"Mbak Hanna-ku...."
Hanna yang sedang mengelap meja hanya mampu mengelus dada karena kaget dengan sapaan Hendro. Dia tadi terlalu fokus dan setengah bengong saat bersih-bersih, sehingga tidak menyadari kehadiran Hendro.Bukan melamun sih, lebih tepatnya ingat kembali dengan ucapan Jumiati tadi."Mereka sudah lama tidak tidur satu kamar. Bahkan, saat bertemu juga tidak saling bicara. Jika nyonya Sandra pulang, Tuan Arsyad justru tidak pulang ke rumah ini. Dia memilih tidur di apartemen."Lucu. Menjadi pasangan orang kaya ternyata tak selalu bahagia. Hanna teringat kembali hubungannya dengan Hardian yang awalnya juga terhalang restu. Hardian pria muda yang berkarir diperusahaan bonafit, sedangkan Hanna hanya seorang pegawai toko.Butuh effort lebih untuk hubungan mereka. Dan saat semua sudah berjalan baik, restu sudah didepan mata, justru takdir berkata sebaliknya. Kematian yang akhirnya menjadi ujung kisah mereka."Apa dek Hendro.....Mbak lagi sibuk ini. Tolong ya jangan diganggu dulu. Nanti setelah ini ikut mbak ke toko buat beli mie. Nanti dek Hendro pasti mbak belikan lollipop." Ucap Hanna cekikikan."Jangan panggil dek, panggil mas saja seperti kemarin.""Kemarin sudah beli mie to mbak Hanna? Kenapa harus beli lagi? Terlalu banyak makan mie tidak baik untuk kesehatan. Dan kalau mbak Hanna mau makan mie, mas Hendro masih punya stok banyak." Ucapnya dengan alis yang naik turun.Hanna hanya melengos dan menghembuskan napas kasar."Mbak Hanna jadi pulang kampung?" Tanya Hendro."Aku belum izin... Memang boleh ya belum ada dua bulan disini terus ambil jatah libur untuk pulang?"Tadi pagi dia sebenarnya ingin izin pada Arsyad untuk mengambil cuti. Namun, karena Arsyad tadi Arsyad mendominasi pembicaraan, akhirnya Hanna lupa untuk mengutarakan keinginannya."Biasanya sih......." Hendro menggantung kalimatnya. Pria itu memasang wajah yang sedikit takut. Sehingga membuat Hanna bisa menebak bahwa Arsyad tidak akan memberikan izin padanya. Mengingat bagaimana sikap Arsyad saat selama ini. Dingin dan juga mendominasi. Setiap kata yang keluar dari mulutnya tak bisa dibantah.Hanna masih ingat siang itu ia menyebrang jalan. Langkah kakinya memang tak bisa untuk berlari. Sehingga ia hampir tertabrak mobil Arsyad. Namun, siapa yang menduga bahwa pria itu tiba-tiba memeluknya. Walau hingga detik ini ia belum mengetahui alasannya apa."Pak bos baik kok mbak Hanna. Pasti bolehlah, apalagi alasannya karena bapak mertua sakit. Memang lebih baik cuti dulu sebelum nenek sihir datang.""Nenek sihir siapa?" Tanya Hanna, bingung. Dia justru mengabaikan ucapan Hendro yang menyebut orang tuanya sebagai mertua.Hendro hanya tersenyum menunjukkan barisan giginya yang lumayan rapi. Meskipun tidak putih karena terbiasa minum kopi."Ha-ha-ha...." Hanna tertawa dengan keras saat melihat Hendro tersenyum lebar. Jari telunjuknya menunjuk ke arah gigi Hendro. Ternyata disana ada kulit cabai warna merah yang tersangkut di gigi depannya.Hendro mengerutkan keningnya bingung."Aduh dasar kopi. Bikin malu aja di depan mbak Hanna." Ucap Hendro setelah dia melihat giginya dicermin yang terpajang disudut ruang tamu."Udah ah mas Hendro mending bantuin aku buat ngelap ini daripada ngajak bercanda terus..."Hendro dengan senang hati membantu Hanna membersihkan ruangan itu. Usahanya untuk mendekati Hanna berjalan dengan mulus.'Tak ada yang sia-sia jika kita sungguh-sungguh berusaha. Buktinya dek Hanna semakin lengket saja denganku. Wajah tampanku yang seperti Rizki Nazar memang begitu mudah untuk dicintai. Hei, mantan kekasihku yang sudah bunting. Aku bisa mendapatkan penggantimu yang seribu kali lebih cantik darimu....'**Senja berwarna jingga telah menggantikan langit biru. Semilir angin sore membuat daun-daun pepohonan menari dengan sangat indah dan begitu bebas seolah tanpa beban.Waktu bekerja Arsyad sudah hampir selesai. Desain baru sudah berhasil dia rancang. Tinggal besok dia akan mencoba mempraktekkan pada kayu-kayu yang sudah ada pada pabrik furniture miliknya. Meskipun, dia seorang bos besar, tak jarang Arsyad terjun langsung untuk memoles sendiri produk-produk furniture miliknya. Dan hasil tangan Arsyad tak kalah bagus dari mereka semua. Mungkin sudah bakat turunan dari mendiang ayahnya."Bos besok kita berangkat jam 8 saja untuk menghindari macet jam pagi." Ucap Rizal.Besok pagi dirinya akan pergi ke Malang. Disana ada pertemuan dengan para pengusaha."Terserah kamu saja." Ucap Arsyad sembari menyambar jaket yang ia gantung dikursi kerjanya. Arsyad memang tipikal bos yang kadang memakai setelan jas, kadang juga memakai setelan casual. Seperti yang sekarang dia pakai, celana denim dan kaos polos hitam menjadi pilihan outfitnya. Kadang ia memakai jas hanya untuk bertemu dengan kolega atau acara resmi saja. Dia tidak ingin begitu terlihat seperti seorang yang benar-benar gila kerja. Walau pada kenyataannya memang dia penggila kerja.Pras sudah menunggu bosnya di parkiran. Untung sore ini langit tidak hujan. Arsyad tidak perlu memakai payung untuk menuju tempat parkir."Pras kamu pulang naik taksi saja." Ucap Arsyad. Dia juga menyerahkan selembar uang warna merah pada Pras.Arsyad melajukan mobilnya membelah jalanan kota Surabaya yang sudah mulai padat dengan para karyawan yang pulang kerja. Dia berbelok dan mencari jalan pintas agar segera sampai ke tempat tujuannya. Hatinya begitu rindu dan ingin mengadu banyak hal. Bucket bunga mawar putih juga sudah dia bawa.Tak sampai sepuluh menit mobil Arsyad sudah terparkir. Dia melangkah dengan tegak menuju ke tempat tinggal dua orang yang paling dia kasihi."Hai ma... Hai Pa.... Gimana kabar kalian?"Arsyad meletakkan bucket bunga mawar putih itu di pusara ibunya. Lalu dia duduk disamping makam sang ibu setelah menaburkan bunga pada makam kedua orang tuanya. Kacamata hitam yang sejak tadi dia pakai masih bertengger manis dihidung mancungnya. Menyamarkan air mata yang menetes pada pria tampan itu."Ma... Dirumah sungguh begitu sepi tanpa kalian. Aku sengaja mencari banyak pembantu agar rumah itu tidak sepi. Ternyata hidup sehampa ini tanpa kalian.""Tapi, jika kalian bertanya tentang kabar pernikahanku dengan Sandra. Aku rasa tidak ada perubahan sama sekali. Dan aku sudah berada pada titik jenuh hidup dengannya. Aku sudah memenuhi keinginan kalian untuk menikah dengan Sandra. Dan selama ini aku masih belum bisa mencintai Sandra..""Pa, kali ini izinkan Arsyad untuk berpisah darinya. Sesuai dengan janji papa dulu. Jika selama lima tahun aku belum mencintainya. Maka,aku bisa berpisah dengannya. Dan aku minta izin pada kalian berdua..."Lima belas menit ia berada di makam itu. Ia menagih janji itu pada kedua orang tuanya. Tidak masalah jika nanti dia harus menghadapi banyak masalah karena perpisahan ini.Arsyad kembali melajukan mobilnya untuk segera sampai di rumah. Jika dulu ia begitu malas untuk pulang, berbeda dengan sekarang. Ia begitu bersemangat untuk segera tiba dirumah. Disana ada perempuan yang mengganggu pikirannya belakangan ini.Ciiit..Arsyad mengerem mobilnya tiba-tiba. Atensinya fokus pada seseorang disebrang jalan yang sedang mengambil tomat. Senyum tersungging diwajah tampannya.Pov AuthorBila aku harus mencintaiDan berbagi hati, itu hanya denganmuNamun bila ku harus tanpamuAkan tetap kuarungi hidup tanpa cintaSuara alunan musik dari grub band Element menjadi teman Hendro pagi ini. Dia begitu menghayati setiap lirik yang terlantun di lagu itu. Seolah-olah dirinya kini tengah mengalami patah hati yang teramat dalam."Oh mbak Hanna-ku, belum juga sehari ditinggal. Tapi, hati Hendro sudah rindu seperti ini. Apakah ini yang dinamakan cinta. Dekat terasa malu, jauh terasa amat rindu." ucap Hendro."Mas Hendro, mas Hendro. Kekasih bukan, gebetan juga bukan. Gimana bisa sampean rindu sama mbak Hanna? Aneh sampean itu..." Ujar Wulan.Saat ini Wulan dan Hendro sedang berada di taman. Hendro sibuk membersihkan mobil dan Wulan sibuk mencabut rumput yang sudah mulai tumbuh dan menganggu bunga-bunga yang dulu ditanam oleh almarhumah ibu Arsyad."Sepertinya sainganku kali ini tidak main-main. Tidak bisa dianggap remeh. Dan aku harus melakukan jalan satu-satunya yang b
Pov HannaSampai dihalaman rumah, aku melihat mobil Rudy sudah terparkir. Aku yakin dia sudah tiba sejak tadi. Pria itu selalu bersemangat saat datang ke rumah. Dan entah mengapa setiap kali Rudy datang, aku selalu merasa tak enak hati padanya. Mungkin, sudah saatnya aku memberi jawaban atas pertanyaannya selama ini. Menikah! Ya, Rudy sudah beberapa kali mengajukan pernyataan itu padaku. Namun, sampai detik ini aku masih menggantung perasaannya. Aku hanya belum siap memulai hubungan ke jenjang yang lebih serius dengan Rudy. Selama ini aku sudah menganggap dia seperti saudaraku sendiri. Meskipun, aku sudah membuka hatiku untuknya namun, tetap saja perasaanku masih tetap sama seperti dulu.Orang bijak pernah berkata, bahwa akan mudah bagi kita untuk jatuh cinta pada orang lain yang wajahnya sama dengan seseorang di masa lalu yang pernah kita cinta. Namun, ternyata itu tidak berlaku padaku. Wajah Rudy memang begitu mirip dengan mas Hardian. Tapi, rasa yang ada dihatiku tidaklah sama. Ba
"Loe kenapa San? Muka bete kayak gitu?"Casandra menghempaskan bokongnya dengan kesal ke kursi makan di rumah sahabatnya. Noura, sahabat sekaligus rekan bisnisnya di butik yang ada di Bandung.Terdengar hembusan napas yang besar darinya. Kepalanya bersandar pada kursi dan mendongak ke atas. Keduanya matanya terpejam meresapi semua kejadian yang dia alami. Belum ada 24 jam, namun bertubi-tubi kesialan datang padanya. Perceraian dan juga kemarahan dari ayahnya."Muka loe juga kenapa itu? Arsyad mukul loe?" Tanya Noura, heran melihat kedua pipi Casandra terlihat memar kebiruan.Sandra bergeming. Namun, tak lama gelengan kepala menjadi jawaban atas pertanyaan Noura."Bokap gue yang melakukan ini. Semalam gue di talak sama Arsyad." Sahutnya lirih.Noura melotot dengan tajam. Seolah-olah kedua bola matanya akan keluar begitu saja. Kaget, tentu saja sahabat Casandra itu begitu kaget dengan apa yang baru saja dikatakan oleh sahabatnya."Loe ga bohong, kan?"Casandra menggeleng dengan cepat."
"Assalamualaikum....""Wa'alaikumsalam.... Nak Hardian?" Ucap Muchlis. Lelaki yang memakai tongkat dan kacamata itu mungkin lupa bahwa yang ada dihadapannya sekarang bukanlah calon menantunya yang dulu."Maaf, maafkan bapak. Maksud bapak Nak Rudy. Wajah kalian begitu mirip, bapak sampai tidak bisa membedakannya. Kapan kamu pulang dari Makassar, nak?"Muchlis menyambut uluran tangan Rudy. Pria muda itu mencium tangan calon ayah mertuanya dengan khidmat. Rudy dan Hardian adalah dua saudara yang memiliki wajah hampir sama. Bahkan, orang sering mengira bahwa mereka kembar. Yang membedakan hanya postur tubuh Rudy lebih besar dan tinggi daripada Hardian. Dan pria itu juga memakai kacamata. Hanya itu saja yang membedakan mereka. Selebihnya wajah mereka benar-benar mirip."Tadi malam pak, sebenarnya rencana mau pulang bareng sama Hanna. Tapi, dia mendadak ada kerjaan yang tidak bisa ditunda. Jadi, Rudy pulang lebih dulu tanpa menunggu Hanna.""Iya, kemarin dia juga telpon begitu, katanya diru
"Di rumah ada siapa saja Hanna?""Hah?" Hanna menoleh dengan wajah sedikit bingung. Sepanjang perjalanan tadi dia dan Arsyad tak banyak bicara. Mereka berdua terlalu sibuk dengan isi pikiran masing-masing. Dan kini secara tiba-tiba Arsyad mulai membuka obrolan setelah tadi mereka berhenti sholat subuh di Masjid."Di rumah hanya ada bapak dan ibu. Dua saudara saya semua ikut suaminya ." sahut Hanna sedikit acuh. Kedua netranya kembali menatap ke arah jendela. Baginya melihat ramainya jalanan jauh lebih mengasyikkan ketimbang harus mengobrol dengan majikannya yang dinilai Hanna memiliki sikap aneh sejak pertemuan pertama mereka."Kalau gitu keponakanku pasti sudah banyak. Aah senangnya punya ponakan. Pasti rumah terasa ramai sekali.. Mereka ada berapa Hanna? Mungkin aku harus menyiapkan hadiah untuk mereka." Ucap Arsyad, senang.Hanna kembali menoleh dan melotot tajam mendengar ucapan absurd Arsyad. Entah pria itu sengaja atau hanya sekedar iseng agar membuat atensi Hanna kembali fokus
"Astaga, aku sampai lupa belum memberitahu Rudy kalau aku tidak jadi pulang sekarang. Semua gara-gara Tuan Arsyad. Apa yang sebenarnya dulu terjadi antara aku dan dia? Mengapa sedikitpun aku tidak ingat sama sekali tentang dia? Mana sikapnya absurd sekali." Gerutunya lirih.Hanna memandang dengan gamang ponsel yang sudah berdering dua kali itu. Disatu sisi hatinya ia tetap ingin bersikap baik pada pria itu. Tapi, disatu sisi hatinya yang lain Hanna tidak bisa berbohong bahwa ia tak mencintai Rudy sama sekali. Tapi, karena pria itu telah begitu lama mengungkapkan perasaannya, Hanna menjadi tak enak hati untuk menolaknya. Meskipun, tak jarang pula ia selalu berkata pada Rudy bahwa rasa itu belum ada sama sekali. Tapi, nyatanya adik dari mantan kekasih Hanna itu sama sekali tak peduli dengan hal itu. Dia tetap maju untuk mengejar cinta Hanna.Hardian dan Rudy adalah dua saudara yang memiliki wajah begitu mirip, bagaikan kembar. Dan seharusnya itu menjadi hal mudah untuk Hanna mencintainy