Beranda / Rumah Tangga / Cintai Aku / 7. Semburat merah

Share

7. Semburat merah

Penulis: biancaveana
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-16 13:28:40

Pagi itu terasa berbeda. Helena terbangun dengan ragu, seakan enggan membuka mata sepenuhnya. Malu, canggung, sekaligus takut dengan apa yang baru saja dilaluinya. Deru napas yang semalam begitu dekat, masih terngiang samar di telinganya. Ia menatap langit-langit kamar, jantungnya berdegup begitu kencang hingga hampir menyakitkan.

Jantungku... berdebar... batinnya lirih, lalu matanya tertumbuk pada nakas di samping tempat tidur. Di sana, segelas air putih terletak rapi, disertai sebuah tablet kecil berwarna putih. Dari kejauhan saja ia sudah tahu itu obat. Namun yang lebih menarik perhatiannya adalah secarik kertas kecil di atasnya.

"Minum obat itu. Segera sarapan. Nanti malam kita bicara."

Tulisan singkat, dengan tinta hitam. Dingin. Penuh nada perintah. Helena bahkan tak perlu menebak siapa penulisnya. Siapa lagi kalau bukan Rivano Mahesa? Lelaki itu tak pernah tahu cara menulis kata manis, hanya kata kerja dan larangan, seolah hidupnya memang ditulis dengan aturan.

Tanpa banyak pikir, Helena meraih obat itu dan meneguknya dengan air. Saat ia merenggangkan tubuh, tubuhnya langsung memberi peringatan—nyeri samar merayap di beberapa titik, mengingatkannya pada malam sebelumnya.

Perlahan ia menggeser tubuhnya, menarik selimut lebih rapat menutupi dirinya. Bayangan semalam kembali menghantam: Rivano yang setelah selesai dengan penyatuannya, pergi begitu saja, meninggalkannya telanjang tanpa sepatah kata pun.

Saat selimut itu ia tarik lebih dalam, matanya membeku. Di sprei putih, terlihat serabut merah samar—noda tipis yang membuat jantungnya berdegup kencang.

"Ya Tuhan... apa ini?" serunya panik, suaranya tercekat.

Dengan tangan gemetar, Helena memeriksa tubuhnya, mencari-cari luka yang mungkin terlewat. Tapi tak ada goresan terbuka. Yang ada hanyalah rasa sakit yang masih menusuk, dan bayangan malam yang baru saja dilalui.

Pikirannya langsung melayang ke satu kemungkinan. Pandangannya tertuju pada selimut yang terjatuh di lantai, lalu perlahan ia menyentuh bagian tubuhnya yang masih nyeri.

"Jangan - jangan ini darah... itu ?" bisiknya lirih malu untuk mengatakan itu sebagai  jejak pertama

Ketegangan di tubuhnya perlahan mengendur. Ia mencoba menenangkan diri, berkali-kali mengulang dalam hati: Ini normal... Apa yang terjadi semalam normal dilakukan oleh suami istri.

Namun tetap saja, sesuatu mengganjal di benaknya.

Rivano... tidak KDRT, kan? tanyanya dalam hati, ragu. Ingatan kembali membayangi: bagaimana Rivano mendorong tubuhnya dengan kasar, menundukkannya, memperlakukannya tanpa kompromi.

"Pusing sekali kepalaku rasanya.." keluhnya, sembari menekan pelipis. Potongan demi potongan ingatan muncul—rambutnya yang ditarik paksa, gigitan di bahunya, dan suara erangannya sendiri yang malu-malu terlempar ke udara.

Ia menutup wajah dengan kedua tangan, merasa malu sekaligus ngeri pada dirinya sendiri.

"Apa maksud laki-laki itu?" gumamnya lirih, menatap sprei yang ternoda semburat merah samar, bukti bisu malam yang baru saja berlalu. Helena mencoba menepis pikiran -pikiran buruknya.

Helena terhuyung masuk ke kamar mandi, tubuhnya masih terasa mengganjal, seolah ada sesuatu yang tertinggal di dalam dirinya. Ia sibuk meraba miliknya " Tidak ada apa - apa kok, tapi kenapa ini seperti ada sesuatu yang tertinggal." Helena tampak gelisah dengan pengalaman pertamanya. Setiap gerakan membuatnya teringat sensasi semalam, sesuatu yang masih "mengganjal" dan membuat dadanya berdesir tak menentu.

Pipinya memerah, tubuhnya sedikit menunduk, tangan gemetar saat memegang gagang pintu kamar mandi. Rasa aneh itu—campuran sakit, geli, dan kepemilikan Rivano—membuatnya tak bisa menahan tawa kecil yang terdengar lebih seperti desah malu.

"Aah... Riv..." suaranya terdengar manja. Ia mengigit jari telunjuknya dengan setengah tersenyum.

Tubuhnya bergetar, dadanya berdesir di setiap ia menarik napas. Sensasi itu masih ada, menyisakan jejak yang membuatnya seakan benar-benar di miliki seseorang.

Ia merasakan bahagia. aku termiliki, aku punya suami, aku akan di cintai. seperti itulah batin - batinya berucap.

Dengan langkah kecil, ia memasuki kamar mandi, kaki gemetar menapak lantai dingin. Tangannya memegang wastafel untuk menopang tubuhnya. Helena menatap pantulan dirinya di cermin, dan seketika seluruh tubuhnya terasa tegang. Rambutnya kusut, wajahnya pucat, pipinya memerah sendiri saat matanya tertumbuk pada bekas gigitan di bahu. Bibirnya yang memerah pun terlihat jelas akibat ciuman kasar semalam.

Ia menelan ludah, napasnya tersengal, jantungnya berdetak kencang. Perlahan, dengan tangan gemetar, ia menanggalkan selimut dari tubuhnya dan menjatuhkannya ke lantai. Pandangannya kemudian terbuka lebar—seluruh tubuhnya dipenuhi memar, guratan merah yang samar, dan jejak-jejak kepemilikan yang membentang dari leher hingga dada.

Ia meraih lehernya, terlihat berbecak merah. bayangan Rivano sekilas datang, saat Rivano mencengkram erat lehernya, saat Ji Hoo meninggalkan gigitan di bahunya , saat ia menggerang di barengi pelepasannya. saat dia.....

"Cukup.... cukup!" Seru Helena berteriak pada dirinya sendiri.

"Kenapa sampai begini...?" gumamnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar. Tangan gemetar menutup wajahnya sebentar, mencoba menahan perasaan campur aduk yang sulit dijelaskan.

Rasa kecewa menyergap hatinya, ringan tapi menusuk. Apa maksud semua luka ini? Apakah Rivano terlalu bernapsu... atau karna dia kesal? gumamnya dalam hati.

"Kurasa ini... hanya karena Rivano sedang marah saja. wajar ini hanya salah paham. Ia pikir aku tidur dengan lelaki lain. ya wajar saja," lanjutnya, berusaha memberi alasan.

Tapi keraguan segera muncul. Tidak... tidak mungkin. Rivano bukan pria kasar. Dia hanya cuek, dingin... tapi bukan seperti ini.

Matanya menatap sendiri di cermin, menelusuri setiap memar dan jejak kepemilikan yang tersisa. Tubuhnya terasa asing, seolah menuntut jawaban yang tak bisa ia berikan.

Lalu sebuah pertanyaan menghantam pikirannya, membuatnya tersentak. Tapi... kalau dia memang kasar?

Ia menunduk lebih dalam, menatap matanya sendiri di cermin. "Aku tak perduli jika memang dia kasar. Kasar bisa berubah. Semua orang punya kesempatan, aku pun banyak kekurangnnya. Tapi kurasa Rivano bukan kasar dia hanya sedang marah saja. dia......." Helena terdiam dia tak lagi menemukan pembelaan pembelaan yang lebih tepat lagi  untuk membenarkan setiap pemikirannya.

Malam itu telah mengubah segalanya.

Saat ia keluar dari kamar, aroma harum dari dapur menyambutnya. Langkahnya terhenti ketika melihat meja makan di ruang tengah sudah dipenuhi berbagai hidangan hangat: bubur ayam, sup tahu, roti panggang, bahkan potongan buah yang tertata rapi dalam mangkuk kristal.

"Siapa yang menyiapkan semua ini...? Rivano?" gumamnya pelan, masih heran.

Belum sempat ia mendekat, seorang wanita paruh baya muncul dari arah dapur. Ia tersenyum ramah sambil mengatupkan tangan di depan tubuhnya.

"Pagi, Nona. Saya Bibi Imah. Tuan Rivano meminta saya membantu mengurus rumah ini, termasuk menyiapkan makanan dan segala keperluan Nona," ucapnya lembut. "Kalau Nona butuh apa pun, tinggal bilang saja, ya."

Rivano biasanya tak pernah membiarkan seorang pelayan tinggal lama di rumahnya. Biasanya, jika ada yang datang, mereka segera pergi. Dan kini tiba-tiba ada seorang pelayan baru, wajah khas yang di miliki orang jawa, datang untuk mengurus keperluan Helena.

"Ah... iya, Bibi. Terima kasih banyak," jawab Helena canggung. Aneh sekali, Rivano... kenapa tiba-tiba ada pelayan baru? batinnya.

"Oia, Bibi, apakah Rivano masih di rumah?"

"Tuan sudah pergi sejak subuh. Bukannya tadi beliau sempat ke kamar Nona sebelum berangkat? Beliau tampaknya... sangat mengkhawatirkan Nona."

Tubuh Helena langsung menegang.

Ke kamarku...? pikirnya.

Mata hatinya belum bisa percaya. Rivano—pria sedingin batu, yang bahkan enggan menyentuh tangannya—datang diam-diam hanya untuk memastikan keadaannya?

"Apa gunung es itu... mencair?" bisiknya nyaris tak terdengar, seolah tak berani berharap.

"Harusnya saya mulai bekerja dua hari ke depan. Tapi tiba-tiba Tuan menelpon minta saya segera datang," jelas Bibi Imah.

"Oh begitu, Bibi... bibi sendiri tinggal di mana? Sepertinya baru sampai sini ya?."

"Iya Non. Kebetulan Bibi didatangkan langsung dari Indonesia. Memang, Bibi sudah tiba di sini dua hari lalu, tapi tadinya Bibi minta untuk beristirahat dulu. Namun tadi malam, Tuan terlihat panik saat menelpon dan meminta Bibi segera datang," tutur Bibi Imah dengan nada tenang.

Wanita paruh baya itu terlihat sangat ramah, dan jelas memiliki kedekatan dengan Rivano. Mendengar bahwa Rivano menelponnya secara langsung, Helena menyadari bahwa hubungan mereka pasti sudah terjalin cukup lama. Bagaimanapun, Rivano bukan tipe pria yang mudah menghubungi seseorang secara pribadi. Bahkan dengan wanita yang sudah dinikahinya, Rivano tak pernah menelpon atau sekadar mengirim pesan.

"Apakah Nona sedang sakit?" tanyanya kembali, menatap wajah Helena yang terlihat pucat.

Helena menggeleng.

"Baiklah, Nona. Sebaiknya sarapan dulu, saya akan membereskan kamar Nona," kata Bibi.

"Bibi... tunggu. mau ke mana...?" tanyanya cepat.

"Membersihkan kamar Nona, tentu saja."

Helena menahan napas. Seketika kepalanya memutar ulang kondisi ranjang tadi—seprai kusut, bantal berhamburan, dan... noda darah itu.

Aduh! Spreinya...! Bagaimana kalau Bibi melihatnya?! batinnya panik.

“Jangan Bi..”

"Lho, kenapa, Nona? Apa Bibi tidak boleh masuk?" tanya Bibi Imah, menatap Helena yang terlihat gugup.

"Bukan—bukan begitu, Bi... hanya saja..."

"Hanya apa?" Bibi Imah mengernyit, heran melihat Helena gelisah. "Kalau kamar Nona berantakkan, itu hal biasa. Tidak usah malu." Bibi Imah melangkah memasuki kamar dengan tenang, tetap tersenyum ramah.

Helena menghela napas, berusaha menenangkan diri. Ia mengangguk kecil. Ah, sudahlah... itu hanya noda kecil, tidak akan terlihat. Dicuci juga hilang, batinnya menenangkan diri.

Di sisi lain, saat Bi Imah memasuki kamar.

Kamar itu bagai kapal pecah.

Matanya langsung tertuju pada semburat merah yang di khawatirkan oleh Helena sejak tadi. Melihat itu ia langsung menelusuri seluruh kamar yang berantakkan: selimut jatuh ke lantai, sprei kusut, dan di tiang ranjang tergantung kemeja hitam serta ikat pinggang milik Tuan Rivano.

"Ah... anak muda ini... membuatku bernostalgia saja," gumam Bibi Imah sampai pipinya memerah, tertawa kecil, dan meraih ikat pinggang itu. Suara tertawanya terdengar ringan, tapi pikirannya jelas dipenuhi bayangan nakal.

"Jadi ini alasan Tuan menyuruhku datang pagi-pagi," lanjutnya sambil menggelengkan kepala. "Tapi... bukankah mereka sudah menikah setahun? Kenapa baru melakukan malam pertama sekarang?" Bibi Imah mengerutkan kening, rasa ingin tahunya jelas, tapi tangannya tetap sibuk membereskan kamar dengan cekatan.

"Sebaiknya ku simpan dulu sprei ini, Siapa tahu ini yang di maksud Tuan Ji Hoo periksa."

Pikiran Bibi Imah melayang sejenak, kembali ke pagi buta tadi, saat ia baru saja memasuki penthouse. perintah Tuannya terdengar tegas.

"Bi, tolong urus semua keperluan Helena. Periksa keadaannya. Kalau dia mencoba keluar dari penthouse, laporkan pada saya segera."

"Baik, Tuan," jawab Bibi Imah tanpa ragu, nada suaranya patuh sekaligus ramah.

Perlu diketahui, meski Rivano terlihat amat dingin, tanpa disadari ia selalu memberi ruang bagi Helena. Selama ini, Helena menempati kamar utama yang luas, berbeda jauh dari kamar Rivano yang lebih kecil. Entah di penthouse New York maupun di Jakarta, kamar Helena selalu lebih besar, dengan penataan yang sesuai selera wanitanya sendiri.

Seolah sebuah perhatian yang terselubung, Rivano memberi ruang baginya—kasat mata, namun terasa nyata. Dalam diam, pria itu menunjukkan caranya peduli lewat tindakan, bukan kata-kata, meski Helena belum sepenuhnya menyadarinya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cintai Aku    Bab 83 - Bertahan untukmu

    Langkahnya menuju pintu mantap, penuh amarah yang menutup pintu hatinya. “Minta Baskara jemput kamu,” katanya sebelum berbalik pergi.“Riv… jangan pergi! Maaf… Riv!” Helena mencoba bangkit dari kursi roda, mencoba mengejar laki-laki yang ia cintai, namun tubuhnya terhuyung dan jatuh keras ke lantai.“Aarggh…” rintihnya. “Riv… jangan pergi… aku mohon…” Tangisannya menggema memenuhi ruangan.Rivano berhenti sejenak di ambang pintu ketika mendengar suara tubuh Helena jatuh. Ia menoleh sedikit, sekilas saja, wajahnya keras namun matanya bergetar.“Kalau kamu memang cuma cinta aku… bangun. Raih aku. Aku lelah mengejarmu terus,” ucapnya, kemudian membanting pintu dan meninggalkan ruangan.Di luar, napasnya tercekat oleh keraguan kecil. Apakah aku terlalu keras? pikirnya.Tapi biar saja. Aku ingin melihatnya berjuang, bukan cuma keras kepala.Di dalam kamar, suara Helena memecah seluruh dinding luka yang memisahkan mereka.“Riv…” Ia merangkak perlahan, berusaha bangkit meski tubuhnya gemetar

  • Cintai Aku    Bab 82 - Bentakan yang menyadarkan

    Rivano tidak pernah menyangka akan menemukan Helena di tempat ini. Perempuan itu menatapnya dengan mata berkaca-kaca—tatapan yang membuat dadanya terasa sesak. Ia tahu, di balik bening air mata itu ada kekecewaan besar, ada rasa dikhianati oleh orang yang paling ia percayai. Helena tampak seolah menolak percaya bahwa laki-laki yang selalu ia pegang teguh bisa menyembunyikan hal sebesar itu.“Kita bicarakan di dalam. Sus, biar saya yang antar istri saya ke kamar,” ujar Rivano pelan. Ia menggenggam pegangan kursi roda Helena dan mendorongnya menuju ruang rawatnya.Begitu sampai, ia menghentikan kursi roda itu di dekat sofa lalu duduk perlahan. Bahunya sedikit naik turun, seperti seseorang yang sedang berusaha menenangkan diri sebelum badai menerjang.Wajah Helena memerah, bibirnya bergetar. “Kenapa bisa setega itu? Menyembunyikan kenyataan sebesar ini? Tega kamu,” suaranya pecah, namun setiap kata menusuk.“Dari semua orang dalam hidupku… kamu yang paling aku percaya. Tapi kamu malah bo

  • Cintai Aku    Bab 81 - Kenyataan pahit

    Setelah siang menjelang, perempuan itu tetap diam. Tidak banyak bicara. Bahkan kehadiran Davin—yang biasanya bisa membuatnya tersenyum—tidak mampu memecah sunyi yang menggantung di antara mereka.Ia hanya memalingkan wajah ke arah jendela, menatap langit abu-abu di luar. Kosong. Seolah pikirannya berada di tempat lain.“Sayang, Davin bertanya ke kamu,” suara Rivano memecah keheningan. “Iya… maaf,” jawabnya tanpa menoleh.“Kamu kenapa? Dari tadi diam sekali. Ada yang sakit?” tanya Davin hati-hati.“Aku baik-baik saja,” jawabnya sambil memaksakan sedikit senyum.Rivano mengambil

  • Cintai Aku    Bab 80 - Penyembuhan

    “Akkhhh—!” teriak perempuan itu begitu tubuhnya jatuh ke lantai, tertimpa tiang infus. Rasa nyeri di perutnya langsung menghantam tajam. Ia tak sanggup menahan lagi—air seninya keluar begitu saja, mengalir ke lantai dan membasahi seluruh kakinya.“Helena! Apa yang terjadi?!” Rivano terbangun panik, langsung melompat dari sofa.“Jangan! Jangan mendekat!” jeritnya histeris, tubuh gemetar, air mata jatuh tanpa kendali.“Sayang, kenapa tidak bangunin aku?” Rivano berusaha mendekat perlahan.“Pergi!!! Aku mau panggil suster saja! Suster! Tolong!” teriaknya sambil menangis keras.Rivano tertegun. Ia tidak pernah melihat istrinya ketakutan seperti itu. Dan saat

  • Cintai Aku    Bab 79 - Rivano selalu ada

    Rivano memeluknya erat, menciumi rambutnya dengan rasa syukur yang sulit disembunyikan. Namun sesaat kemudian, ia merasakan sesuatu—kehadiran lain di dekatnya. Begitu menoleh, ia melihat tangan perempuan itu masih digenggam erat oleh Baskara. Genggaman yang penuh luka, penuh sesal, namun tak sanggup dilepas.Baskara menunduk, bahunya bergetar, air mata jatuh diam-diam di punggung tangan perempuan itu.“Apakah kalian mau aku pergi?” tanya Rivano lirih, pelukannya terlepas perlahan.“Riv…” ucap perempuan itu memegangi ujung bajunya, seakan tak ingin ia menjauh.“Aku mengerti,” Rivano mengembuskan napas. “Kalian baru kehilangan seorang anak. Mungkin kalian butuh waktu berdua…”

  • Cintai Aku    Bab 78 - Pemeran Utama

    Sementara itu, di dalam kegelapan panjang yang ia rasakan… perempuan itu hampir mencapai cahaya besar di ujung terowongan. Langkahnya tertatih, tubuhnya lelah, tapi cahaya itu seolah memanggil.Sebelum ia menyentuhnya, sebuah tangan kecil menarik pergelangan tangannya.“Jangan ke sana,” ucap seorang anak laki-laki tampan, suaranya lembut namun tegas.Ia terperanjat melihatnya. Anak itu… begitu mirip seseorang.“K-kamu siapa?”“Belum waktunya ke sana. Lebih baik ke arah itu.” Anak itu menunjuk cahaya lain—lebih lembut, lebih hangat.“Di sana sudah ada yang menunggumu.”

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status