LOGIN“Pagi,” sapa Ronn, tanpa antusiasme, saat melihat Aerin muncul dari tangga.
“Pagi,” balas Aerin, suaranya pelan. Ia berdiri canggung di dekat pintu dapur. “Mau sarapan? Aku bisa membuatkan toast atau pancake dengan cepat.” Ronn menawari, gesturnya kaku. Aerin menggeleng cepat. “Terima kasih, tapi tidak usah. Aku belum lapar.” Ronn menatap Aerin sebentar, lalu mengangkat bahu. “Baiklah. Tapi pastikan kau tidak melewatkan sarapan, jika kau tidak ingin mendengar ayahmu memakiku. Ada banyak kafe di dekat stasiun tube (kereta bawah tanah).” “Aku akan beli di sana. Aku ingin mencoba porridge pot,” jawab Aerin, suaranya tegas. Ronn mengangguk, melirik Aerin sebentar menatap pakaian yang Aerin gunakan saat ini : sweater lengan tiga per empat berwarna coklat gelap, dipadu dengan rok plisket krem dan sepatu boots setinggi mata kaki, di bahunya tersampir tas kecil dengan warna senada. Ronn menyesap kopinya. “Ide bagus. Mau ke mana?” “Ke kampus,” jawab Aerin, meremas tali tali tasnya. “Aku mau melihat-lihat Harrowgate. Hari ini hari Minggu, jadi pasti sepi. Aku ingin tahu rute bus atau tube-nya.” Ronn meletakkan cangkirnya. “Aku bisa mengantarmu.” “Tidak usah. Ronn, sungguh. Aku harus belajar menggunakan maps dan bus di sini. Kalau terus-terusan diantar, aku tidak akan mandiri.” Ronn menatapnya lama. Tatapannya itu tidak dingin lagi, hanya kosong dan penuh rasa lelah. “Baiklah. Pastikan untuk membawa mantel-mu.” Aerin menoleh, melihat ke sekeliling, “Aku tidak melihat Lilith,” Sedetik setelahnya, ia merutuki dalam hati karena tidak bisa menahan diri untuk bertanya. Wajah Ronn mengeras sesaat. “Dia sudah pergi sejak dini hari. Aku tidak tahu ke mana. Dan itu juga bukan urusanmu.” Nada suaranya kembali ke perintah, mengingatkan Aerin pada aturan semalam. “Aku tidak ingin ada skandal. Ingat itu. Dan jangan sampai ada masalah.” Aerin memutar matanya. Wajahnya terlihat sedikit kesal. “Aku mengerti aturanmu. Aku juga ingin kabur dari masalah. Aku tidak akan menciptakan yang baru di sini.” Aerin mengambil mantelnya. “Aku pergi.” Ia berjalan menuju pintu depan. Ronn mengikutinya. “Tunggu sebentar.” Ronn berdiri di ambang pintu, menghalangi cahaya musim gugur yang menembus kaca. “Kamu belum tahu rute tercepat. Ambil bus nomor 137 dari sudut jalan, turun di stasiun tube St. John’s Wood. Lalu lanjut dua pemberhentian ke arah utara. Itu yang paling cepat.” Aerin mengangguk, walaupun ia masih kesal, ia tetap memasukkan instruksi itu ke dalam ponselnya. “Terima kasih. Aku akan pulang sebelum gelap.” Saat Aerin hampir membuka pintu, Ronn tiba-tiba berkata, suaranya lebih mirip disebut bisikan. “Aku tidak membencimu, Aerin.” Aerin menoleh, terkejut. “Aku membenci kenyataan bahwa kamu ada di sini. Karena itu adalah bukti, bahwa aku dan Lilith sudah benar-benar gagal.” Ronn menarik napas, matanya menatap ke kejauhan. “Ayahmu datang untuk menyelamatkanmu, Aerin. Sekaligus membuat kami merasa terjebak. Tapi aku tidak menyalahkan ayahmu, karena aku lah yang bersedia mengabulkan permohonannya.” Aerin menatapnya, tidak tahu harus merespons apa. Pria yang disangka dingin dan sinis ini tiba-tiba menjadi sangat rapuh. Ia menelan ludah. “Aku hanya ingin memastikan aku tidak gagal dalam satu hal lagi.” Aerin sebenarnya tak begitu mengerti. Tapi ia tetap saja mengangguk. Ia memegang kenop pintu, udara dingin dari luar menyergap tangannya. Ia pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. ***~*** Aerin berjalan di trotoar. Halls of Residence yang besar dan megah milik Harrowgate University terlihat di kejauhan. Ia sudah berhasil membeli porridge pot dan duduk di bangku taman terdekat, mengawasi gerbang utama. “Hmm… hangat sekali!” serunya dengan gembira, ia mengusap-usap perutnya, “Apa aku bisa membuatnya sendiri, ya? Ah, tapi dapurnya… tidak, tidak! Aku tidak ingin membuat masalah dengan wanita itu!” Aerin menyuap sesendok porridge pot lagi. Semua terasa normal. Sampai ia melihat kilasan warna di sudut matanya—sebuah benda kecil dan familier yang diselipkan di balik tanaman rambat yang menjulang tinggi di pagar besi Harrowgate University. Aerin berhenti bernapas. Ia mengenali warna itu. Warna pink yang sangat spesifik. ‘Pita pink?’ ucapnya dalam hati. Perlahan, ia mendekat. Itu adalah pita kecil berwarna pink, dililitkan dengan rapi pada jeruji besi. Itu adalah warna pita yang selalu ia gunakan untuk mengikat mikrofonnya. Aerin menoleh cepat ke segala arah. Jalanan lengang. Hanya ada beberapa pejalan kaki dan seekor anjing yang sedang berjalan. Pita itu terlalu mirip dengan yang biasa ia gunakan. Aerin menyentuhnya dengan ujung jari gemetar. Ia ragu, tapi ia membenci mempunyai pikiran seperti ini: seseorang tahu dia ada di sini. “P-papa! Aku harus memastikan ini ke Papa.” Tangan Aerin bergetar saat ia mengeluarkan ponsel. Ia bergerak cepat, mengambil beberapa foto pita itu sebagai bukti, sebelum rasa panik menguasai akalnya. Ia menoleh cepat ke segala arah. Jalanan lengang. Lalu kembali menatap layar ponselnya. Ia baru saja akan menelepon ayahnya saat tiba-tiba sebuah suara mengagetkannya. “Hei, kau baik-baik saja?” Aerin tersentak. Seorang pria berdiri di dekatnya. Ia tampak sedikit lebih tua dari Aerin, mungkin akhir dua puluhan, dengan jaket hoodie universitas dan senyum ramah. “Wajahmu sangat pucat. Dan kau berdiri di sini seperti baru melihat hantu,” kata pria itu, nadanya lembut. Aerin melihat ke sekeliling lagi, lalu berusaha menenangkan dirinya. ‘Tenang, Aerin. Lebih aman ada orang di dekatmu.’ “Ya. Aku baik-baik saja,” jawab Aerin, berusaha menjaga suaranya tetap stabil. “Aku… hanya tersesat. Ini Harrowgate University, kan?” Pria itu tersenyum lebar. “Benar sekali. Selamat datang. Aku Kaleb, mahasiswa tingkat akhir di sini. Baru mau masuk? Kau terlihat seperti fresher (mahasiswa baru) yang sangat gugup.” “Aerin,” balas Aerin. “Dan ya, aku akan memulai kuliah di Sastra Inggris minggu depan. Aku hanya ingin mengamati lokasi Freshers’ Week agar tidak terlihat terlalu bodoh nanti.” Kaleb tertawa. “Aku mengerti. Semua fresher juga begitu. Itu wajar. Hari ini hari Minggu, jadi bangunannya memang terkunci. Mau kutunjukkan setidaknya di mana gedungnya?” Aerin berpikir cepat. Ini kesempatan, setidaknya ia tidak akan sendirian mengelilingi Harrowgate yang luas. “Kau tidak keberatan?” tanya Aerin. “Sama sekali tidak. Aku bosan, dan ini hari Minggu. Lagipula, aku juga dari Sastra Inggris. Aku tahu semua seluk-beluknya,” jawab Kaleb, matanya berbinar. “Ayo, kita mulai dari Student Union.” ***~*** Mereka berjalan kaki menyusuri jalan setapak kampus yang luas. Kaleb menjelaskan setiap detail dengan antusiasme yang menular. “Kau harus lihat perpustakaan barunya. Mereka punya kafe terbaik di lantai tiga. Cocok untuk lari dari dosen gila.” Kaleb tersenyum nakal. “Dosen gila?” Aerin tertawa. “Kurasa setiap universitas punya satu.” “Tentu saja. Tapi departemen Sastra Inggris kami punya yang terbaik. Namanya Dr. Rowan Nathaniel. Dia brilian—karya risetnya menakjubkan—tapi aura di sekelilingnya selalu seperti baru menghadiri pemakaman,” Kaleb berbisik. Aerin merasa perutnya ditarik, kedua alisnya terangkat. “Benarkah? Dia terdengar menantang.” ‘Bagus. Aku ke London untuk menghindari ketegangan, tapi aku justru seatap dengan ‘Dosen Gila’!’ pekiknya dalam hati. “Menantang dan menakutkan. Tapi serius, jangan lewatkan kelasnya. Omong-omong, kau sudah ambil kartu pelajar?” “Belum. Aku baru sampai kemarin. Mungkin besok.” “Baiklah. Jadi, setelah ini kita ke mana? Ingin melihat tempat kita akan menghabiskan waktu, yaitu toko perlengkapan murah di sebelah kampus? Kita harus siapkan pena dan buku catatan sebelum Freshers’ Week dimulai.” “Ide bagus. Aku butuh pena baru,” jawab Aerin, merasa benar-benar menikmati momen ini. Ini adalah tawa pertamanya yang tulus sejak tiba di London. Mereka memasuki toko yang padat. Kaleb memilih pena dan kertas dengan serius, sambil terus memberinya nasihat praktis. “Jangan beli yang mahal. Mereka akan hilang setelah seminggu. Sticky notes itu penting untuk menandai buku.” Aerin tertawa kecil, lalu mengikuti saran Kaleb dan memasukkan beberapa bungkus ke keranjangnya. “Kau sangat membantu, Kaleb. Terima kasih.” Drrt, drrt… Tiba-tiba, ponsel Aerin bergetar di saku jaketnya. Aerin merogoh ponselnya dan mengintip, itu adalah pesan dari Ronn. [‘Sudah hampir pukul empat sore. Aku melihat lokasimu di maps. Aku harap kau tidak bersama orang asing. Pulang sekarang. Jangan coba-coba melanggar aturan.’]Ronn berjalan mendahului Aerin keluar dari The Old Pages. Ia tidak berteriak, tidak menyeret Aerin. Bahkan, Ronn membuka pintu mobil untuk Aerin dengan tenang yang tidak wajar—sebuah kesopanan dingin yang membuat Aerin makin gugup.‘Apa dia marah?’ pikir Aerin dalam hati. Ia duduk di kursi penumpang, tangan gemetar. Dia memegang sabuk pengaman terlalu lama, mencoba menenangkan degupan jantungnya yang tak karuan. Ronn masuk, menutup pintu, segera menyalakan mesin. Deruan mobil saat melaju tak mengurangi keheningan di antara mereka. Ronn membiarkan ketegangan itu tumbuh, membuatnya jauh lebih buruk daripada amarah yang meledak.‘Keheningan ini mencekikku, ugh!’ Aerin membuka kancing teratas kerahnya, memudahkan ia untuk bernapas.Setelah beberapa menit yang terasa seperti siksaan, Ronn akhirnya bicara, matanya tetap lurus menatap jalan.“Sejak kapan?” Suaranya sangat tenang, nyaris berbisik, tetapi mematikan. Ia tidak menyebut “kerja” atau “kafe”, karena Ronn tahu persis Aerin mengert
“Aerin! Syukurlah kau datang. Aku hampir yakin kau sudah terbang,”Julian menyambut Aerin begitu ia masuk The Old Pages.Tapi Aerin hanya mengangguk gugup—dua kali menoleh ke belakang, seperti memberi kode diam-diam. Julian mengernyit. Tatapan hazelnya mengikuti arah lirikan Aerin… dan langsung menemukan sosok tinggi berwibawa memasuki kafe.Ronn.Aura gelapnya masuk lebih dulu dibanding tubuhnya.Liz langsung berdiri di samping Aerin, tersenyum sarkas.“Oh, hai Dr. Nathaniel. Kita sering sekali bertemu di luar kampus rupanya.” ucapnya sambil mengulurkan tangan.Ronn membalasnya, ia tersenyum tipis.“Kebetulan aktivitas saya berkurang saat libur semester.” ujar Ronn tanpa malu. Liz ingin membalas ucapan pria berusia 43 tahun itu, tapi buru-buru dicegah oleh Julian.Julian—yang memperhatikan tatapan para pelanggan wanita yang kagum melihat Ronn—hanya bisa mendesah dalam hati.‘Kalau dia bertahan di sini satu jam saja, omsetku akan naik.’Julian tersenyum licik. Ia tak bisa menyangkal,
Lorong rumah itu gelap, hanya diterangi lampu dinding yang temaram.Ronn baru saja keluar dari kamar mandi di lantai bawah ketika ia berjalan melewati tangga dan memutuskan berhenti.Ia mendengar suara samar dari lantai atas. Kamar Aerin.Suara yang sangat lembut. Hampir seperti desahan kecil yang terjebak di antara mimpi dan kenyataan.“…Ronn…”Napasnya seketika berubah—lebih dalam, lebih lambat, lebih terkontrol. Ia menunggu. Dan suara itu kembali.Kali ini lebih lirih. Lebih terputus-putus.Seperti suara seseorang yang sedang memohon tanpa sadar.Ronn naik ke lantai dua dengan langkah sangat pelan, hampir tidak membuat suara sama sekali. Ia berhenti tepat di depan pintu kamar Aerin.Tangannya terangkat—bukan untuk membuka pintu, tapi sekadar menyentuh gagangnya.Gagang pintu itu dingin. Berarti Aerin sudah cukup lama berada di kamarnya sejak kejadian wastafel itu. Dan kemungkinan ia sedang tidur.‘Ia mengigau?’ Hatinya terus bertanya-tanya.Ronn menundukkan kepalanya, mendekatkan w
Aerin masih terengah-engah di meja wastafel, pijakan kakinya gemetar, lututnya tidak stabil. Nafasnya patah-patah.‘Pria ini gila!’Ia menjerit dalam hati. Setelah Ronn ‘menyiksanya’ dengan kenikmatan yang sakit, ia dengan mudahnya membalik tubuh Aerin sehingga menghadap cermin. Di cermin, ia melihat dirinya—pipi merah, mata berkabut, bibir digigit bekas ciuman Ronn. Ia sangat berantakan.Ronn berdiri di belakangnya.Tinggi. Gelap. Mendominasi seluruh refleksi Aerin.Jemarinya yang tadi menyelinap lewat kain kini menggenggam pinggang Aerin pelan, seperti ia memegang sesuatu yang rapuh—atau sesuatu yang ia kuasai sepenuhnya.“Aerin.” suara Ronn rendah, menggesek tengkuknya. “Lihat ke depan.”Aerin memalingkan wajah dengan cepat, wajahnya panas, suara tercekat di tenggorokan.“Tidak… aku tak—”Jari Ronn menangkap dagunya. Satu tekanan lembut. Tidak kasar. Tidak memaksa. Tapi cukup membuat tubuh Aerin berhenti melawan.Ia mengarahkan wajah gadis itu menghadap ke cermin.Pelan. Halus.Nam
Aerin masih duduk di kursi gantung, menyendok sisa Indomie-nya dengan canggung. Ronn berdiri di depannya, tubuhnya besar dan gelap di bawah cahaya taman. Kehadirannya saja sudah membuat kursi itu berhenti bergoyang. ‘Kenapa dia harus muncul sekarang?’ ‘Bagaimana kalau Lilith melihatku di sini?’ ‘Aku cuma ingin makan mie dengan tenang…’ Ronn tidak memedulikan Cup Noodle yang masih berasap. Tatapannya mengikuti setiap gerakan kecil Aerin dengan ketelitian yang hampir membuatnya takut. “Lilith pergi,” ujar Ronn, tanpa Aerin bertanya. “Perawatan kulit. Dokternya memprioritaskannya, seperti biasa.” Aerin terangkat sedikit alisnya—heran bagaimana pria itu selalu seperti membaca isi kepalanya. “Oh… selarut ini?” “Orang-orang tertentu,” Ronn duduk di kursi taman, tubuhnya condong sedikit ke depan, “selalu mendapatkan perlakuan khusus.” Aerin menyeruput kuah Indomie, tapi pikirannya melayang pada Rafferty. Kekasihnya itu juga seorang dokter di klinik kecantikan ‘Tapi kalau d
“Lihat siapa yang datang,” ujar Lilith, suaranya tajam. Ia mengamati Aerin dari atas hingga bawah. “Kenapa kau membiarkan dia memakai mantelmu, Rowan? Rambutnya basah, pakaiannya kusut. Dia terlihat… menyedihkan.” Ronn dan Aerin baru saja tiba di rumah. Lilith, yang mengenakan gaun sutra tipis, sudah berdiri di ambang ruang tamu, kedua tangannya terlipat di depan dada . Matanya menatap mantel Ronn yang dikenakan Aerin. Aerin menegang. Ia merasakan tangan Ronn yang memegang siku Aerin sedikit mengencang. “Masuk, Lilith,” Ronn memerintah, suaranya datar dan dingin. Tetapi Lilith tidak bergerak. Ia mengabaikan suaminya, berjalan mendekat. Ia mendongak, menatap Aerin. “Kau sangat menyedihkan, Aerin. Besok sudah liburan, ‘kan?” Lilith menyesap anggurnya, senyumnya menyakitkan. “Daripada kau membuat dirimu sakit di sini dan mengacaukan rumah tangga kami, kenapa kau tidak kembali saja ke Indonesia? Di sana lebih hangat. Dan kau bisa menyembunyikan dirimu sampai semester berikutnya d







