Home / Romansa / Cintai Aku, Pak Dosen! / Chapter 6 : Kencan Pertama dengan Pacar

Share

Chapter 6 : Kencan Pertama dengan Pacar

Author: Ivy Morfeus
last update Last Updated: 2025-10-09 14:47:32

Ronn masih duduk di bangku piano kayu, tangannya tergantung di atas tuts. Aerin sudah keluar dari persembunyiannya dan berdiri di dekat ambang pintu, bersandar pada kusen. Keheningan di antara mereka dipenuhi oleh gema melodi Chopin yang baru saja berhenti.

"Kau tidak suka Chopin, Aerin?" Ronn memecah keheningan, suaranya kembali datar, menutupi kerentanan beberapa saat lalu.

Aerin menghela napas, tangannya memegang erat slip perhiasan di saku roknya. “Aku suka. Papa sering memainkannya,”

Ronn menggeser duduknya, ia mengangguk. “Artinya, kau mahir memainkannya, mau coba?”

“Aku kira, larangan memainkan piano hanya untukku,” ucap Aerin, sedikit menyindir.

“Lilith hanya tidak suka mendengar suara bising. Tapi dia sedang tidak di sini. Dan aku butuh menyegarkan pikiranku.” Ronn membela diri. “Jadi hari ini, Nona Penyanyi, kau bisa sepuasnya memainkan piano malam ini.”

Aerin tersenyum hambar. Lalu menggeleng pelan. “Sayangnya aku tak bisa memainkan piano.”

Ronn menatap Aerin, menerka-nerka apakah ia sedang berbohong. Aerin justru melegang duduk di sofa.

“Padahal Dann sangat pandai memainkan piano. Apa dia tak mengajarimu?” tanya Ronn penasaran. Nadanya sedikit bersemangat karena membuatnya bernostalgia dulu, saat mereka satu kampus, Dann dan Ronn sering bermain piano bersama di rumah orangtua Ronn.

“Beberapa kali. Tapi aku tak minat. Jadi kami hanya melakukan duet, Papa yang memainkan piano, aku bernyanyi,”

“Ide bagus. Kita akan mencobanya. Lagu apa yang ingin kau nyanyikan?” tanya Ronn, jari-jari tangannya sudah berada di atas tuts piano. Tapi Aerin menunduk, terdiam cukup lama. Lalu, ia menoleh ke arah Ronn.

“Aku tak bisa bernyanyi jika sedang lapar.”

***~***

“Pizza?” Ronn mengacungkan sepotong pizza di tangannya dengan wajah penasaran. “Kau benar-benar seorang penyanyi? Bukankah junk food seperti ini tidak disarankan untuk penyanyi?”

‘Aku bukan lagi penyanyi.’ rutuk Aerin dalam hati.

“Lilith ke mana?” tanya Aerin mengalihkan pembicaraan. Ia mengambil gigitan besar di pizza nya.

“Mempersiapkan pameran.” jawab Ronn singkat, seakan tak tertarik dengan topik baru yang disuguhkan oleh Aerin.

‘Jadi hanya ada kita berdua di rumah,’ gumam Aerin dalam hati. Ia perlahan menggeser duduknya hingga menempel ke sandaran tangan sofa. Matanya menyapu seluruh ruangan, waspada kalau saja ada CCTV atau kamera yang memperhatikan mereka. Ia tidak mau dianggap melanggar aturan yang Lilith berikan ataupun membuat skandal dengan dosennya itu.

“Dia melarangku untuk mengganggu karir suaminya, tapi membiarkanku berdua dengannya di rumah ini,” gerutu Aerin, sambil menggigit potongan terakhir pizza.

Ronn yang mendengar gerutuan itu, melirik Aerin. Saat ia akan meresponnya, Aerin bergegas bangkit dari duduknya.

“Aku sudah selesai. Terimakasih untuk pizza nya. Aku mau tidur dulu. Selamat malam,” ucapnya dan segera berjalan menaiki tangga. Tapi baru sampai di tengah tangga, Aerin menoleh.

“Ronn, kapan terakhir kau memberi hadiah untuk Lilith?” tanyanya.

Ronn langsung mengernyit. Rasa tidak suka terlihat di raut wajahnya. “Apa urusanmu dengan itu?”

“Aku sering membaca, salah satu cara terampuh untuk menaklukkan hati istri adalah dengan lebih sering memberi kejutan,” ujar Aerin, “melihat sikap Lilith, sepertinya kau sudah lama tidak memberinya kejutan,”

Ronn terdiam. Ia menarik napas panjang. “Seingatku, terakhir kali Natal tahun lalu.”

“Dan beberapa bulan lagi sudah Natal. Right, kau memang suami yang sangat romantis, Ronn.” sindir Aerin. Ia segera menaiki tangga dengan cepat, bergegas masuk kamarnya.

Saat ia telah menutup pintu kamarnya, ia bersandar ke pintu, lalu menghela napas lega. Diambilnya secarik kertas yang sedari tadi ia simpan di saku roknya.

“Berarti perhiasaan ini bukan dari Ronn,” gumamnya. Lalu ia mendekatkan slip pengiriman itu lebih dekat. Matanya menatap satu persatu kalimat di slip itu. Berharap menemukan sesuatu.

“Ah, ini dia! Ada inisial “R” di nama pengirimnya,” Aerin membolak-balik slip itu, “Hanya “R”?? Kalau bukan Ronn, “R” siapa? Ah, terserah sajalah! Kenapa malah aku memikirkan rumah tangga orang lain.”

Aerin menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Begitu pipinya menempel bantal, kantuk langsung menyergapnya, membuatnya kehilangan kesadaran dalam beberapa detik.

***~***

“Raff!!”

Aerin melambaikan tangannya dengan antusias saat melihat kekasihnya. Aerin buru-buru memasukkan peta kereta bawah tanah yang yang sudah kusut ke tas selempangnya. Tadi pagi, ia memberi tahu Ronn bahwa ia akan mengunjungi Perpustakaan Nasional untuk riset, padahal ia menuju Stasiun Paddington, tempat ia berjanji bertemu Rafferty. Untungnya, Ronn hanya merespons dengan anggukan singkat, tidak menunjukkan minat. Tetapi Aerin tetap waspada, ia tahu ia sedang diawasi.

"Sayang! Ya Tuhan, aku sangat merindukanmu," seru Rafferty, ia berlari mendekat dan segera memeluk Aerin erat-erat.

Aerin membalas pelukan itu. Jantungnya berdebar kencang. "Aku juga, Raf. Kau sudah lama menunggu?"

Aerin menjauhkan diri sedikit, menatap kekasih yang sudah ia rindukan itu lekat-lekat. Tampilan Rafferty sempurna seperti biasa: mantel trench coat mahal, rambut pirangnya tertata rapi, dan senyumnya yang selalu terlihat percaya diri.

“Tidak lama. Tapi satu menit tanpamu terasa seperti sebulan,” balas Rafferty. Ia menyentuh dagu Aerin dan memberinya ciuman panjang, mesra, membuat ribuan kupu-kupu di perutnya bergejolak.

“Kau terlihat pucat, love,” kata Rafferty, menatap Aerin lekat-lekat. “Apa kau baik-baik saja? London freshers' week sepertinya membuatmu stres.”

“Aku baik-baik saja. Hanya jet lag,” Aerin berbohong, memaksakan senyum. Ia tidak bisa menceritakan tentang stalker dan aturan ketat rumah Ronn di pertemuan pertama mereka setelah tak bertemu selama setahun.

"Aku sudah memesan meja di bistro Italia favoritku. Ayo. Aku ingin tahu segalanya tentang Harrowgate dan dosen-dosen gilamu," Rafferty menarik tangan Aerin, memimpinnya keluar stasiun.

***~***

Suasana restoran tidak begitu ramai. Semua tampak cantik dan hangat dengan deretan bunga warna-warni dan interior kayunya.

Rafferty mengambil tangan Aerin dari atas meja, lalu memberikan kecupan-kecupan kecil di punggung tangannya.

"Aku minta maaf soal tidak menjengukmu saat kau di rumah sakit, love," bisik Rafferty. “Kau tahu, sulit untuk menukar jadwal shift. Tapi, kau sudah benar-benar pulih kan?”

Aerin tersenyum kecil. Saat penguntit itu menerornya, ia memang sempat masuk rumah sakit selama beberapa bulan karena trauma psikis juga beberapa luka yang membutuhkan perawatan. Namun, ia tak memberitahu Rafferty jika itu ulah dari penguntit. Ia hanya mengatakan kalau ia terlalu kelelahan dan butuh istirahat lebih lama. Dan beruntungnya, Rafferty mempercayainya.

Tiba-tiba, mata Aerin menangkap kilasan kecil di leher Rafferty, di balik kerah mantelnya yang terangkat. Ada bekas lipstik yang tidak sepenuhnya bersih. Warnanya sangat familiar, warna ungu anggur (wine) yang lembut. Ia seperti pernah melihat warna itu sebelumnya.

‘Lipstick? Milik siapa? Dia tidak mungkin selingkuh dariku ‘kan?’ kata hati Aerin mulai berisik.

Rafferty merasakan Aerin menegang, lalu mengusap lembut punggung tangannya, "Ada apa, sayang?"

Aerin menggeleng, melepaskan tangan Rafferty. Ia mendongak, tatapannya ragu. "Tidak ada. Aku hanya penasaran, hari ini klinik libur?”

Rafferty mengangguk. “Tentu saja. Ini hari Minggu. Jika tidak, mana mungkin aku bisa menemui mu seperti ini? Mmm, mungkin lain kali kita bisa berkencan di klinik. Bagaimana? Kedengerannya mendebarkan kan?”

Rafferty mengecup lagi tangan Aerin, tapi kali ini sedikit menggesekkan bibirnya, menggodanya. Aerin langsung salah tingkah. Pipinya memerah lucu.

“Aku lega kau sekarang di sini, lebih dekat denganku,” ucap Rafferty. Tatapannya intens. Aerin yang semula merasa curiga, kini tertutupi dengan rasa bahagia yang lebih besar.

‘Ah, mungkin aku terlalu berprasangka buruk. Lihat saja sifat manisnya ini, pria setampan dan seromantis dia tidak mungkin mengkhianatiku ‘kan?’

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cintai Aku, Pak Dosen!   Chapter 7 : Tertangkap Basah di Paddington

    Ronn terduduk di bangku kerja, tetapi pikirannya terasa jauh. Meja kayunya terasa dingin, sama seperti suasana rumah tangganya. Mata kuliah yang harus ia persiapkan untuk minggu depan terasa seperti debu; ia hanya bisa memikirkan satu hal: Aerin.|| “Kau memang suami yang sangat romantis, Ronn.” ||Ronn mendengus keras. Ia mengambil gelas air dan meminumnya hingga tandas. “Gadis kecil itu. Apa haknya dia menilai pernikahanku?” geramnya. Sindiran seorang remaja. Sebuah evaluasi tajam tentang kegagalannya dari seorang gadis yang baru ia kenal seminggu."Masalahnya bukan lagi uang, Lilith, atau utang. Masalahnya adalah kendali," Ronn bergumam pada dirinya sendiri, jemarinya mengetuk-ngetuk ponsel.Ia membuka aplikasi location tracking yang terpasang di ponsel Aerin. Titik hijau kecil itu sudah jauh dari rumah. Ronn melihat peta dan segera mengonfirmasi: Aerin tidak berada di Bloomsbury, tempat Perpustakaan Nasional seharusnya berada.Gadis ini berbohong."Perpustakaan Nasional untuk ris

  • Cintai Aku, Pak Dosen!   Chapter 6 : Kencan Pertama dengan Pacar

    Ronn masih duduk di bangku piano kayu, tangannya tergantung di atas tuts. Aerin sudah keluar dari persembunyiannya dan berdiri di dekat ambang pintu, bersandar pada kusen. Keheningan di antara mereka dipenuhi oleh gema melodi Chopin yang baru saja berhenti."Kau tidak suka Chopin, Aerin?" Ronn memecah keheningan, suaranya kembali datar, menutupi kerentanan beberapa saat lalu.Aerin menghela napas, tangannya memegang erat slip perhiasan di saku roknya. “Aku suka. Papa sering memainkannya,”Ronn menggeser duduknya, ia mengangguk. “Artinya, kau mahir memainkannya, mau coba?”“Aku kira, larangan memainkan piano hanya untukku,” ucap Aerin, sedikit menyindir.“Lilith hanya tidak suka mendengar suara bising. Tapi dia sedang tidak di sini. Dan aku butuh menyegarkan pikiranku.” Ronn membela diri. “Jadi hari ini, Nona Penyanyi, kau bisa sepuasnya memainkan piano malam ini.”Aerin tersenyum hambar. Lalu menggeleng pelan. “Sayangnya aku tak bisa memainkan piano.”Ronn menatap Aerin, menerka-nerka

  • Cintai Aku, Pak Dosen!   Chapter 5 : Harga Sebuah Pengkhianatan

    Wajah ramah Kaleb, seketika membuat Aerin menghela napas lega. Entah kenapa dia merasa Kaleb seperti malaikat untuknya, selalu datang saat ia butuhkan.“Aku tidak menyangka kau akan datang ke bagian enrollment yang paling kacau ini,” kata Kaleb, tawanya ringan. “Kau beruntung. Aku ditugaskan di sini hari ini. Kau sudah dapat Student ID?”“Belum. Aku tidak yakin harus ke mana. Antreannya panjang sekali.”“Tentu saja. Ini birokrasi, darling. Ikuti aku. Aku tahu jalur cepatnya. Kau harus mendaftar ke Supervisor Departemen Sastra Inggris dulu.” Kaleb memimpin jalan menembus kerumunan.“Kau sangat menyelamatkanku,” bisik Aerin.“Sudah tugasku. Jadi, Aerin dari mana? Aku tahu logatmu bukan dari sini.”“Aku dari Indonesia, Jakarta.”“Wow. Jauh sekali. Kau tinggal di mana? Halls of Residence atau sewa flat?”“Aku tinggal dengan teman lama Ayahku.” Aerin memilih kata-katanya hati-hati.Kaleb mengangkat alisnya. “Menguntungkan. Itu berarti kau punya koneksi. Kami para senior harus berjuang untu

  • Cintai Aku, Pak Dosen!   Chapter 4 : Aku Tidak Peduli dengan Rumah Tanggamu

    ‘Jadi, sekarang dia memantau lokasiku? Apa dia tahu aku sedang bersama seseorang? Dasar dosen gila!’ rutuk Aerin dalam hati. Senyum Aerin langsung luntur. Rasa dingin menjalar di punggungnya.Baru kemarin dia tiba-tiba di London, tapi sudah beberapa kali dia memaki seseorang di dalam hati. Ini akan jadi kebiasaan buruknya yang baru.Kaleb yang menyadari perubahan itu, tak tahan untuk bertanya. “Ada apa? Kau terlihat seperti baru saja mendapat pesan dari Dr. Nathaniel. Ekspresi wajahmu persis dengan mahasiswa-mahasiswa bimbingannya saat mendapat chat darinya.”Kaleb bermaksud menggoda. Tapi Aerin justru menggeleng panik. “Tidak, bukan. Aku… harus pergi sekarang. Ada urusan mendadak.”“Sekarang? Tapi aku belum selesai menyelesaikan tur kampus kita.” Kaleb tampak bingung.“Maafkan aku, Kaleb. Tapi aku harus segera pulang. Aku baru ingat aku punya janji yang tidak bisa dibatalkan,” Aerin mengambil barang-barang yang sudah ia masukkan ke keranjang. “Sampai jumpa di kampus. Dan terima kasih

  • Cintai Aku, Pak Dosen!   Chapter 3 : Pita Pink di Gerbang Harrowgate

    “Pagi,” sapa Ronn, tanpa antusiasme, saat melihat Aerin muncul dari tangga.“Pagi,” balas Aerin, suaranya pelan. Ia berdiri canggung di dekat pintu dapur.“Mau sarapan? Aku bisa membuatkan toast atau pancake dengan cepat.” Ronn menawari, gesturnya kaku.Aerin menggeleng cepat. “Terima kasih, tapi tidak usah. Aku belum lapar.”Ronn menatap Aerin sebentar, lalu mengangkat bahu. “Baiklah. Tapi pastikan kau tidak melewatkan sarapan, jika kau tidak ingin mendengar ayahmu memakiku. Ada banyak kafe di dekat stasiun tube (kereta bawah tanah).”“Aku akan beli di sana. Aku ingin mencoba porridge pot,” jawab Aerin, suaranya tegas.Ronn mengangguk, melirik Aerin sebentar menatap pakaian yang Aerin gunakan saat ini : sweater lengan tiga per empat berwarna coklat gelap, dipadu dengan rok plisket krem dan sepatu boots setinggi mata kaki, di bahunya tersampir tas kecil dengan warna senada. Ronn menyesap kopinya. “Ide bagus. Mau ke mana?”“Ke kampus,” jawab Aerin, meremas tali tali tasnya. “Aku mau me

  • Cintai Aku, Pak Dosen!   Chapter 2 : Tiga Aturan Sang Istri

    Aerin terkesiap. Kata-kata yang sudah berada di ujung lidahnya, kembali tertelan saat mendengar suara teriakan dari lantai bawah. Itu suara seorang wanita.Suara wanita itu begitu nyaring, memantul tajam dari lantai bawah. Spontan Aerin mundur selangkah. Jantungnya berdegup kencang, bersamaan dengan ketakutan yang langsung menyergap leher Aerin.“Uhuk, uhuk…” Aerin terbatuk, tangannya menyentuh lehernya yang terasa sesak. Sekilas, suara teriakan itu mengingatkannya pada beberapa menit sebelum kejadian ia tercekik di Jakarta, suara penguntit itu.Ronn—atau Rowan—membeku. Matanya yang lelah kini memancarkan kejutan yang cepat ia tutupi. Ia berbalik, rahangnya mengeras.“Tunggu di sini,” bisik Ronn, tak begitu mendengar suara batuk Aerin. Matanya menatap Aerin tajam, seakan memberi tanda bahwa ini adalah perintah.“Tapi… siapa…” Aerin bahkan tidak menyelesaikan kalimatnya, ia terbatuk lagi.“Aku bilang, tunggu di sini.” Tatapannya mengunci mata Aerin, dingin dan memperingatkan.Tanpa me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status