Hari beranjak malam. Helena berdiri di depan cermin, menata rambutnya perlahan. Senyum tipis terukir di wajahnya saat matanya kembali menatap secarik catatan yang pagi tadi ia temukan—“Nanti malam kita bicara.” Kata-kata itu sederhana, tapi cukup membuat hatinya berdebar. Ia percaya, malam ini Rivano tidak akan pulang larut.
Dengan perasaan campur aduk antara rindu dan cemas, ia memilih dress tidur satin berwarna pastel. Tipis, elegan, sekaligus feminin—persis seperti dirinya. Lemari pakaiannya penuh dengan busana indah, konon semua itu hanya sekedar kiriman butik langanan Rivano dan Bayu pula yang menyiapkan. Tapi di kepalanya selalu ada keraguan: benarkah hanya sekedar titipan butik langganannya? Atau sebenarnya Rivano lah yang menyiapkan segalanya. Ia ingin percaya, hanya sekedar titipan butik. Namun ini terlalu detail, terlalu kebetulan sesuai selera dirinya.
Bel nyaring tiba-tiba memecah kesunyian penthouse. Dari dapur, Bibi Imah yang sedang membereskan piring kotor sempat bergerak menuju pintu, tapi langkahnya langsung tertahan.
“Bi, biar aku saja,” suara Helena terdengar lembut, muncul dari kamarnya dengan penuh keyakinan.Ia berjalan mendekat, bibirnya bergumam pelan, “Tumben Rivano menekan bel. Biasanya dia masuk sendiri.” Jemari halusnya meraih gagang pintu dengan perasaan campur aduk—setengah bahagia, setengah berdebar.
Namun begitu pintu terbuka, yang menyambutnya bukanlah Rivano.
“Hai, Helena.”Suara ringan itu membuatnya terhenti seketika. Di hadapannya berdiri Adrian, pria yang menyelamatkannya kemarin malam. Sosok yang entah bisa ia sebut penyelamat, atau justru penyebab ia menghilang dan sebab amukkan seorang Rivano Mahesa.
“Kamu…” Helena tergagap, matanya tak tenang. Ia bahkan sempat melirik ke balik bahu Adrian, takut-takut kalau sosok yang sesungguhnya ia tunggu justru muncul di belakangnya.
“Aku tahu kamu pasti merindukanku,” ucap Adrian terdengar begitu percaya diri. “Makanya aku segera ke sini. Biar kamu nggak merasa kesepiani.”
Lelaki itu berdiri di ambang pintu, jelas menunggu dipersilakan masuk. Dari caranya tersenyum, Adrian seakan yakin bahwa wanita di hadapannya menyimpan kerinduan yang sama. Lagi pula, pria seperti dia terbiasa tidak pernah ditolak. Siapa yang bisa mengabaikan sosok mapan, tampan, dan penuh percaya diri seperti Adrian?
Tapi Helena berbeda. Dia bukan gadis muda yang bebas memilih, melainkan seorang istri yang menyimpan terlalu banyak ketakutan. Gesturnya canggung; tubuhnya beringsut sedikit ke belakang, tangannya buru-buru merapatkan robe tipis ke dada, seolah ingin melindungi diri dari tatapan asing itu.
“Tapi…ini sudah malam,” katanya singkat, senyumnya kaku. Bukan maksudnya bersikap dingin, hanya saja kenangan semalam masih menempel erat—kenangan yang membuatnya takut. Takut Rivano salah paham, takut Rivano marah lagi, dan… menghukumnya lagi.
Helena menelan ludah, dadanya berdebar. Tapi apakah kejadian semalam memang hukuman? pikirnya. Ada rasa nikmat yang membekas, tapi juga rasa terintimidasi yang menyesakkan. Tubuhnya masih menyimpan sisa sakit, sementara pikirannya tak berhenti bertanya: apakah itu cinta, atau sekadar bentuk kuasa?
“Maaf, aku tidak tahu kamu punya aturan jam malam,” ucap Adrian, menghentikan lamun Helena. Tangannya merogoh saku jas. “Aku hanya mau mengembalikan ini.”
Ia menyodorkan sebuah ponsel.
Mata Helena langsung berbinar. Senyum mekar di wajahnya, tulus kali ini.
“Astaga… kupikir aku kehilangan ponselku. Terima kasih.” Helena maju selangkah mendekat.Rasa gelisahnya sedikit memudar. Ponsel itu penting, bukan sekadar benda, tapi penyimpan kenangan bersama orang tuanya—foto, pesan, jejak masa lalu yang tak tergantikan.
“Aku menemukannya di mobil,” jelas Adrian, sorot matanya ikut berbinar saat melihat senyum Helena. “Aku temukan di dalam mobil. Sepertinya terjatuh waktu aku menggendongmu.”
Sekujur tubuh Helena seketika menegang. Ingatannya melayang ke malam di klub. Panas merayap di pipinya, dan robe satin yang ia genggam semakin erat menutup tubuhnya.
“Bagaimana kondisi kesehatanmu, apa sudah membaik?” suara Adrian terdengar tulus, tapi justru membuat jantung Helena semakin tidak tenang.
“Adrian… tanpa mengurangi rasa terima kasihku… sebenarnya sopannya aku mempersilakan kamu masuk. Tapi maaf, aku tidak biasa mengundang pria ke rumah,” ucapnya pelan. Suaranya jujur, namun penuh sungkan—karena di balik tutur kata yang manis, ada kegelisahan yang tak bisa ia redam.
Dan di saat yang sama, ada sepasang mata lain yang menyaksikan semua itu. Tatapan dingin namun menyala, berusaha tenang meski di dalamnya tersimpan badai. Rivano, suaminya, sudah tiba. Langkahnya tegap, wajahnya tanpa ekspresi, tapi jelas terguncang melihat istrinya tersenyum pada pria lain.
"Riv..vano, kamu sudah pulang?" Helena tersentak panik. Suaranya bergetar, menyadari kehadiran suaminya tepat di belakang Adrian.
Rivano melangkah maju, posturnya tinggi, dingin, penuh wibawa. Suaranya terdengar datar, namun tajam seperti bilah pisau.
"Kau rupanya, Adrian." suaranya terdengan tenang.Sekilas matanya menatap pria itu, namun perhatian Rivano justru lebih tersangkut pada sosok istrinya—lebih tepatnya, pada pakaian yang ia kenakan. Slip satin pastel dengan robe tipis, sedikit terbuka karena terburu-buru membuka pintu. Bagi Rivano, itu tampak terlalu intim, terlalu tidak pantas untuk dilihat mata asing.
Tanpa banyak bicara, ia melepaskan jas dari yang ia kenakan, lalu menyampirkannya ke tubuh Helena dengan gerakan tegas.
"Sayang, kenakan pakaianmu dengan benar saat menerima tamu," ujarnya, nada suaranya rendah namun sarat kepemilikan.Helena terdiam. Matanya melebar mendengar panggilan "sayang" yang keluar begitu saja di depan orang lain. Ada getar yang tak bisa ia sembunyikan—antara terkejut, tersentuh, dan takut.
"Tadi kupikir itu kamu," gumamnya cepat, mencoba memberi alasan. Namun tatapannya jelas bersalah.
Adrian, yang masih berdiri di ambang pintu, menahan diri. Senyumnya memudar, dadanya terasa sesak. Pemandangan di hadapannya begitu jelas—Helena bukanlah milik yang bisa ia raih. Ia adalah istri orang, dan kehadiran Rivano telah menegaskan batas itu dengan cara paling dingin sekaligus paling nyata.
"Ternyata ini seorang kakak yang di maksud! dia berbohong! ini lebih ke pasangan suami istri." batin Adrian melihat gestur tubuh yang di perlihatkan oleh Rivano. Ia merangkul erat tubuh Helena merapat padanya.
Ia mencoba, tetap tenang. "Lama kita tak bertemu ya."
Helena menoleh, bingung dengan atmosfer yang tiba-tiba dingin. "Kalian saling kenal?"
"Dia seniorku di NYU dulu," jawab Rivano, matanya tak lepas dari Adrian. Mereka ternyata senior dan junior di New york university saat Rivano kuliah dulu.
Tatapan Rivano akhirnya kembali pada wanitanya, karna sepertinya ada sepasang mata yang sedang menikmati visual wanitanya. Tanpa aba-aba, tangan Rivano langsung menggenggam tangan Helena. Hangat, tapi ada tekanan tak kasat mata.
“Ternyata kau sudah mengenal istriku, ya...” suara Rivano terdengar lembut, namun penekanannya pada kata istriku menusuk tajam, seolah menegaskan kepemilikannya.
Helena terdiam. Kata-kata itu membuatnya menoleh cepat, memandangi lelaki yang dalam semalam terasa begitu berbeda. Istri... kata itu berulang-ulang menggema di kepalanya, menghentikan alur pikirannya sejenak. Ini kali kedua Rivano mengatakan kata istri. semalam dan kali ini. Selama ini Rivano hampir tak pernah menyebut dirinya demikian. Bukankah Rivano lebih sering menekankan untuk menyembunyikan pernikahan ini dari orang lain?
Adrian mencoba mencairkan suasana dengan senyum dan nada bercanda. “Jadi wanita ini istrimu? Wah, aku tak menyangka. Kukira dia adikmu… baru saya mau ku panggil kaka ipar ” tawanya, tapi tak ada satupun yang tertawa mendengar ucapannya.
Tatapan Rivano tidak melunak. Dinginnya membuat candaan itu jatuh tak berarti. “Ada keperluan apa dengan istriku?” tanyanya tegas, datar, seakan kalimat ringan tadi hanya lewat begitu saja di telinganya.
“Aku hanya ingin mengembalikan ponsel Helena yang tertinggal di penthouse-ku. Mungkin dia sudah bercerita padamu soal pertemuan kami kemarin,” jawab Adrian tenang, meski jelas sorot mata Rivano membuatnya sedikit tertekan.
Rivano menoleh pada Helena. Tanpa banyak kata, tangannya terulur dan singkat menyentuh kening istrinya, seperti memastikan sesuatu. “Sayang, masuklah ke kamar. Istirahat dulu, nanti aku menyusul.” Suaranya lembut, tapi di baliknya tersimpan batas yang jelas. Rivano tahu, limit kesabarannya tidak panjang; ia tak bisa membiarkan seorang lelaki bebas menatap istrinya lebih dari sekadar menit.
Helena menunduk sopan. “Ah… iya. Adrian, sekali lagi terima kasih. Aku permisi.” Suaranya terdengar canggung, tangannya meremas jas yang disampirkan Rivano ke tubuhnya, ia merasa bersalah karna kebohongan kecilnya langsung terkuak.
“Helena...” panggil Adrian singkat, suaranya tertahan, seakan masih ada yang ingin ia sampaikan. Namun terlambat Rivano sudah lebih dulu merapatkan pintu. Bukan seorang Rivano Mahesa namanya, jika tidak posesif.
Adrian menghela napas, dadanya terasa sesak. Baru saja perasaannya mulai berkembang, malah harus berhadapan dengan portal menyebalkan di depannya—Rivano Mahesa. Pertanyaan berloncatan di kepalanya: apakah mereka benar-benar bahagia? Bagaimana mungkin wanita seperti Helena bisa bersama pria seperti Rivano? Aneh, pikirnya. Ada rasa tak percaya, tapi juga rasa iri yang sukar ia akui.
Rivano masih menatap Adrian lekat-lekat. Ia tahu betul bagaimana liarnya pikiran seorang laki-laki ketika melihat wanita seperti Helena. Sorot matanya cukup untuk mengintimidasi tanpa harus meninggikan suara.
“Kau cukup berani datang ke rumah ini malam-malam hanya untuk mengembalikan ponsel.”Adrian mengangkat alis tipis, mencoba tetap santai. “Aku hanya ingin melakukan hal yang benar. Lagipula, bukan masalah besar, kan? Kau juga tahu, semalam aku yang menolong Helena.”
“Menolong?” Rivano mengulang kata itu lirih, nadanya datar namun mengandung ujian. Bibirnya terangkat tipis, bukan senyum, lebih seperti ironi. “Menolong, ya… seharusnya malam itu juga kau antarkan istriku pulang ke rumah. Bukan…” Kalimatnya terhenti di udara. Ia sadar, reaksinya hampir seperti suami yang sedang kebakaran jenggot karna kehilangan kabar dari istrinya.
Ia menarik napas panjang, mencoba menguasai diri. “Aku tidak menafikan jasamu,” lanjutnya lebih tenang. “Tapi mengembalikan ponsel tidak perlu sambil berdiri lama di depan pintu rumah seorang istri, apalagi di malam hari begini.”
Kata istri kembali ditekan, menegaskan batas yang tak bisa dilangkahi.
Adrian tercekat sejenak. Matanya sempat melirik ke pintu penthouse yang sudah tertutup rapat, lalu kembali menatap Rivano. “Aku tidak bermaksud melanggar batas,” ucapnya lebih pelan, meski hatinya mendidih. Ia tidak pernah menduga Helena sudah memiliki suami—apalagi suami itu adalah Rivano Mahesa.
Dalam hati, Adrian mengumpat. Lelaki menyebalkan itu lagi… Ia teringat masa kampus: sosok angkuh dengan IQ di atas rata-rata, anak dari keluarga kalangan atas yang selalu tampak satu langkah lebih tinggi dari orang lain. Rasa kesalnya semakin menumpuk, tapi wajahnya tetap terjaga. Ia berhasil menyembunyikan amarah itu di balik senyum tipisnya.
Rivano menegakkan tubuhnya. “Bagus kalau begitu. Karena aku tidak suka ada yang mencoba melangkahi batas itu.” Ucapannya singkat, jelas, tanpa meninggikan suara—namun tegasnya lebih memotong daripada teriakan.
Hening sesaat. Adrian akhirnya mengangguk, menghela napas kecil sebelum berbalik. “Baiklah, aku pamit.” Langkah kakinya menjauh, suara pintu menutup rapat menyisakan keheningan yang menekan.
Rivano tidak menunggu punggung itu menghilang sepenuhnya. Ia langsung melangkah masuk ke dalam unit penthousenya, menyingkirkan sisa jejak tamu tak diundang tadi.
“Bibi Imah!” serunya, suara beratnya menggema di ruangan.
“Iya, Tuan.” Bibi Imah segera muncul dari dapur, wajahnya cemas. Ia sudah merawat Rivano sejak kecil, dan ia tahu nada suara itu bukan tanda baik. Entah apa yang membuatnya marah, tapi jelas malam ini bukan malam tenang.
“Lain kali jangan pernah biarkan Helena membuka pintu, Jika ada tamu. Bisakah Bibi saja yang bukakan jika bel berbunyi,” suaranya penuh penekanan tegas.
Bibi Imah hanya mengangguk cepat.
Rivano kemudian menoleh, sorot matanya jatuh pada Helena yang duduk kaku di ruang tamu. Ia menunduk, kedua tangannya meremas ujung robe satin yang masih tertutup jas darinya.
“Dan kamu…” Suaranya makin meninggi, saat ia mengingat paha mulus Helena yang sejak tadi terpampang di depan pintu. “Jaga pakaianmu.”
Helena tersentak. Bibirnya terbuka, ingin memberi alasan, namun suaranya tertahan. “Aku…” hanya itu yang keluar, pelan dan ragu.
Dalam hatinya bergolak. Ini Rivano sedang cemburu? Atau bagaimana? Ia tak percaya. Lelaki yang biasanya pendiam dan dingin kini bicara lebih banyak, bahkan mengatur lebih tegas. Ada sisi lain Rivano yang jarang ia lihat—bukan hanya pengendali, tapi juga… penuh tuntutan.
“Aku minta maaf…” akhirnya kata itu meluncur lirih, satu-satunya yang bisa ia ucapkan.
Kain itu jatuh ke lantai. Yang tersisa hanyalah lingerie merah menyala yang membungkus lekuk tubuhnya.“Aku ingin ditiduri kamu.” Helena meraih wajah Rivano, bibirnya nyaris menyentuh.Napas Rivano bergetar, jantungnya berdentum keras. “Helena… aku tak bisa…” suaranya merosot. Ia memundurkan tubuhnya seketika.Helena semakin mencondongkan tubuhnya, cahaya lampu menyorot lekuk tubuhnya yang sempurna. “Jangan coba-coba lari dariku.” bisiknya, matanya berkilat liar.“Ahh…”
Sementara itu, wanita yang tengah dicari-cari justru larut dalam gemerlap malam di sebuah klub ternama kawasan SCBD, Jakarta. Musik berdentum, lampu neon menari di dinding, dan para eksekutif muda berbaur dalam euforia yang ditemani aliran minuman memabukkan.Helena meneguk jus jeruknya perlahan, dinginnya sedikit menenangkan tenggorokannya. Ia baru saja menaruh kembali gelas di meja ketika suara seorang pria terdengar di sampingnya.“Hai… kamu Danira, kan?” tanya seorang pria yang menghampiri. Terlihat ramah dari wajahnya.Helena spontan mengernyit, menoleh dengan bingung. “Bukan,” jawabnya pelan, menggeleng kecil. “Maaf, sepertinya kamu salah orang.”Pria itu tertawa singkat sambil mengangkat kedua tangannya. “Ah, maaf… maaf. Aku kira kamu Danira. Habis mirip sih. Tapi—” matanya menyapu wajah Helena dengan terang-terangan, “ternyata kamu lebih cantik dari Danira. Danira itu sahabat semasa kuliahku.” terangnya tanpa di minta.Helena ters
Helena… bangun, Sayang…” suara Rivano serak, panik. Tubuh wanita itu masih terkulai di pelukannya. Tanpa pikir panjang, ia buru-buru melepaskan rantai yang membelenggu, hingga logamnya berjatuhan di lantai dengan bunyi nyaring. Helena tetap tak bergerak.“Sial…” Rivano segera menarik celananya asal-asalan, Dengan hati-hati, ia menggendongnya ke kamarnya. Jemarinya gemetar ketika mencoba memakaikan pakaian seadanya pada wanita itu—berantakan.“Bangunlah… ayo, Sayang…” ia terus mengguncang lembut bahunya, mencium keningnya, tapi Helena tak juga membuka mata. Wajahnya pucat, napasnya tipis.Rivano tak sanggup lagi menunggu. Dengan langkah tergesa, ia menggendong Helena keluar kamar, menyambar kunci, dan berlari menuju mobil. Jantungnya berdetak kenc
Dengan satu lengannya yang kuat, Rivano mengangkat tubuh Helena. Wanita itu terkejut, refleks melingkarkan tangan di lehernya. Wajahnya menempel rapat di dada Rivano, merasakan detak jantung pria itu yang berat dan cepat. Helaan napas Rivano teratur, tapi terasa dalam, seolah ia sedang menahan sesuatu yang liar di dalam dirinya.“Kamu menang,”ucapnya lembut saat di depan kamar yang tak pernah terbuka itu.Helena hanya mengecup lembut pipi suaminya.Pintu kamar berwarna hitam itu terbuka. Aroma khas ruangan yang asing langsung menyeruak—tajam, bercampur dengan wangi parfum kayu. Dari balik bahu Rivano, mata Helena menangkap sekilas suasana kamar: dinding bercat hitam, ranjang besar dengan sprei satin merah menyala, dan benda-benda asing menggantung di dinding—tali, borgol, cambuk.
“Helena…” suara pria itu bergetar. “Sejujurnya aku ingin mencintaimu, ingin memilikimu. Tapi rasa takutku terlalu besar. Aku,” katanya terhenti. “Aku takut menyakitimu.”Ia menarik napas panjang, tangan terkepal erat. “Kamu masih ingat, bagaimana malam pertama kita? Seperti apa aku membuat tubuhmu penuh luka dan memar?” ucapnya dengan wajah penuh penyesalan.Helena menunduk, mencoba mencerna kata-katanya. “Bukankah… memang malam pertama kata orang sesakit itu?” tanyanya lirih, seakan mencari pembenaran.Rivano cepat menggeleng. “Tidak, Helena. Kamu tidak mengerti apa -apa. Itu tidak normal. Kamu pikir aku hanya tempramen… padahal aku lebih mengerikan dari itu. Aku… berbeda dari kebanyakan pria normal lain.” Rivano men
Dua minggu sudah Helena kembali ke Indonesia. Selama itu ia berusaha menata ulang hidupnya. Pekerjaan sebagai sekretaris di kantor Adrian membuat hari-harinya tidak lagi kosong, sementara apartemen yang disediakan pria itu memberinya tempat aman untuk bernaung.Namun Helena tidak ingin bergantung lagi pada siapapun—bahkan pada Adrian. Ia tak mau mengulang kesalahan yang sama. Yang ia butuhkan bukanlah sekadar tempat tinggal atau kenyamanan, melainkan penghargaan atas dirinya sebagai seorang wanita. Ia tahu, perempuan yang tidak bekerja sering kali di pandang sebelah mata, sering kali di anggap beban. Dan kehilangan harga diri di mata seorang pria. Padahal, baginya, seorang pria sejati seharusnya tidak hanya memberi materi, tetapi juga tidak membiarkan wanitanya merasa tak berharga.Rivano memang sudah mencukupkan segalanya. Rumah mewah, lemari penuh pakaian, kehidupan tanpa kekurangan. Tapi itu saja—tidak ada lebih. Ia tidak memperlakukan Helena sebagai wanitanya, tidak pernah meneman