LOGINPagi itu terasa berbeda. Helena terbangun dengan ragu, seakan enggan membuka mata sepenuhnya. Malu, canggung, sekaligus takut dengan apa yang baru saja dilaluinya. Deru napas yang semalam begitu dekat, masih terngiang samar di telinganya. Ia menatap langit-langit kamar, jantungnya berdegup begitu kencang hingga hampir menyakitkan.
Jantungku... berdebar... batinnya lirih, lalu matanya tertumbuk pada nakas di samping tempat tidur. Di sana, segelas air putih terletak rapi, disertai sebuah tablet kecil berwarna putih. Dari kejauhan saja ia sudah tahu itu obat. Namun yang lebih menarik perhatiannya adalah secarik kertas kecil di atasnya.
"Minum obat itu. Segera sarapan. Nanti malam kita bicara."
Tulisan singkat, dengan tinta hitam. Dingin. Penuh nada perintah. Helena bahkan tak perlu menebak siapa penulisnya. Siapa lagi kalau bukan Rivano Mahesa? Lelaki itu tak pernah tahu cara menulis kata manis, hanya kata kerja dan larangan, seolah hidupnya memang ditulis dengan aturan.
Tanpa banyak pikir, Helena meraih obat itu dan meneguknya dengan air. Saat ia merenggangkan tubuh, tubuhnya langsung memberi peringatan—nyeri samar merayap di beberapa titik, mengingatkannya pada malam sebelumnya.
Perlahan ia menggeser tubuhnya, menarik selimut lebih rapat menutupi dirinya. Bayangan semalam kembali menghantam: Rivano yang setelah selesai dengan penyatuannya, pergi begitu saja, meninggalkannya telanjang tanpa sepatah kata pun.
Saat selimut itu ia tarik lebih dalam, matanya membeku. Di sprei putih, terlihat serabut merah samar—noda tipis yang membuat jantungnya berdegup kencang.
"Ya Tuhan... apa ini?" serunya panik, suaranya tercekat.
Dengan tangan gemetar, Helena memeriksa tubuhnya, mencari-cari luka yang mungkin terlewat. Tapi tak ada goresan terbuka. Yang ada hanyalah rasa sakit yang masih menusuk, dan bayangan malam yang baru saja dilalui.
Pikirannya langsung melayang ke satu kemungkinan. Pandangannya tertuju pada selimut yang terjatuh di lantai, lalu perlahan ia menyentuh bagian tubuhnya yang masih nyeri.
"Jangan - jangan ini darah... itu ?" bisiknya lirih malu untuk mengatakan itu sebagai jejak pertama
Ketegangan di tubuhnya perlahan mengendur. Ia mencoba menenangkan diri, berkali-kali mengulang dalam hati: Ini normal... Apa yang terjadi semalam normal dilakukan oleh suami istri.
Namun tetap saja, sesuatu mengganjal di benaknya.
Rivano... tidak KDRT, kan? tanyanya dalam hati, ragu. Ingatan kembali membayangi: bagaimana Rivano mendorong tubuhnya dengan kasar, menundukkannya, memperlakukannya tanpa kompromi.
"Pusing sekali kepalaku rasanya.." keluhnya, sembari menekan pelipis. Potongan demi potongan ingatan muncul—rambutnya yang ditarik paksa, gigitan di bahunya, dan suara erangannya sendiri yang malu-malu terlempar ke udara.
Ia menutup wajah dengan kedua tangan, merasa malu sekaligus ngeri pada dirinya sendiri.
"Apa maksud laki-laki itu?" gumamnya lirih, menatap sprei yang ternoda semburat merah samar, bukti bisu malam yang baru saja berlalu. Helena mencoba menepis pikiran -pikiran buruknya.
Helena terhuyung masuk ke kamar mandi, tubuhnya masih terasa mengganjal, seolah ada sesuatu yang tertinggal di dalam dirinya. Ia sibuk meraba miliknya " Tidak ada apa - apa kok, tapi kenapa ini seperti ada sesuatu yang tertinggal." Helena tampak gelisah dengan pengalaman pertamanya. Setiap gerakan membuatnya teringat sensasi semalam, sesuatu yang masih "mengganjal" dan membuat dadanya berdesir tak menentu.
Pipinya memerah, tubuhnya sedikit menunduk, tangan gemetar saat memegang gagang pintu kamar mandi. Rasa aneh itu—campuran sakit, geli, dan kepemilikan Rivano—membuatnya tak bisa menahan tawa kecil yang terdengar lebih seperti desah malu.
"Aah... Riv..." suaranya terdengar manja. Ia mengigit jari telunjuknya dengan setengah tersenyum.
Tubuhnya bergetar, dadanya berdesir di setiap ia menarik napas. Sensasi itu masih ada, menyisakan jejak yang membuatnya seakan benar-benar di miliki seseorang.
Ia merasakan bahagia. aku termiliki, aku punya suami, aku akan di cintai. seperti itulah batin - batinya berucap.
Dengan langkah kecil, ia memasuki kamar mandi, kaki gemetar menapak lantai dingin. Tangannya memegang wastafel untuk menopang tubuhnya. Helena menatap pantulan dirinya di cermin, dan seketika seluruh tubuhnya terasa tegang. Rambutnya kusut, wajahnya pucat, pipinya memerah sendiri saat matanya tertumbuk pada bekas gigitan di bahu. Bibirnya yang memerah pun terlihat jelas akibat ciuman kasar semalam.
Ia menelan ludah, napasnya tersengal, jantungnya berdetak kencang. Perlahan, dengan tangan gemetar, ia menanggalkan selimut dari tubuhnya dan menjatuhkannya ke lantai. Pandangannya kemudian terbuka lebar—seluruh tubuhnya dipenuhi memar, guratan merah yang samar, dan jejak-jejak kepemilikan yang membentang dari leher hingga dada.
Ia meraih lehernya, terlihat berbecak merah. bayangan Rivano sekilas datang, saat Rivano mencengkram erat lehernya, saat Ji Hoo meninggalkan gigitan di bahunya , saat ia menggerang di barengi pelepasannya. saat dia.....
"Cukup.... cukup!" Seru Helena berteriak pada dirinya sendiri.
"Kenapa sampai begini...?" gumamnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar. Tangan gemetar menutup wajahnya sebentar, mencoba menahan perasaan campur aduk yang sulit dijelaskan.
Rasa kecewa menyergap hatinya, ringan tapi menusuk. Apa maksud semua luka ini? Apakah Rivano terlalu bernapsu... atau karna dia kesal? gumamnya dalam hati.
"Kurasa ini... hanya karena Rivano sedang marah saja. wajar ini hanya salah paham. Ia pikir aku tidur dengan lelaki lain. ya wajar saja," lanjutnya, berusaha memberi alasan.
Tapi keraguan segera muncul. Tidak... tidak mungkin. Rivano bukan pria kasar. Dia hanya cuek, dingin... tapi bukan seperti ini.
Matanya menatap sendiri di cermin, menelusuri setiap memar dan jejak kepemilikan yang tersisa. Tubuhnya terasa asing, seolah menuntut jawaban yang tak bisa ia berikan.
Lalu sebuah pertanyaan menghantam pikirannya, membuatnya tersentak. Tapi... kalau dia memang kasar?
Ia menunduk lebih dalam, menatap matanya sendiri di cermin. "Aku tak perduli jika memang dia kasar. Kasar bisa berubah. Semua orang punya kesempatan, aku pun banyak kekurangnnya. Tapi kurasa Rivano bukan kasar dia hanya sedang marah saja. dia......." Helena terdiam dia tak lagi menemukan pembelaan pembelaan yang lebih tepat lagi untuk membenarkan setiap pemikirannya.
Malam itu telah mengubah segalanya.
Saat ia keluar dari kamar, aroma harum dari dapur menyambutnya. Langkahnya terhenti ketika melihat meja makan di ruang tengah sudah dipenuhi berbagai hidangan hangat: bubur ayam, sup tahu, roti panggang, bahkan potongan buah yang tertata rapi dalam mangkuk kristal.
"Siapa yang menyiapkan semua ini...? Rivano?" gumamnya pelan, masih heran.
Belum sempat ia mendekat, seorang wanita paruh baya muncul dari arah dapur. Ia tersenyum ramah sambil mengatupkan tangan di depan tubuhnya.
"Pagi, Nona. Saya Bibi Imah. Tuan Rivano meminta saya membantu mengurus rumah ini, termasuk menyiapkan makanan dan segala keperluan Nona," ucapnya lembut. "Kalau Nona butuh apa pun, tinggal bilang saja, ya."
Rivano biasanya tak pernah membiarkan seorang pelayan tinggal lama di rumahnya. Biasanya, jika ada yang datang, mereka segera pergi. Dan kini tiba-tiba ada seorang pelayan baru, wajah khas yang di miliki orang jawa, datang untuk mengurus keperluan Helena.
"Ah... iya, Bibi. Terima kasih banyak," jawab Helena canggung. Aneh sekali, Rivano... kenapa tiba-tiba ada pelayan baru? batinnya.
"Oia, Bibi, apakah Rivano masih di rumah?"
"Tuan sudah pergi sejak subuh. Bukannya tadi beliau sempat ke kamar Nona sebelum berangkat? Beliau tampaknya... sangat mengkhawatirkan Nona."
Tubuh Helena langsung menegang.
Ke kamarku...? pikirnya.
Mata hatinya belum bisa percaya. Rivano—pria sedingin batu, yang bahkan enggan menyentuh tangannya—datang diam-diam hanya untuk memastikan keadaannya?
"Apa gunung es itu... mencair?" bisiknya nyaris tak terdengar, seolah tak berani berharap.
"Harusnya saya mulai bekerja dua hari ke depan. Tapi tiba-tiba Tuan menelpon minta saya segera datang," jelas Bibi Imah.
"Oh begitu, Bibi... bibi sendiri tinggal di mana? Sepertinya baru sampai sini ya?."
"Iya Non. Kebetulan Bibi didatangkan langsung dari Indonesia. Memang, Bibi sudah tiba di sini dua hari lalu, tapi tadinya Bibi minta untuk beristirahat dulu. Namun tadi malam, Tuan terlihat panik saat menelpon dan meminta Bibi segera datang," tutur Bibi Imah dengan nada tenang.
Wanita paruh baya itu terlihat sangat ramah, dan jelas memiliki kedekatan dengan Rivano. Mendengar bahwa Rivano menelponnya secara langsung, Helena menyadari bahwa hubungan mereka pasti sudah terjalin cukup lama. Bagaimanapun, Rivano bukan tipe pria yang mudah menghubungi seseorang secara pribadi. Bahkan dengan wanita yang sudah dinikahinya, Rivano tak pernah menelpon atau sekadar mengirim pesan.
"Apakah Nona sedang sakit?" tanyanya kembali, menatap wajah Helena yang terlihat pucat.
Helena menggeleng.
"Baiklah, Nona. Sebaiknya sarapan dulu, saya akan membereskan kamar Nona," kata Bibi.
"Bibi... tunggu. mau ke mana...?" tanyanya cepat.
"Membersihkan kamar Nona, tentu saja."
Helena menahan napas. Seketika kepalanya memutar ulang kondisi ranjang tadi—seprai kusut, bantal berhamburan, dan... noda darah itu.
Aduh! Spreinya...! Bagaimana kalau Bibi melihatnya?! batinnya panik.
“Jangan Bi..”
"Lho, kenapa, Nona? Apa Bibi tidak boleh masuk?" tanya Bibi Imah, menatap Helena yang terlihat gugup.
"Bukan—bukan begitu, Bi... hanya saja..."
"Hanya apa?" Bibi Imah mengernyit, heran melihat Helena gelisah. "Kalau kamar Nona berantakkan, itu hal biasa. Tidak usah malu." Bibi Imah melangkah memasuki kamar dengan tenang, tetap tersenyum ramah.
Helena menghela napas, berusaha menenangkan diri. Ia mengangguk kecil. Ah, sudahlah... itu hanya noda kecil, tidak akan terlihat. Dicuci juga hilang, batinnya menenangkan diri.
Di sisi lain, saat Bi Imah memasuki kamar.
Kamar itu bagai kapal pecah.
Matanya langsung tertuju pada semburat merah yang di khawatirkan oleh Helena sejak tadi. Melihat itu ia langsung menelusuri seluruh kamar yang berantakkan: selimut jatuh ke lantai, sprei kusut, dan di tiang ranjang tergantung kemeja hitam serta ikat pinggang milik Tuan Rivano.
"Ah... anak muda ini... membuatku bernostalgia saja," gumam Bibi Imah sampai pipinya memerah, tertawa kecil, dan meraih ikat pinggang itu. Suara tertawanya terdengar ringan, tapi pikirannya jelas dipenuhi bayangan nakal.
"Jadi ini alasan Tuan menyuruhku datang pagi-pagi," lanjutnya sambil menggelengkan kepala. "Tapi... bukankah mereka sudah menikah setahun? Kenapa baru melakukan malam pertama sekarang?" Bibi Imah mengerutkan kening, rasa ingin tahunya jelas, tapi tangannya tetap sibuk membereskan kamar dengan cekatan.
"Sebaiknya ku simpan dulu sprei ini, Siapa tahu ini yang di maksud Tuan Ji Hoo periksa."
Pikiran Bibi Imah melayang sejenak, kembali ke pagi buta tadi, saat ia baru saja memasuki penthouse. perintah Tuannya terdengar tegas.
"Bi, tolong urus semua keperluan Helena. Periksa keadaannya. Kalau dia mencoba keluar dari penthouse, laporkan pada saya segera."
"Baik, Tuan," jawab Bibi Imah tanpa ragu, nada suaranya patuh sekaligus ramah.
Perlu diketahui, meski Rivano terlihat amat dingin, tanpa disadari ia selalu memberi ruang bagi Helena. Selama ini, Helena menempati kamar utama yang luas, berbeda jauh dari kamar Rivano yang lebih kecil. Entah di penthouse New York maupun di Jakarta, kamar Helena selalu lebih besar, dengan penataan yang sesuai selera wanitanya sendiri.
Seolah sebuah perhatian yang terselubung, Rivano memberi ruang baginya—kasat mata, namun terasa nyata. Dalam diam, pria itu menunjukkan caranya peduli lewat tindakan, bukan kata-kata, meski Helena belum sepenuhnya menyadarinya.
Sesampainya Helena kembali di Indonesia, ia menatap hamparan langit negeri itu yang tampak sesendu dulu. Udaranya masih sama dengan segala hiruk pikuknya.“Apa sebaiknya kita pulang dulu dan beristirahat? Aku khawatir dengan kandunganmu. Sebelas jam perjalanan pasti membuatmu lelah, juga bayi di dalam perutmu,” ucap Adrian lembut, menatapnya penuh perhatian.“Aku ingin menemuinya. Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja,” jawab Helena, suaranya lirih namun tegas.“Baiklah, kalau itu keinginanmu,” ujar Adrian seraya membuka pintu mobil.Mereka sudah dijemput oleh sopir pribadi Adrian di bandara. Namun, Adrian meminta kunci mobil itu.
Sudah empat bulan sejak kepergian Helena. Empat bulan panjang yang menghapus warna dari dunia Rivano. Ia kembali ke Indonesia dengan harapan yang nyaris gila—bahwa mungkin, hanya mungkin, bayangan Helena masih berkelana di udara Jakarta yang dingin.Namun kenyataan jauh lebih kejam dari itu. Yang tersisa hanyalah dirinya sendiri—patah, kosong, dan hancur perlahan.Setiap malam, Rivano menenggelamkan diri dalam alkohol. Botol-botol menumpuk di lantai seperti saksi bisu kehancurannya.
Sekejap, lampu kamar menyala terang. Helena membeku di ambang pintu. “Kalian…” ucapnya dengan suara gemetar, melihat Rivano berada di bawah selimut—seoraang wanita di dalam pelukannya.Wanita itu terlonjak, panik. “Maaf… bagaimana kamu bisa di sini?” Ia buru-buru meraih pakaiannya. Rivano, masih mabuk, menyipit karena silau. “Sayang… ada apa? Kenapa dinyalakan lampunya? Terang sekali,” gerutunya sambil mengusap mata, belum sadar siapa yang berdiri di sana.“Jadi… ini caramu membalasku?” suara Helena pecah. “Setidaknya… tunggu aku pergi dulu.”
Baskara kembali menjejakkan kaki di Jepang setelah beberapa minggu menghilang. Ia kembali menginap di lantai yang sama dengan Helena. Dengan santai, ia mengirimkan pesan singkat untuk seseorang.Pesan di kirim : Aku sudah mentransfer sejumlah uang kepadamu. Lakukan malam inipesan di terima : Iya, akan kulakukan Sore itu, ia belum memberitahukan kedatangannya kepada Helena. Baskara memilih untuk merahasiakannya. Sebaliknya, ia menghubungi Rivano.“Aku ingin bertemu denganmu malam ini, di parkiran hotelmu,” tulis Baskara. “Aku tidak ada urusan denganmu!!” balas Rivano singkat. “Ini akan menjadi urusanmu. Karena aku sudah melamar Helena. Sebagai laki-laki, aku perlu bertemu denganmu sebelum aku dan dia menikah. Tapi jika kau merasa sudah tak mengurusnya, aku akan membawanya pergi sekarang.” Baskara mengirim pesan “Bangsat! Aku akan datang membunuhmu!” balas Rivano “Jam delapan malam. Aku tunggu di sana,” balas Baskara tenang.Di sisi lain, Helena tengah mengemasi barang-barangnya d
Sudah dua minggu ini Rivano menjadi lebih pendiam. Ia lebih sering menghabiskan waktu di luar, atau mengurung diri di ruang kerjanya. Kadang, perempuan itu menemukannya tertidur di depan meja kerja — kepala bersandar di tumpukan kertas, wajah lelah tertutup bayang cahaya lampu meja.“Sayang, kenapa tidur di sini? Kenapa tidakk di kamar aja?” tanyanya pelan, suara bergetar di ujung nada.Rivano tersentak, terbangun. Ia mengusap wajahnya perlahan, lalu menatap layar laptop yang baru saja menyala.“Hmm… aku masih ada pekerjaan. Kamu tidurlah dulu,” jawabnya datar tanpa menatap.Reaksi dingin itu membuatnya makin yakin — Rivano sedang menghindarinya.“Kamu tidak sedang menghindariku, kan?” tanyanya pelan, mencoba tersenyum.Namun Rivano tetap diam. Hanya suara jari-jarinya di keyboard yang terdengar.“Riv…” panggilnya lagi, mencoba menyentuh tangan pria itu.“Aku lagi kerja,” balas Rivano tanpa menoleh.“Lihat aku. Aku lagi bicara sama kamu,” desaknya. Tangannya kini meraih wajah Rivano,
Pagi itu, ia terbangun karena rasa mual yang menusuk ulu hatinya. Dada terasa sesak, tubuhnya lemas seakan seluruh tenaga tersedot habis. Dengan mata yang masih berat, ia mencoba bangkit dari ranjang—namun gerakannya tertahan oleh sesuatu yang melingkar hangat di pinggangnya.Tangan Rivano.Baru ia sadar, semalaman pria itu memeluknya erat, mungkin untuk memastikan tubuhnya tetap hangat. Apa tangannya nggak mati rasa, ya? batinnya, menatap tangan Rivano yang terhimpit tubuhnya.Perlahan, ia berusaha melepaskan pelukan itu. Namun baru saja tangannya bergerak, Rivano langsung tersadar.“Kenapa, sayang? Masih demam?” suaranya lembut, sedikit serak. Ia segera menyentuh kening pasangannya dengan telapak tangan hangat.“Aku mual…” ucapnya cepat, lalu berlari ke arah kamar mandi.Begitu sampai di wastafel, tubuhnya membungkuk, memuntahkan cairan bening. Tak ada makanan yang keluar—memang sejak kemarin nafsu makannya berkurang.“Sayang, kamu kayaknya makin parah,” ujar Rivano panik. Ia mengham







