Waktu sudah menunjukkan tengah malam, Ellena yang pingsan sejak pagi tadi baru saja mulai membuka matanya.
Hal yang pertama kali dia lihat adalah ruangan serba putih dengan bau khas obat-obatan yang memenuhi Indra penciumannya.
Mata Ellena mulai berkeliling mengamati ruangan itu, hingga dia menemukan sesosok makhluk tampan yang sedang duduk di sofa dengan menyandarkan kepalanya di sandaran sofa sambil memejamkan matanya.
Berarti bayangan lelaki tampan yang menolongnya tadi dia tidak salah melihat pikirnya. Karena tenggorokannya terasa kering, Ellena mencoba untuk duduk. Namun baru saja mengangkat kepalanya rasa pusing menyerang kepalanya.
"Auwh ...." pekiknya sambil memegang kepalanya.
Suara Ellena yang tidak keras namun dapat mengganggu tidur lelaki tampan itu.
"Apa kau baik-baik saja?" tanyanya dengan wajah yang datar.
Ellena mengangguk, namun kemudian dia mengatakan dengan suara lirih, "Air."
Lelaki itu sigap berdiri lalu mendekat ke arah nakas, dengan wajah yang masih tetap datar, dia menyodorkan gelas berisi air dan sebuah sedotan untuk membantu Ellena minum.
Selesai membasahi tenggorokannya Ellena mengucapkan, " Terima kasih."
"Heem," sahut lelaki itu dan langsung kembali ke sofa tempatnya duduk tadi.
Ellena yang ingin bertanya, mengurungkan niatnya karena merasa canggung melihat wajah datar yang terkesan dingin milik lelaki itu.
Melihat lelaki itu kembali memejamkan matanya, membuat Ellena ikut memejamkan mata, hingga tidak sadar dia ikut terbawa ke alam mimpi.
********
Pagi harinya Ellena terbangun, dia mendapati lelaki semalam sudah tidak ada di dalam ruangannya.
Ellena menghela napas dalam-dalam, rasa sesak yang menyelingkupi hatinya membuatnya menangis, kenapa dia harus mengalami kejadian seperti ini...
Buru-buru dia menghapus air matanya ketika melihat ada perawat yang masuk ke ruang inapnya. Perawat itu menyapanya dengan senyuman ramah.
"Selamat pagi Nona, apa yang Anda rasakan saat ini, Nona?" tanyanya sambil mengecek infus dan memeriksa kondisi Ellena.
"Hanya sedikit pusing dan lemas saja, tapi lebih baik kok dari semalam," jawab Ellena jujur.
"Syukurlah kalau begitu, memang tadi tuan Erwin sempat mengatakan bahwa Anda semalam siuman."
"Tuan Erwin?" ulang Ellena bingung, siapa yang dia maksud, pikirnya.
"Iya Tuan Erwin Ghrisam, lelaki semalam yang menjaga Nona, Anda beruntung sekali ditolong lelaki tampan seperti dia," kekeh sang perawat.
Ellena bingung mau menjawab apa, lalu dengan ragu dia berkata, "Maaf Sus, ini rumah sakitnya bagus sekali, dan saya kenapa ditaruh di ruang VVIP, emm-"
Ellena tampak ragu mengucapkan kalimat selanjutnya, dia kembali mengamati ruangan yang dia duga VVIP ini.
Sang perawat yang melihat keadaan Ellena semalam, mengerti maksud arah pembicaraan Ellena, dengan pelan dia mengatakan, "Nona tenang saja, tidak perlu memikirkan biayanya, karena Tuan Erwin yang menolong Nona adalah kepala pelayan pemilik rumah sakit ini." Tersenyum prihatin sambil mengamati Ellena yang jelas seperti bukan dari kalangan bawah, namun entah apa yang terjadi, semalam Erwin membawanya dengan kondisi memprihatinkan.
"Sepertinya, Nona nanti sore sudah diperbolehkan pulang, tapi tetap menunggu keputusan dari dokter dulu ya ... Saya tinggal memeriksa pasien lain, permisi ...." pamit perawat itu dengan sopan.
Ellena mengangguk, setelah kepergian sang perawat Ellena memandangi langit-langit rumah sakit, pikirannya menerawang jauh, bagaimana nasib dirinya setelah ini?
"Apa aku minta bantuannya saja untuk bisa bekerja di tempat majikannya?!" gumam Ellena.
Lelah karena sibuk memikirkan nasibnya ke depan membuat Ellena kembali mengantuk, hingga akhirnya dia tertidur lagi.
Tidur Ellena terganggu ketika ada seorang dokter yang membangunkannya, "Maaf, saya harus mengganggu tidur Nona, tapi Tuan Erwin meminta saya memeriksa Anda sekarang, agar beliau bisa membawa Anda pulang, karena Tuan Erwin sangat sibuk jadi tidak bisa menemani Anda di rumah sakit lebih lama lagi."
Penjelasan panjang sang dokter membuat Ellena mengangguk, meski dirinya sangat bingung tapi Ellena menahan diri agar tidak bertanya.
Hingga suara seorang lelaki menyita perhatiannya. "Bagaimana?" tanya lelaki itu singkat.
"Keadaan Nona sudah membaik Tuan, Anda boleh membawanya pulang sekarang," jawab dokter itu sopan.
Lalu dokter itu pamit, sedangkan Ellena yang sudah memiliki banyak pertanyaan di otaknya, dia sudah tidak bisa menahannya lagi ketika melihat lelaki itu akan keluar.
"Maaf Tuan, bolehkah saya bertanya?"
Erwin tidak menjawab, namun dia menoleh untuk menanti apa yang ditanyakan Ellena.
Ellena semakin ragu untuk bertanya karena Erwin tidak menjawab silahkan, namun dia harus mengumpulkan keberaniannya untuk bertanya.
"Kalau boleh saya tahu, ini di negara mana Tuan?"
"California," jawab Erwin singkat.
Ellena terkejut, ketika dia akan bertanya lebih lanjut Erwin memotongnya terlebih dahulu.
"Simpan saja pertanyaanmu untuk nanti, aku sekarang sangat sibuk jadi cepat ganti pakaianmu sekarang, aku tunggu di luar." Sudah melangkahkan kakinya, namun tiba-tiba saja berhenti tepat di tengah pintu, setelah itu Erwin menoleh dan bertanya, "Siapa namamu? Dan dari mana kau berasal?"
"Ellena Wilson, saya berasal dari Ekuador."
Setelah mendengar itu Erwin langsung keluar, meninggalkan Ellena yang bingung atas sikapnya.
Setelah mengganti pakaiannya, Ellena keluar dari kamar inapnya, terlihat Erwin yang duduk menunggunya sambil sibuk dengan ponselnya.
Erwin yang melihat Ellena keluar, langsung saja menyuruh untuk mengikuti langkahnya. Mereka berdua berjalan menuju parkiran rumah sakit, Ellena terus mengekor di belakang Erwin hingga menaiki mobil milik Erwin.
*********
Setelah sampai di rumah milik Erwin, Ellena bingung melihat rumah Erwin yang besar dan bisa dikatakan mewah.
"Bukannya perawat tadi bilang dia hanya seorang kepala pelayan, oh iya ... ini mungkin rumah majikannya," gumam Ellena di dalam hati.
Ellena sedikit ngeri melihat pajangan dan perabotan yang tidak lazim di dalam rumah itu, namun dia tetap mengunci mulutnya untuk tidak berani bertanya.
Hingga Ellena mengikuti Erwin menaiki tangga menuju lantai dua, setelah sampai di depan pintu sebuah kamar, Erwin berhenti dan berkata, "Untuk sementara kamu tidurlah di kamar ini, aku ada urusan penting, jika butuh apa-apa kamu minta saja kepada para pelayan di bawah."
Lagi-lagi Ellena hanya mengangguk, setelah kepergian Erwin, Ellena membuka kamar itu, kamar yang cukup besar namun terlalu simpel, hanya ada ranjang berukuran sedang dan sebuah lemari pakaian.
Ellena melangkahkan kakinya memasuki kamar itu, lalu membuka gorden yang masih tertutup itu. "Eh, untung ada kamar mandi di dalam." Setelah ada cahaya yang masuk dari jendela, membuat Ellena bisa melihat dengan jelas isi kamar itu.
Setelah puas menjelajahi kamar itu termasuk melihat isi lemari yang ternyata sudah siap dengan pakaian perempuan, namun membuat Ellena tidak berani mengira bahwa itu adalah pakaian yang memang disiapkan untuknya.
Karena pengaruh dari efek samping obat yang dia minum, membuat Ellena mengantuk lagi meski tadi sudah tidur cukup lama, dan melihat ranjang yang sudah dibersihkan membuat Ellena tidak bisa untuk tidak segera merebahkan tubuhnya, dan dalam sekejap akhirnya dia tertidur lagi.
***
Beberapa hari kemudian...Semenjak kejadian itu, Ellena sering merenung sendirian. Namun, jika ada Erwin di rumah, Ellena menjadi sosok yang seperti biasanya. Sebab, Ellena tidak ingin Erwin melihat dirinya yang sebenarnya masih tertekan atas kejadian di hari itu.Sedangkan Erwin sendiri, ia sangat tahu apa yang dirasakan Ellena saat ini, meskipun Ellena selalu berusaha menutupinya.Namun, Erwin juga tidak akan memaksa Ellena agar mau bercerita kepadanya, Erwin mengerti jika Ellena butuh ruang untuk berdamai dengan batinnya sendiri.Ellena yang sedang melamun di balkon kamarnya, ia tersentak saat tiba-tiba Erwin memeluknya dan berbicara padanya."Sayang, maukah kamu menemaniku pergi ke rumah, Tuan Deffin?" tanya Erwin lembut."Sayang, kamu membuatku terkejut. Sejak kapan kamu pulang?""Sudah dari sepuluh menit yang lalu," sahut Erwin seraya mencium pipi Ellena. "Bagaimana dengan pertanyaanku yang tadi? Maukah kamu menemaniku ke rumah Tuan Deffin?"Ellena tersenyum, ia juga langsung men
Meskipun Erwin menyadari apa yang sedang dilakukan Camelia, Erwin tetap mengabaikannya, seolah-olah nyawanya memang tak berharga."Hei, letakkan pistolmu! Ataukah kau ingin mati juga?" teriak Lucas seraya mengacungkan pistol miliknya ke arah Camelia.Camelia tertawa frustasi. "Dia sudah membunuh Kakak ku, apakah kau pikir dia masih pantas untuk hidup?" Julian sebenarnya bukanlah kakak kandung Camelia. Namun, karena Julian pernah menyelamatkan hidupnya, Camelia menganggapnya sebagai kakak, dan karena Camelia telah melihat Erwin membunuh Julian, semua pandangan Camelia terhadap Erwin telah berubah, termasuk perasaannya. Yang ada kini hanyalah dendam yang membara.Mendengar keributan di sekelilingnya, Ellena sontak mendongakkan kepalanya, ia terkejut ketika melihat Camelia mengacungkan pistol ke arah suaminya. Namun, ia lebih terkejut karena Erwin tidak bereaksi sama sekali, justru Erwin masih asyik memeluknya untuk menenangkannya."Apakah kamu juga mencintainya? Kenapa kamu membiarkan
Maju mati, mundur pun mati. Inilah yang harus dilalui Camelia saat ini. Camelia tidak bisa kabur, ataupun bisa bunuh diri dengan mudah. Hari ini ia harus menjalankan semua rencana yang sudah ia dan laki-laki misterius itu susun sebelumnya.Sedangkan di seberang sana, lelaki itu tidak curiga sama sekali, jika rencana mereka dipercepat. Sebab, ia memang pernah mendengar, bahwa Camelia telah jatuh cinta dengan Erwin. Jadi, lelaki itu berpikir bukanlah masalah, karena baginya yang penting adalah ia bisa mendapatkan Ellena, dan akan lebih baik jika Ellena bisa membenci Erwin, karena Erwin telah menyelingkuhinya.Semuanya begitu lancar, seolah pagi ini memang tidak ada kejadian yang aneh. Ellena dan Erwin bisa menikmati sarapan seperti biasanya, setelah tadi Ellena membantu Camelia memandikan Erlena.Jadi, pada waktu sarapan hingga sesudahnya, Ellena sudah tidak mengurus Erlena, sebab Camelia akan mengasuh Erlena hingga Erlena tertidur, baru setelah Erlena nanti bangun, Ellena akan membantu
Camelia baru saja membaringkan Erlena yang tertidur ke dalam boks bayi, lalu kemudian sejenak ia melihat jam yang menggantung di dinding."Lima menit lagi, syukurlah aku masih punya waktu untuk bersiap," ujar Camelia seraya mengambil sisir dan kemudian dengan cepat menyisir rambutnya.Tidak lupa, ia semprotkan parfum dengan wangi yang menggoda, lalu kemudian mengambil lipstiknya yang berwarna merah menyala dan dioleskannya ke bibir tebalnya.Untung saja malam ini Erlena bisa diajak bekerja sama, ia sudah terbangun dan selesai menyusu dengan asi yang sudah diletakkan ke dalam botol, tepat sebelum tengah malam tiba. Padahal biasanya bayi itu terbangun ketika tepat tengah malam. Jadi itu artinya, malam ini Camelia bisa menemani Erwin dengan tenang.Camelia sekali lagi mematut dirinya di depan cermin, memastikan penampilannya sudah sempurna, dengan lingerie berwarna merah yang melekat ditubuhnya, Camelia sangat yakin bahwa malam ini ia bisa memuaskan Erwin di atas ranjang.Namun, Camelia
Ada yang retak, tapi bukan kaca. Kata-kata itu sedang menggambarkan perasaan Ellena pada saat ini. Selebihnya Ellena sudah tidak bisa mendengar lagi apa yang dikatakan oleh Wendy. Dalam benak Ellena, hanya berputar pernyataan, 'Tuan Erwin mengizinkan Camelia masuk ke dalam ruang kerjanya'.Sebenarnya itu hanyalah kalimat biasa, namun itu sudah seperti petir yang menggelegar di telinga Ellena.Padahal semua orang tahu bahwa tidak ada yang boleh masuk ke dalam ruang kerja Erwin, kecuali Erwin dan Lucas, dan juga Ellena tentunya. Namun, Ellena juga tidak bisa bebas keluar masuk. Bahkan Wendy pun juga harus mengantarkan kopi milik Erwin, hanya sampai di depan pintu ruangannya saja. Tapi, kenapa sekarang Erwin memperbolehkan Camelia masuk ke dalam ruang kerjanya Erwin?"Nyonya!" Wendy refleks mendekat ketika melihat Ellena terduduk lemas di atas sofa di dalam kamarnya, seraya memegangi dadanya yang berdenyut nyeri.Melihat Wendy cemas, Ellena memaksakan senyumnya. "Tidak apa-apa, Wendy.
Satu bulan kemudian..."Ellena ...." Ellena menolehkan kepalanya ke kiri, ketika ia mendengar suara Elma memanggilnya, dan benar saja, Elma sedang memanggilnya seraya melambaikan tangannya.Namun, bukan hanya Elma saja yang sedang berdiri di sana, ada Azkia, Jessie, beserta anak-anak mereka dan para pengasuhnya. Dan, tidak lupa juga dengan para pengawal yang selalu setia di belakang mereka, apalagi jika bukan karena perintah dari para suami posesif mereka, yaitu untuk menjaga keluarga tercinta mereka dari mara bahaya, terutama dari para lelaki yang tidak bisa menjaga matanya."Pagi, Nona Azkia, Kak Elma, Kak Jessie. Maaf kami terlambat," ujar Ellena yang tampak tidak enak. Jika saja pagi tadi Erwin tidak mengganggunya, Ellena tidak akan terlambat seperti ini."Tidak apa-apa, Ellena. Kita juga baru saja sampai," sahut Azkia seraya menepuk-nepuk pundak Ellena pelan."Hanya kamu dan Elma saja yang juga baru datang, sedangkan aku sudah tiba sejak lima belas menit yang lalu," sungut Jessi