Bibi Imah buru-buru menengahi, mencoba meredakan suasana. “Tuan, maaf… Bibi tadi tidak dengar belnya, masih di dapur.” Ia menunduk hormat, seakan ingin mengambil alih kesalahan.
Namun pandangan Helena tetap menunduk dalam. Dadanya berdebar, pikirannya bising. Entah lebih takut pada kemarahan Rivano, atau pada dirinya sendiri yang diam-diam merasa senang karena lelaki itu untuk pertama kalinya terlihat benar-benar terusik olehnya.
Cukup lama Helena menunggu di meja makan, hingga akhirnya langkah yang dinantinya terdengar. Rivano berjalan menghampiri, rambutnya masih basah setelah mandi, kaus hitam melekat di tubuhnya, kontras dengan kulitnya yang pucat bersih.
“Lain kali langsung makan saja. Jangan tunggu aku,” ucapnya singkat ketika ia duduk di hadapannya.
Helena hanya mengangguk pelan.
Makan malam seperti ini jarang sekali terjadi. Sebagian besar waktunya, Helena lebih sering makan seorang diri—entah karena Rivano pulang larut, atau bahkan tidak pulang sama sekali. Dan malam ini pun bukan makan malam romantis seperti yang sering ia bayangkan diam-diam. Tidak ada adegan ia menuangkan lauk ke piring suaminya, apalagi menerima suapan lembut darinya. Semua itu hanya mimpi Helena. Karena ia tahu, Rivano yang dingin dan tidak pernah berucap manis, tidak mungkin melakukan hal-hal seperti itu.
Selesai makan, Helena meletakkan sendoknya dengan rapi. Pandangannya tanpa sadar menatap Rivano yang sedang meneguk air putih. Matanya terpaku pada jenjang leher lelaki itu, gerakan sederhana yang justru membuat pipinya memanas.
Refleks, ia menempelkan punggung tangannya ke wajah, menutup pipi yang merona.
“Kenapa, kamu sakit?” Rivano bertanya, tatapannya lurus padanya yang sedang berusaha menutupi salah tingkahnya karna tertangkap basah mencuri pandang.
“T-tidak,” jawab Helena cepat, gugup.
Rivano tidak menanggapi lebih jauh. Ia hanya menegakkan tubuh, lalu bangkit. “Ya sudah, tunggu aku di kamar. Aku mau bicara dulu dengan Bibi.”
Langkahnya menjauh, meninggalkan Helena yang masih duduk di kursi. Kata itu—kamar—berulang-ulang menggema di telinganya. Helena menggigit bibir bawahnya, jantungnya berdebar begitu kencang. Seakan seluruh tubuhnya merasakan sensasi yang sama seperti semalam.
Helena, kau benar-benar terlalu mesum, batinnya menegur dirinya sendiri, namun senyum samar justru tak bisa ia tahan.
Sementara itu, di sudut dapur, Rivano menghampiri Bibi Imah yang tengah bersiap pulang. Perempuan paruh baya itu sudah lama mengabdi pada keluarga Mahesa. Hanya saja, sejak ibunya tiada, Rivano kurang suka ada orang yang menetap di rumah. Barulah hari ini ia mempekerjakan kembali Bibi Imah—semua karena insiden Helena pergi ke supermarket. Rivano tidak lagi mempercayakan istrinya pada orang lain, selain pada sosok yang ia kenal sejak kecil.
“Tuan, Bibi minta maaf soal tadi,” ucapnya hati-hati.
“Tidak apa-apa. Tapi lain kali, kalau ada orang bertamu, tolong beritahu saya atau Bayu. Bukan apa-apa, kasus kriminal makin meningkat. Banyak rekan bisnis yang nekat hanya karena kalah tender. Jadi, saya tidak suka ada orang asing berkeliaran di sini.”
“Baik, Tuan.”
Rivano mengangguk tipis. Namun sebelum Bibi Imah sempat benar-benar berbalik, ia kembali bersuara, kali ini lebih pelan. “Bi…”
Bibi Imah menoleh.
“Dia… hari ini baik-baik saja?” Nada suaranya berubah, seakan penuh keraguan, tapi jelas tersirat perhatian.
“Nona Helena maksudnya?” Senyum kecil tersungging di bibir Bibi Imah. Ia selalu geli melihat Rivano seperti anak kecil setiap kali menyangkut Helena.
Rivano berdecak. “Iya, siapa lagi memangnya di rumah ini?” dengusnya merasa di goda Bi Imah.
“Baik-baik saja, Tuan. Hanya saja…” Bibi Imah lalu mengangkat sebuah sprei lipatan dengan noda merah samar. “Saya menemukan ini. Siapa tahu Tuan mau lihat dulu sebelum saya cuci.”
Mata Rivano sempat hanya melirik sekilas. Lalu melirik lagi. Ada rasa penasaran, ada juga malu yang ia tutupi dengan wajah datarnya. “Hmm… cuci saja,” katanya, berusaha terdengar santai.
“Baiklah kalau begitu. Sekalian saya pamit, permisi Tuan.” Bi Imah melangkah pelan membawa sprei itu.
Namun langkahnya tertahan oleh suara Rivano yang setengah berbisik. “Tapi… Bi…”
Bibi Imah menoleh lagi, alisnya terangkat.
“Kalau habis… begituan, dia sakit nggak sih? Maksud saya…” Rivano merunduk sedikit, suaranya makin kecil, seakan takut ada yang mendengar.
Bibi Imah menahan tawa. “Sakit, Tuan. Biasanya sakit. Bahkan kadang agak susah berjalan.”
Rivano terbelalak. “Hah? Susah jalan?” Nada suaranya tak bisa menyembunyikan rasa antusias yang tiba-tiba muncul.
“Iya, Tuan. Pijit-pijit saja.”
“Apanya yang dipijit?” Rivano makin mendekat, matanya penuh penasaran, nyaris seperti bocah yang bertanya rahasia besar.
Bi Imah tidak tahan lagi, tawanya pecah kecil. “Itunya, Tuan, dipijit-pijit…”
Rivano langsung mendengus, wajahnya memerah. “Ah, Bibi.” Ia tahu dirinya sedang digoda.
“Benar ini, Tuan,” sahut Bibi Imah, masih setengah menahan geli. “Pijit kakinya juga. Dan… obatnya? Ya, lakukan lagi. Biar terbiasa. Lagi pula…” ia menurunkan suara, penuh maksud. “ Masa lama sekali sampai tunggu setahun, baru bisa jebol sih.” goda Bibi Cho tak tanggung - tanggung.
Rivano buru-buru memalingkan pandangan, gengsinya kalah oleh rasa malu yang membuncah. Bagi Rivano, Helena adalah wanita satu - satunya yang memberikan kehormatannya untuk dirinya. Satu - satunya wanita yang ia kepemilikannya di sentuh pertama kali oleh rivano.
Sekitar pukul sepuluh malam, Rivano akhirnya memasuki kamar. Ia masuk begitu saja tanpa mengetuk, membuat Helena yang tengah bersandar dengan buku di pangkuan terhenyak. Buku itu segera ia letakkan di meja samping. Memang, sejak tadi ia menunggu lelaki itu datang—meski menunggu Rivano berarti selalu harus bersabar.
Rivano membawa sebuah kotak kecil di tangannya. Ia duduk di sudut ranjang, santai, menyamping. Bahunya yang lebar tampak kontras dengan sikapnya yang seakan tenang.
“Lepaskan pakaianmu,” ucapnya datar tanpa menatap.Helena menatapnya, terkejut. Pipinya langsung memanas. Lepas pakaian? Sekarang? Sakit semalam saja belum benar-benar sembuh… hatinya penuh kebimbangan apakah malam panas akan terjadi lagi.
Dengan ragu, ia melepas robe tipisnya, menurunkan tali dress. Bahunya terbuka, memperlihatkan bra putih berhias renda. Jemarinya bergetar, tubuhnya menegang.
Rivano bergeser, kini duduk tepat di hadapannya. Ia menarik tangan Helena dengan tegas, “Berdiri.”
Perlahan, Helena menurut. Ia memegangi gaunnya di dada, dan berdiri di hadapan Rivano.
“Lepaskan semua. Aku harus periksa lukamu,” katanya, kali ini lebih pelan.
Helena menahan napas. Dengan malu ia melepaskan satu per satu, hingga hanya tersisa pakaian dalam. Lalu alis Rivano terangkat sebelah seakan memerintah lepaskan semuanya tanpa terkecuali.
Ia pun akhirnya melepaskan semuanya. Ia berdiri memeluk tubuhnya sendiri, menunduk, tak berani menatap mata Rivano. Pinggangnya yang ramping, lekuk dadanya yang padat, hingga bokongnya yang sintal tampak lebih jelas dari malam kemarin. Tapi yang di sorot Rivano bukan itu. Ia lebih menatap memar di bahu, jelas itu jejak gigitan yang ia tinggalkan.
Sebuah tanda memerah di leher karna bekas cekikan. Rivano segera berdiri meraba leher Helena yang masih sedikit memerah. Lalu matanya turun menatap lekuk dada yang di tutupi oleh tangan Helena dipenuh beberapa jejak kemerahan. Nampaknya Rivano terlalu bernapasu. Rivano meraih tangan Helena menurunkannya, Agar lekukkan itu tak terhalang lagi. Ia ingin melihat dengan jelas.
Gemetar tubuh Helena terasa saat Rivano menyentuh dadanya. seperti sentuhan namun ternyata Rivano sedang mengusap salep lebam di dada dan berpindah ke bahu. Matanya beredar mengeliling tubuhnya berpindah tempat hingga ke pinggang. Di malam pertama itu Helena benar - benar merasakan amarah Rivano sekaligus hasratnya. Terlihat jelas dari beberapa titik memar pada tubuhnya
Rivano menarik bangku dan meminta Helena duduk di hadapannya. Saat ia duduk Rivano langsung berjongkok di depannya sontak Ia merapatkan kakinya karna malu jika harus miliknya terlihat jelas, apalagi lampu kamar masih menyala terang.
“Aku malu sekali.” batin Helena.
“Lebarkan kakimu.”
“hah?”
“Aku tidak bisa lihat apapun jika di tutupdi rapatkan begini,”
“Tapi..” lirih Helena. Tiba - tiba tangan Rivano sudah langsung saja merenggakan kaki Helena dan tentu tak ada penghalang untuk mata Rivano menatap milik Helena berwarna merah muda
“Riv…” suaranya lebih mirip desahan manja, wanita itu, memerah sudah wajahnya. Namun pria di hadapannya terlihat tenang dan santai. Seperti pemandangan wanita telanjang seperti hal biasa baginya.
Bagi Rivano melihat tubuh Helena telanjang adalah hal biasa. Hanya saya Helena tak menyadari bahwa lelaki itu sering melihatnya tanpa busana.
Pria itu mendongak sekilas saat tengah mengusap pahamu yang memerah dengan salap, Ia menatap, tatapan mereka bertautan. Rivano tidak menatap dengan nafsu liar. Dia sangat tenang, terlalu santai dan itu yang membuat Helena semakin berdebar.
Tanpa banyak kata, Rivano mengoles kembali “Aww…” desis Helena kesakitan. Akhirnya ia merasakan linu. di pahanya
“Aku pelan,” gumam Rivano. Suaranya berat tapi lembut.
Wajah itu semakin dekat di depan milik Helena, ia merasa jantungnya mau meledak. Wajah Rivano begitu dekat. Nafasnya hangat menyapu kulit sensitifnya. Helena buru-buru menutup miliknya dengan tangan, tubuhnya bergetar. Kenapa dia bisa setenang ini… sementara aku hampir mengeliat tidak tenang?
Rivano menoleh ke atas, menatap wajahnya. “sakit sekali?” tanyanya menyentuh luka gigitan kecil di paha kanannya. Harusnya memang terasa sakit sekali, namun sakitnya berkurang karna obat pereda nyeri yang di berikan Rivano tadi pagi.
Helena hanya mengumam, Rivano melanjutkan kembali mengoles salep di beberapa titik hingga hampir sesekali menyentuh milikmu begitu saja. Entah sengaja atau tak sengaja itu membuat si empunya menjadi gemetar merasakan sentuh. Hatinya bergolak. Ia ingin sekali… memeluk. Menghapus jarak. Tapi malu menahan dirinya.
Rivano lalu menyodorkan sebuah tablet kecil dan segelas air. “Minum ini.”
Helena menurut tanpa bertanya itu obat apa. Helena benar - benar wanita penurut.Setelahnya, tangannya kembali mengoleskan minyak hangat di punggungnya. Menghangatkan, Helena menikmati sentuhan suaminya hingga memejamkan mata. Rasa sakit kemarin hilang begitu saja dan seakan ingin di sentuh kembali.
Helena menelan ludah. Kalau aku diam saja, dia tidak akan tahu apa yang kurasakan. Tapi… kalau aku berani… bisa jadi ini langkah maju untuk hubungan ini, batinnya, menatap wajah Rivano yang begitu dekat di pipinya.
Dengan sedikit ragu, ia menyentuh dada Rivano, wajahnya mendekat. “Riv…” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.
Mata Rivano menajam. Ia segera menggenggam lengan Helena, menghentikan gerakan itu. “Jangan. Aku tidak ingin menyakitimu lagi.” Suaranya rendah, tegas, seakan tahu betul maksud sentuhan Helena.
“Aku tidak merasa tersakiti,” suara Helena bergetar, tapi matanya berani menatap. “Aku… aku menginginkanmu.” Untuk pertama kalinya, keberanian muncul di wajahnya. Bibirnya nyaris gemetar ketika akhirnya ia bertanya, “Apakah… kamu sudah mencintaiku?”
Hening. Rivano terdiam lama. Tatapannya sulit dibaca, seperti ada badai yang berputar di balik matanya—antara keraguan, rasa bersalah, dan perlawanan pada dirinya sendiri.
Ia menarik napas panjang, lalu menggeleng. “Jangan menanyakan hal seperti itu padaku. Aku tidak tertarik dengan cinta cintaan.”Seperti dihantam badai, Helena merasa dadanya sesak. Ia menunduk, mencoba menahan air mata. Ternyata aku berharap terlalu jauh…
“Jangan menanyakan itu padaku,” ulang Rivano, datar. Seolah yang terjadi semalam adalah hal biasa, seolah bisa dilupakan begitu saja.
Jangan menanyakan itu padaku?
Helena tercekat. Hatinya seperti diremas. Semua yang ia tahan sejak semalam—rasa sakit, malu, dan sedikit harapan—meledak dalam sekali hembusan napas.Ia memeluk erat tubuhnya sendiri, merasa begitu telanjang, begitu dipermainkan. “Kenapa?!” suaranya pecah. “Kalau memang tidak berniat sedikit pun membuka hatimu… kenapa harus menelanjangiku begini?” Tangisnya akhirnya pecah. Harga dirinya runtuh.
“Aku hanya mengobati lukamu. Bukan maksud apa-apa,” jawab Rivano tenang, sedikit memundurkan langkahnya.
Helena menatap, matanya merah basah. “Apa kamu bilang?!” teriaknya. Baru kali itu Helena mengangkat suara begitu tinggi.
“Setelah kamu tidur denganku, kamu bilang hanya mau mengobati aku? Gila kamu, Rivano!”“Tarik kata-katamu. Kamu ga berhak berucap kasar dengan saya.” Suara Rivano ikut meninggi, amarahnya naik.
“Hanya karna ucapanku saja kamu tidak terima?!” Helena membalas dengan getir. “Lantas, kenapa aku harus terima, hah? Kau tiduri aku sesukamu, lalu kau buang aku begitu saja seperti sampah!”
“Siapa yang membuangmu seperti sampah? Hanya karena aku tidak mau menyentuhmu lagi!” Rivano membentak, menahan gejolak dadanya. Ia bukan pria melankolis. Ia tidak terbiasa bicara dengan hati.
Helena tak terima.“Aku menjaga kehormatanku untuk seseorang yang kucintai. Dan kau—kau malah merenggutnya paksa!” Helena berdiri, tubuhnya gemetar. “Apa aku hanya lelucon bagimu, Rivano?!”
“Helena…” suara Rivano merendah, namun tidak cukup untuk menghentikan badai di dada istrinya.
“Jangan sebut namaku dengan suara seperti itu!” air matanya tumpah deras. “Aku mungkin bodoh, mungkin berasal dari tempat kecil, tapi aku bukan perempuan yang bisa kau tiduri seenaknya. Aku punya hati. Aku menikahimu dengan harapan… bahwa suatu hari aku akan dicintai dan miliki keluarga bahagia seperti kedua orang tuaku. Itu saja yang kuinginkan. Kalau memang tidak pernah terbayang olehmu, aku tidak akan memaksa. Kita bisa bercerai.”
Tangannya gemetar saat ia buru-buru meraih pakaiannya, mengenakannya kembali dengan asal. Tatapannya menusuk Rivano, penuh luka.
“Dengar aku dulu—”“Tidak akan! Aku tidak mau dengar!” Helena langsung menarik coat panjang, menyambar tas, dan mengambil paspor dari laci meja.
“Hei! Kamu mau ke mana?” suara Rivano meninggi.
“Aku melarangmu keluar rumah!” bentaknya.
“Kamu siapa melarangku?!” tantang Helena balik.
“Aku…” suaranya tertahan.
“Cukup sandiwaramu! Cukup mempermainkan aku!” Helena menatapnya dengan marah dan luka bercampur. “Kamu sendiri yang bilang kalau ada yang tersalurkan, pergilah ke kamar mandi. Harusnya kau ke kamar mandi! Bukan mengeluarkannya di rahimku!”
“Helena!” suara Rivano menggelegar, Amarah Rivano semakin memuncak.
“Apa, Rivano Mahesa?!” Helena membalas dengan penuh amarah.
Rivano mengepalkan tangannya, rahangnya menegang, mencoba menahan amarah. Tapi Helena sudah melangkah terburu, berlari keluar dari kamar menuju pintu utama.
“Helena!” Rivano berteriak lagi, kali ini nyaris panik.
Tapi Helena tidak menoleh. Dengan air mata yang terus jatuh, ia berlari keluar dari unit, lalu dari penthouse itu. Baginya, malam itu bukan lagi tentang luka fisik, melainkan luka yang jauh lebih dalam—luka karena merasa dipermainkan.
Dan untuk pertama kalinya sejak menikah, Helena benar-benar kabur dari rumah yang seharusnya menjadi tempat aman baginya.
Sementara itu, wanita yang tengah dicari-cari justru larut dalam gemerlap malam di sebuah klub ternama kawasan SCBD, Jakarta. Musik berdentum, lampu neon menari di dinding, dan para eksekutif muda berbaur dalam euforia yang ditemani aliran minuman memabukkan.Helena meneguk jus jeruknya perlahan, dinginnya sedikit menenangkan tenggorokannya. Ia baru saja menaruh kembali gelas di meja ketika suara seorang pria terdengar di sampingnya.“Hai… kamu Danira, kan?” tanya seorang pria yang menghampiri. Terlihat ramah dari wajahnya.Helena spontan mengernyit, menoleh dengan bingung. “Bukan,” jawabnya pelan, menggeleng kecil. “Maaf, sepertinya kamu salah orang.”Pria itu tertawa singkat sambil mengangkat kedua tangannya. “Ah, maaf… maaf. Aku kira kamu Danira. Habis mirip sih. Tapi—” matanya menyapu wajah Helena dengan terang-terangan, “ternyata kamu lebih cantik dari Danira. Danira itu sahabat semasa kuliahku.” terangnya tanpa di minta.Helena ters
Helena… bangun, Sayang…” suara Rivano serak, panik. Tubuh wanita itu masih terkulai di pelukannya. Tanpa pikir panjang, ia buru-buru melepaskan rantai yang membelenggu, hingga logamnya berjatuhan di lantai dengan bunyi nyaring. Helena tetap tak bergerak.“Sial…” Rivano segera menarik celananya asal-asalan, Dengan hati-hati, ia menggendongnya ke kamarnya. Jemarinya gemetar ketika mencoba memakaikan pakaian seadanya pada wanita itu—berantakan.“Bangunlah… ayo, Sayang…” ia terus mengguncang lembut bahunya, mencium keningnya, tapi Helena tak juga membuka mata. Wajahnya pucat, napasnya tipis.Rivano tak sanggup lagi menunggu. Dengan langkah tergesa, ia menggendong Helena keluar kamar, menyambar kunci, dan berlari menuju mobil. Jantungnya berdetak kenc
Dengan satu lengannya yang kuat, Rivano mengangkat tubuh Helena. Wanita itu terkejut, refleks melingkarkan tangan di lehernya. Wajahnya menempel rapat di dada Rivano, merasakan detak jantung pria itu yang berat dan cepat. Helaan napas Rivano teratur, tapi terasa dalam, seolah ia sedang menahan sesuatu yang liar di dalam dirinya.“Kamu menang,”ucapnya lembut saat di depan kamar yang tak pernah terbuka itu.Helena hanya mengecup lembut pipi suaminya.Pintu kamar berwarna hitam itu terbuka. Aroma khas ruangan yang asing langsung menyeruak—tajam, bercampur dengan wangi parfum kayu. Dari balik bahu Rivano, mata Helena menangkap sekilas suasana kamar: dinding bercat hitam, ranjang besar dengan sprei satin merah menyala, dan benda-benda asing menggantung di dinding—tali, borgol, cambuk.
“Helena…” suara pria itu bergetar. “Sejujurnya aku ingin mencintaimu, ingin memilikimu. Tapi rasa takutku terlalu besar. Aku,” katanya terhenti. “Aku takut menyakitimu.”Ia menarik napas panjang, tangan terkepal erat. “Kamu masih ingat, bagaimana malam pertama kita? Seperti apa aku membuat tubuhmu penuh luka dan memar?” ucapnya dengan wajah penuh penyesalan.Helena menunduk, mencoba mencerna kata-katanya. “Bukankah… memang malam pertama kata orang sesakit itu?” tanyanya lirih, seakan mencari pembenaran.Rivano cepat menggeleng. “Tidak, Helena. Kamu tidak mengerti apa -apa. Itu tidak normal. Kamu pikir aku hanya tempramen… padahal aku lebih mengerikan dari itu. Aku… berbeda dari kebanyakan pria normal lain.” Rivano men
Dua minggu sudah Helena kembali ke Indonesia. Selama itu ia berusaha menata ulang hidupnya. Pekerjaan sebagai sekretaris di kantor Adrian membuat hari-harinya tidak lagi kosong, sementara apartemen yang disediakan pria itu memberinya tempat aman untuk bernaung.Namun Helena tidak ingin bergantung lagi pada siapapun—bahkan pada Adrian. Ia tak mau mengulang kesalahan yang sama. Yang ia butuhkan bukanlah sekadar tempat tinggal atau kenyamanan, melainkan penghargaan atas dirinya sebagai seorang wanita. Ia tahu, perempuan yang tidak bekerja sering kali di pandang sebelah mata, sering kali di anggap beban. Dan kehilangan harga diri di mata seorang pria. Padahal, baginya, seorang pria sejati seharusnya tidak hanya memberi materi, tetapi juga tidak membiarkan wanitanya merasa tak berharga.Rivano memang sudah mencukupkan segalanya. Rumah mewah, lemari penuh pakaian, kehidupan tanpa kekurangan. Tapi itu saja—tidak ada lebih. Ia tidak memperlakukan Helena sebagai wanitanya, tidak pernah meneman
Dibawah deras hujan Manhattan, Helena berlari tanpa menoleh. Kakinya berjalan cepat, terburu buru hingga sesekali ia tampak jatuh dan bangkit lagi. Pergi tak tentu arah, langkahnya kacau, tapi hatinya lebih kacau lagi. Malam itu, ia tinggalkan semua kemewahan yang ditawarkan suaminya. Penthouse megah, gaun-gaun mahal, perhiasan yang memenuhi lemarinya—semua terasa hampa. Ia tak pernah menginginkan itu. Ia pun bukan perempuan gila harta.Yang ia minta hanya satu: cintanya. Sedikit saja. Sedikit ruang untuk dirinya di hati Rivano. Sedikit kesempatan agar pernikahan mereka terasa nyata—bukan sekadar nama di selembar kertas pernikahan yang setiap malam ia takutkan akan berakhir dengan tanda tangan dingin di pengadilan.Helena marah bukan karena cintanya tak berbalas. Tapi… jika memang Rivano tak bisa membuka hati, kenapa harus merusak dirinya? Kenapa harus merenggut kehormatannya lalu seakan semua itu tak berarti appaun.Hujan menampar wajahnya. Ia menarik rapat coat panjang ke tubuhnya