Share

Bab 5 Menagih Janji

"Mbak Hanna-ku...."

Hanna yang sedang mengelap meja hanya mampu mengelus dada karena kaget dengan sapaan Hendro. Dia tadi terlalu fokus dan setengah bengong saat bersih-bersih, sehingga tidak menyadari kehadiran Hendro.

Bukan melamun sih, lebih tepatnya ingat kembali dengan ucapan Jumiati tadi.

"Mereka sudah lama tidak tidur satu kamar. Bahkan, saat bertemu juga tidak saling bicara. Jika nyonya Sandra pulang, Tuan Arsyad justru tidak pulang ke rumah ini. Dia memilih tidur di apartemen."

Lucu. Menjadi pasangan orang kaya ternyata tak selalu bahagia. Hanna teringat kembali hubungannya dengan Hardian yang awalnya juga terhalang restu. Hardian pria muda yang berkarir diperusahaan bonafit, sedangkan Hanna hanya seorang pegawai toko.

Butuh effort lebih untuk hubungan mereka. Dan saat semua sudah berjalan baik, restu sudah didepan mata, justru takdir berkata sebaliknya. Kematian yang akhirnya menjadi ujung kisah mereka.

"Apa dek Hendro.....Mbak lagi sibuk ini. Tolong ya jangan diganggu dulu. Nanti setelah ini ikut mbak ke toko buat beli mie. Nanti dek Hendro pasti mbak belikan lollipop." Ucap Hanna cekikikan.

"Jangan panggil dek, panggil mas saja seperti kemarin."

"Kemarin sudah beli mie to mbak Hanna? Kenapa harus beli lagi? Terlalu banyak makan mie tidak baik untuk kesehatan. Dan kalau mbak Hanna mau makan mie, mas Hendro masih punya stok banyak." Ucapnya dengan alis yang naik turun.

Hanna hanya melengos dan menghembuskan napas kasar.

"Mbak Hanna jadi pulang kampung?" Tanya Hendro.

"Aku belum izin... Memang boleh ya belum ada dua bulan disini terus ambil jatah libur untuk pulang?"

Tadi pagi dia sebenarnya ingin izin pada Arsyad untuk mengambil cuti. Namun, karena Arsyad tadi Arsyad mendominasi pembicaraan, akhirnya Hanna lupa untuk mengutarakan keinginannya.

"Biasanya sih......." Hendro menggantung kalimatnya. Pria itu memasang wajah yang sedikit takut. Sehingga membuat Hanna bisa menebak bahwa Arsyad tidak akan memberikan izin padanya. Mengingat bagaimana sikap Arsyad saat selama ini. Dingin dan juga mendominasi. Setiap kata yang keluar dari mulutnya tak bisa dibantah.

Hanna masih ingat siang itu ia menyebrang jalan. Langkah kakinya memang tak bisa untuk berlari. Sehingga ia hampir tertabrak mobil Arsyad. Namun, siapa yang menduga bahwa pria itu tiba-tiba memeluknya. Walau hingga detik ini ia belum mengetahui alasannya apa.

"Pak bos baik kok mbak Hanna. Pasti bolehlah, apalagi alasannya karena bapak mertua sakit. Memang lebih baik cuti dulu sebelum nenek sihir datang."

"Nenek sihir siapa?" Tanya Hanna, bingung. Dia justru mengabaikan ucapan Hendro yang menyebut orang tuanya sebagai mertua.

Hendro hanya tersenyum menunjukkan barisan giginya yang lumayan rapi. Meskipun tidak putih karena terbiasa minum kopi.

"Ha-ha-ha...." Hanna tertawa dengan keras saat melihat Hendro tersenyum lebar. Jari telunjuknya menunjuk ke arah gigi Hendro. Ternyata disana ada kulit cabai warna merah yang tersangkut di gigi depannya.

Hendro mengerutkan keningnya bingung.

"Aduh dasar kopi. Bikin malu aja di depan mbak Hanna." Ucap Hendro setelah dia melihat giginya dicermin yang terpajang disudut ruang tamu.

"Udah ah mas Hendro mending bantuin aku buat ngelap ini daripada ngajak bercanda terus..."

Hendro dengan senang hati membantu Hanna membersihkan ruangan itu. Usahanya untuk mendekati Hanna berjalan dengan mulus.

'Tak ada yang sia-sia jika kita sungguh-sungguh berusaha. Buktinya dek Hanna semakin lengket saja denganku. Wajah tampanku yang seperti Rizki Nazar memang begitu mudah untuk dicintai. Hei, mantan kekasihku yang sudah bunting. Aku bisa mendapatkan penggantimu yang seribu kali lebih cantik darimu....'

**

Senja berwarna jingga telah menggantikan langit biru. Semilir angin sore membuat daun-daun pepohonan menari dengan sangat indah dan begitu bebas seolah tanpa beban.

Waktu bekerja Arsyad sudah hampir selesai. Desain baru sudah berhasil dia rancang. Tinggal besok dia akan mencoba mempraktekkan pada kayu-kayu yang sudah ada pada pabrik furniture miliknya. Meskipun, dia seorang bos besar, tak jarang Arsyad terjun langsung untuk memoles sendiri produk-produk furniture miliknya. Dan hasil tangan Arsyad tak kalah bagus dari mereka semua. Mungkin sudah bakat turunan dari mendiang ayahnya.

"Bos besok kita berangkat jam 8 saja untuk menghindari macet jam pagi." Ucap Rizal.

Besok pagi dirinya akan pergi ke Malang. Disana ada pertemuan dengan para pengusaha.

"Terserah kamu saja." Ucap Arsyad sembari menyambar jaket yang ia gantung dikursi kerjanya. Arsyad memang tipikal bos yang kadang memakai setelan jas, kadang juga memakai setelan casual. Seperti yang sekarang dia pakai, celana denim dan kaos polos hitam menjadi pilihan outfitnya. Kadang ia memakai jas hanya untuk bertemu dengan kolega atau acara resmi saja. Dia tidak ingin begitu terlihat seperti seorang yang benar-benar gila kerja. Walau pada kenyataannya memang dia penggila kerja.

Pras sudah menunggu bosnya di parkiran. Untung sore ini langit tidak hujan. Arsyad tidak perlu memakai payung untuk menuju tempat parkir.

"Pras kamu pulang naik taksi saja." Ucap Arsyad. Dia juga menyerahkan selembar uang warna merah pada Pras.

Arsyad melajukan mobilnya membelah jalanan kota Surabaya yang sudah mulai padat dengan para karyawan yang pulang kerja. Dia berbelok dan mencari jalan pintas agar segera sampai ke tempat tujuannya. Hatinya begitu rindu dan ingin mengadu banyak hal. Bucket bunga mawar putih juga sudah dia bawa.

Tak sampai sepuluh menit mobil Arsyad sudah terparkir. Dia melangkah dengan tegak menuju ke tempat tinggal dua orang yang paling dia kasihi.

"Hai ma... Hai Pa.... Gimana kabar kalian?"

Arsyad meletakkan bucket bunga mawar putih itu di pusara ibunya. Lalu dia duduk disamping makam sang ibu setelah menaburkan bunga pada makam kedua orang tuanya. Kacamata hitam yang sejak tadi dia pakai masih bertengger manis dihidung mancungnya. Menyamarkan air mata yang menetes pada pria tampan itu.

"Ma... Dirumah sungguh begitu sepi tanpa kalian. Aku sengaja mencari banyak pembantu agar rumah itu tidak sepi. Ternyata hidup sehampa ini tanpa kalian."

"Tapi, jika kalian bertanya tentang kabar pernikahanku dengan Sandra. Aku rasa tidak ada perubahan sama sekali. Dan aku sudah berada pada titik jenuh hidup dengannya. Aku sudah memenuhi keinginan kalian untuk menikah dengan Sandra. Dan selama ini aku masih belum bisa mencintai Sandra.."

"Pa, kali ini izinkan Arsyad untuk berpisah darinya. Sesuai dengan janji papa dulu. Jika selama lima tahun aku belum mencintainya. Maka,aku bisa berpisah dengannya. Dan aku minta izin pada kalian berdua..."

Lima belas menit ia berada di makam itu. Ia menagih janji itu pada kedua orang tuanya. Tidak masalah jika nanti dia harus menghadapi banyak masalah karena perpisahan ini.

Arsyad kembali melajukan mobilnya untuk segera sampai di rumah. Jika dulu ia begitu malas untuk pulang, berbeda dengan sekarang. Ia begitu bersemangat untuk segera tiba dirumah. Disana ada perempuan yang mengganggu pikirannya belakangan ini.

Ciiit..

Arsyad mengerem mobilnya tiba-tiba. Atensinya fokus pada seseorang disebrang jalan yang sedang mengambil tomat. Senyum tersungging diwajah tampannya.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status