Home / Rumah Tangga / Cintai Aku / 8. Ternyata Mereka Saling Mengenal

Share

8. Ternyata Mereka Saling Mengenal

Author: biancaveana
last update Last Updated: 2025-09-16 13:46:30

Hari beranjak malam. Helena berdiri di depan cermin, menata rambutnya perlahan. Senyum tipis terukir di wajahnya saat matanya kembali menatap secarik catatan yang pagi tadi ia temukan—“Nanti malam kita bicara.” Kata-kata itu sederhana, tapi cukup membuat hatinya berdebar. Ia percaya, malam ini Rivano tidak akan pulang larut.

Dengan perasaan campur aduk antara rindu dan cemas, ia memilih dress tidur satin berwarna pastel. Tipis, elegan, sekaligus feminin—persis seperti dirinya. Lemari pakaiannya penuh dengan busana indah, konon semua itu hanya sekedar kiriman butik langanan Rivano dan Bayu pula yang menyiapkan. Tapi di kepalanya selalu ada keraguan: benarkah hanya sekedar  titipan butik langganannya? Atau sebenarnya Rivano lah yang menyiapkan segalanya. Ia ingin percaya, hanya sekedar titipan butik. Namun ini terlalu detail, terlalu kebetulan sesuai selera dirinya. 

Bel nyaring tiba-tiba memecah kesunyian penthouse. Dari dapur, Bibi Imah yang sedang membereskan piring kotor sempat bergerak menuju pintu, tapi langkahnya langsung tertahan.

“Bi, biar aku saja,” suara Helena terdengar lembut, muncul dari kamarnya dengan penuh keyakinan.

Ia berjalan mendekat, bibirnya bergumam pelan, “Tumben Rivano menekan bel. Biasanya dia masuk sendiri.” Jemari halusnya meraih gagang pintu dengan perasaan campur aduk—setengah bahagia, setengah berdebar.

Namun begitu pintu terbuka, yang menyambutnya bukanlah Rivano.

“Hai, Helena.”

Suara ringan itu membuatnya terhenti seketika. Di hadapannya berdiri Adrian, pria yang menyelamatkannya kemarin malam. Sosok yang entah bisa ia sebut penyelamat, atau justru penyebab ia menghilang dan sebab amukkan seorang Rivano Mahesa.

“Kamu…” Helena tergagap, matanya tak tenang. Ia bahkan sempat melirik ke balik bahu Adrian, takut-takut kalau sosok yang sesungguhnya ia tunggu justru muncul di belakangnya.

“Aku tahu kamu pasti merindukanku,” ucap Adrian terdengar begitu percaya diri. “Makanya aku segera ke sini. Biar kamu nggak merasa kesepiani.”

Lelaki itu berdiri di ambang pintu, jelas menunggu dipersilakan masuk. Dari caranya tersenyum, Adrian seakan yakin bahwa wanita di hadapannya menyimpan kerinduan yang sama. Lagi pula, pria seperti dia terbiasa tidak pernah ditolak. Siapa yang bisa mengabaikan sosok mapan, tampan, dan penuh percaya diri seperti Adrian? 

Tapi Helena berbeda. Dia bukan gadis muda yang bebas memilih, melainkan seorang istri yang menyimpan terlalu banyak ketakutan. Gesturnya canggung; tubuhnya beringsut sedikit ke belakang, tangannya buru-buru merapatkan robe tipis ke dada, seolah ingin melindungi diri dari tatapan asing itu.

“Tapi…ini sudah malam,” katanya singkat, senyumnya kaku. Bukan maksudnya bersikap dingin, hanya saja kenangan semalam masih menempel erat—kenangan yang membuatnya takut. Takut Rivano salah paham, takut Rivano marah lagi, dan… menghukumnya lagi.

Helena menelan ludah, dadanya berdebar. Tapi apakah kejadian semalam memang hukuman? pikirnya. Ada rasa nikmat yang membekas, tapi juga rasa terintimidasi yang menyesakkan. Tubuhnya masih menyimpan sisa sakit, sementara pikirannya tak berhenti bertanya: apakah itu cinta, atau sekadar bentuk kuasa?

“Maaf, aku tidak tahu kamu punya aturan jam malam,” ucap Adrian, menghentikan lamun Helena. Tangannya merogoh saku jas. “Aku hanya mau mengembalikan ini.”

Ia menyodorkan sebuah ponsel.

Mata Helena langsung berbinar. Senyum mekar di wajahnya, tulus kali ini.

“Astaga… kupikir aku kehilangan ponselku. Terima kasih.” Helena maju selangkah mendekat.

Rasa gelisahnya sedikit memudar. Ponsel itu penting, bukan sekadar benda, tapi penyimpan kenangan bersama orang tuanya—foto, pesan, jejak masa lalu yang tak tergantikan.

“Aku menemukannya di mobil,” jelas Adrian, sorot matanya ikut berbinar saat melihat senyum Helena. “Aku temukan di dalam mobil. Sepertinya terjatuh waktu aku menggendongmu.”

Sekujur tubuh Helena seketika menegang. Ingatannya melayang ke malam di klub. Panas merayap di pipinya, dan robe satin yang ia genggam semakin erat menutup tubuhnya.

“Bagaimana kondisi kesehatanmu, apa sudah membaik?” suara Adrian terdengar tulus, tapi justru membuat jantung Helena semakin tidak tenang.

“Adrian… tanpa mengurangi rasa terima kasihku… sebenarnya sopannya aku mempersilakan kamu masuk. Tapi maaf, aku tidak biasa mengundang pria ke rumah,” ucapnya pelan. Suaranya jujur, namun penuh sungkan—karena di balik tutur kata yang manis, ada kegelisahan yang tak bisa ia redam.

Dan di saat yang sama, ada sepasang mata lain yang menyaksikan semua itu. Tatapan dingin namun menyala, berusaha tenang meski di dalamnya tersimpan badai. Rivano, suaminya, sudah tiba. Langkahnya tegap, wajahnya tanpa ekspresi, tapi jelas terguncang melihat istrinya tersenyum pada pria lain.

"Riv..vano, kamu sudah pulang?" Helena tersentak panik. Suaranya bergetar, menyadari kehadiran suaminya tepat di belakang Adrian.

Rivano melangkah maju, posturnya tinggi, dingin, penuh wibawa. Suaranya terdengar datar, namun tajam seperti bilah pisau.

"Kau rupanya, Adrian." suaranya terdengan tenang.

Sekilas matanya menatap pria itu, namun perhatian Rivano justru lebih tersangkut pada sosok istrinya—lebih tepatnya, pada pakaian yang ia kenakan. Slip satin pastel dengan robe tipis, sedikit terbuka karena terburu-buru membuka pintu. Bagi Rivano, itu tampak terlalu intim, terlalu tidak pantas untuk dilihat mata asing.

Tanpa banyak bicara, ia melepaskan jas dari yang ia kenakan, lalu menyampirkannya ke tubuh Helena dengan gerakan tegas.

"Sayang, kenakan pakaianmu dengan benar saat menerima tamu," ujarnya, nada suaranya rendah namun sarat kepemilikan.

Helena terdiam. Matanya melebar mendengar panggilan "sayang" yang keluar begitu saja di depan orang lain. Ada getar yang tak bisa ia sembunyikan—antara terkejut, tersentuh, dan takut.

"Tadi kupikir itu kamu," gumamnya cepat, mencoba memberi alasan. Namun tatapannya jelas bersalah.

Adrian, yang masih berdiri di ambang pintu, menahan diri. Senyumnya memudar, dadanya terasa sesak. Pemandangan di hadapannya begitu jelas—Helena bukanlah milik yang bisa ia raih. Ia adalah istri orang, dan kehadiran Rivano telah menegaskan batas itu dengan cara paling dingin sekaligus paling nyata.

"Ternyata ini seorang kakak yang di maksud! dia berbohong! ini lebih ke pasangan suami istri." batin Adrian melihat gestur tubuh yang di perlihatkan oleh Rivano. Ia merangkul erat tubuh Helena merapat padanya.

Ia mencoba, tetap tenang. "Lama kita tak bertemu ya."

Helena menoleh, bingung dengan atmosfer yang tiba-tiba dingin. "Kalian saling kenal?"

"Dia seniorku di NYU dulu," jawab Rivano, matanya tak lepas dari Adrian. Mereka ternyata senior dan junior di New york university saat Rivano kuliah dulu.

Tatapan Rivano akhirnya kembali pada wanitanya, karna sepertinya ada sepasang mata yang sedang menikmati visual wanitanya. Tanpa aba-aba, tangan Rivano langsung menggenggam tangan Helena. Hangat, tapi ada tekanan tak kasat mata.

“Ternyata kau sudah mengenal istriku, ya...” suara Rivano terdengar lembut, namun penekanannya pada kata istriku menusuk tajam, seolah menegaskan kepemilikannya.

Helena terdiam. Kata-kata itu membuatnya menoleh cepat, memandangi lelaki yang dalam semalam terasa begitu berbeda. Istri... kata itu berulang-ulang menggema di kepalanya, menghentikan alur pikirannya sejenak. Ini kali kedua Rivano mengatakan kata istri. semalam dan kali ini. Selama ini Rivano hampir tak pernah menyebut dirinya demikian. Bukankah Rivano lebih sering menekankan untuk menyembunyikan pernikahan ini dari orang lain?

Adrian mencoba mencairkan suasana dengan senyum dan nada bercanda. “Jadi wanita ini istrimu? Wah, aku tak menyangka. Kukira dia adikmu… baru saya mau ku panggil kaka ipar ” tawanya, tapi tak ada satupun yang tertawa mendengar ucapannya.

Tatapan Rivano tidak melunak. Dinginnya membuat candaan itu jatuh tak berarti. “Ada keperluan apa dengan istriku?” tanyanya tegas, datar, seakan kalimat ringan tadi hanya lewat begitu saja di telinganya.

“Aku hanya ingin mengembalikan ponsel Helena yang tertinggal di penthouse-ku. Mungkin dia sudah bercerita padamu soal pertemuan kami kemarin,” jawab Adrian tenang, meski jelas sorot mata Rivano membuatnya sedikit tertekan.

Rivano menoleh pada Helena. Tanpa banyak kata, tangannya terulur dan singkat menyentuh kening istrinya, seperti memastikan sesuatu. “Sayang, masuklah ke kamar. Istirahat dulu, nanti aku menyusul.” Suaranya lembut, tapi di baliknya tersimpan batas yang jelas. Rivano tahu, limit kesabarannya tidak panjang; ia tak bisa membiarkan seorang lelaki bebas menatap istrinya lebih dari sekadar menit.

Helena menunduk sopan. “Ah… iya. Adrian, sekali lagi terima kasih. Aku permisi.” Suaranya terdengar canggung, tangannya meremas jas yang disampirkan Rivano ke tubuhnya, ia merasa bersalah karna kebohongan kecilnya langsung terkuak.

“Helena...” panggil Adrian singkat, suaranya tertahan, seakan masih ada yang ingin ia sampaikan. Namun terlambat Rivano sudah lebih dulu merapatkan pintu. Bukan seorang Rivano Mahesa namanya, jika tidak posesif.

Adrian menghela napas, dadanya terasa sesak. Baru saja perasaannya mulai berkembang, malah harus berhadapan dengan portal menyebalkan di depannya—Rivano Mahesa. Pertanyaan berloncatan di kepalanya: apakah mereka benar-benar bahagia? Bagaimana mungkin wanita seperti Helena bisa bersama pria seperti Rivano? Aneh, pikirnya. Ada rasa tak percaya, tapi juga rasa iri yang sukar ia akui.

Rivano masih menatap Adrian lekat-lekat. Ia tahu betul bagaimana liarnya pikiran seorang laki-laki ketika melihat wanita seperti Helena. Sorot matanya cukup untuk mengintimidasi tanpa harus meninggikan suara.

“Kau cukup berani datang ke rumah ini malam-malam hanya untuk mengembalikan ponsel.”

Adrian mengangkat alis tipis, mencoba tetap santai. “Aku hanya ingin melakukan hal yang benar. Lagipula, bukan masalah besar, kan? Kau juga tahu, semalam aku yang menolong Helena.”

“Menolong?” Rivano mengulang kata itu lirih, nadanya datar namun mengandung ujian. Bibirnya terangkat tipis, bukan senyum, lebih seperti ironi. “Menolong, ya… seharusnya malam itu juga kau antarkan istriku pulang ke rumah. Bukan…” Kalimatnya terhenti di udara. Ia sadar, reaksinya hampir seperti suami yang sedang kebakaran jenggot karna kehilangan kabar dari istrinya.

Ia menarik napas panjang, mencoba menguasai diri. “Aku tidak menafikan jasamu,” lanjutnya lebih tenang. “Tapi mengembalikan ponsel tidak perlu sambil berdiri lama di depan pintu rumah seorang istri, apalagi di malam hari begini.”

Kata istri kembali ditekan, menegaskan batas yang tak bisa dilangkahi.

Adrian tercekat sejenak. Matanya sempat melirik ke pintu penthouse yang sudah tertutup rapat, lalu kembali menatap Rivano. “Aku tidak bermaksud melanggar batas,” ucapnya lebih pelan, meski hatinya mendidih. Ia tidak pernah menduga Helena sudah memiliki suami—apalagi suami itu adalah Rivano Mahesa.

Dalam hati, Adrian mengumpat. Lelaki menyebalkan itu lagi… Ia teringat masa kampus: sosok angkuh dengan IQ di atas rata-rata, anak dari keluarga kalangan atas yang selalu tampak satu langkah lebih tinggi dari orang lain. Rasa kesalnya semakin menumpuk, tapi wajahnya tetap terjaga. Ia berhasil menyembunyikan amarah itu di balik senyum tipisnya.

Rivano menegakkan tubuhnya. “Bagus kalau begitu. Karena aku tidak suka ada yang mencoba melangkahi batas itu.” Ucapannya singkat, jelas, tanpa meninggikan suara—namun tegasnya lebih memotong daripada teriakan.

Hening sesaat. Adrian akhirnya mengangguk, menghela napas kecil sebelum berbalik. “Baiklah, aku pamit.” Langkah kakinya menjauh, suara pintu menutup rapat menyisakan keheningan yang menekan.

Rivano tidak menunggu punggung itu menghilang sepenuhnya. Ia langsung melangkah masuk ke dalam unit penthousenya, menyingkirkan sisa jejak tamu tak diundang tadi.

“Bibi Imah!” serunya, suara beratnya menggema di ruangan.

“Iya, Tuan.” Bibi Imah segera muncul dari dapur, wajahnya cemas. Ia sudah merawat Rivano sejak kecil, dan ia tahu nada suara itu bukan tanda baik. Entah apa yang membuatnya marah, tapi jelas malam ini bukan malam tenang.

“Lain kali jangan pernah biarkan Helena membuka pintu, Jika ada tamu. Bisakah Bibi saja yang bukakan jika bel berbunyi,” suaranya penuh penekanan tegas.

Bibi Imah hanya mengangguk cepat.

Rivano kemudian menoleh, sorot matanya jatuh pada Helena yang duduk kaku di ruang tamu. Ia menunduk, kedua tangannya meremas ujung robe satin yang masih tertutup jas darinya.

“Dan kamu…” Suaranya makin meninggi, saat ia mengingat paha mulus Helena yang sejak tadi terpampang di depan pintu. “Jaga pakaianmu.”

Helena tersentak. Bibirnya terbuka, ingin memberi alasan, namun suaranya tertahan. “Aku…” hanya itu yang keluar, pelan dan ragu.

Dalam hatinya bergolak. Ini Rivano sedang cemburu? Atau bagaimana? Ia tak percaya. Lelaki yang biasanya pendiam dan dingin kini bicara lebih banyak, bahkan mengatur lebih tegas. Ada sisi lain Rivano yang jarang ia lihat—bukan hanya pengendali, tapi juga… penuh tuntutan.

“Aku minta maaf…” akhirnya kata itu meluncur lirih, satu-satunya yang bisa ia ucapkan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cintai Aku    65. Menangis dalam rintik hujan

    Sesampainya Helena kembali di Indonesia, ia menatap hamparan langit negeri itu yang tampak sesendu dulu. Udaranya masih sama dengan segala hiruk pikuknya.“Apa sebaiknya kita pulang dulu dan beristirahat? Aku khawatir dengan kandunganmu. Sebelas jam perjalanan pasti membuatmu lelah, juga bayi di dalam perutmu,” ucap Adrian lembut, menatapnya penuh perhatian.“Aku ingin menemuinya. Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja,” jawab Helena, suaranya lirih namun tegas.“Baiklah, kalau itu keinginanmu,” ujar Adrian seraya membuka pintu mobil.Mereka sudah dijemput oleh sopir pribadi Adrian di bandara. Namun, Adrian meminta kunci mobil itu.

  • Cintai Aku    64. Lubang di hati Rivano

    Sudah empat bulan sejak kepergian Helena. Empat bulan panjang yang menghapus warna dari dunia Rivano. Ia kembali ke Indonesia dengan harapan yang nyaris gila—bahwa mungkin, hanya mungkin, bayangan Helena masih berkelana di udara Jakarta yang dingin.Namun kenyataan jauh lebih kejam dari itu. Yang tersisa hanyalah dirinya sendiri—patah, kosong, dan hancur perlahan.Setiap malam, Rivano menenggelamkan diri dalam alkohol. Botol-botol menumpuk di lantai seperti saksi bisu kehancurannya.

  • Cintai Aku    63. Kita Selesai

    Sekejap, lampu kamar menyala terang. Helena membeku di ambang pintu. “Kalian…” ucapnya dengan suara gemetar, melihat Rivano berada di bawah selimut—seoraang wanita di dalam pelukannya.Wanita itu terlonjak, panik. “Maaf… bagaimana kamu bisa di sini?” Ia buru-buru meraih pakaiannya. Rivano, masih mabuk, menyipit karena silau. “Sayang… ada apa? Kenapa dinyalakan lampunya? Terang sekali,” gerutunya sambil mengusap mata, belum sadar siapa yang berdiri di sana.“Jadi… ini caramu membalasku?” suara Helena pecah. “Setidaknya… tunggu aku pergi dulu.”

  • Cintai Aku    62. Ini kah caramu membalasku!

    Baskara kembali menjejakkan kaki di Jepang setelah beberapa minggu menghilang. Ia kembali menginap di lantai yang sama dengan Helena. Dengan santai, ia mengirimkan pesan singkat untuk seseorang.Pesan di kirim : Aku sudah mentransfer sejumlah uang kepadamu. Lakukan malam inipesan di terima : Iya, akan kulakukan Sore itu, ia belum memberitahukan kedatangannya kepada Helena. Baskara memilih untuk merahasiakannya. Sebaliknya, ia menghubungi Rivano.“Aku ingin bertemu denganmu malam ini, di parkiran hotelmu,” tulis Baskara. “Aku tidak ada urusan denganmu!!” balas Rivano singkat. “Ini akan menjadi urusanmu. Karena aku sudah melamar Helena. Sebagai laki-laki, aku perlu bertemu denganmu sebelum aku dan dia menikah. Tapi jika kau merasa sudah tak mengurusnya, aku akan membawanya pergi sekarang.” Baskara mengirim pesan “Bangsat! Aku akan datang membunuhmu!” balas Rivano “Jam delapan malam. Aku tunggu di sana,” balas Baskara tenang.Di sisi lain, Helena tengah mengemasi barang-barangnya d

  • Cintai Aku    61. Garis Dua

    Sudah dua minggu ini Rivano menjadi lebih pendiam. Ia lebih sering menghabiskan waktu di luar, atau mengurung diri di ruang kerjanya. Kadang, perempuan itu menemukannya tertidur di depan meja kerja — kepala bersandar di tumpukan kertas, wajah lelah tertutup bayang cahaya lampu meja.“Sayang, kenapa tidur di sini? Kenapa tidakk di kamar aja?” tanyanya pelan, suara bergetar di ujung nada.Rivano tersentak, terbangun. Ia mengusap wajahnya perlahan, lalu menatap layar laptop yang baru saja menyala.“Hmm… aku masih ada pekerjaan. Kamu tidurlah dulu,” jawabnya datar tanpa menatap.Reaksi dingin itu membuatnya makin yakin — Rivano sedang menghindarinya.“Kamu tidak sedang menghindariku, kan?” tanyanya pelan, mencoba tersenyum.Namun Rivano tetap diam. Hanya suara jari-jarinya di keyboard yang terdengar.“Riv…” panggilnya lagi, mencoba menyentuh tangan pria itu.“Aku lagi kerja,” balas Rivano tanpa menoleh.“Lihat aku. Aku lagi bicara sama kamu,” desaknya. Tangannya kini meraih wajah Rivano,

  • Cintai Aku    60.Harus sedalam apa lagi kau melukaiku

    Pagi itu, ia terbangun karena rasa mual yang menusuk ulu hatinya. Dada terasa sesak, tubuhnya lemas seakan seluruh tenaga tersedot habis. Dengan mata yang masih berat, ia mencoba bangkit dari ranjang—namun gerakannya tertahan oleh sesuatu yang melingkar hangat di pinggangnya.Tangan Rivano.Baru ia sadar, semalaman pria itu memeluknya erat, mungkin untuk memastikan tubuhnya tetap hangat. Apa tangannya nggak mati rasa, ya? batinnya, menatap tangan Rivano yang terhimpit tubuhnya.Perlahan, ia berusaha melepaskan pelukan itu. Namun baru saja tangannya bergerak, Rivano langsung tersadar.“Kenapa, sayang? Masih demam?” suaranya lembut, sedikit serak. Ia segera menyentuh kening pasangannya dengan telapak tangan hangat.“Aku mual…” ucapnya cepat, lalu berlari ke arah kamar mandi.Begitu sampai di wastafel, tubuhnya membungkuk, memuntahkan cairan bening. Tak ada makanan yang keluar—memang sejak kemarin nafsu makannya berkurang.“Sayang, kamu kayaknya makin parah,” ujar Rivano panik. Ia mengham

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status