Ronn terduduk di bangku kerja, tetapi pikirannya terasa jauh. Meja kayunya terasa dingin, sama seperti suasana rumah tangganya. Mata kuliah yang harus ia persiapkan untuk minggu depan terasa seperti debu; ia hanya bisa memikirkan satu hal: Aerin.
|| “Kau memang suami yang sangat romantis, Ronn.” || Ronn mendengus keras. Ia mengambil gelas air dan meminumnya hingga tandas. “Gadis kecil itu. Apa haknya dia menilai pernikahanku?” geramnya. Sindiran seorang remaja. Sebuah evaluasi tajam tentang kegagalannya dari seorang gadis yang baru ia kenal seminggu. "Masalahnya bukan lagi uang, Lilith, atau utang. Masalahnya adalah kendali," Ronn bergumam pada dirinya sendiri, jemarinya mengetuk-ngetuk ponsel. Ia membuka aplikasi location tracking yang terpasang di ponsel Aerin. Titik hijau kecil itu sudah jauh dari rumah. Ronn melihat peta dan segera mengonfirmasi: Aerin tidak berada di Bloomsbury, tempat Perpustakaan Nasional seharusnya berada. Gadis ini berbohong. "Perpustakaan Nasional untuk riset esai Sastra Abad ke-19," Ronn mengulang alasan Aerin dengan nada mengejek. "Kau menggunakan bahasa akademisku sebagai tameng untuk berkeliaran ." Bagi Ronn, kebohongan Aerin bukanlah pelanggaran moral, melainkan pelanggaran otoritas. Ia adalah Dosen dan pengawas Aerin. Jika Aerin bisa berbohong semudah itu, berarti Ronn kehilangan kendali atas tugas penting yang dipercayakan Danadyaksa—Ayah Aerin—kepadanya. Tak hanya persahabatan yang dipertaruhkan, tapi jika terjadi sesuatu pada Aerin, karier Ronn bisa terkena dampaknya. Mengingat Aerin bukan “orang biasa” di negara asalnya. Ronn mengambil kunci mobilnya. Ia harus pergi. Bukan untuk menghadapi Aerin, tetapi untuk memastikan sumber ancaman ini. ***~*** “Stasiun Paddington? Apa yang dia lakukan di sana?” Tujuan Ronn berubah ketika ia melihat titik Aerin berhenti di dekat Stasiun Paddington. Tempat itu ramai, mudah bersembunyi. Ronn memarkir mobilnya di jalan kecil. Ia berjalan, membiarkan dirinya tenggelam di antara kerumunan. ‘Itu dia!’ Ia melihatnya. Aerin, dengan wajah yang tampak jauh lebih cerah dan santai daripada saat di rumah, melambaikan tangan ke arah seorang pria. “Siapa pria itu? Aerin sudah punya teman dekat di hari pertama kuliah?” gumam Ronn. Ia mengawasi dari kejauhan. Ronn melihat mereka berpelukan, ciuman yang terlalu lama. Astaga. Ronn merasa mual, tetapi bukan karena cemburu. “Dia berbohong tentang risetnya? Dia datang ke sini hanya untuk ini?” Kemarahan Ronn menggelegak. Bukan karena Aerin bermesraan, tetapi karena Aerin telah memanfaatkannya. Ronn telah mempertaruhkan segalanya untuk menjaga gadis ini, dan gadis ini membalasnya dengan kebohongan remaja yang murahan. Ronn berbalik, melangkah cepat menuju mobilnya. Ia tidak akan menghadapi mereka. Konfrontasi hanya akan merusak reputasinya di kampus dan memperburuk urusan Danadyaksa. Ronn tidak butuh drama. Ia butuh kekuatan kendalinya. Ia menyalakan headset mobilnya dan menelepon Dr. Ellis, asistennya di Harrowgate. "Ellis, aku butuh bantuanmu," suara Ronn terdengar dingin dan terukur. "Mulai hari pertama perkuliahan, Aerin tidak boleh memiliki waktu luang." "Tolong susun jadwal penuh untuknya. Delapan pagi hingga delapan malam. Setiap jam harus diisi dengan tutorial, riset, atau bimbingan yang ketat. Kau harus pastikan ia sibuk, bahkan jika itu harus mengambil modul dari departemen lain." tambahnya lagi. Ellis, yang terkejut, bertanya, "Tapi, Dr., Aerin baru freshers—" Ronn memotongnya tajam. "Ini adalah program percepatan khusus untuk mahasiswa yang menunjukkan potensi luar biasa. Jika dia protes, katakan padanya aku ingin melihat komitmennya terhadap studi." Ronn menarik napas, matanya dingin menatap jalanan London yang basah. "Katakan padanya, Mata Kuliah Intens dari Dosen Gila baru saja dimulai." ***~*** “Ah, akhirnya,” Aerin turun dari kereta, tubuhnya terasa ringan, tetapi pikirannya terasa berat. Pertemuan dengan Rafferty terasa menyenangkan, tetapi juga aneh. “Mungkin ini hanya perasaanku saja, tapi rasanya Raff sedikit terburu-buru sejak menerima telepon. Dia jadi teralihkan, dan perhatiannya tidak sepenuhnya fokus.” gumam Aerin, ia membuka galeri foto di ponselnya, ia tersenyum melihat beberapa foto mereka berdua tadi. “Ada apa, ya?” Aerin menutup galerinya, lalu memasukkan ponsel ke dalam sakunya, “Mungkin sebaiknya aku tunggu dia memberitahuku lebih dulu, kalau memang itu hal penting.” Ia melangkah masuk ke rumah, yang sunyi seperti biasa. Lilith belum kembali. Dan Ronn, Aerin menerka ia pasti di ruang kerjanya, tenggelam dalam bukunya. Aerin berjalan menaiki tangga. Ia merasa bersalah karena berbohong kepada Ronn. Ronn mungkin dosen yang sinis, tetapi setidaknya Ronn tidak sepenuhnya membiarkannya mati di bawah sindiran Lilith. Saat ia membuka pintu kamar, matanya langsung tertuju pada amplop besar putih tergeletak di atas karpet. “Hm? Apa ini?” Aerin mengambilnya. Amplop itu memiliki kop surat Harrowgate University. Dengan rasa penasaran, merobeknya dengan tergesa-gesa. Dengan seksama, ia membacanya. Hal pertama yang ia lihat adalah sebuah jadwal yang dicetak dengan rapi dan detail, dengan judul tebal: MATA KULIAH INTENSIF DR. NATHANIEL (PROGRAM PERCEPATAN WAJIB BAGI AE. K. W.) Aerin membaca jam-jam yang tercantum: | Waktu | Kegiatan | Lokasi | | 08.00–09.30 | Tutorial Wajib: Filsafat Sastra Kontemporer | Perpustakaan Kampus | | 09.30–12.00 | Riset Pustaka Intensif (Pengumpulan Sumber) | Ruang Riset Dr. Nathaniel (Dosen) | | 16.00–18.00 | Pertemuan Konsultasi Wajib dengan Dosen Wali | Kantor Dr. Natahaniel | | 18.00–20.00 | Pengantar Sastra Musik (Tutor Khusus) | Ruangan Privat | Aerin menjatuhkan jadwal itu ke kasur. “Ronn gila.” Ia hampir memaki. Kepalan tangannya yang erat menahannya. Ia tidak punya waktu bebas sama sekali. Ronn telah berhasil menjadwal setiap jam Aerin, membuatnya menjadi tahanan di bawah pengawasan akademik. "Riset Pustaka Intensif?" gerutu Aerin. "Itu pasti karena aku berbohong tentang perpustakaan." Ia bangkit, bergegas menghampiri Ronn. Dan seperti dugaannya sebelumnya, Ronn sedang fokus membaca. Celah pintu yang terbuka sedikit memperlihatkan itu. Aerin menarik napas panjang, berusaha mengendalikan emosinya. Tapi ketukannya tak menggambarkan itu. Cepat, kencang dan tak sabaran. Ia melongok dari balik pintu, tanpa menunggu jawaban dari Ronn. Dengan tenang, pandangan Ronn naik, menatap sosok Aerin yang kini sudah berdiri di hadapannya. Seakan tahu, gadis muda itu akan melakukan ini. “Apa maksudnya? Aku tahu ini hanya akal-akalanmu saja, kan?” Aerin menyodorkan kertas putih itu. Wajahnya memerah menahan amarah. Ronn hanya melirik sekilas, lalu menatap kembali Aerin. “Ada yang tak kau pahami soal jadwalnya? Mau aku jelaskan lebih detail?” Ronn menutup bukunya, dan menegakkan posisi duduknya. Kini matanya hanya fokus pada Aerin. Aerin menelan ludah. Berbagai pikiran berkecamuk di kepalanya. Sejujurnya ia ingin berteriak dan membentak, tapi ia teringat sopan santun, terlebih lagi etika dari negara asalnya yang sangat dijunjung tinggi untuk tidak meninggikan suara di depan orang tua. Ya, dan pria berkacamata dengan janggut tipis di hadapannya ini seharusnya disebut orangtua juga, pengganti ayahnya selama di London. Aerin masih menatap tajam. Dadanya bergerak naik turun dengan cepat. “Aku tahu ini ulahmu, Ronn. Kau sendiri yang bilang kalau kau tidak mengajar di kelas dasar. Lalu, ini apa? Kenapa ada namamu di jadwalku?” Ronn melepas kacamata bacanya. Lalu meletakkannya di atas meja. Ia bangkit dengan tenang, berjalan perlahan ke arah Aerin. Refleks Aerin bergerak mundur. Perbedaan tinggi badan antara mereka begitu jauh, membuat Aerin merasa terintimidasi. ‘Apa yang mau dia lakukan??’ teriak Aerin panik di dalam hatinya. Tanpa sengaja Aerin menghirup aroma Cedarwood samar dari tubuh Ronn. Tajam dan berat. Bukan tipe aroma yang Aerin suka. Hingga pinggangnya menabrak sudut meja dengan keras. “Aw!” Aerin mengaduh tanpa sadar. Rasa nyeri langsung menghantam pinggangnya. Ia meringis sambil mengusap-usap bagian yang sakit. Ronn bergeming di hadapannya. Ia melirik sebentar ke pinggang Aerin tapi seakan tak peduli, ia menyandarkan satu tangannya ke meja di blakang Aerin. Tubuhnya sedikit membungkuk, sehingga mata mereka kembali bertemu sejajar. “Ingat, aku adalah walimu di sini—dan tentu saja aku tidak ingin siapapun tahu—tapi aku tetap mempunyai kendali untuk melakukan apapun terhadap pendidikan mu,” ucapnya tegas, “jadi sebaiknya, fokus pada kuliahmu. Atau aku akan mengurungmu di rumah agar kau tak berkeliaran menggoda pria.”Aerin berteriak tertahan. Air matanya berlinang tak beraturan sejak ia meninggalkan ruang kerja Dr. Nathaniel. Ia membuang sembarangan kertas jadwal itu, lalu menyambar bantalnya dan berteriak sekuat tenaga dengan wajah tertutup bantal.“Huaaahh! Aku hanya ingin hidup tenang! Lalu apa bedanya hidup di Jakarta dengan di sini?! Screw Ronn!”Aerin mengacungkan jari tengahnya ke udara. Lalu ia menatap sinis pintu kamarnya yang tertutup.“Aku akan mengalah kali ini dan akan kubuktikan kalau kau tidak bisa memperlakukanku seenaknya!”Sekali lagi, ia mengacungkan jari tengahnya ke arah pintu. Amarahnya menurun saat tiba-tiba ia mendengar deringan telepon. Aerin menoleh, nama Papa tertulis di layar ponselnya. Ia segera mengambilnya dari atas ranjang.[“Sayang, bagaimana kabarmu?”] suara dari seberang segera menyapa begitu Aerin mengangkat teleponnya.Aerin melempar tubuhnya ke atas ranjang. Ia menarik napas dalam-dalam, untuk menyembunyikan emosinya dari Sang Ayah.“Aku baik-baik saja, Pa. Pa
Ronn terduduk di bangku kerja, tetapi pikirannya terasa jauh. Meja kayunya terasa dingin, sama seperti suasana rumah tangganya. Mata kuliah yang harus ia persiapkan untuk minggu depan terasa seperti debu; ia hanya bisa memikirkan satu hal: Aerin. || “Kau memang suami yang sangat romantis, Ronn.” || Ronn mendengus keras. Ia mengambil gelas air dan meminumnya hingga tandas. “Gadis kecil itu. Apa haknya dia menilai pernikahanku?” geramnya. Sindiran seorang remaja. Sebuah evaluasi tajam tentang kegagalannya dari seorang gadis yang baru ia kenal seminggu. "Masalahnya bukan lagi uang, Lilith, atau utang. Masalahnya adalah kendali," Ronn bergumam pada dirinya sendiri, jemarinya mengetuk-ngetuk ponsel. Ia membuka aplikasi location tracking yang terpasang di ponsel Aerin. Titik hijau kecil itu sudah jauh dari rumah. Ronn melihat peta dan segera mengonfirmasi: Aerin tidak berada di Bloomsbury, tempat Perpustakaan Nasional seharusnya berada. Gadis ini berbohong. "Perpustakaan Nasio
Ronn masih duduk di bangku piano kayu, tangannya tergantung di atas tuts. Aerin sudah keluar dari persembunyiannya dan berdiri di dekat ambang pintu, bersandar pada kusen. Keheningan di antara mereka dipenuhi oleh gema melodi Chopin yang baru saja berhenti."Kau tidak suka Chopin, Aerin?" Ronn memecah keheningan, suaranya kembali datar, menutupi kerentanan beberapa saat lalu.Aerin menghela napas, tangannya memegang erat slip perhiasan di saku roknya. “Aku suka. Papa sering memainkannya,”Ronn menggeser duduknya, ia mengangguk. “Artinya, kau mahir memainkannya, mau coba?”“Aku kira, larangan memainkan piano hanya untukku,” ucap Aerin, sedikit menyindir.“Lilith hanya tidak suka mendengar suara bising. Tapi dia sedang tidak di sini. Dan aku butuh menyegarkan pikiranku.” Ronn membela diri. “Jadi hari ini, Nona Penyanyi, kau bisa sepuasnya memainkan piano malam ini.”Aerin tersenyum hambar. Lalu menggeleng pelan. “Sayangnya aku tak bisa memainkan piano.”Ronn menatap Aerin, menerka-nerka
Wajah ramah Kaleb, seketika membuat Aerin menghela napas lega. Entah kenapa dia merasa Kaleb seperti malaikat untuknya, selalu datang saat ia butuhkan.“Aku tidak menyangka kau akan datang ke bagian enrollment yang paling kacau ini,” kata Kaleb, tawanya ringan. “Kau beruntung. Aku ditugaskan di sini hari ini. Kau sudah dapat Student ID?”“Belum. Aku tidak yakin harus ke mana. Antreannya panjang sekali.”“Tentu saja. Ini birokrasi, darling. Ikuti aku. Aku tahu jalur cepatnya. Kau harus mendaftar ke Supervisor Departemen Sastra Inggris dulu.” Kaleb memimpin jalan menembus kerumunan.“Kau sangat menyelamatkanku,” bisik Aerin.“Sudah tugasku. Jadi, Aerin dari mana? Aku tahu logatmu bukan dari sini.”“Aku dari Indonesia, Jakarta.”“Wow. Jauh sekali. Kau tinggal di mana? Halls of Residence atau sewa flat?”“Aku tinggal dengan teman lama Ayahku.” Aerin memilih kata-katanya hati-hati.Kaleb mengangkat alisnya. “Menguntungkan. Itu berarti kau punya koneksi. Kami para senior harus berjuang untu
‘Jadi, sekarang dia memantau lokasiku? Apa dia tahu aku sedang bersama seseorang? Dasar dosen gila!’ rutuk Aerin dalam hati. Senyum Aerin langsung luntur. Rasa dingin menjalar di punggungnya.Baru kemarin dia tiba-tiba di London, tapi sudah beberapa kali dia memaki seseorang di dalam hati. Ini akan jadi kebiasaan buruknya yang baru.Kaleb yang menyadari perubahan itu, tak tahan untuk bertanya. “Ada apa? Kau terlihat seperti baru saja mendapat pesan dari Dr. Nathaniel. Ekspresi wajahmu persis dengan mahasiswa-mahasiswa bimbingannya saat mendapat chat darinya.”Kaleb bermaksud menggoda. Tapi Aerin justru menggeleng panik. “Tidak, bukan. Aku… harus pergi sekarang. Ada urusan mendadak.”“Sekarang? Tapi aku belum selesai menyelesaikan tur kampus kita.” Kaleb tampak bingung.“Maafkan aku, Kaleb. Tapi aku harus segera pulang. Aku baru ingat aku punya janji yang tidak bisa dibatalkan,” Aerin mengambil barang-barang yang sudah ia masukkan ke keranjang. “Sampai jumpa di kampus. Dan terima kasih
“Pagi,” sapa Ronn, tanpa antusiasme, saat melihat Aerin muncul dari tangga.“Pagi,” balas Aerin, suaranya pelan. Ia berdiri canggung di dekat pintu dapur.“Mau sarapan? Aku bisa membuatkan toast atau pancake dengan cepat.” Ronn menawari, gesturnya kaku.Aerin menggeleng cepat. “Terima kasih, tapi tidak usah. Aku belum lapar.”Ronn menatap Aerin sebentar, lalu mengangkat bahu. “Baiklah. Tapi pastikan kau tidak melewatkan sarapan, jika kau tidak ingin mendengar ayahmu memakiku. Ada banyak kafe di dekat stasiun tube (kereta bawah tanah).”“Aku akan beli di sana. Aku ingin mencoba porridge pot,” jawab Aerin, suaranya tegas.Ronn mengangguk, melirik Aerin sebentar menatap pakaian yang Aerin gunakan saat ini : sweater lengan tiga per empat berwarna coklat gelap, dipadu dengan rok plisket krem dan sepatu boots setinggi mata kaki, di bahunya tersampir tas kecil dengan warna senada. Ronn menyesap kopinya. “Ide bagus. Mau ke mana?”“Ke kampus,” jawab Aerin, meremas tali tali tasnya. “Aku mau me