Share

Bab 2 Pekerjaan Baru Hanna

Kedua pasang mata mereka bertemu, hujan masih turun dengan deras, dan tiba-tiba terdengar suara guruh. Suara dentumannya yang menggelegar seakan mampu menembus ulu hati sepasang manusia yang saling berpandangan itu. Arsyad menarik tangan Hanna untuk berteduh disamping pos satpam rumahnya.

Kamu! batin Arsyad.

Seolah ingin melihat lebih jelas, Arsyad memperhatikannya dengan saksama. Kedua mata coklatnya yang indah. Rambut lurus yang kini basah. Sama persis dengan gadis kecil 20 tahun lalu. Benar, ini dia perempuan yang selama ini telah dicarinya dengan susah payah.

Dia mencari ke tempat mereka pertama bertemu, beberapa SD di kota Surabaya, bahkan sampai kantor detektif. Semua cara telah dicobanya... tapi, pada akhirnya dia harus mengakui bahwa Hanna mungkin bukanlah mahluk bumi dan dia tidak akan pernah menemukannya.

"Hanna...Ini kamu?" Tanyanya tak percaya.

Arsyad tiba-tiba memeluknya, ingin memastikan semua itu nyata, bahwa perempuan ini adalah gadis kecil yang ia cari. Sekalipun 20 tahun telah terlewati. Namun, kenangan tentang wajah Hanna masih tersimpan rapi di memory Arsyad.

Hanna mendorong Arsyad hingga tubuh pria itu mundur. Meskipun, kondisi fisiknya tidak sempurna. Namun, ia masih cukup mampu dan kuat untuk melakukan hal itu.

"Maaf Anda jangan kurang ajar." Ucap Hanna,ketus.

"Pak Arsyad..." Ucap seorang yang berjalan dari arah samping Hanna berdiri.

"Kebetulan bapak disini. Jadi saya tidak perlu masuk ke dalam rumah dengan kondisi baju yang basah seperti ini." Ucap Retno. Perempuan dari agen penyalur pembantu rumah tangga.

"Bu Retno..." Arsyad menyambut uluran tangannya. Namun, ekor matanya melirik ke arah Hanna.

"Lebih baik kita bicara didalam."

"Tidak perlu pak Arsyad, saya kesini membawa calon art yang bapak minta. Maaf jika sedikit terlambat, susah mencari kandidat yang sesuai dengan kriteria bapak."

"Hanna,kenalkan ini pak Arsyad yang akan menjadi majikan kamu nanti."

Hanna menatap Arsyad dengan kesal. Bagaimana mungkin pria yang sudah bertindak kurang ajar ini adalah calon majikannya. Batin Hanna.

"Hanna..." Ucap Retno sembari menyentuh bahu Hanna.

"Eehh... Saya Hanna Chairunissa."

Hujan selalu membawa cerita bahagia untuk Arsyad. Dan hujan pula yang kini kembali mempertemukan ia dengan Hanna.

**

Arsyad gegas melangkah ke ruang kerjanya. Mencari benda yang sudah lama ia simpan. Yang terkadang diambil hanya untuk pengingat bahwa ada orang baik yang tanpa pamrih menolongnya. Kebaikan sederhana tapi, terasa begitu istimewa dan berkesan untuknya.

"Hanna Chairunissa kelas 6A." Gumamnya lirih membaca nama yang tertulis pada payung warna biru itu. Disamping namanya ada sticker bunga dandelion yang sudah memudar.

"Akhirnya kamu datang mengambil payungmu Hanna."

Arsyad tersenyum memandang payung itu. Baginya payung ini adalah bukti bahwa perasaannya pada gadis kecil itu pasti akan terbalas suatu saat nanti.

**

"Hanna tolong kamu belanja ke pasar beli bahan-bahan dapur, sama sekalian mampir ke toko belikan minuman den Arsyad." Ucap Jumiati sembari menyerahkan secarik kertas berisi daftar belanjaan.

"Nggih Mak.... Ada lagi yang harus dibeli?"

"Nggak ada nduk, kamu nggak papa to jalan agak jauh?" Tanya Jumiati. Perempuan paruh baya itu nampak khawatir dengan kondisi Hanna yang baru beberapa hari bekerja dengannya. Namun, Jumiati tahu jika Hanna adalah perempuan baik yang ingin bekerja sungguh-sungguh. Sikapnya santun dan sahaja. Hanya kondisi fisiknya yang tidak sempurna.

Hanna tersenyum dan mengangguk. Dia justru bersemangat jika harus jalan jauh. Karena hal itu bisa melatih otot kakinya agar semakin kuat.

Hanna segera pergi keluar setelah Jumiati memberikan beberapa lembar uang ratusan ribu.

"Mas Hendro tolong antar aku ke pasar ya...." Pintanya pada Hendro. Tukang kebun yang merangkap menjadi supir untuk para art.

Hendro baru membersihkan mobil, ia tersenyum dan meletakkan kanebonya. Melangkah dengan tegap dan semangat 45. Membersihkan tangannya yang kotor dan juga membetulkan rambutnya agar terlihat rapi dan klimis.

"Siap mbak Hanna..."

Hendro mengeluarkan sepeda motornya. Namun, masih saja dia membetulkan rambutnya di depan kaca spion.

"Let's go mbak Hanna-ku." Ucapnya sembari menepuk-nepuk jok motor dan juga membuka pijakan kaki agar memudahkan Hanna naik.

"Pegangan mbak Hanna"

Dalam hitungan detik sepeda motor sudah melaju dengan kencang. Mau tak mau Hanna berpegangan pada bahu Hendro. Tas belanja dia taruh ditengah sebagai pembatas.

Tak sampai lima belas menit motor mereka sudah sampai diparkiran pasar.

"Mas Hendro mau ikut masuk kedalam apa nggak? Mungkin aku nanti butuh bantuan untuk bawa belanjaan."

Dengan raut wajah penuh bahagia Hendro mengangguk. "Sini dek Hanna biar aku saja yang bawa tasnya. Dek Hanna cukup tunjuk mana yang harus dibeli." Ucap Hendro.

"Mas Hendro, aku sepertinya lebih tua darimu lho... Jangan panggil dek. Panggil mbak Hanna seperti tadi. Atau panggil Hanna saja." ucapnya ramah tanpa mau membuat Hendro tersinggung.

"Kenapa to? Ndak suka ya kalo tak panggil begitu?"

"Kan tadi aku sudah bilang kalo aku lebih tua dari mas Hendro."

"Memang usia mbak Hanna berapa?"

"32" Ucapnya dengan malas sembari berlalu meninggalkan Hendro.

"Waduh ternyata dek Hanna lebih tua dariku..." gumam Hendro dengan tangan menggaruk kepalanya.

Hampir 30 menit Hanna dan Hendro mengelilingi pasar lokal. Semua bahan, bumbu serta daging sudah berhasil mereka dapatkan.

"Setelah ini kita ke supermarket ya.. Mau beli minuman untuk tuan Arsyad."

"Siap dek cantik..."

Pleetakk

"Awww aduhhh...." Hendro meringis karena kepalanya baru dipukul dengan wortel yang tadi dibeli Hanna.

"Mas Hendro aku udah bilang jangan panggil dek lagi. Harusnya mas Hendro yang aku panggil dek." ucap Hanna, kesal.

Hendro hanya cengengesan melihat Hanna yang nampak kesal dengan ucapannya. Ternyata Hanna bisa marah juga. Pikir Hendro.

**

Arsyad begitu sibuk dengan pekerjaannya. Waktunya selalu dia habiskan untuk mendesain produk baru, bahkan tak jarang dia sendiri terjun langsung untuk mengerjakan pesanan furniture dari perusahaannya.

Baginya menghabiskan waktu di kantor jauh lebih menyenangkan. Karena saat dirumah hidupnya terasa hampa dan kosong. Dan itu terjadi setelah kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan maut. Rumah yang dulu menjadi tempat ternyaman. Kini, tak lebih dari hunian untuk tidur dan berganti baju saja.

Namun, beberapa hari ini ada yang menarik perhatian Arsyad dirumahnya. Seolah ada magnet kuat yang membuat atensinya tidak beralih pada sosok itu. Hanna.

"Oy,sibuk kerja terus buat apa? Uang kamu nggak bakal habis tujuh turunan." Ucap Bagaskara, teman satu-satunya Arsyad. Mereka sudah berteman sejak di sekolah dasar. Namun, kehidupan Bagaskara lebih beruntung. Dia telah menikah dan sudah mempunyai dua anak.

"Nanti malam ikut aku ke tempat Bimo. Disana ada Shella teman SMA kita dulu. Sekarang dia jadi dokter spesialis bro. Dan masih single...."

"Malas..." Tolaknya, cepat.

"Ar,sebagai teman baikmu. Aku miris lihat kamu begini terus. Kita sebagai laki-laki punya kebutuhan biologis yang tidak bisa untuk ditahan. Apalagi usia seperti kita sekarang. Hal itu sudah menjadi kebutuhan pokok." ucap Bagaskara.

"Ya kamu pergi sendiri saja." Jawabnya acuh. Namun, Bagaskara melihat Arsyad tersenyum terus menatap layar ponselnya.

"Siapa perempuan itu?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status