barunya. Mereka punya kafe terbaik di lantai tiga. Cocok untuk lari dari dosen gila.” Kaleb tersenyum nakal.

“Dosen gila?” Aerin tertawa. “Kurasa setiap universitas punya satu.”

“Tentu saja. Tapi departemen Sastra Inggris kami punya yang terbaik. Namanya Dr. Rowan Nathaniel. Dia brilian—karya risetnya menakjubkan—tapi aura di sekelilingnya selalu seperti baru menghadiri pemakaman,” Kaleb berbisik.

Aerin merasa perutnya ditarik, kedua alisnya terangkat. “Benarkah? Dia terdengar menantang.”

‘Bagus. Aku ke London untuk menghindari ketegangan, tapi aku justru seatap dengan ‘Dosen Gila’!’ pekiknya dalam hati.

“Menantang dan menakutkan. Tapi serius, jangan lewatkan kelasnya. Omong-omong, kau sudah ambil kartu pelajar?”

“Belum. Aku baru sampai kemarin. Mungkin besok.”

“Baiklah. Jadi, setelah ini kita ke mana? Ingin melihat tempat kita akan menghabiskan waktu, yaitu toko perlengkapan murah di sebelah kampus? Kita harus siapkan pena dan buku catatan sebelum Freshers’ Week dimulai.”

“Ide bagus. Aku butuh pena baru,” jawab Aerin, merasa benar-benar menikmati momen ini. Ini adalah tawa pertamanya yang tulus sejak tiba di London.

Mereka memasuki toko yang padat. Kaleb memilih pena dan kertas dengan serius, sambil terus memberinya nasihat praktis.

“Jangan beli yang mahal. Mereka akan hilang setelah seminggu. Sticky notes itu penting untuk menandai buku.”

Aerin tertawa kecil, lalu mengikuti saran Kaleb dan memasukkan beberapa bungkus ke keranjangnya. “Kau sangat membantu, Kaleb. Terima kasih.”

Drrt, drrt…

Tiba-tiba, ponsel Aerin bergetar di saku jaketnya. Aerin merogoh ponselnya dan mengintip, itu adalah pesan dari Ronn.

[‘Sudah hampir pukul empat sore. Aku melihat lokasimu di maps. Aku harap kau tidak bersama orang asing. Pulang sekarang. Jangan coba-coba melanggar aturan.’]

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cintai Aku, Pak Dosen!   Chapter 7 : Tertangkap Basah di Paddington

    Ronn terduduk di bangku kerja, tetapi pikirannya terasa jauh. Meja kayunya terasa dingin, sama seperti suasana rumah tangganya. Mata kuliah yang harus ia persiapkan untuk minggu depan terasa seperti debu; ia hanya bisa memikirkan satu hal: Aerin.|| “Kau memang suami yang sangat romantis, Ronn.” ||Ronn mendengus keras. Ia mengambil gelas air dan meminumnya hingga tandas. “Gadis kecil itu. Apa haknya dia menilai pernikahanku?” geramnya. Sindiran seorang remaja. Sebuah evaluasi tajam tentang kegagalannya dari seorang gadis yang baru ia kenal seminggu."Masalahnya bukan lagi uang, Lilith, atau utang. Masalahnya adalah kendali," Ronn bergumam pada dirinya sendiri, jemarinya mengetuk-ngetuk ponsel.Ia membuka aplikasi location tracking yang terpasang di ponsel Aerin. Titik hijau kecil itu sudah jauh dari rumah. Ronn melihat peta dan segera mengonfirmasi: Aerin tidak berada di Bloomsbury, tempat Perpustakaan Nasional seharusnya berada.Gadis ini berbohong."Perpustakaan Nasional untuk ris

  • Cintai Aku, Pak Dosen!   Chapter 6 : Kencan Pertama dengan Pacar

    Ronn masih duduk di bangku piano kayu, tangannya tergantung di atas tuts. Aerin sudah keluar dari persembunyiannya dan berdiri di dekat ambang pintu, bersandar pada kusen. Keheningan di antara mereka dipenuhi oleh gema melodi Chopin yang baru saja berhenti."Kau tidak suka Chopin, Aerin?" Ronn memecah keheningan, suaranya kembali datar, menutupi kerentanan beberapa saat lalu.Aerin menghela napas, tangannya memegang erat slip perhiasan di saku roknya. “Aku suka. Papa sering memainkannya,”Ronn menggeser duduknya, ia mengangguk. “Artinya, kau mahir memainkannya, mau coba?”“Aku kira, larangan memainkan piano hanya untukku,” ucap Aerin, sedikit menyindir.“Lilith hanya tidak suka mendengar suara bising. Tapi dia sedang tidak di sini. Dan aku butuh menyegarkan pikiranku.” Ronn membela diri. “Jadi hari ini, Nona Penyanyi, kau bisa sepuasnya memainkan piano malam ini.”Aerin tersenyum hambar. Lalu menggeleng pelan. “Sayangnya aku tak bisa memainkan piano.”Ronn menatap Aerin, menerka-nerka

  • Cintai Aku, Pak Dosen!   Chapter 5 : Harga Sebuah Pengkhianatan

    Wajah ramah Kaleb, seketika membuat Aerin menghela napas lega. Entah kenapa dia merasa Kaleb seperti malaikat untuknya, selalu datang saat ia butuhkan.“Aku tidak menyangka kau akan datang ke bagian enrollment yang paling kacau ini,” kata Kaleb, tawanya ringan. “Kau beruntung. Aku ditugaskan di sini hari ini. Kau sudah dapat Student ID?”“Belum. Aku tidak yakin harus ke mana. Antreannya panjang sekali.”“Tentu saja. Ini birokrasi, darling. Ikuti aku. Aku tahu jalur cepatnya. Kau harus mendaftar ke Supervisor Departemen Sastra Inggris dulu.” Kaleb memimpin jalan menembus kerumunan.“Kau sangat menyelamatkanku,” bisik Aerin.“Sudah tugasku. Jadi, Aerin dari mana? Aku tahu logatmu bukan dari sini.”“Aku dari Indonesia, Jakarta.”“Wow. Jauh sekali. Kau tinggal di mana? Halls of Residence atau sewa flat?”“Aku tinggal dengan teman lama Ayahku.” Aerin memilih kata-katanya hati-hati.Kaleb mengangkat alisnya. “Menguntungkan. Itu berarti kau punya koneksi. Kami para senior harus berjuang untu

  • Cintai Aku, Pak Dosen!   Chapter 4 : Aku Tidak Peduli dengan Rumah Tanggamu

    ‘Jadi, sekarang dia memantau lokasiku? Apa dia tahu aku sedang bersama seseorang? Dasar dosen gila!’ rutuk Aerin dalam hati. Senyum Aerin langsung luntur. Rasa dingin menjalar di punggungnya.Baru kemarin dia tiba-tiba di London, tapi sudah beberapa kali dia memaki seseorang di dalam hati. Ini akan jadi kebiasaan buruknya yang baru.Kaleb yang menyadari perubahan itu, tak tahan untuk bertanya. “Ada apa? Kau terlihat seperti baru saja mendapat pesan dari Dr. Nathaniel. Ekspresi wajahmu persis dengan mahasiswa-mahasiswa bimbingannya saat mendapat chat darinya.”Kaleb bermaksud menggoda. Tapi Aerin justru menggeleng panik. “Tidak, bukan. Aku… harus pergi sekarang. Ada urusan mendadak.”“Sekarang? Tapi aku belum selesai menyelesaikan tur kampus kita.” Kaleb tampak bingung.“Maafkan aku, Kaleb. Tapi aku harus segera pulang. Aku baru ingat aku punya janji yang tidak bisa dibatalkan,” Aerin mengambil barang-barang yang sudah ia masukkan ke keranjang. “Sampai jumpa di kampus. Dan terima kasih

  • Cintai Aku, Pak Dosen!   Chapter 3 : Pita Pink di Gerbang Harrowgate

    “Pagi,” sapa Ronn, tanpa antusiasme, saat melihat Aerin muncul dari tangga.“Pagi,” balas Aerin, suaranya pelan. Ia berdiri canggung di dekat pintu dapur.“Mau sarapan? Aku bisa membuatkan toast atau pancake dengan cepat.” Ronn menawari, gesturnya kaku.Aerin menggeleng cepat. “Terima kasih, tapi tidak usah. Aku belum lapar.”Ronn menatap Aerin sebentar, lalu mengangkat bahu. “Baiklah. Tapi pastikan kau tidak melewatkan sarapan, jika kau tidak ingin mendengar ayahmu memakiku. Ada banyak kafe di dekat stasiun tube (kereta bawah tanah).”“Aku akan beli di sana. Aku ingin mencoba porridge pot,” jawab Aerin, suaranya tegas.Ronn mengangguk, melirik Aerin sebentar menatap pakaian yang Aerin gunakan saat ini : sweater lengan tiga per empat berwarna coklat gelap, dipadu dengan rok plisket krem dan sepatu boots setinggi mata kaki, di bahunya tersampir tas kecil dengan warna senada. Ronn menyesap kopinya. “Ide bagus. Mau ke mana?”“Ke kampus,” jawab Aerin, meremas tali tali tasnya. “Aku mau me

  • Cintai Aku, Pak Dosen!   Chapter 2 : Tiga Aturan Sang Istri

    Aerin terkesiap. Kata-kata yang sudah berada di ujung lidahnya, kembali tertelan saat mendengar suara teriakan dari lantai bawah. Itu suara seorang wanita.Suara wanita itu begitu nyaring, memantul tajam dari lantai bawah. Spontan Aerin mundur selangkah. Jantungnya berdegup kencang, bersamaan dengan ketakutan yang langsung menyergap leher Aerin.“Uhuk, uhuk…” Aerin terbatuk, tangannya menyentuh lehernya yang terasa sesak. Sekilas, suara teriakan itu mengingatkannya pada beberapa menit sebelum kejadian ia tercekik di Jakarta, suara penguntit itu.Ronn—atau Rowan—membeku. Matanya yang lelah kini memancarkan kejutan yang cepat ia tutupi. Ia berbalik, rahangnya mengeras.“Tunggu di sini,” bisik Ronn, tak begitu mendengar suara batuk Aerin. Matanya menatap Aerin tajam, seakan memberi tanda bahwa ini adalah perintah.“Tapi… siapa…” Aerin bahkan tidak menyelesaikan kalimatnya, ia terbatuk lagi.“Aku bilang, tunggu di sini.” Tatapannya mengunci mata Aerin, dingin dan memperingatkan.Tanpa me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status