Share

Bab 5

Penulis: Shirley
Aku perlahan berbalik badan dan melihat wajah Alvaro yang pucat seperti kertas. Suaranya bergetar.

“Perjanjian apa?” Dia tanya lagi.

Jantung aku serasa berhenti sejenak, tetapi aku memaksakan senyum tipis, pikiran aku berputar cepat mencari alasan.

“Itu bukan perjanjian aku. Galeri teman aku sedang cari beberapa koleksi Erepian. Dia baru saja menelepon dan minta tolong agar aku hubungi makelar.”

Untuk beberapa saat, dia hanya menatap aku, seakan tidak sepenuhnya mempercayai ucapan aku.

Kemudian tiba-tiba, dia menarik aku ke dalam pelukannya dan mengangkat aku dengan mudah.

Di dalam mobil, Alvaro terdiam sepanjang jalan.

Aku melirik wajahnya. Rahangnya mengeras, jelas seperti menahan sesuatu.

“Bella,” katanya tiba-tiba. “Kamu kenapa belakangan ini?”

“Apa maksud kamu?”

“Kamu berbeda sejak kita kehilangan putri kita.” Jemarinya menggenggam erat setir. “Kamu berubah.”

Aku jadi gugup, takut rahasia aku terbongkar. “Aku tidak berubah.”

“Kalau begitu, kenapa kamu selalu lakukan hal diam-diam?” Dia menghentikan mobil dan berputar balik badan menghadap aku. “Kenapa kamu lihat aku seperti orang asing? Kenapa kamu tidak lagi memberitahu pada aku apa-apa?”

Dia mendadak menarik aku ke dalam pelukannya, memeluk aku begitu erat hingga aku hampir sulit bernapas.

“Aku takut kehilangan kamu, Bella.” Suaranya bergetar. “Aku sudah kehilangan putri kita. Aku tidak bisa kehilangan kamu juga.”

“Saat aku tidak menemukan kamu di vila, aku sangat panik. Tolong, janji padaku kamu tidak akan pergi tanpa bilang apa-apa, ya?”

“Kamu tidak akan kehilangan aku.” Aku berbohong, sambil menepuk punggungnya.

“Benarkah?” Dia melepas aku dan menatap langsung ke mata aku. “Janji padaku.”

“Aku janji.”

Dia mengecup dahi aku sebelum kembali menyalakan mobil lagi.

Aku tersenyum tipis dan mengangguk kepala, berusaha menenangkan laki-laki yang gelisah di samping aku ini.

Namun aku tahu, itu adalah kebohongan terakhir yang pernah aku ucapkan padanya...

...

Malam itu adalah pesta amal Keluarga Winata.

Semua orang ada di sana. Politisi, mitra bisnis, keluarga sekutu. Ruang pesta berkilau dengan lampu kristal dan gelas sampanye yang berbinar.

Aku memakai gaun yang paling sederhana dengan warna polos. Pada titik ini, aku tidak ingin menarik perhatian apa pun.

Para tamu berbisik pada aku, memuji betapa beruntungnya aku, betapa Alvaro memanjakan aku, menyebut aku objek iri semua wanita malam itu.

“Cara Alvaro melihat kamu… itu cinta sejati.”

Aku hanya tersenyum pahit. Cinta sejati. Mungkin dulu pernah ada sedikit.

Lampu ruang pesta diredupkan dan sorot cahaya menyinari panggung. Cindy muncul, dia berjalan melangkah anggun dengan gaun keemasan. Saat dia mendekat ke arah kami, dia sengaja mengangkat lengannya seolah hendak menyesuaikan rantainya.

Mata aku langsung melihat tato kecil dan halus di pergelangan tangannya. Sama persis dengan tato di lengannya Alvaro.

Dia menyadari tatapan aku dan memberi aku senyum penuh kebanggaan sekaligus tantangan.

Saat Alvaro melihat dia mengangkat tangan kanannya, wajahnya memucat. Begitu Cindy mulai berjalan menujuku, dia segera menggenggam lengan wanita itu dan menyeretnya keluar dari ruang.

Aku mengikutinya secara diam-diam sampai mereka memasuki ruang pribadi di belakang ruang pesta. Pintu sedikit terbuka, aku mengeluarkan ponsel aku.

“Kamu gila?” Suara Alvaro terdengar tergesa. “Menunjukkan tato kamu itu di sini? Kalau Bella tahu…”

“Tahu apa?” Cindy menjawab dengan suara manisnya. “Tahu kamu lebih peduli pada aku? Tahu kamu akan buat aku hamil dengan ahli waris sejati Keluarga Winata?”

“Cindy, kamu tahu aku harus hati-hati. Ini bukan waktu yang tepat…”

“Kapan waktu yang tepatnya?” Dia memotong perkataan Alvaro dengan suaranya yang tajam. “Aku muak sembunyi-sembunyi. Aku ingin semua orang tahu kalau aku wanita kamu. Buat aku hamil, Alvaro. Buat aku hamil sekarang juga.”

“Bilang pada aku...” Suara Cindy jadi menggoda. “Siapa yang paling kamu sayangi?”

“Kamu, sayang. Kamu tidak perlu tanyakan itu lagi. Bella cuma alat, batu loncatan agar aku bisa naik lebih tinggi.”

Ponsel aku hampir terlepas dari tangan aku. Perut aku terasa mual ketika aku merekam setiap kata kejam pengkhianatannya.

Mereka terus berbicara, namun telinga aku tak sanggup mendengarnya lagi.

Aku menghentikan rekaman dan berjalan pergi dengan langkah goyah.

Sampai di rumah, aku mengeluarkan koper aku. Aku mengemas semua barang-barang penting, lalu meletakkan surat cerai, cincin pernikahan, dan USB berisi rekaman di meja nakas.

Dua jam kemudian, aku duduk di ruang tunggu Bandara Internasional Kota Jekana, menggenggam paspor baru dan tiket penerbangan erat-erat di tangan.

Ponsel aku berdering. Tentu saja, itu Alvaro. Aku menarik napas panjang sebelum menjawab.

“Bella? Kamu di mana? Aku sudah cari ke mana-mana.”

“Aku sedang dalam perjalanan pulang ke rumah.” Aku mengucapkan kebohongan terakhir aku. “Aku tidak enak badan, jadi pulang lebih awal.”

“Apa kamu mau aku pulang dan temani kamu?”

“Tidak perlu.” Aku menatap lampu-lampu kota dari balik kaca bandara. “Kamu urus saja pekerjaan kamu.”

“Baik, sayang. Aku harus tangani seorang pengkhianat malam ini, jadi mungkin aku akan pulang terlambat,” katanya. “Kamu istirahat ya.”

Kemudian aku mendengar suara tawa Cindy tepat di belakangnya.

“Aku cinta kamu, Bella,” katanya.

“Selamat tinggal, Alvaro,” bisik aku dengan suara yang hampa.

Aku menutup telepon. Kemudian aku mematahkan kartu SIM menjadi dua, lalu membuang potongan-potongannya ke tong sampah bandara.

Saat melangkah masuk ke pesawat, akhirnya aku sungguh merasa bebas.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cintaku Bagai Layangan Putus   Bab 22

    Alvaro berdiri dari kursinya, tubuhnya gemetar. “Kamu bunuh putri aku?”“Dia bukan putri kamu!” Cindy tertawa gila. “Melisa sudah bilang pada kamu! Dia darah Keluarga Khosasi!”“Itu bohong!” kata aku dengan nada dingin. “Isabel adalah putri Alvaro. Hasil DNA itu dipalsukan oleh Melisa.”Alvaro menatap ibunya, matanya dipenuhi dengan rasa sakit dan tidak percaya.“Ibu?”Melisa berdiri, wajahnya berubah menjadi topeng kebencian yang terdistorsi. “Iya! Semuanya aku yang lakukan! Demi keluarga! Demi diri kamu! Si jalang itu bisa menghancurkan kita!”Alvaro terjatuh ke kursi, seolah tersambar petir. “Putri aku… Isabel aku…”Dia tiba-tiba berdiri dan meraih pistol dari seorang pengawal.“Alvaro, jangan!” Cindy menjerit.DORR!Sebuah tembakan terdengar. Bunga merah muncul di dada Cindy, dan dia terkulai di genangan darah.“Kamu membunuh anak aku.” Suara Alvaro terdengar kosong seperti kematian. “Kamu bunuh putri aku.”Anggota Komisi tidak campur tangan. Ini adalah masalah internal keluarga.P

  • Cintaku Bagai Layangan Putus   Bab 21

    “Tiarap!” Santo berteriak, mendorong aku ke bawah kursi.Sopir membelok setir dengan kasar, ban berdecit di atas jalanan yang basah. Sebuah sepeda motor melaju di sisi kami, menembakkan peluru ke arah mobil dengan senjata otomatis.“Berapa orang?” tanya aku.“Sedikitnya dua belas,” jawab Santo sambil mengeluarkan pistol. “Ahli profesional.”Kendaraan pengawal kita menembak balik. Malam dipenuhi dengan keributan tembakan, mesin dan ban yang berderit.“Lebih cepat!” Santo berteriak kepada sopir.Mobil melaju semakin kencang, namun para pengejar terus mendekat. Peluru menghantam ke badan mobil. Kaca belakang pecah, menyemburkan serpihan ke seluruh tubuh kami.Tiba-tiba, sebuah truk menerjang dari jalan samping dan menabrak kami secara langsung.“Pegang erat!”Dunia berputar. Suara logam terpelintir mengisi udara, memekakkan telinga. Sejenak terasa seperti melayang tanpa bobot, lalu benturan keras. Mobil terempas ke udara sebelum terjun ke sungai dengan percikan besar. Air sungai yang ding

  • Cintaku Bagai Layangan Putus   Bab 20

    Pandangan Santo terpaku pada aku. Dia mengangguk sekali, begitu tenang. “Baik.”Alvaro mencoba menerjang lagi, tapi aku tidak memberinya kesempatan.Di belakang aku, aku mendengar dia mendesis pelan, “Aku akan rebut kamu kembali, Bella. Kamu milik aku.”Di dalam mobil, dada aku terasa sesak. Aroma Santo masih melekat di kulit aku, sementara suara Alvaro bergema di kepala aku seperti kutukan yang menolak padam. Aku menatap keluar jendela dan berbisik, “Santo, aku perlu waktu sendirian sebentar.”Dia tidak membantah. Tanpa berkata apapun, dia membuka pintu dan keluar. Santo selalu tahu kapan harus menjaga dan kapan harus memberiku ruang.Aku di sana cukup lama, jari-jari aku gemetar saat duduk di kursi kulit, sebelum akhirnya memberi perintah kepada sopir untuk mengantar aku pulang.“Ayah, aku ingin mengumumkan identitas aku secara publik.”Nicholas menaruh gelas wiskinya, pandangannya begitu tajam. “Apa kamu yakin? Begitu kamu melakukannya, tidak ada jalan kembali.”Aku berdiri di ruang

  • Cintaku Bagai Layangan Putus   Bab 19

    Siang berikutnya adalah Lelang Seni Internasional Kota Miwarni. Awalnya aku datang untuk membeli sketsa Adriano Da Virelli, namun begitu melihatnya, semuanya seketika kehilangan arti.Dan dia tidak sendirian.Dia berdampingan dengan seorang pria. Pria itu mengenakan topeng perak.Itu Santo, si bajingan berhati dingin yang ditakuti semua orang. Dan dia memegang wanita itu.Wanita itu mengenakan setelan putih yang elegan, rambutnya diikat dengan gaya yang rapi dan modern. Wajahnya memang berubah sepenuhnya, tetapi aku tahu itu dia.“Para tamu yang terhormat, barang lelang berikutnya adalah…”Aku tidak mendengar satu kata pun dari sang juru lelang. Pandangan aku hanya tertuju padanya.Seakan merasakan tatapan aku, dia menoleh ke arah aku. Pandangan mata kami bertemu, dan senyum yang dingin menyentuh bibirnya.Aku berdiri, berjalan menghampirinya. “Bella.”“Nama aku emang Bella.” Dia mengakui dengan perasaan tenang. “Tapi aku tidak kenal kamu.”Sebelum aku sempat mengatakan apa-apa lagi, l

  • Cintaku Bagai Layangan Putus   Bab 18

    Seorang pria tua bertubuh gemuk mendekati kami. Aku mengenalnya sebagai pemimpin Keluarga Tengsara dari Kota Bontian."Nicholas, ini sungguh… mengejutkan," ujarnya dengan senyum tanpa ketulusan. "Tapi kami semua beranggapan bahwa anak kamu sudah meninggal.""Penampilan bisa menipu," jawab Nicholas dengan nadanya begitu halus namun terasa berbahaya."Tentu, tentu," sahut Tengsara. "Hanya saja… dia terlihat agak familier."Aku maju selangkah. "Saran aku, jangan berandai-andai mengenai urusan Keluarga Khosasi," ucap aku dengan suara yang manis, namun setajam racun. "Kamu setuju, bukan?" Senyumnya membeku seketika....Keesokan paginya, dewan keluarga berkumpul di ruang rapat bawah tanah istana.Di sekeliling meja panjang itu duduk para tangan kanan utama Keluarga Khosasi. Pria-pria tua berwajah keriput dan tatapan mata yang tajam, semuanya memandang aku dengan perasaan curiga."Jadi..." Seorang ketua muda bernama Emilo membuka pertemuan dengan nada mengejek. "Ini putri mahkota kita yang b

  • Cintaku Bagai Layangan Putus   Bab 17

    (Sudut Pandang Bella)Saat aku menarik pelatuk, aliran energi menyapu seluruh tubuh aku. Namun tangan aku tetap stabil, tanpa sedikit pun bergemetar.Aku tersenyum dengan rasa puas, lalu melangkah mundur dengan tenang dari sarang penembak jitu. Jika aku ingin Cindy mati sepenuhnya, aku bisa saja menembak kepalanya. Tapi waktunya belum tiba. Kematian terlalu mudah untuknya.Aku hanya ingin dia hidup dalam kesakitan, merasakan semua yang pernah aku rasakan.Melihat Cindy memegang perutnya, berlumuran darah di hari pernikahannya sendiri, memberi sensasi bahwa keseimbangan akhirnya tercapai.“Siapa menabur angin, akan menuai badai,” bisik aku. “Sekarang kamu tahu rasanya.”Lampu kamera berkedip tanpa henti, para tamu berteriak, dunia runtuh dalam kekacauan. Dan aku? Aku merasakan kepuasan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.Identitas aku, wajah aku, seluruh hidup aku telah berubah. Diri aku yang sekarang telah lahir kembali dari abu, sepenuhnya orang yang baru.Aku menyelinap masuk k

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status