Kedua pasang mata mereka bertemu, hujan masih turun dengan deras, dan tiba-tiba terdengar suara guruh. Suara dentumannya yang menggelegar seakan mampu menembus ulu hati sepasang manusia yang saling berpandangan itu. Arsyad menarik tangan Hanna untuk berteduh disamping pos satpam rumahnya.
Kamu! batin Arsyad.Seolah ingin melihat lebih jelas, Arsyad memperhatikannya dengan saksama. Kedua mata coklatnya yang indah. Rambut lurus yang kini basah. Sama persis dengan gadis kecil 20 tahun lalu. Benar, ini dia perempuan yang selama ini telah dicarinya dengan susah payah.Dia mencari ke tempat mereka pertama bertemu, beberapa SD di kota Surabaya, bahkan sampai kantor detektif. Semua cara telah dicobanya... tapi, pada akhirnya dia harus mengakui bahwa Hanna mungkin bukanlah mahluk bumi dan dia tidak akan pernah menemukannya."Hanna...Ini kamu?" Tanyanya tak percaya.Arsyad tiba-tiba memeluknya, ingin memastikan semua itu nyata, bahwa perempuan ini adalah gadis kecil yang ia cari. Sekalipun 20 tahun telah terlewati. Namun, kenangan tentang wajah Hanna masih tersimpan rapi di memory Arsyad.Hanna mendorong Arsyad hingga tubuh pria itu mundur. Meskipun, kondisi fisiknya tidak sempurna. Namun, ia masih cukup mampu dan kuat untuk melakukan hal itu."Maaf Anda jangan kurang ajar." Ucap Hanna,ketus."Pak Arsyad..." Ucap seorang yang berjalan dari arah samping Hanna berdiri."Kebetulan bapak disini. Jadi saya tidak perlu masuk ke dalam rumah dengan kondisi baju yang basah seperti ini." Ucap Retno. Perempuan dari agen penyalur pembantu rumah tangga."Bu Retno..." Arsyad menyambut uluran tangannya. Namun, ekor matanya melirik ke arah Hanna."Lebih baik kita bicara didalam.""Tidak perlu pak Arsyad, saya kesini membawa calon art yang bapak minta. Maaf jika sedikit terlambat, susah mencari kandidat yang sesuai dengan kriteria bapak.""Hanna,kenalkan ini pak Arsyad yang akan menjadi majikan kamu nanti."Hanna menatap Arsyad dengan kesal. Bagaimana mungkin pria yang sudah bertindak kurang ajar ini adalah calon majikannya. Batin Hanna."Hanna..." Ucap Retno sembari menyentuh bahu Hanna."Eehh... Saya Hanna Chairunissa."Hujan selalu membawa cerita bahagia untuk Arsyad. Dan hujan pula yang kini kembali mempertemukan ia dengan Hanna.**Arsyad gegas melangkah ke ruang kerjanya. Mencari benda yang sudah lama ia simpan. Yang terkadang diambil hanya untuk pengingat bahwa ada orang baik yang tanpa pamrih menolongnya. Kebaikan sederhana tapi, terasa begitu istimewa dan berkesan untuknya."Hanna Chairunissa kelas 6A." Gumamnya lirih membaca nama yang tertulis pada payung warna biru itu. Disamping namanya ada sticker bunga dandelion yang sudah memudar."Akhirnya kamu datang mengambil payungmu Hanna."Arsyad tersenyum memandang payung itu. Baginya payung ini adalah bukti bahwa perasaannya pada gadis kecil itu pasti akan terbalas suatu saat nanti.**"Hanna tolong kamu belanja ke pasar beli bahan-bahan dapur, sama sekalian mampir ke toko belikan minuman den Arsyad." Ucap Jumiati sembari menyerahkan secarik kertas berisi daftar belanjaan."Nggih Mak.... Ada lagi yang harus dibeli?""Nggak ada nduk, kamu nggak papa to jalan agak jauh?" Tanya Jumiati. Perempuan paruh baya itu nampak khawatir dengan kondisi Hanna yang baru beberapa hari bekerja dengannya. Namun, Jumiati tahu jika Hanna adalah perempuan baik yang ingin bekerja sungguh-sungguh. Sikapnya santun dan sahaja. Hanya kondisi fisiknya yang tidak sempurna.Hanna tersenyum dan mengangguk. Dia justru bersemangat jika harus jalan jauh. Karena hal itu bisa melatih otot kakinya agar semakin kuat.Hanna segera pergi keluar setelah Jumiati memberikan beberapa lembar uang ratusan ribu."Mas Hendro tolong antar aku ke pasar ya...." Pintanya pada Hendro. Tukang kebun yang merangkap menjadi supir untuk para art.Hendro baru membersihkan mobil, ia tersenyum dan meletakkan kanebonya. Melangkah dengan tegap dan semangat 45. Membersihkan tangannya yang kotor dan juga membetulkan rambutnya agar terlihat rapi dan klimis."Siap mbak Hanna..."Hendro mengeluarkan sepeda motornya. Namun, masih saja dia membetulkan rambutnya di depan kaca spion."Let's go mbak Hanna-ku." Ucapnya sembari menepuk-nepuk jok motor dan juga membuka pijakan kaki agar memudahkan Hanna naik."Pegangan mbak Hanna"Dalam hitungan detik sepeda motor sudah melaju dengan kencang. Mau tak mau Hanna berpegangan pada bahu Hendro. Tas belanja dia taruh ditengah sebagai pembatas.Tak sampai lima belas menit motor mereka sudah sampai diparkiran pasar."Mas Hendro mau ikut masuk kedalam apa nggak? Mungkin aku nanti butuh bantuan untuk bawa belanjaan."Dengan raut wajah penuh bahagia Hendro mengangguk. "Sini dek Hanna biar aku saja yang bawa tasnya. Dek Hanna cukup tunjuk mana yang harus dibeli." Ucap Hendro."Mas Hendro, aku sepertinya lebih tua darimu lho... Jangan panggil dek. Panggil mbak Hanna seperti tadi. Atau panggil Hanna saja." ucapnya ramah tanpa mau membuat Hendro tersinggung."Kenapa to? Ndak suka ya kalo tak panggil begitu?""Kan tadi aku sudah bilang kalo aku lebih tua dari mas Hendro.""Memang usia mbak Hanna berapa?""32" Ucapnya dengan malas sembari berlalu meninggalkan Hendro."Waduh ternyata dek Hanna lebih tua dariku..." gumam Hendro dengan tangan menggaruk kepalanya.Hampir 30 menit Hanna dan Hendro mengelilingi pasar lokal. Semua bahan, bumbu serta daging sudah berhasil mereka dapatkan."Setelah ini kita ke supermarket ya.. Mau beli minuman untuk tuan Arsyad.""Siap dek cantik..."Pleetakk"Awww aduhhh...." Hendro meringis karena kepalanya baru dipukul dengan wortel yang tadi dibeli Hanna."Mas Hendro aku udah bilang jangan panggil dek lagi. Harusnya mas Hendro yang aku panggil dek." ucap Hanna, kesal.Hendro hanya cengengesan melihat Hanna yang nampak kesal dengan ucapannya. Ternyata Hanna bisa marah juga. Pikir Hendro.**Arsyad begitu sibuk dengan pekerjaannya. Waktunya selalu dia habiskan untuk mendesain produk baru, bahkan tak jarang dia sendiri terjun langsung untuk mengerjakan pesanan furniture dari perusahaannya.Baginya menghabiskan waktu di kantor jauh lebih menyenangkan. Karena saat dirumah hidupnya terasa hampa dan kosong. Dan itu terjadi setelah kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan maut. Rumah yang dulu menjadi tempat ternyaman. Kini, tak lebih dari hunian untuk tidur dan berganti baju saja.Namun, beberapa hari ini ada yang menarik perhatian Arsyad dirumahnya. Seolah ada magnet kuat yang membuat atensinya tidak beralih pada sosok itu. Hanna."Oy,sibuk kerja terus buat apa? Uang kamu nggak bakal habis tujuh turunan." Ucap Bagaskara, teman satu-satunya Arsyad. Mereka sudah berteman sejak di sekolah dasar. Namun, kehidupan Bagaskara lebih beruntung. Dia telah menikah dan sudah mempunyai dua anak."Nanti malam ikut aku ke tempat Bimo. Disana ada Shella teman SMA kita dulu. Sekarang dia jadi dokter spesialis bro. Dan masih single....""Malas..." Tolaknya, cepat."Ar,sebagai teman baikmu. Aku miris lihat kamu begini terus. Kita sebagai laki-laki punya kebutuhan biologis yang tidak bisa untuk ditahan. Apalagi usia seperti kita sekarang. Hal itu sudah menjadi kebutuhan pokok." ucap Bagaskara."Ya kamu pergi sendiri saja." Jawabnya acuh. Namun, Bagaskara melihat Arsyad tersenyum terus menatap layar ponselnya."Siapa perempuan itu?"Bagaskara memicingkan matanya. Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Seumur hidup baru pertama kali ia melihat Arsyad tersenyum seperti itu.Ia berjalan mendekat kearah Arsyad, dimana pria itu sedang fokus menatap layar ponselnya."Siapa dia?""Siapa perempuan yang sudah berhasil membuat Arsyad Gafi tersenyum seperti orang gila?" Tanya Bagaskara.Arsyad meletakkan ponselnya dengan segera. Ia kembali melanjutkan pekerjaannya, seolah tak mendengar ucapan dari Bagas."Oke, jika belum bisa bilang siapa orang itu. Aku akan datang ke rumahmu dan mencaritahu sendiri." Ucapnya dengan senyuman smirk."Hoooiiii..." Teriak Arsyad sembari melempar bolpoin pada Bagaskara**Hanna kembali terbangun dari tidurnya. Lima tahun telah berlalu. Namun, dirinya masih bermimpi buruk tentang kecelakaan maut yang dialaminya.Hanna melangkahkan kaki keluar dari kamarnya, duduk diteras paviliun. Dinginnya udara malam membuat ia mengetatkan sweaternya. Mata coklat indahnya menatap sendu ke arah l
Oh jika kau meminta aku menjauhHilang dari seluruh memori indahmuKan kulakukan semua walau tak mungkin sanggupBohongi hatikuDooorrr..."Ealah copot-copot... Maliiiingggg." Ucap Hendro dengan kencang. Padahal hanya ditepuk pundaknya sama Wulan. Namun, pria itu malah teriak maling.Melihat tingkah Hendro, Wulan malah tertawa terbahak-bahak. Sementara, Hendro mendelik kesal pada gadis reseh itu."Pagi-pagi wes galau ae Ndro....Mending tu cuci mobil nyonya Sandra. Besok dia mau pulang." Ucap Mak Jum."Mak Jum ini ganggu wong galau saja." "Nasib-nasib..." Ucap Hendro sembari menepuk-nepuk handuk pada kaca spion mobil."Eh, tapi beneran Mak Jum kalau besok nyonya Sandra pulang? Emang nggak nambah lagi sekolahnya?" Tanya Hendro."Iyo bener... Ini aku mau ke pasar dulu sama Wulan buat beli keperluan nyonya Sandra." Ucap Jumiati.Terdengar suara gerbang terbuka, datang sosok pria yang memakai baju safari warna hitam. Dia adalah Prasetyo. "Tumben isuk-isuk wes podo ngumpul neng ngarep? (Tu
Pras melajukan mobilnya membelah jalanan kota Surabaya. Pagi yang cerah membuat jalanan begitu padat. Dibeberapa ruas jalan ada yang macet panjang."Pras...""Nggih pak bos...." Jawab Pras, ekor matanya melirik Arsyad melalui kaca spion."Berapa usiamu sekarang?""39 bos... Hehe... Sudah kelihatan tua ini, ubanku sudah bermunculan." Arsyad memang majikannya. Tapi, Arsyad menganggap semua karyawannya sebagai teman dan juga saudara. Hidupnya memang beruntung terlahir menjadi anak orang kaya. Namun, itu tidaklah menyenangkan sama sekali. Dia selalu merasa kesepian, sejak kecil dia tidak memiliki saudara. Bahkan, teman saja dia hanya punya satu. Menyedihkan."Istrimu kapan lahiran?""Satu bulan lagi bos...""Kamu beruntung Pras... Sudah memiliki seorang putra. Dan sebentar lagi anak keduamu lahir."Arsyad menatap kosong kearah gedung-gedung tinggi. Pikirannya menerawang dengan dua hal yang kini ia pikirkan, perceraian dan juga Hanna."Pak bos juga beruntung, memiliki istri nyonya Sandra
"Mbak Hanna-ku...."Hanna yang sedang mengelap meja hanya mampu mengelus dada karena kaget dengan sapaan Hendro. Dia tadi terlalu fokus dan setengah bengong saat bersih-bersih, sehingga tidak menyadari kehadiran Hendro. Bukan melamun sih, lebih tepatnya ingat kembali dengan ucapan Jumiati tadi. "Mereka sudah lama tidak tidur satu kamar. Bahkan, saat bertemu juga tidak saling bicara. Jika nyonya Sandra pulang, Tuan Arsyad justru tidak pulang ke rumah ini. Dia memilih tidur di apartemen."Lucu. Menjadi pasangan orang kaya ternyata tak selalu bahagia. Hanna teringat kembali hubungannya dengan Hardian yang awalnya juga terhalang restu. Hardian pria muda yang berkarir diperusahaan bonafit, sedangkan Hanna hanya seorang pegawai toko.Butuh effort lebih untuk hubungan mereka. Dan saat semua sudah berjalan baik, restu sudah didepan mata, justru takdir berkata sebaliknya. Kematian yang akhirnya menjadi ujung kisah mereka."Apa dek Hendro.....Mbak lagi sibuk ini. Tolong ya jangan diganggu dul
Hanna tersenyum melihat anak kecil yang sedang jalan berlenggak-lenggok. Dia bergaya seolah menjadi model yang sedang berjalan diatas catwalk. Lucu. Dia membayangkan dirinya kecil yang juga sering bertingkah seperti itu. Kadang memang imajinasi anak kecil itu begitu banyak. Berbagai profesi yang sering dibayangkan, bahkan langsung dipraktekkan. Dan rasanya memang sangat menyenangkan. "Hei awasss!" Teriak Hanna.BruukkAnak perempuan itu tersungkur jatuh kesisi jalan, sementara sepeda motor yang menyerempetnya justru kabur. Sungguh tidak bertanggung jawab. Hanna berjalan mendekati anak kecil itu."Kamu nggak apa-apa dek?""Nggak apa-apa Tante...""Ada apa mbak Hanna?"Hendro yang baru datang mengambil motornya begitu kaget saat melihat Hanna dan anak kecil duduk ditrotoar."Mas Hendro, adeknya keserempet motor dan pelakunya malah kabur."Hendro terlihat kaget juga mendengar cerita Hanna. Memang saat sore pasar disini ramai. "Tante antar kamu ke klinik ya biar dibersihkan lukanya.""
Arsyad Gafi mengawasi kesibukan kota Malang dari dalam mobil yang membawanya dari Surabaya. Kota berpenduduk sekitar delapan ratus ribu jiwa itu tampak padat dan semrawut, hampir mirip sekali dengan Surabaya yang baru saja ditinggalkannya. Mungkin karena bertepatan dengan jam sekolah dan jam kerja.Mobil Arsyad terlibat antrean panjang di antara kerumunan sepeda, truk besar dan motor yang menyelip seenaknya di antara deretan mobil-mobil yang tengah merayap de- ngan tidak sabar. Sebuah gerobak yang penuh berisi tumpukan keranjang, ditarik setengah berlari oleh seorang pria, melintas seenaknya di depan mobilnya. Rizal membunyikan klakson panjang dengan jengkel. Tetapi pria yang menarik gerobak itu tetap saja melintas dengan santai, seolah- olah dia tidak mendengar apa-apa.Di pinggir jalan, pedagang sayur dan buah- buahan menjajakan barang dagangannya ditengah kepulan asap truk dan juga banyaknya debu. Begitu banyak namun, buah yang dijual juga hampir sama disemua kios.Arsyad tersenyu
Selesai menjawab pesan dari Rudy, ia melangkah kembali menuju dapur untuk membereskan masakan bersama Jumiati dan yang lain. Sudah beberapa bulan hubungannya dan Rudy berjalan dengan baik. Meskipun, saat ini ia belum berani bertemu kembali dengan nenek Rudy."Semalam kamu tidur jam berapa Han? Emak lihat lampu kamarmu masih menyala sampai tengah malam? Apa kamu mimpi buruk lagi?"Hanna menegang seketika, wajahnya mendadak menjadi pucat. Teringat kembali dengan peristiwa semalam, hingga dirinya tanpa sadar tertidur disana. Tidak mungkin jika dia mengatakan bahwa semalam berada satu ruangan dengan majikannya. Walaupun tidak ada hal buruk terjadi. Tetapi, itu adalah hal yang tidak wajar dan sebuah aib. Dan bisa jadi akan menjadi fitnah."Semalam aku ketiduran Mak, lupa tidak mematikan lampu." Ujarnya lirih."Sudah dapat izin apa belum dari den Arsyad?" Tanya Jumiati lagi."Sudah Mak, besok pagi-pagi aku pulang, mungkin sebelum subuh.""Naik kereta? Kenapa tidak naik travel saja langsung
AKHIRNYA sampai juga Arsyad dirumahnya. Walau datangnya sudah petang, bahkan langit berwarna senja sudah berganti hitam. Namun, tak menyurutkan sama sekali rasa kesal dihatinya. Arsyad langsung melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Wajahnya sudah menahan amarah sejak tadi. Bahkan, saat di jalan saja dia sudah mengomel dengan tidak jelas pada pengendara lain yang mencoba menghambat mobilnya. Belum pernah dia semarah ini. Belum pernah juga dia merasa segera ingin tiba di rumah. Baginya dulu rumah hanyalah tempat untuk tidur dan sekadar berganti baju saja. Tidak ada yang spesial disana. Namun, kini ia begitu nyaman berada di rumah itu. Bahkan, makanan sederhana yang hanya ia lihat di televisi-pun berhasil memanjakan lidahnya. Semua karena kehadiran Hanna.Suasana rumah yang penuh canda tawa hanya ada dalam bayangannya saja. Tidak pernah terwujud hingga usianya lebih dari 30 tahun. Sering dia bertanya, apakah hidupnya akan selalu kesepian seperti ini? Apakah selama hidup ia tidak ak