LOGINPENTHOUSE – RUANG UTAMA – MALAM
Suasana tampak sepi dan redup. Hanya cahaya dari TV yang masih menyala, menemani sosok lelaki yang tertidur di sofa panjang. Tubuh Rivano terkulai, masih mengenakan kemeja yang kusut dan dasi longgar. Ia benar - benar tidak tidur dari kemarin malam.
Helena taman riwayatmu.
Helena membuka pintu perlahan. Lampu ruang tengah menyala redup. Suasana sunyi, hanya suara pendingin udara terdengar samar. Tapi detik berikutnya—
"Rivano...? Kenapa dia tertidur di sini? Apa dia mabuk?" gumam Helena lirih sambil melangkah mendekat perlahan.
Namun sebelum ia bisa menyentuhnya, Rivano tiba-tiba membuka mata. Tatapannya tajam, gelap—seolah baru saja ditarik paksa dari mimpi buruk.
"Dari mana saja kau?" tanyanya rendah, dingin, tapi penuh tekanan. "Kau tahu! aku hampir gila mencarimu keliling kota." bentak Rivano. Tidak menunggu lama lelaki itu langsung mengebul isi kepalanya
Helena terpaku. Belum ia menjawab, lelaki itu sudah berdiri dan berjalan cepat mendekat. Wajahnya hanya beberapa jengkal dari wajah Helena. Tatapannya menembus, seperti sorot lampu di tengah gelap.
"Kenapa HP-mu tidak aktif? Dengan siapa kamu semalam tidur, hah?!" cecarnya.
Helena mundur perlahan hingga punggungnya menyentuh dinding. Rivano semakin mendekat. Satu tangannya menahan dinding tepat di samping kepalanya. Tubuhnya mengurung Helena.
Rivano menatapnya dengan sorot mata membara.
"Kamu tahu betapa aku kehilangan akal sehatku saat tak menemukanmu?" suaranya berat, penuh amarah."Rivano... aku pingsan semalam. Ada orang sesama Indonesia yang menolongku. Aku... aku tidak sempat—" Helena mencoba menjelaskan.
Namun sebelum kalimatnya selesai, tangan Rivano sudah mencengkeram lehernya.
Sorot matanya begis. Rivano begitu serius mendengar alasan yang di lontarkan Helena. Baginya alasan Helena tak masuk akal. Helena punya waktu 17 jam untuk bisa mengabari Rivano.
Lehernya tercengkram kuat "Aarrgghh... sa-sakit. aku tidak bisa bernapas..." suaranya terputus - putus, Ia mencoba melepaskan diri namun percuma.
Helena terperanjat. Lelaki yang selama ini selalu tampak dingin, kini berubah menjadi monster hanya karena ia menghilang semalaman.
Berkali-kali ia mencoba melepaskan cengkeraman itu, namun sia-sia. Napasnya hampir terputus.
"Riv, lep—as..." Helena berusaha berteriak dengan sisa tenaganya.
"Perempuan murahan!" bentak Rivano, ia menghempas tubuh Helena hingga terbentur sofa.
"Auw..." ringis Helena, tubuhnya meringis kesakitan menahan jatuh.
"Riv... aku hampir tertabrak mobil, ak—"
"Setelah itu tidur bersama lelaki itu?!" Rivano memotong ucapan Helena dengan suara menggelegar.
Ia meraih dagunya kasar, mencengkeram hingga pipi Helena tertekan."Jangan kamu pikir saya orang bodoh!" bentaknya lagi, lalu menghempaskan pipi Helena tanpa ampun. Ia berbalik, meninggalkannya sejenak, langkahnya berat namun penuh amarah.
Helena menatapnya dengan mata berair, dadanya sesak. "Kamu sendiri kemana? kemana kamu disaat aku butuh kamu? sibuk dengan wanita itu? Bahkan berpelukan di depanku! Lalu apa salahnya aku hanya berbicara dengan seorang pria yang menolongku?"
Langkahnya terhenti. Ia berbalik. Helena terperanjat saat Rivano hendak menghampiri. Di detik itu ia melangkah mundur.
Rivano tiba-tiba mendorong tubuh Helena hingga merapat ke dinding.
Brugg... suara benturan itu terdengar, cukup keras membuat Helena meringis. Punggungnya terhempas ke permukaan dingin, rasa ngilu menjalar cepat.
"Bilang sekali lagi ke saya... kamu hanya mengobrol selama tujuh belas jam!" suara Rivano meledak, tangannya tanpa sadar sudah mencengkeram leher Helena.
Bruuumm... gunung berapi itu benar-benar meletus.
Cengkeramannya makin erat, mata Helena berkaca-kaca. Ia mengerang, tubuhnya terangkat sedikit, ujung kakinya hampir berjinjit mencari celah untuk bernapas.
"Kamu sadar sedang bicara dengan siapa?" bisiknya penuh tekanan.
"Saya bukan pria sabar. Tapi denganmu, saya sudah terlalu banyak bersabar." Rivano mengentak Helena sebelum akhirnya melepaskan cengkeramannya.
Helena terbatuk, memegangi lehernya yang memerah.
"Jangan pancing amarah saya lebih jauh dari ini, Helena!" Rivano berbalik, langkahnya berat.
"Pergi lagi? Lalu hilang lagi? Begitu saja terus?" suara Helena bergetar, tapi bukan karena takut—melainkan karena luka yang menumpuk. "Jika aku memang tidak berarti, kenapa marah saat aku tidak pulang? Kenapa harus menyebutku perempuan murahan? Sedangkan suamiku sendiri... tidak pernah menyentuh aku!"
Rivano berhenti sejenak, tapi tidak menoleh.
"Kenapa? Jelaskan! Jangan pergi begitu saja!"
Bukannya mereda, Helena justru menambah bensin ke kobaran amarah Rivano.
Langkah Rivano terhenti. Bahunya naik-turun, napasnya memburu, rahangnya mengeras seolah menahan letupan lain.
Perlahan ia berbalik, sorot matanya gelap, berbahaya.
"Kau benar-benar berani menantang saya, Helena?" suaranya rendah, tapi getarannya membuat bulu kuduk berdiri.Ia kembali menghampiri, dan tanpa aba-aba mendorong Helena sekali lagi ke dinding. Telapak tangannya menahan dagu Helena kasar, menekan hingga kepalanya tak bisa bergerak.
"Barusan kamu bilang apa? Hm?" suaranya nyaris mendesis. "Suamimu tidak pernah menyentuhmu? Itu yang kau sesali?"
Helena terengah, air mata mengalir tanpa ia cegah. "Iya.. kenapa tak pernah menyentuhku?" Helena menatap Rivano dengan lekar. "Jika kamu memang tak berniat menyentuhku. Biarkan aku disentuh pria lain." tantangnya.
Dan....
Brugg... suara benturan itu terdengar, cukup keras membuat Helena meringis. Punggungnya terhempas ke permukaan dingin, rasa ngilu menjalar cepat."Bilang sekali lagi ke saya... kamu hanya mengobrol selama tujuh belas jam!" suara Rivano meledak, tangannya tanpa sadar sudah mencengkeram leher Helena.
Bruuumm... gunung berapi itu benar-benar meletus.
Cengkeramannya makin erat, mata Helena berkaca-kaca. Ia mengerang, tubuhnya terangkat sedikit, ujung kakinya hampir berjinjit mencari celah untuk bernapas.
"Kamu sadar sedang bicara dengan siapa?" bisiknya penuh tekanan.
"Saya bukan pria sabar. Tapi denganmu, saya sudah terlalu banyak bersabar." Rivano mengentak tubuh Helena sebelum akhirnya melepaskan cengkeramannya.
Helena terbatuk, memegangi lehernya yang memerah.
"Jangan pancing amarah saya lebih jauh dari ini, Helena!" Rivano berbalik, langkahnya berat.
"Pergi lagi? Lalu hilang lagi? Begitu saja terus?" suara Helena bergetar, tapi bukan karena takut—melainkan karena luka yang menumpuk. "Jika aku memang tidak berarti, kenapa marah saat aku tidak pulang? Kenapa harus menyebutku perempuan murahan? Sedangkan suamiku sendiri... tidak pernah menyentuh aku!"
Rivano berhenti sejenak, bahunya tegang. Tapi ia tidak menoleh.
"Kenapa? Jelaskan! Jangan pergi begitu saja!" protesnya
Bukannya mereda, Helena justru menambah bensin ke kobaran amarah Rivano.
Langkah Rivano kembali terhenti. Bahunya naik-turun, napasnya memburu, rahangnya mengeras seolah menahan letupan lain.
Perlahan ia berbalik, sorot matanya gelap, berbahaya.
"Kau benar-benar berani menantang saya, Helena?" suaranya rendah, tapi getarannya membuat bulu kuduk berdiri.Ia menghampiri, lalu tanpa aba-aba mendorong Helena kembali ke dinding. Telapak tangannya menahan dagu Helena kasar, menekan hingga kepalanya tak bisa bergerak.
"Barusan kamu bilang apa? Hm?" suaranya nyaris mendesis. "Suamimu tidak pernah menyentuhmu? Itu yang kau sesali?"
Helena terengah, air mata mengalir tanpa ia cegah. "Iya... kenapa tak pernah menyentuhku?" ia menatap Rivano dengan getir. "Jika kamu memang tak berniat menyentuhku... biarkan aku disentuh pria lain." Tantangnya.
Dan...
"Aaaw!" teriak Helena saat rambutnya ditarik kasar, memaksa wajahnya mendongak.
Rivano melumat paksa bibir Helena. Bibir yang selama ini sudah membuatnya gila. Bibir yang ia bayangkan disentuh pria lain. Ia sudah hilang kendali—tujuh belas jam pikirannya diracuni bayangan wanita itu berada di ranjang bersama lelaki lain. Dan saat pulang, bukannya meminta maaf, justru menyalakan menyalakan api..
Selamat, Helena. Letusan gunung merapimu sudah menyembur.
Tangan kirinya menahan rahang Helena agar tak bisa menghindar, sementara tangan kanannya menekan pinggangnya ke dinding, mengunci tubuhnya.
"Ini kan... yang kau mau?!" Ia menyentak kepala Helena.
Helena meringis. Sakit bercampur dengan rasa takut. Napasnya tercekat, tubuhnya terkunci di antara dinding dan tubuh suaminya.
Ciuman itu bukan kelembutan, melainkan hukuman. Helena berusaha mendorong dada Rivano, tapi genggamannya makin kuat.
Sang dominan ditantang oleh kelinci kecil.
"Kenapa?!" tantang Rivano, matanya penuh bara.
Kedua tangan Helena ditarik paksa ke atas kepalanya, ditekan ke dinding. Tubuhnya menutup rapat tubuh Helena, jarak mereka nyaris tak ada. Ciumannya kembali mendarat—ia menyesap dalam - dalam bibir Helena hingga bengkak.
"Jangan lari!" bentak Rivano sambil menghentakkan tubuh Helena ke dinding.
"Aaah..." erang Helena ketika kepalanya terbentur, matanya berair menahan sakit.
Tamat sudah Helena... singa itu mengamuk.
"Riv..." rintih Helena ketakutan. Tentu bukan sentuhan seperti ini yang ia maksud.
"Kau sudah memancingku... sekarang terima akibatnya." Rivano merenggut tubuhnya paksa ke dalam dekapannya. Tangannya liar meraba, hingga berhenti di lekukan dada Helena.
"Kau milikku, Helena. Siapa yang mengizinkan kau disentuh pria lain, hah?!" ucapnya di sela ciuman yang kasar, menyesap bibir Helena tanpa jeda.
"Riv... aku sulit bernapas..." Helena menepuk-nepuk dadanya, panik. Tapi Rivano tidak peduli. Hasrat bercampur amarah sudah menutup akal sehatnya.
Helena menutup mata erat, tubuhnya gemetar. Tatapan Rivano terlalu menakutkan.
"Lihat aku!" suaranya bagai perintah tak terbantah. "Ingat wajah ini... setiap kali kau berani menyebut nama pria lain."
Ia kembali menunduk, bibirnya menyambar bibir Helena lebih keras, lebih rakus. Tangan kasarnya meremas tanpa kendali, membuat Helena tercekik oleh rasa sakit dan takut.
Helena kewalahan. Satu tarikan cukup untuk merobek kemeja putih yang membalut tubuhnya—bunyi kancing terpental terdengar tajam di telinganya.
Refleks, ia menutup dada dengan tangan bergetar.
Namun Rivano menariknya kembali, membenamkan wajah di lekuk lehernya, meninggalkan jejak yang membuat Helena terperanjat.
"Aaah..." erangnya, napasnya terputus-putus.
"Berteriaklah! Suruh pria bangsatmu itu menyelamatkanmu." Rivano terbakar cemburu.
Tangannya melingkari pinggangnya, menarik tubuhmu lebih dekat. Kulit bertemu kulit—membangkitkan gelombang asing yang membuatmu sulit bernapas tenang.
"Riv..." suaramu bergetar, bingung antara menolak atau menerima. Tapi sorot matanya begitu tajam.
"Mau mu di sentuh, kan? " napasnya begitu berat. "Bersiaplah aku akan menyentuhmu! "
Desahan kecil lolos dari bibir Helena saat gigitannya mendarat di bagian yang paling sensitif hingga membuat tubuhnya tersentak.
"Diam!" sentaknya.
"Aaarrhhg... Riv!" lengkuhnya lagi - lagi terdengar saat jemari Rivano mengaduk bagian paling peka di tubuhnya dengan kasar, meninggalkan sensasi yang tak mampu ia kendalikan.
Dan semakin ia berteriak, semakin Helena tak mengenali sosok di depannya. Rivano kini bukan lagi pria yang biasa ia lihat.
Dalam sekejap, Rivano membungkuk, meraih pinggang Helena, lalu mengangkatnya ke pundak seperti membawa seorang tawanan. Helena menepuk punggungnya panik, namun tubuhnya hanya terombang-ambing mengikuti langkah cepat Rivano menuju kamar.
Pintu dibanting begitu kasar. Rivano menghempas tubuhnya ke kasur, gerakannya begitu cepat mengunci tangan Helena, menghimpit tubuhnya hingga terkurung.
Suara gesekan logam sabuk terdengar jelas, membuat jantung Helena berpacu tak menentu.
"Kamu... mau apa?" suaranya bergetar saat menatap ikat pinggangnya sudah di tangan.
"Saya mau sentuh istri saya!" suaranya bariton, meledak bagaikan dentuman yang memaksa semua orang menunduk.
Helena sentak mendengar ucapan pria yang kini sedang menindih tubuhnya.
Dengan cepat Rivano melilit pergelangan tangannya, lalu dikaitkan ke tiang ranjang. Kini tubuhnya terperangkap—pasrah. Tak ada lagi sehelai kain yang menutupi dirinya di hadapan lelaki itu.
Kepada seperti ini ? pikirnya, bertanya - tanya karna mendapati dirinya diikat.
Rivano menunduk, jemarinya menyentuh dagu Helena, memaksa wajahnya mendongak. Bibirnya mendekat ke telinga, membisikkan kalimat terakhir sebelum malam itu benar-benar dimulai.
"Kau ingin kusentuh, kan?" tanyanya lagi
Helena hanya diam penuh rasa takut.
"Jawab aku!" bentaknya tiba - tiba.
Mata Rivano menyala penuh curiga"Atau kamu takut? Jangan - jangan... bukan aku yang pertama." Tatapan itu menusuk, mengintimidasi seolah menuntut pengakuan dari istrinya sendiri.
"Tidak.. t-tidak takut." suara Helena bergetar, tapi matanya tetap berusaha bertahan. "Buktikanlah." Ia menatap balik suaminya dengan keberanian yang entah dari mana.
Senyum tipis—nyaris tak terbaca—terbentuk di sudut bibir Rivano. Suaranya mengintimidasi di telinga Helena, seakan menghipnotis. Tangan kirinya mencengkeram pinggangnya erat, sementara tubuh Helena menegang atas apa yang dilakukannya.
"Kau milikku, Helena. Dan malam ini, aku akan membuktikannya."
Hening.
Tubuh Helena terperangkap dalam kungkungannya.
Rivano merunduk, wajahnya begitu dekat dengan wajah Helena. Ia menatap, mata mereka bertautan.Ia dengan cepat menurunkan resleting celananya, melempar kain itu tanpa ragu. Tak ada kelembutan sedikit pun.
Pemandangan di hadapannya membuat darahnya bergejolak. Wanita itu terikat, tak berdaya tanpa satu benang melapisinya. Ia tak lagi menahan sisi gelapnya.
Ia meraih rambut Helena dengan paksa, menariknya hingga wajahnya semakin mendekat. Tanpa memberi kesempatan Helena bernapas , bibir Helena di lumat habis. Ia menekan semakin dalam. Semakin basah. Helena tak ada jeda. Tak di beri ampun.
Ciuman itu tak lepas . Ia menyesapnya. Permainan Rivano terlalu jauh. Sedangkan Helena pemain baru. Ia mencumbu setiap inchi tubuh wanitanya tak ada satu pun yang terlewat. Ia melumat habis lekuk itu. meremasnya bergantian.
"Nghh...." desahan itu lolos dari bibir Helena saat suaminya meninggalkan jejak kepemilikan disana.
"Siapa yang mengijinkanmu mendesah?" tatap Rivano dingin.
Wajah Helena memerah, ia mengigit bibir bawahnya yang sudah bengkak karena sesapan liar Rivano, Ia berusaha menekan suara. Tapi siksaan itu belum berakhir—kini giliran lekuk dadanya yang menerima gigitan, remasan dan cengkramaan dari lelaki itu.
"Riv.....ah..." erangnya kembali lolos.
"Jadi, dengan siapa kamu berciuman malam itu?"
Rivano menatap tajam, jelas masih tak terima dengan adegan di club. Pantas saja kali ini ia meledak."Aku tidak berciuman!" Helena meninggikan suara, muak dengan tuduhan yang sama.
"Berani kamu bentak saya?" hardik Rivano, suaranya menggelegar.
"Aaaahhh—!" pekik Helena terperanjat saat tubuhnya dihantam, sesuatu mendesak masuk dengan paksa.
"Satu..." Rivano mulai menghitung, suaranya rendah namun tajam menusuk.
Tubuh Helena menegang, mata melebar, erangannya pecah. "Arrrgghhh..." rasa sakit bercampur keterkejutan menyambar dirinya.
"Dua..." Rivano menekan lebih dalam, berusaha menembus pertahanan yang selama ini ia jaga rapat. Ia ingin membuktikan dengan matanya sendiri—apakah malam ini benar-benar yang pertama.
"Tiga..." desis Rivano, napasnya berat, tubuhnya menghantam dalam gerakan penuh hasrat dan amarah.
"Uughhh..." desahnya pecah, menahan gejolak yang tak lagi bisa ditahan."Arrrgghhh..." lengking Helena pecah bersamaan dengan aliran hangat yang menandai segalanya telah jebol.
Matanya melebar tak percaya. Rasa sakit menusuk, tapi tubuhnya tak bisa berbohong—ada sesuatu yang kini sepenuhnya mengisi dirinya.
Rivano puas merasakan rematan di bawah sana. Ia memejam merasakan sensasi di bawah sana. Deru napasnya semakin berat saat ritmenya semakin kencang. Ia tak perduli erangan demi erangan yang lolos dari mulut Helena. Yang ia tahu Helena pun merasakan kenikmatan yang sama.
Tubuh Rivano mendominasi, mengguncang Helena hingga ranjang bergetar hebat.
"Riv... Riv... aku mohon, hentikan! Hentikan!" teriak Helena dengan suara bergetar kesakitan.
Bagaimana mungkin tidak sakit ini malam pertamanya dan tak menunggu ia siap—ia sudah di gempur habis oleh hentakkan dari Rivano. Tubuhnya tak sanggup menerima tekanan langsung.
"Riv....." kembali ia berteriak kesakitan.
"Jangan berteriak! Katamu kau ingin di sentuh!" bentak Rivano, wajahnya keras. Bukan mereda, justru hentakannya makin dalam, hingga terdengar bunyi penyatuan yang kasar.
"Hentikan, Riv..." lirih Helena memohon. Tubuhnya menggeliat, berusaha melepaskan ikatan di tangannya.
Namun teriakannya membuat Rivano murka. Dengan cepat, ia membekap mulut Helena dengan satu tangannya. Ia benci ketika submissive melanggar aturan—dan malam ini, Helena harus belajar.
Hentakan demi hentakan menguncang, semakin brutal. Tubuh Helena bergetar hebat, lenguhannya tertahan di balik bekapan tangan Rivano. Matanya basah, air mata tumpah tak terbendung. Terlalu sakit. Terlalu pedih. Ia merasa dirinya terkoyak.
Tangisnya pecah.
Butuh beberapa waktu untuk Rivano menyadari wanitanya menangis.
"Aaarrgghhh..." erang Helena lolos ketika Rivano akhirnya melepaskan dekapannya.
Rivano sedikit menghentikan aksinya. Ia terusik oleh gemetar tubuh istrinya—dan oleh air mata yang kini mengalir di pipi Helena.
"Saya bilang tadi apa?" suaranya terdengar lebih pelan, namun tetap menusuk. Pinggulnya tetap mendorong, kali ini dengan gerakan lebih lambat, seolah mencoba berbelas kasih.
"Jangan apa? Saya tanya sekali lagi." Tatapannya lekat, tak memberi ruang untuk mengelak.
"J-jangan... berteriak," jawab Helena di sela sesegukan.
"Patuhi aku." Perintah itu meluncur tegas. Rivano membelai pucuk kepalanya, tapi tetap tak menghentikan sensasi yang sedang ia nikmati. Usahanya memperlambat langkah hanyalah semu—kenikmatan membuatnya tak sepenuhnya bisa berhenti.
Ia menatap wajah Helena yang basah oleh keringat dan air mata. Pemandangan itu, alih-alih melembutkan, justru membuat darahnya menggelegak. Melihat wanita itu tersiksa membuat gairahnya makin menggila.
Kedua tangannya beralih mencengkeram leher Helena. Tak sampai mencekik mati—hanya menyesakkan, cukup untuk menegaskan kuasanya.
"Bisa patuhi aku?" bisiknya, dingin, sembari menatap tajam ke mata Helena.
Air mata menetes di sudut mata Helena, nyaris tak ia sadari sendiri. Dengan bibir terkatup rapat, ia mengangguk pelan. Tatapannya lekat pada pria di atasnya—pria yang ia cintai.
Tak ada lagi rintihan yang lolos dari mulutnya, Kini yang ada hanya desahan sang lelaki yang terpenuhi hasarat dan egonya.
"Uuuhhhghhh." lengkuhan berat lolos dari bibir Rivano bersamaan dengan ledakkan hangat itu.
Cengkeramannya perlahan melonggar, namun kendali tetap berada di tangannya.
Helena mengangkat kepala sedikit, menatapnya dalam diam. Kini sorot matanya berbeda—bukan lagi amarah atau gairah yang meledak-ledak, melainkan tatapan lembut yang pernah begitu ia rindukan. Tatapan yang dulu membuatnya jatuh cinta.
Tanpa berkata, Rivano mengulurkan tangan ke atas, melepaskan sabuk kulit yang tadi mengikat pergelangan tangan Helena di tiang ranjang. Bunyi gesekan logam terdengar pelan, nyaris tenggelam dalam hening di antara mereka. Sabuk itu jatuh di samping kasur, meninggalkan bekas merah di kulitnya.
Rivano mengangkat tangan, menyentuh wajah Helena, lalu menyeka air matanya dengan ujung jari."Kamu terlalu baik untuk monster sepertiku..." bisiknya lirih—seakan kalimat itu ditujukan pada dirinya sendiri, bukan padanya.
Ia menunduk,mendekat, lalu menangkup wajahnya dengan lembut.
Kali ini, ciumannya jatuh perlahan di bibir wanita itu bukan paksaan. melainkan seolah permintaan maaf yang tak terucap.
"Jangan pernah meminta saya menyentuhmu lagi. saya bisa jauh lebih gila dari ini..."
Sesampainya Helena kembali di Indonesia, ia menatap hamparan langit negeri itu yang tampak sesendu dulu. Udaranya masih sama dengan segala hiruk pikuknya.“Apa sebaiknya kita pulang dulu dan beristirahat? Aku khawatir dengan kandunganmu. Sebelas jam perjalanan pasti membuatmu lelah, juga bayi di dalam perutmu,” ucap Adrian lembut, menatapnya penuh perhatian.“Aku ingin menemuinya. Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja,” jawab Helena, suaranya lirih namun tegas.“Baiklah, kalau itu keinginanmu,” ujar Adrian seraya membuka pintu mobil.Mereka sudah dijemput oleh sopir pribadi Adrian di bandara. Namun, Adrian meminta kunci mobil itu.
Sudah empat bulan sejak kepergian Helena. Empat bulan panjang yang menghapus warna dari dunia Rivano. Ia kembali ke Indonesia dengan harapan yang nyaris gila—bahwa mungkin, hanya mungkin, bayangan Helena masih berkelana di udara Jakarta yang dingin.Namun kenyataan jauh lebih kejam dari itu. Yang tersisa hanyalah dirinya sendiri—patah, kosong, dan hancur perlahan.Setiap malam, Rivano menenggelamkan diri dalam alkohol. Botol-botol menumpuk di lantai seperti saksi bisu kehancurannya.
Sekejap, lampu kamar menyala terang. Helena membeku di ambang pintu. “Kalian…” ucapnya dengan suara gemetar, melihat Rivano berada di bawah selimut—seoraang wanita di dalam pelukannya.Wanita itu terlonjak, panik. “Maaf… bagaimana kamu bisa di sini?” Ia buru-buru meraih pakaiannya. Rivano, masih mabuk, menyipit karena silau. “Sayang… ada apa? Kenapa dinyalakan lampunya? Terang sekali,” gerutunya sambil mengusap mata, belum sadar siapa yang berdiri di sana.“Jadi… ini caramu membalasku?” suara Helena pecah. “Setidaknya… tunggu aku pergi dulu.”
Baskara kembali menjejakkan kaki di Jepang setelah beberapa minggu menghilang. Ia kembali menginap di lantai yang sama dengan Helena. Dengan santai, ia mengirimkan pesan singkat untuk seseorang.Pesan di kirim : Aku sudah mentransfer sejumlah uang kepadamu. Lakukan malam inipesan di terima : Iya, akan kulakukan Sore itu, ia belum memberitahukan kedatangannya kepada Helena. Baskara memilih untuk merahasiakannya. Sebaliknya, ia menghubungi Rivano.“Aku ingin bertemu denganmu malam ini, di parkiran hotelmu,” tulis Baskara. “Aku tidak ada urusan denganmu!!” balas Rivano singkat. “Ini akan menjadi urusanmu. Karena aku sudah melamar Helena. Sebagai laki-laki, aku perlu bertemu denganmu sebelum aku dan dia menikah. Tapi jika kau merasa sudah tak mengurusnya, aku akan membawanya pergi sekarang.” Baskara mengirim pesan “Bangsat! Aku akan datang membunuhmu!” balas Rivano “Jam delapan malam. Aku tunggu di sana,” balas Baskara tenang.Di sisi lain, Helena tengah mengemasi barang-barangnya d
Sudah dua minggu ini Rivano menjadi lebih pendiam. Ia lebih sering menghabiskan waktu di luar, atau mengurung diri di ruang kerjanya. Kadang, perempuan itu menemukannya tertidur di depan meja kerja — kepala bersandar di tumpukan kertas, wajah lelah tertutup bayang cahaya lampu meja.“Sayang, kenapa tidur di sini? Kenapa tidakk di kamar aja?” tanyanya pelan, suara bergetar di ujung nada.Rivano tersentak, terbangun. Ia mengusap wajahnya perlahan, lalu menatap layar laptop yang baru saja menyala.“Hmm… aku masih ada pekerjaan. Kamu tidurlah dulu,” jawabnya datar tanpa menatap.Reaksi dingin itu membuatnya makin yakin — Rivano sedang menghindarinya.“Kamu tidak sedang menghindariku, kan?” tanyanya pelan, mencoba tersenyum.Namun Rivano tetap diam. Hanya suara jari-jarinya di keyboard yang terdengar.“Riv…” panggilnya lagi, mencoba menyentuh tangan pria itu.“Aku lagi kerja,” balas Rivano tanpa menoleh.“Lihat aku. Aku lagi bicara sama kamu,” desaknya. Tangannya kini meraih wajah Rivano,
Pagi itu, ia terbangun karena rasa mual yang menusuk ulu hatinya. Dada terasa sesak, tubuhnya lemas seakan seluruh tenaga tersedot habis. Dengan mata yang masih berat, ia mencoba bangkit dari ranjang—namun gerakannya tertahan oleh sesuatu yang melingkar hangat di pinggangnya.Tangan Rivano.Baru ia sadar, semalaman pria itu memeluknya erat, mungkin untuk memastikan tubuhnya tetap hangat. Apa tangannya nggak mati rasa, ya? batinnya, menatap tangan Rivano yang terhimpit tubuhnya.Perlahan, ia berusaha melepaskan pelukan itu. Namun baru saja tangannya bergerak, Rivano langsung tersadar.“Kenapa, sayang? Masih demam?” suaranya lembut, sedikit serak. Ia segera menyentuh kening pasangannya dengan telapak tangan hangat.“Aku mual…” ucapnya cepat, lalu berlari ke arah kamar mandi.Begitu sampai di wastafel, tubuhnya membungkuk, memuntahkan cairan bening. Tak ada makanan yang keluar—memang sejak kemarin nafsu makannya berkurang.“Sayang, kamu kayaknya makin parah,” ujar Rivano panik. Ia mengham







