Aerin berteriak tertahan. Air matanya berlinang tak beraturan sejak ia meninggalkan ruang kerja Dr. Nathaniel. Ia membuang sembarangan kertas jadwal itu, lalu menyambar bantalnya dan berteriak sekuat tenaga dengan wajah tertutup bantal.
“Huaaahh! Aku hanya ingin hidup tenang! Lalu apa bedanya hidup di Jakarta dengan di sini?! Screw Ronn!” Aerin mengacungkan jari tengahnya ke udara. Lalu ia menatap sinis pintu kamarnya yang tertutup. “Aku akan mengalah kali ini dan akan kubuktikan kalau kau tidak bisa memperlakukanku seenaknya!” Sekali lagi, ia mengacungkan jari tengahnya ke arah pintu. Amarahnya menurun saat tiba-tiba ia mendengar deringan telepon. Aerin menoleh, nama Papa tertulis di layar ponselnya. Ia segera mengambilnya dari atas ranjang. [“Sayang, bagaimana kabarmu?”] suara dari seberang segera menyapa begitu Aerin mengangkat teleponnya. Aerin melempar tubuhnya ke atas ranjang. Ia menarik napas dalam-dalam, untuk menyembunyikan emosinya dari Sang Ayah. “Aku baik-baik saja, Pa. Papa tidak bisa tidur, ya? Ini kan sudah tengah malam di Jakarta,” jawab Aerin dengan nada khawatir saat ia melirik jam digital di atas nakasnya, 06.30 PM. Itu artinya 01.30 di Jakarta, alias jam setengah dua pagi. “Ada masalah, Pa? Apa wartawan mengganggu Papa?” tanya Aerin lagi. Ia memeluk bantalnya dan sedikit menekan ponselnya ke telinganya, seakan ingin memastikan ayahnya akan mengatakan baik-baik saja. Danadyaksa tertawa kecil. Tapi Aerin tahu, ada semburat letih dalam suaranya. [“Tidak, Sayang. Agensimu menutupinya dengan sangat baik. Kau tidak perlu mengkhawatirkan itu,”] Aerin menghela napas lega. Lega karena agensinya bisa diandalkan dan lega karena keputusannya untuk tidak mengirim foto pita pink waktu itu adalah hal yang benar. Ia tak ingin ayahnya khawatir. [“Papa merindukanmu, Sayang. Bagaimana dengan kuliahmu? Oh, kau sudah selesai dengan Freshers' Week nya?”] Aerin tersenyum kecil. "Belum sepenuhnya, Pa. Ada Sesi Pembukaan Akademik yang formal di Balai Rektorat, lalu ada Pameran Karya mahasiswa tingkat akhir, dan terakhir malamnya baru Pesta Selamat Datang resmi dari serikat mahasiswa." [“Bagus. Papa titip salam pada Ronn dan Lilith ya. Kau harus banyak bersosialisasi, Sayang. Jangan terlalu banyak mengurung diri. Nikmati masa kuliahmu.”] Aerin mengangguk tertawa hambar. Ia mengingat jadwal yang diberikan Ronn beberapa jam lalu. ‘Apa Papa tahu kelakuan ‘teman baik’ nya itu? Yang sedang berencana mengurung anak satu-satunya Papa dari dunia.’ gerutu Aerin dalam hati. Tapi ia tak berani menyampaikannya. Bukan karena takut hubungan persahabatan ayahnya dengan dosennya itu menjadi rusak. Tapi ia lebih takut jika harus kembali ke Indonesia saat ini. Ia tak ingin bertemu dengan stalker gila itu. "Tentu, Pa. Hmm, Papa, aku harus menutup telepon. Badanku lengket sekali, aku ingin segera mandi," bohongnya. Terdengar suara helaan napas panjang di seberang telepon. Danadyaksa masih enggan menutup teleponnya. Ia masih ingin berbicara dengan putri kecilnya. Tapi ia tahu, Aerin pasti sedang sangat sibuk mempersiapkan kuliahnya. Dan tentu, ia butuh istirahat cukup. [“Baiklah, Sayang. Istirahat yang cukup. I love you, darling,”] Setelah sambungan terputus, Aerin kembali memeriksa ponselnya. Notifikasi dari manajernya menarik perhatiannya, sebuah foto selfie dengan caption tersirat : “Someday, kita akan kembali ke sini!” Aerin memperhatikan fotonya. Tak ada tag lokasi, tapi pemandangan di belakangnya terlihat sangat familiar untuknya. Tempat di mana ia dan manajernya bertemu pertama kali tiga tahun lalu. Ia membuka aplikasi W******p nya. Menekan history percakapannya dengan sang manajer. Ia mengetik beberapa kata, tapi sejenak berhenti. Lalu menghapusnya kembali. “Aku akan menahan diri untuk saat ini, Van. Walaupun banyak sekali yang ingin aku ceritakan padamu,” Aerin mengerang kesal. Sebelum berangkat ke London, Aerin dan Evander, manajernya, berjanji untuk tidak saling menghubungi satu sama lain sampai publik di Indonesia mereda. Ya, ia sempat meninggalkan Indonesia dalam keadaan chaos. Saat itu tur di beberapa kota sedang berlangsung, dan tiba-tiba Aerin menghilang, membatalkan sisa jadwal tur yang belum terlaksana. Agensi dan Aerin harus mengembalikan uang tiket kepada fans. Tapi beruntungnya, agensinya masih melindunginya dan mengerti tentang kondisi Aerin yang trauma. Jadi mereka memutuskan untuk menutupi kejadian penyerangan stalker itu. Entah bagaimana caranya, ia sendiri pun tak tahu. Saat itu Evander hanya berkata, “Pulihkan dirimu di sana, Aerin. Serahkan semuanya pada kami di sini. Semua akan baik-baik saja.” Aerin menghela napas panjang. Ia memutar single terbarunya dari ponselnya. Suara merdunya sendiri menjadi pengingat yang menyakitkan akan hidup yang ia tinggalkan. *** "Hei, kupikir aku harus menelepon. Kau pasti akan melupakan hal-hal seperti ini," sapa Kaleb, suaranya tenang. "Ini hari terakhir Freshers' Week, dan Sesi Pembukaan Kuliah Umum di Balai Rektorat itu wajib untuk semua freshers. Itu dimulai dua jam lagi." Aerin langsung duduk tegak. “Dua jam lagi? Wajib?” Aerin panik. Matanya melotot ke arah jam digital di sampingnya. “Aaargghh!” ***~*** Aerin segera berganti pakaian dan bergegas turun. Ia melihat ke ruang tamu. Lilith ada di rumah. Lilith sedang membaca majalah dengan tenang di sofa, mengenakan robe sutra mahal, rambutnya tertata rapi. Aerin hanya bergumam dalam hati, ‘Oh dia ada di sini.’ Ronn sudah berdiri di ruang kerja, ponsel di telinga, wajahnya terlihat frustrasi. Ia segera mengakhiri teleponnya saat melihat Aerin. "Kau hampir merusak segalanya! Kenapa kau tidak memberitahu bahwa kau belum menyelesaikan acara wajib ini?" Ronn memarahinya, suaranya pelan dan tajam. "Aku tidak tahu, Ronn! Aku kira sudah selesai! Aku tahu dari Kaleb. Kau tidak pernah memberitahuku." “Ck, ck, ck! Berantakan sekali,” Suara Lilith menyela. Ia menatap Aerin dari atas hingga bawah dengan tatapan merendahkan, lalu kembali ke halaman majalah di tangannya. Aerin menatap dirinya sendiri. Ia akui hari ini ia memang terlihat berantakan, rambut yang tak sempat ia rapikan, hanya diikat cepol berantakan ke atas, dengan poni panjang yang ia biarkan menutupi pinggir dahinya. Ia menggunakan gaun sepanjang betis yang ditutup dengan mantel cokelat, dan hari ini ia menggunakan sepatu kets putih—memprediksi kalau ia akan menggunakannya untuk berlari. Ronn menghela napas panjang, merapikan dasinya. "Baik. Ini wajib. Kau harus pergi. Tapi kau akan pergi bersamaku, dan kau tidak boleh membuat—” “Aku berangkat dulu!” Tanpa menunggu kalimat Ronn selesai, Aerin buru-buru keluar rumah. ***~*** Balai Rektorat dipenuhi oleh mahasiswa baru. Tangannya dingin. Ia tiba-tiba merasakan tidak nyaman. Matanya sedari tadi melihat ke kanan dan ke kiri, mencari Kaleb. Tapi ia sadar mungkin Kaleb tak ada di sini karena ia mahasiswa tingkat akhir. Aerin membuang napas. Dia sendirian di tengah keramaian. “Aerin!” Aerin menoleh dan melihat Kaleb melambai. Senyum Aerin merekah. Kaleb berjalan mendekat, dengan senyum ramah khas Senior. "Aku senang kau berhasil datang. Kupikir kau akan melewatkannya. Kau harus duduk di depan. Ini adalah acara wajib." Kaleb menunjuk barisan kursi mahasiswa baru. Aerin mengucapkan terima kasih. Saat itulah ia bertemu pandang dengan gadis bersyal tebal, Liz, yang duduk sendirian. Liz tersenyum canggung. Aerin mengenalnya sejak beberapa hari yang lalu. Beberapa kali ia bertemu dengannya dan sudah saling berkenalan. Aerin segera duduk di samping Liz, merasa sedikit aman. Tak berapa lama lampu meredup. Suara-suara heboh kini ikut mereda. Dr. Nathaniel—alias Rowan Nathaniel, melangkah ke podium. Aerin merasakan seluruh aula menatap Ronn. Ronn tampak sangat berwibawa di bawah sorotan lampu, mengenakan jubah akademiknya yang mewah. “Huaah, siapa dosen itu? Tampan sekali!” “Seksi dan mengintimidasi—” Bisik-bisik di belakang Aerin terlalu keras, hingga ia bisa mendengarnya dengan jelas. Aerin mencibir. ‘Jangan percaya dengan penampilan dan tampangnya itu. Setelah kalian mengenalnya, kalian pasti menyebutnya Dosen Gila,’ ujarnya dalam hati. “Dasar anak baru! Coba kalau kalian kenal dengannya, pasti kalian akan menyebutnya gila!” Sekilas Aerin panik, ia menyangka apakah suara batinnya terlalu keras sehingga terdengar jelas di telinganya. Tapi beberapa detik kemudian ia baru menyadari, kalau itu suara Liz yang sedang duduk di sampingnya. “Bagaimana kau tahu kalau dia gila?” Refleks Aerin bertanya. Karena Liz juga mahasiswa baru sepertinya. Seharusnya dia belum banyak mengenal dosen dan rumor di kampus ini. Liz terlihat gugup saat ditodong pertanyaan dari Aerin. “B-bukankah terlihat dari tampang dan cara bicaranya?” jawab Liz. Senyum Aerin mengembang. Saat itu ia sadar, ia akan berteman baik dengan Liz.Lampu di Balai Rektorat meredup. Suara Rowan Nathaniel, yang kini menggunakan gelar Dr. Nathaniel, terdengar nyaring dan berwibawa.Aerin menghela napas. Tanpa sengaja saat ia menoleh ke barisan VIP yang duduk di sebelah panggung, ia melihat seorang wanita yang memancarkan aura keanggunan duduk dengan punggung tegak, mengenakan gaun cocktail berwarna emerald green yang mewah dan rambut cokelat keemasannya tertata sempurna.“Lilith?” gumam Aerin.Dia tersenyum kecil setiap Ronn mengucapkan kalimat yang penting, anggukan yang penuh dukungan dan kebanggaan. Aerin merasakan kejanggalan menusuk.“Aku tidak tahu ada dosen secantik itu di kampus ini!” bisik mahasiswa di belakang Aerin.“Aku tahu yang kau maksud, wanita bergaun emerald itu kan?” sahut temannya. Si mahasiswa mengangguk dengan antusias.“Dia bukan dosen! Itu istri Dr. Nathaniel. Lilith Nathaniel. Dia benar-benar definisi sempurna dari power couple akademis,” jawab temannya lagi penuh kekaguman. “Dia juga Direktur Galeri Seni di
Aerin berteriak tertahan. Air matanya berlinang tak beraturan sejak ia meninggalkan ruang kerja Dr. Nathaniel. Ia membuang sembarangan kertas jadwal itu, lalu menyambar bantalnya dan berteriak sekuat tenaga dengan wajah tertutup bantal.“Huaaahh! Aku hanya ingin hidup tenang! Lalu apa bedanya hidup di Jakarta dengan di sini?! Screw Ronn!”Aerin mengacungkan jari tengahnya ke udara. Lalu ia menatap sinis pintu kamarnya yang tertutup.“Aku akan mengalah kali ini dan akan kubuktikan kalau kau tidak bisa memperlakukanku seenaknya!”Sekali lagi, ia mengacungkan jari tengahnya ke arah pintu. Amarahnya menurun saat tiba-tiba ia mendengar deringan telepon. Aerin menoleh, nama Papa tertulis di layar ponselnya. Ia segera mengambilnya dari atas ranjang.[“Sayang, bagaimana kabarmu?”] suara dari seberang segera menyapa begitu Aerin mengangkat teleponnya.Aerin melempar tubuhnya ke atas ranjang. Ia menarik napas dalam-dalam, untuk menyembunyikan emosinya dari Sang Ayah.“Aku baik-baik saja, Pa. Pa
Ronn terduduk di bangku kerja, tetapi pikirannya terasa jauh. Meja kayunya terasa dingin, sama seperti suasana rumah tangganya. Mata kuliah yang harus ia persiapkan untuk minggu depan terasa seperti debu; ia hanya bisa memikirkan satu hal: Aerin. || “Kau memang suami yang sangat romantis, Ronn.” || Ronn mendengus keras. Ia mengambil gelas air dan meminumnya hingga tandas. “Gadis kecil itu. Apa haknya dia menilai pernikahanku?” geramnya. Sindiran seorang remaja. Sebuah evaluasi tajam tentang kegagalannya dari seorang gadis yang baru ia kenal seminggu. "Masalahnya bukan lagi uang, Lilith, atau utang. Masalahnya adalah kendali," Ronn bergumam pada dirinya sendiri, jemarinya mengetuk-ngetuk ponsel. Ia membuka aplikasi location tracking yang terpasang di ponsel Aerin. Titik hijau kecil itu sudah jauh dari rumah. Ronn melihat peta dan segera mengonfirmasi: Aerin tidak berada di Bloomsbury, tempat Perpustakaan Nasional seharusnya berada. Gadis ini berbohong. "Perpustakaan Nasio
Ronn masih duduk di bangku piano kayu, tangannya tergantung di atas tuts. Aerin sudah keluar dari persembunyiannya dan berdiri di dekat ambang pintu, bersandar pada kusen. Keheningan di antara mereka dipenuhi oleh gema melodi Chopin yang baru saja berhenti."Kau tidak suka Chopin, Aerin?" Ronn memecah keheningan, suaranya kembali datar, menutupi kerentanan beberapa saat lalu.Aerin menghela napas, tangannya memegang erat slip perhiasan di saku roknya. “Aku suka. Papa sering memainkannya,”Ronn menggeser duduknya, ia mengangguk. “Artinya, kau mahir memainkannya, mau coba?”“Aku kira, larangan memainkan piano hanya untukku,” ucap Aerin, sedikit menyindir.“Lilith hanya tidak suka mendengar suara bising. Tapi dia sedang tidak di sini. Dan aku butuh menyegarkan pikiranku.” Ronn membela diri. “Jadi hari ini, Nona Penyanyi, kau bisa sepuasnya memainkan piano malam ini.”Aerin tersenyum hambar. Lalu menggeleng pelan. “Sayangnya aku tak bisa memainkan piano.”Ronn menatap Aerin, menerka-nerka
Wajah ramah Kaleb, seketika membuat Aerin menghela napas lega. Entah kenapa dia merasa Kaleb seperti malaikat untuknya, selalu datang saat ia butuhkan.“Aku tidak menyangka kau akan datang ke bagian enrollment yang paling kacau ini,” kata Kaleb, tawanya ringan. “Kau beruntung. Aku ditugaskan di sini hari ini. Kau sudah dapat Student ID?”“Belum. Aku tidak yakin harus ke mana. Antreannya panjang sekali.”“Tentu saja. Ini birokrasi, darling. Ikuti aku. Aku tahu jalur cepatnya. Kau harus mendaftar ke Supervisor Departemen Sastra Inggris dulu.” Kaleb memimpin jalan menembus kerumunan.“Kau sangat menyelamatkanku,” bisik Aerin.“Sudah tugasku. Jadi, Aerin dari mana? Aku tahu logatmu bukan dari sini.”“Aku dari Indonesia, Jakarta.”“Wow. Jauh sekali. Kau tinggal di mana? Halls of Residence atau sewa flat?”“Aku tinggal dengan teman lama Ayahku.” Aerin memilih kata-katanya hati-hati.Kaleb mengangkat alisnya. “Menguntungkan. Itu berarti kau punya koneksi. Kami para senior harus berjuang untu
‘Jadi, sekarang dia memantau lokasiku? Apa dia tahu aku sedang bersama seseorang? Dasar dosen gila!’ rutuk Aerin dalam hati. Senyum Aerin langsung luntur. Rasa dingin menjalar di punggungnya.Baru kemarin dia tiba-tiba di London, tapi sudah beberapa kali dia memaki seseorang di dalam hati. Ini akan jadi kebiasaan buruknya yang baru.Kaleb yang menyadari perubahan itu, tak tahan untuk bertanya. “Ada apa? Kau terlihat seperti baru saja mendapat pesan dari Dr. Nathaniel. Ekspresi wajahmu persis dengan mahasiswa-mahasiswa bimbingannya saat mendapat chat darinya.”Kaleb bermaksud menggoda. Tapi Aerin justru menggeleng panik. “Tidak, bukan. Aku… harus pergi sekarang. Ada urusan mendadak.”“Sekarang? Tapi aku belum selesai menyelesaikan tur kampus kita.” Kaleb tampak bingung.“Maafkan aku, Kaleb. Tapi aku harus segera pulang. Aku baru ingat aku punya janji yang tidak bisa dibatalkan,” Aerin mengambil barang-barang yang sudah ia masukkan ke keranjang. “Sampai jumpa di kampus. Dan terima kasih