LOGINRonn masih duduk di bangku piano kayu, tangannya tergantung di atas tuts. Aerin sudah keluar dari persembunyiannya dan berdiri di dekat ambang pintu, bersandar pada kusen. Keheningan di antara mereka dipenuhi oleh gema melodi Chopin yang baru saja berhenti.
"Kau tidak suka Chopin, Aerin?" Ronn memecah keheningan, suaranya kembali datar, menutupi kerentanan beberapa saat lalu. Aerin menghela napas, tangannya memegang erat slip perhiasan di saku roknya. “Aku suka. Papa sering memainkannya,” Ronn menggeser duduknya, ia mengangguk. “Artinya, kau mahir memainkannya, mau coba?” “Aku kira, larangan memainkan piano hanya untukku,” ucap Aerin, sedikit menyindir. “Lilith hanya tidak suka mendengar suara bising. Tapi dia sedang tidak di sini. Dan aku butuh menyegarkan pikiranku.” Ronn membela diri. “Jadi hari ini, Nona Penyanyi, kau bisa sepuasnya memainkan piano malam ini.” Aerin tersenyum hambar. Lalu menggeleng pelan. “Sayangnya aku tak bisa memainkan piano.” Ronn menatap Aerin, menerka-nerka apakah ia sedang berbohong. Aerin justru melegang duduk di sofa. “Padahal Dann sangat pandai memainkan piano. Apa dia tak mengajarimu?” tanya Ronn penasaran. Nadanya sedikit bersemangat karena membuatnya bernostalgia dulu, saat mereka satu kampus, Dann dan Ronn sering bermain piano bersama di rumah orangtua Ronn. “Beberapa kali. Tapi aku tak minat. Jadi kami hanya melakukan duet, Papa yang memainkan piano, aku bernyanyi,” “Ide bagus. Kita akan mencobanya. Lagu apa yang ingin kau nyanyikan?” tanya Ronn, jari-jari tangannya sudah berada di atas tuts piano. Tapi Aerin menunduk, terdiam cukup lama. Lalu, ia menoleh ke arah Ronn. “Aku tak bisa bernyanyi jika sedang lapar.” ***~*** “Pizza?” Ronn mengacungkan sepotong pizza di tangannya dengan wajah penasaran. “Kau benar-benar seorang penyanyi? Bukankah junk food seperti ini tidak disarankan untuk penyanyi?” ‘Aku bukan lagi penyanyi.’ rutuk Aerin dalam hati. “Lilith ke mana?” tanya Aerin mengalihkan pembicaraan. Ia mengambil gigitan besar di pizza nya. “Mempersiapkan pameran.” jawab Ronn singkat, seakan tak tertarik dengan topik baru yang disuguhkan oleh Aerin. ‘Jadi hanya ada kita berdua di rumah,’ gumam Aerin dalam hati. Ia perlahan menggeser duduknya hingga menempel ke sandaran tangan sofa. Matanya menyapu seluruh ruangan, waspada kalau saja ada CCTV atau kamera yang memperhatikan mereka. Ia tidak mau dianggap melanggar aturan yang Lilith berikan ataupun membuat skandal dengan dosennya itu. “Dia melarangku untuk mengganggu karir suaminya, tapi membiarkanku berdua dengannya di rumah ini,” gerutu Aerin, sambil menggigit potongan terakhir pizza. Ronn yang mendengar gerutuan itu, melirik Aerin. Saat ia akan meresponnya, Aerin bergegas bangkit dari duduknya. “Aku sudah selesai. Terimakasih untuk pizza nya. Aku mau tidur dulu. Selamat malam,” ucapnya dan segera berjalan menaiki tangga. Tapi baru sampai di tengah tangga, Aerin menoleh. “Ronn, kapan terakhir kau memberi hadiah untuk Lilith?” tanyanya. Ronn langsung mengernyit. Rasa tidak suka terlihat di raut wajahnya. “Apa urusanmu dengan itu?” “Aku sering membaca, salah satu cara terampuh untuk menaklukkan hati istri adalah dengan lebih sering memberi kejutan,” ujar Aerin, “melihat sikap Lilith, sepertinya kau sudah lama tidak memberinya kejutan,” Ronn terdiam. Ia menarik napas panjang. “Seingatku, terakhir kali Natal tahun lalu.” “Dan beberapa bulan lagi sudah Natal. Right, kau memang suami yang sangat romantis, Ronn.” sindir Aerin. Ia segera menaiki tangga dengan cepat, bergegas masuk kamarnya. Saat ia telah menutup pintu kamarnya, ia bersandar ke pintu, lalu menghela napas lega. Diambilnya secarik kertas yang sedari tadi ia simpan di saku roknya. “Berarti perhiasaan ini bukan dari Ronn,” gumamnya. Lalu ia mendekatkan slip pengiriman itu lebih dekat. Matanya menatap satu persatu kalimat di slip itu. Berharap menemukan sesuatu. “Ah, ini dia! Ada inisial “R” di nama pengirimnya,” Aerin membolak-balik slip itu, “Hanya “R”?? Kalau bukan Ronn, “R” siapa? Ah, terserah sajalah! Kenapa malah aku memikirkan rumah tangga orang lain.” Aerin menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Begitu pipinya menempel bantal, kantuk langsung menyergapnya, membuatnya kehilangan kesadaran dalam beberapa detik. ***~*** “Raff!!” Aerin melambaikan tangannya dengan antusias saat melihat kekasihnya. Aerin buru-buru memasukkan peta kereta bawah tanah yang yang sudah kusut ke tas selempangnya. Tadi pagi, ia memberi tahu Ronn bahwa ia akan mengunjungi Perpustakaan Nasional untuk riset, padahal ia menuju Stasiun Paddington, tempat ia berjanji bertemu Rafferty. Untungnya, Ronn hanya merespons dengan anggukan singkat, tidak menunjukkan minat. Tetapi Aerin tetap waspada, ia tahu ia sedang diawasi. "Sayang! Ya Tuhan, aku sangat merindukanmu," seru Rafferty, ia berlari mendekat dan segera memeluk Aerin erat-erat. Aerin membalas pelukan itu. Jantungnya berdebar kencang. "Aku juga, Raf. Kau sudah lama menunggu?" Aerin menjauhkan diri sedikit, menatap kekasih yang sudah ia rindukan itu lekat-lekat. Tampilan Rafferty sempurna seperti biasa: mantel trench coat mahal, rambut pirangnya tertata rapi, dan senyumnya yang selalu terlihat percaya diri. “Tidak lama. Tapi satu menit tanpamu terasa seperti sebulan,” balas Rafferty. Ia menyentuh dagu Aerin dan memberinya ciuman panjang, mesra, membuat ribuan kupu-kupu di perutnya bergejolak. “Kau terlihat pucat, love,” kata Rafferty, menatap Aerin lekat-lekat. “Apa kau baik-baik saja? London freshers' week sepertinya membuatmu stres.” “Aku baik-baik saja. Hanya jet lag,” Aerin berbohong, memaksakan senyum. Ia tidak bisa menceritakan tentang stalker dan aturan ketat rumah Ronn di pertemuan pertama mereka setelah tak bertemu selama setahun. "Aku sudah memesan meja di bistro Italia favoritku. Ayo. Aku ingin tahu segalanya tentang Harrowgate dan dosen-dosen gilamu," Rafferty menarik tangan Aerin, memimpinnya keluar stasiun. ***~*** Suasana restoran tidak begitu ramai. Semua tampak cantik dan hangat dengan deretan bunga warna-warni dan interior kayunya. Rafferty mengambil tangan Aerin dari atas meja, lalu memberikan kecupan-kecupan kecil di punggung tangannya. "Aku minta maaf soal tidak menjengukmu saat kau di rumah sakit, love," bisik Rafferty. “Kau tahu, sulit untuk menukar jadwal shift. Tapi, kau sudah benar-benar pulih kan?” Aerin tersenyum kecil. Saat penguntit itu menerornya, ia memang sempat masuk rumah sakit selama beberapa bulan karena trauma psikis juga beberapa luka yang membutuhkan perawatan. Namun, ia tak memberitahu Rafferty jika itu ulah dari penguntit. Ia hanya mengatakan kalau ia terlalu kelelahan dan butuh istirahat lebih lama. Dan beruntungnya, Rafferty mempercayainya. Tiba-tiba, mata Aerin menangkap kilasan kecil di leher Rafferty, di balik kerah mantelnya yang terangkat. Ada bekas lipstik yang tidak sepenuhnya bersih. Warnanya sangat familiar, warna ungu anggur (wine) yang lembut. Ia seperti pernah melihat warna itu sebelumnya. ‘Lipstick? Milik siapa? Dia tidak mungkin selingkuh dariku ‘kan?’ kata hati Aerin mulai berisik. Rafferty merasakan Aerin menegang, lalu mengusap lembut punggung tangannya, "Ada apa, sayang?" Aerin menggeleng, melepaskan tangan Rafferty. Ia mendongak, tatapannya ragu. "Tidak ada. Aku hanya penasaran, hari ini klinik libur?” Rafferty mengangguk. “Tentu saja. Ini hari Minggu. Jika tidak, mana mungkin aku bisa menemui mu seperti ini? Mmm, mungkin lain kali kita bisa berkencan di klinik. Bagaimana? Kedengerannya mendebarkan kan?” Rafferty mengecup lagi tangan Aerin, tapi kali ini sedikit menggesekkan bibirnya, menggodanya. Aerin langsung salah tingkah. Pipinya memerah lucu. “Aku lega kau sekarang di sini, lebih dekat denganku,” ucap Rafferty. Tatapannya intens. Aerin yang semula merasa curiga, kini tertutupi dengan rasa bahagia yang lebih besar. ‘Ah, mungkin aku terlalu berprasangka buruk. Lihat saja sifat manisnya ini, pria setampan dan seromantis dia tidak mungkin mengkhianatiku ‘kan?’Ronn berjalan mendahului Aerin keluar dari The Old Pages. Ia tidak berteriak, tidak menyeret Aerin. Bahkan, Ronn membuka pintu mobil untuk Aerin dengan tenang yang tidak wajar—sebuah kesopanan dingin yang membuat Aerin makin gugup.‘Apa dia marah?’ pikir Aerin dalam hati. Ia duduk di kursi penumpang, tangan gemetar. Dia memegang sabuk pengaman terlalu lama, mencoba menenangkan degupan jantungnya yang tak karuan. Ronn masuk, menutup pintu, segera menyalakan mesin. Deruan mobil saat melaju tak mengurangi keheningan di antara mereka. Ronn membiarkan ketegangan itu tumbuh, membuatnya jauh lebih buruk daripada amarah yang meledak.‘Keheningan ini mencekikku, ugh!’ Aerin membuka kancing teratas kerahnya, memudahkan ia untuk bernapas.Setelah beberapa menit yang terasa seperti siksaan, Ronn akhirnya bicara, matanya tetap lurus menatap jalan.“Sejak kapan?” Suaranya sangat tenang, nyaris berbisik, tetapi mematikan. Ia tidak menyebut “kerja” atau “kafe”, karena Ronn tahu persis Aerin mengert
“Aerin! Syukurlah kau datang. Aku hampir yakin kau sudah terbang,”Julian menyambut Aerin begitu ia masuk The Old Pages.Tapi Aerin hanya mengangguk gugup—dua kali menoleh ke belakang, seperti memberi kode diam-diam. Julian mengernyit. Tatapan hazelnya mengikuti arah lirikan Aerin… dan langsung menemukan sosok tinggi berwibawa memasuki kafe.Ronn.Aura gelapnya masuk lebih dulu dibanding tubuhnya.Liz langsung berdiri di samping Aerin, tersenyum sarkas.“Oh, hai Dr. Nathaniel. Kita sering sekali bertemu di luar kampus rupanya.” ucapnya sambil mengulurkan tangan.Ronn membalasnya, ia tersenyum tipis.“Kebetulan aktivitas saya berkurang saat libur semester.” ujar Ronn tanpa malu. Liz ingin membalas ucapan pria berusia 43 tahun itu, tapi buru-buru dicegah oleh Julian.Julian—yang memperhatikan tatapan para pelanggan wanita yang kagum melihat Ronn—hanya bisa mendesah dalam hati.‘Kalau dia bertahan di sini satu jam saja, omsetku akan naik.’Julian tersenyum licik. Ia tak bisa menyangkal,
Lorong rumah itu gelap, hanya diterangi lampu dinding yang temaram.Ronn baru saja keluar dari kamar mandi di lantai bawah ketika ia berjalan melewati tangga dan memutuskan berhenti.Ia mendengar suara samar dari lantai atas. Kamar Aerin.Suara yang sangat lembut. Hampir seperti desahan kecil yang terjebak di antara mimpi dan kenyataan.“…Ronn…”Napasnya seketika berubah—lebih dalam, lebih lambat, lebih terkontrol. Ia menunggu. Dan suara itu kembali.Kali ini lebih lirih. Lebih terputus-putus.Seperti suara seseorang yang sedang memohon tanpa sadar.Ronn naik ke lantai dua dengan langkah sangat pelan, hampir tidak membuat suara sama sekali. Ia berhenti tepat di depan pintu kamar Aerin.Tangannya terangkat—bukan untuk membuka pintu, tapi sekadar menyentuh gagangnya.Gagang pintu itu dingin. Berarti Aerin sudah cukup lama berada di kamarnya sejak kejadian wastafel itu. Dan kemungkinan ia sedang tidur.‘Ia mengigau?’ Hatinya terus bertanya-tanya.Ronn menundukkan kepalanya, mendekatkan w
Aerin masih terengah-engah di meja wastafel, pijakan kakinya gemetar, lututnya tidak stabil. Nafasnya patah-patah.‘Pria ini gila!’Ia menjerit dalam hati. Setelah Ronn ‘menyiksanya’ dengan kenikmatan yang sakit, ia dengan mudahnya membalik tubuh Aerin sehingga menghadap cermin. Di cermin, ia melihat dirinya—pipi merah, mata berkabut, bibir digigit bekas ciuman Ronn. Ia sangat berantakan.Ronn berdiri di belakangnya.Tinggi. Gelap. Mendominasi seluruh refleksi Aerin.Jemarinya yang tadi menyelinap lewat kain kini menggenggam pinggang Aerin pelan, seperti ia memegang sesuatu yang rapuh—atau sesuatu yang ia kuasai sepenuhnya.“Aerin.” suara Ronn rendah, menggesek tengkuknya. “Lihat ke depan.”Aerin memalingkan wajah dengan cepat, wajahnya panas, suara tercekat di tenggorokan.“Tidak… aku tak—”Jari Ronn menangkap dagunya. Satu tekanan lembut. Tidak kasar. Tidak memaksa. Tapi cukup membuat tubuh Aerin berhenti melawan.Ia mengarahkan wajah gadis itu menghadap ke cermin.Pelan. Halus.Nam
Aerin masih duduk di kursi gantung, menyendok sisa Indomie-nya dengan canggung. Ronn berdiri di depannya, tubuhnya besar dan gelap di bawah cahaya taman. Kehadirannya saja sudah membuat kursi itu berhenti bergoyang. ‘Kenapa dia harus muncul sekarang?’ ‘Bagaimana kalau Lilith melihatku di sini?’ ‘Aku cuma ingin makan mie dengan tenang…’ Ronn tidak memedulikan Cup Noodle yang masih berasap. Tatapannya mengikuti setiap gerakan kecil Aerin dengan ketelitian yang hampir membuatnya takut. “Lilith pergi,” ujar Ronn, tanpa Aerin bertanya. “Perawatan kulit. Dokternya memprioritaskannya, seperti biasa.” Aerin terangkat sedikit alisnya—heran bagaimana pria itu selalu seperti membaca isi kepalanya. “Oh… selarut ini?” “Orang-orang tertentu,” Ronn duduk di kursi taman, tubuhnya condong sedikit ke depan, “selalu mendapatkan perlakuan khusus.” Aerin menyeruput kuah Indomie, tapi pikirannya melayang pada Rafferty. Kekasihnya itu juga seorang dokter di klinik kecantikan ‘Tapi kalau d
“Lihat siapa yang datang,” ujar Lilith, suaranya tajam. Ia mengamati Aerin dari atas hingga bawah. “Kenapa kau membiarkan dia memakai mantelmu, Rowan? Rambutnya basah, pakaiannya kusut. Dia terlihat… menyedihkan.” Ronn dan Aerin baru saja tiba di rumah. Lilith, yang mengenakan gaun sutra tipis, sudah berdiri di ambang ruang tamu, kedua tangannya terlipat di depan dada . Matanya menatap mantel Ronn yang dikenakan Aerin. Aerin menegang. Ia merasakan tangan Ronn yang memegang siku Aerin sedikit mengencang. “Masuk, Lilith,” Ronn memerintah, suaranya datar dan dingin. Tetapi Lilith tidak bergerak. Ia mengabaikan suaminya, berjalan mendekat. Ia mendongak, menatap Aerin. “Kau sangat menyedihkan, Aerin. Besok sudah liburan, ‘kan?” Lilith menyesap anggurnya, senyumnya menyakitkan. “Daripada kau membuat dirimu sakit di sini dan mengacaukan rumah tangga kami, kenapa kau tidak kembali saja ke Indonesia? Di sana lebih hangat. Dan kau bisa menyembunyikan dirimu sampai semester berikutnya d







