Bagaskara memicingkan matanya. Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Seumur hidup baru pertama kali ia melihat Arsyad tersenyum seperti itu.
Ia berjalan mendekat kearah Arsyad, dimana pria itu sedang fokus menatap layar ponselnya."Siapa dia?""Siapa perempuan yang sudah berhasil membuat Arsyad Gafi tersenyum seperti orang gila?" Tanya Bagaskara.Arsyad meletakkan ponselnya dengan segera. Ia kembali melanjutkan pekerjaannya, seolah tak mendengar ucapan dari Bagas."Oke, jika belum bisa bilang siapa orang itu. Aku akan datang ke rumahmu dan mencaritahu sendiri." Ucapnya dengan senyuman smirk."Hoooiiii..." Teriak Arsyad sembari melempar bolpoin pada Bagaskara**Hanna kembali terbangun dari tidurnya. Lima tahun telah berlalu. Namun, dirinya masih bermimpi buruk tentang kecelakaan maut yang dialaminya.Hanna melangkahkan kaki keluar dari kamarnya, duduk diteras paviliun. Dinginnya udara malam membuat ia mengetatkan sweaternya. Mata coklat indahnya menatap sendu ke arah langit yang saat ini begitu cerah dengan sinar rembulan. Baginya segala kesedihan dan kerinduan akan memudar ketika dia memandang langit yang penuh bintang-bintang.Pikirannya menerawang jauh beberapa tahun yang lalu saat dirinya masih bersama dengan Hardian. Kekasih yang kini telah bahagia disurga."Aku jadi cewek romantis banget nggak sih mas?""Kenapa gitu sayang?""Karena aku suka sekali sama bintang-bintang. Mereka begitu indah dan rasanya aku tidak bosan jika semalaman memandang mereka."Hardian yang ada disampingnya tersenyum dan segera merangkul pundak Hanna. Merebahkan kepala Hanna pada dada bidangnya."Dan aku bakal jadi salah satu bintang itu agar kamu tidak pernah berpaling pada yang lain. Termasuk bulan yang sinarnya berjuta-juta kali lipat dariku."Ternyata apa yang dikatakan Hardian dulu menjadi kenyataan. Dirinya menjadi bintang dilangit. Dan Hanna hanya mampu memandang dan tak bisa lagi menyentuhnya.Rasanya baru kemarin dia begitu bahagia karena sebentar lagi akan menikah. Namun, kecelakaan maut itu telah merubah semua takdir baik Hanna menjadi musibah yang tak berkesudahan.Lima tahun sudah terlewati dengan begitu berat. Beruntung dia bisa mendapatkan keajaiban sehingga ditahun ke empat dirinya bisa berjalan lagi. Meskipun, kini dia tidak mungkin bisa kembali bekerja seperti dulu. Dan menjadi pembantu adalah pekerjaan terbaiknya.Dalam heningnya malam, Hanna kembali terisak. Air mata yang terus menetes menjadi alasan betapa hancur hatinya. Kepergian sang kekasih, kelumpuhan yang dia alami dan juga hinaan dari semua orang yang menganggap dirinya pembawa sial.Sepasang mata selalu menatap Hanna dengan penuh pertanyaan. "Apa yang sebenarnya terjadi pada Hanna? Mengapa dia selalu keluar kamar saat malam begini?" Gumamnya dibalik tirai kamar.Hampir satu bulan dia selalu melihat Hanna terbangun saat malam. Sementara, dia sendiri juga tidak bisa memejamkan matanya. Berbagai kejadian buruk selalu menyapa dirinya dalam mimpi. Dan sama halnya seperti Hanna, hanya bintang-bintang di langit yang mampu menghilangkan mimpi buruknya.Pria itu melihat Hanna melangkah menuju dapur kotor. Dia bertanya apa yang akan dilakukan Hanna malam-malam begini. Saat ini sudah pukul setengah satu dini hari. Tidak mungkin juga jika Hanna akan memasak. Pikirnya.Sementara itu di dapur Hanna sibuk mengiris bumbu-bumbu dan sayuran. Dia ingin memasak mie kuah dengan ditambah beberapa bumbu dapur agar rasanya lebih sedap. Tak lupa juga telur sebagai pelengkap.Tak sampai lima belas menit mie buatannya selesai. Aroma sedapnya mengisi seluruh ruangan didapur itu."Apa yang kamu lakukan?"PraaankkkkPanci panas yang isinya sudah dituang ke dalam mangkuk itu terjatuh dan mengenai kakinya. Rasa panas dan ngilu bercampur menjadi satu."Kamu tidak apa-apa?" Tanyanya, panik. Matanya menatap nanar pada kaki Hanna yang terlihat memerah."Tidak apa-apa Tuan Arsyad."Hanna segera berjalan menuju kamar mandi untuk menyiram kakinya dengan air dingin. Arsyad tahu bahwa Hanna tak bisa melangkah dengan cepat segera menggendongnya."Diam dan jangan bicara apapun. Aku hanya membantumu mendapatkan pertolongan pertama." Ucapnya dengan tegas dan tak mampu dilawan oleh Hanna. Meskipun, dia sedikit risih dengan tindakan Arsyad.Arsyad segera menurunkan Hanna dan langsung menyalakan kran untuk menyiram kaki Hanna."Saya bisa sendiri Tuan." Ucapnya sembari merebut slang air dari tangan Arsyad.Arsyad mematung melihat Hanna yang menyiram kakinya. Dan tak lama dia keluar dari kamar mandi.HuuuuffttHanna langsung bernapas lega. Dia tadi begitu susah bernapas saat Arsyad didekatnya. Hanna berusaha mengontrol dirinya karena wajahnya terasa mulai memanas. Setelah menyiram kakinya, ia langsung membasuh wajahnya agar rasa panas itu segera kembali normal.Setelah selesai ia melangkah lagi menuju dapur untuk menikmati mie buatannya. Dia senang karena Arsyad sudah tidak ada."Yahhhh, sudah agak dingin..." ucapnya, sedih.Eheeemmm....Hanna langsung menoleh dan bisa dilihat Arsyad yang sudah berdiri lagi didekatnya."Mana kakimu... Biar aku olesi saleb."Arsyad langsung berjongkok bermaksud mengolesi kaki perempuan itu."Jangan Tuan... biar saya sendiri." Tolak Hanna.Arsyad mengangguk dan segera mundur. Namun, jakun pria itu naik turun melihat mie kuah yang nampak begitu lezat. Tadi saja aromanya sudah begitu menggiurkan. Rasanya pasti juga sangat enak. Batin Arsyad.Hanna yang berniat mengembalikan saleb, terdiam melihat Arsyad yang terus menatap mie buatannya."Tuan mau?""Tapi,ini sudah agak dingin. Biar saya buatkan yang baru." Ucapnya, ragu."Ini saja. Jika kamu tidak keberatan untuk memberikannya padaku. Dan____buatlah lagi untuk dirimu!" ucap Arsyad.Hanna mengangguk patuh dan segera menyerahkan semangkuk mie untuk Arsyad.Hanna kembali mengambil stok mie dalam laci pribadinya. Kembali jari lentiknya mengiris bumbu-bumbu dengan sangat terampil. Arsyad merasa seperti seorang suami yang sedang menunggu istrinya memasak. Sesekali bibirnya tersenyum tipis membayangkan hal itu. Meskipun, selama ini belum pernah sekalipun Sandra memasak untuknya. Istrinya itu terlalu takut jika kulit mulusnya terluka atau terkena percikan api.Kini semangkuk mie sudah habis tak tersisa."Hanna.... Aku____" ucapnya terbata.Perempuan itu mengerutkan keningnya karena tidak paham dengan ucapan Arsyad."Aku ingin semangkuk mie buatanmu lagi." Ucap Arsyad dengan polosnya.Hanna segera menuang kembali mie yang masih panas itu ke dalam mangkuk."Lalu kamu bagaimana?" Tanya Arsyad sedikit tidak enak. Padahal yang ingin makan adalah Hanna. Tapi, justru dirinya yang telah menghabiskan sampai dua mangkuk mie."Tenang saja Tuan... Saya bisa masak lagi."Tapi, rasanya perut Hanna sudah kenyang melihat majikannya makan dengan lahap. Sementara, dirinya kini lebih memilih menyeduh minuman oats untuk mengganjal perutnya yang selalu lapar saat malam hari."Apa yang kamu minum?" Tanya Arsyad lagi. Entah apa yang membuatnya begitu keppo dengan semua yang dimakan Hanna."O---oh ini minuman oats...""Kamu tidak jadi masak mie lagi?""Tidak tuan.... Emmm apakah Anda juga mau?" Tanya Hanna.Arsyad terlihat bimbang. "Aku sudah kenyang .Tapi, karena kamu terus memaksaku.... aku tidak akan menolaknya." Ucapnya dengan wajah innocent.'Ah,rasanya habis ini aku harus segera membakar kalori agar tubuhku tidak gendut'Oh jika kau meminta aku menjauhHilang dari seluruh memori indahmuKan kulakukan semua walau tak mungkin sanggupBohongi hatikuDooorrr..."Ealah copot-copot... Maliiiingggg." Ucap Hendro dengan kencang. Padahal hanya ditepuk pundaknya sama Wulan. Namun, pria itu malah teriak maling.Melihat tingkah Hendro, Wulan malah tertawa terbahak-bahak. Sementara, Hendro mendelik kesal pada gadis reseh itu."Pagi-pagi wes galau ae Ndro....Mending tu cuci mobil nyonya Sandra. Besok dia mau pulang." Ucap Mak Jum."Mak Jum ini ganggu wong galau saja." "Nasib-nasib..." Ucap Hendro sembari menepuk-nepuk handuk pada kaca spion mobil."Eh, tapi beneran Mak Jum kalau besok nyonya Sandra pulang? Emang nggak nambah lagi sekolahnya?" Tanya Hendro."Iyo bener... Ini aku mau ke pasar dulu sama Wulan buat beli keperluan nyonya Sandra." Ucap Jumiati.Terdengar suara gerbang terbuka, datang sosok pria yang memakai baju safari warna hitam. Dia adalah Prasetyo. "Tumben isuk-isuk wes podo ngumpul neng ngarep? (Tu
Pras melajukan mobilnya membelah jalanan kota Surabaya. Pagi yang cerah membuat jalanan begitu padat. Dibeberapa ruas jalan ada yang macet panjang."Pras...""Nggih pak bos...." Jawab Pras, ekor matanya melirik Arsyad melalui kaca spion."Berapa usiamu sekarang?""39 bos... Hehe... Sudah kelihatan tua ini, ubanku sudah bermunculan." Arsyad memang majikannya. Tapi, Arsyad menganggap semua karyawannya sebagai teman dan juga saudara. Hidupnya memang beruntung terlahir menjadi anak orang kaya. Namun, itu tidaklah menyenangkan sama sekali. Dia selalu merasa kesepian, sejak kecil dia tidak memiliki saudara. Bahkan, teman saja dia hanya punya satu. Menyedihkan."Istrimu kapan lahiran?""Satu bulan lagi bos...""Kamu beruntung Pras... Sudah memiliki seorang putra. Dan sebentar lagi anak keduamu lahir."Arsyad menatap kosong kearah gedung-gedung tinggi. Pikirannya menerawang dengan dua hal yang kini ia pikirkan, perceraian dan juga Hanna."Pak bos juga beruntung, memiliki istri nyonya Sandra
"Mbak Hanna-ku...."Hanna yang sedang mengelap meja hanya mampu mengelus dada karena kaget dengan sapaan Hendro. Dia tadi terlalu fokus dan setengah bengong saat bersih-bersih, sehingga tidak menyadari kehadiran Hendro. Bukan melamun sih, lebih tepatnya ingat kembali dengan ucapan Jumiati tadi. "Mereka sudah lama tidak tidur satu kamar. Bahkan, saat bertemu juga tidak saling bicara. Jika nyonya Sandra pulang, Tuan Arsyad justru tidak pulang ke rumah ini. Dia memilih tidur di apartemen."Lucu. Menjadi pasangan orang kaya ternyata tak selalu bahagia. Hanna teringat kembali hubungannya dengan Hardian yang awalnya juga terhalang restu. Hardian pria muda yang berkarir diperusahaan bonafit, sedangkan Hanna hanya seorang pegawai toko.Butuh effort lebih untuk hubungan mereka. Dan saat semua sudah berjalan baik, restu sudah didepan mata, justru takdir berkata sebaliknya. Kematian yang akhirnya menjadi ujung kisah mereka."Apa dek Hendro.....Mbak lagi sibuk ini. Tolong ya jangan diganggu dul
Hanna tersenyum melihat anak kecil yang sedang jalan berlenggak-lenggok. Dia bergaya seolah menjadi model yang sedang berjalan diatas catwalk. Lucu. Dia membayangkan dirinya kecil yang juga sering bertingkah seperti itu. Kadang memang imajinasi anak kecil itu begitu banyak. Berbagai profesi yang sering dibayangkan, bahkan langsung dipraktekkan. Dan rasanya memang sangat menyenangkan. "Hei awasss!" Teriak Hanna.BruukkAnak perempuan itu tersungkur jatuh kesisi jalan, sementara sepeda motor yang menyerempetnya justru kabur. Sungguh tidak bertanggung jawab. Hanna berjalan mendekati anak kecil itu."Kamu nggak apa-apa dek?""Nggak apa-apa Tante...""Ada apa mbak Hanna?"Hendro yang baru datang mengambil motornya begitu kaget saat melihat Hanna dan anak kecil duduk ditrotoar."Mas Hendro, adeknya keserempet motor dan pelakunya malah kabur."Hendro terlihat kaget juga mendengar cerita Hanna. Memang saat sore pasar disini ramai. "Tante antar kamu ke klinik ya biar dibersihkan lukanya.""
Arsyad Gafi mengawasi kesibukan kota Malang dari dalam mobil yang membawanya dari Surabaya. Kota berpenduduk sekitar delapan ratus ribu jiwa itu tampak padat dan semrawut, hampir mirip sekali dengan Surabaya yang baru saja ditinggalkannya. Mungkin karena bertepatan dengan jam sekolah dan jam kerja.Mobil Arsyad terlibat antrean panjang di antara kerumunan sepeda, truk besar dan motor yang menyelip seenaknya di antara deretan mobil-mobil yang tengah merayap de- ngan tidak sabar. Sebuah gerobak yang penuh berisi tumpukan keranjang, ditarik setengah berlari oleh seorang pria, melintas seenaknya di depan mobilnya. Rizal membunyikan klakson panjang dengan jengkel. Tetapi pria yang menarik gerobak itu tetap saja melintas dengan santai, seolah- olah dia tidak mendengar apa-apa.Di pinggir jalan, pedagang sayur dan buah- buahan menjajakan barang dagangannya ditengah kepulan asap truk dan juga banyaknya debu. Begitu banyak namun, buah yang dijual juga hampir sama disemua kios.Arsyad tersenyu
Selesai menjawab pesan dari Rudy, ia melangkah kembali menuju dapur untuk membereskan masakan bersama Jumiati dan yang lain. Sudah beberapa bulan hubungannya dan Rudy berjalan dengan baik. Meskipun, saat ini ia belum berani bertemu kembali dengan nenek Rudy."Semalam kamu tidur jam berapa Han? Emak lihat lampu kamarmu masih menyala sampai tengah malam? Apa kamu mimpi buruk lagi?"Hanna menegang seketika, wajahnya mendadak menjadi pucat. Teringat kembali dengan peristiwa semalam, hingga dirinya tanpa sadar tertidur disana. Tidak mungkin jika dia mengatakan bahwa semalam berada satu ruangan dengan majikannya. Walaupun tidak ada hal buruk terjadi. Tetapi, itu adalah hal yang tidak wajar dan sebuah aib. Dan bisa jadi akan menjadi fitnah."Semalam aku ketiduran Mak, lupa tidak mematikan lampu." Ujarnya lirih."Sudah dapat izin apa belum dari den Arsyad?" Tanya Jumiati lagi."Sudah Mak, besok pagi-pagi aku pulang, mungkin sebelum subuh.""Naik kereta? Kenapa tidak naik travel saja langsung
AKHIRNYA sampai juga Arsyad dirumahnya. Walau datangnya sudah petang, bahkan langit berwarna senja sudah berganti hitam. Namun, tak menyurutkan sama sekali rasa kesal dihatinya. Arsyad langsung melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Wajahnya sudah menahan amarah sejak tadi. Bahkan, saat di jalan saja dia sudah mengomel dengan tidak jelas pada pengendara lain yang mencoba menghambat mobilnya. Belum pernah dia semarah ini. Belum pernah juga dia merasa segera ingin tiba di rumah. Baginya dulu rumah hanyalah tempat untuk tidur dan sekadar berganti baju saja. Tidak ada yang spesial disana. Namun, kini ia begitu nyaman berada di rumah itu. Bahkan, makanan sederhana yang hanya ia lihat di televisi-pun berhasil memanjakan lidahnya. Semua karena kehadiran Hanna.Suasana rumah yang penuh canda tawa hanya ada dalam bayangannya saja. Tidak pernah terwujud hingga usianya lebih dari 30 tahun. Sering dia bertanya, apakah hidupnya akan selalu kesepian seperti ini? Apakah selama hidup ia tidak ak
"Casandra Hermawan! Buka pintunya!"Arsyad kembali mendatangi kamar istrinya. Pintu kamar yang terkunci itu ia gedor berkali-kali.Casandra yang baru membuka telepon seluler, kembali terkejut dengan suara Arsyad. Dia mencoba melangkah setenang-tenangnya. Dan begitu ia membuka pintu, Arsyad menoleh dengan sorot mata tajam yang menakutkan. Pria itu seolah-olah sedang ingin menerkam mangsanya. Wajah pria itu bahkan terlihat lebih menyeramkan dari beberapa saat tadi.Arsyad mendorong pintu kamar Casandra agar terbuka penuh. Sementara, perempuan itu berjalan mundur dengan gugup."Siapa yang menyuruhmu memecat Hanna? Katakan siapa?" Bentak Arsyad, matanya melotot tajam bak sebuah laser."Hah...?" Casandra tersentak kaget. "Hanna siapa?"Arsyad mengangkat sebelah bibirnya ke atas. Tubuhnya semakin meringsek mendekat ke arah istrinya.Casandra terlihat begitu takut. Raut wajahnya pucat seperti pasir. Ia menggenggam telpon miliknya begitu erat. Tangannya berkeringat dan tubuhnya mundur kebelak