Share

Bab 5 Amarah Hermawan

Pras melajukan mobilnya membelah jalanan kota Surabaya. Pagi yang cerah membuat jalanan begitu padat. Dibeberapa ruas jalan ada yang macet panjang.

"Pras..."

"Nggih pak bos...." Jawab Pras, ekor matanya melirik Arsyad melalui kaca spion.

"Berapa usiamu sekarang?"

"39 bos... Hehe... Sudah kelihatan tua ini, ubanku sudah bermunculan."

Arsyad memang majikannya. Tapi, Arsyad menganggap semua karyawannya sebagai teman dan juga saudara. Hidupnya memang beruntung terlahir menjadi anak orang kaya. Namun, itu tidaklah menyenangkan sama sekali. Dia selalu merasa kesepian, sejak kecil dia tidak memiliki saudara. Bahkan, teman saja dia hanya punya satu. Menyedihkan.

"Istrimu kapan lahiran?"

"Satu bulan lagi bos..."

"Kamu beruntung Pras... Sudah memiliki seorang putra. Dan sebentar lagi anak keduamu lahir."

Arsyad menatap kosong kearah gedung-gedung tinggi. Pikirannya menerawang dengan dua hal yang kini ia pikirkan, perceraian dan juga Hanna.

"Pak bos juga beruntung, memiliki istri nyonya Sandra yang cantik dan memiliki karir bagus. Usahanya sukses dimana-mana. Tidak ada yang lebih bahagia dari bos hidupnya..." Ucap Pras.

Arsyad tersenyum getir. Baginya hidupnya adalah sebuah kemalangan yang entah kapan akan menemui ujungnya. Tidak ada kata beruntung dalam hidupnya.

"Rumah aslimu mana Pras?"

"Saya Blitar pak Bos... Tapi, anak istri sudah berada disini. Tinggal ibu dan adik yang di Blitar." Jawab Pras.

"Blitar yaaa.... Tempat makam bung Karno itu?"

"Benar pak bos."

"Kalau Tulungagung itu dimana Pras? Aku orang Jawa Timur tapi, minim pengetahuan tentang kota-kota disini. "

"Tulungagung itu dekat sama Blitar pak Bos. Setengah jam dari rumahku sudah masuk Tulungagung. Itu si Hanna rumahnya Tulungagung."

"Apa kira-kira kita mau perjalanan dinas kesana pak bos?" Tanya Pras dengan antusias. Biasanya jika Arsyad bertanya tentang nama kota, maka, Pras harus siap-siap untuk melakukan perjalanan jauh.

Arsyad tidak menjawabnya. Dia justru mengajukan pertanyaan lain. "Berarti Hanna tetanggamu?"

Rasa ingin tahunya tentang Hanna begitu besar. Ia hanya ingin membuktikan dengan kepalanya sendiri bahwa Hanna yang bekerja dirumahnya memang Hanna yang ia cari.

Pras menatap bosnya lewat spion. "Bukan sih bos.... Tapi, Hanna itu temannya tetanggaku dikampung." Jawab Pras.

"Jujur kasihan bos si Hanna itu..."

"Lima tahun lalu dia kecelakaan mobil. Calon suami dan kedua orang tua dari lakinya meninggal ditempat. Dan hanya Hanna yang selamat. Tapi, sayangnya dia mengalami kelumpuhan. Kehidupannya benar-benar hancur pak bos... Miris pokoknya sama kisah Hanna." Ucap Pras.

Arsyad semakin penasaran dengan kisah hidup Hanna. Tapi, rasanya nasib dirinya juga tidak lebih beruntung dari Hanna. Lima tahun lalu kedua orang tuanya juga meninggal karena kecelakaan. Dan sekarang istrinya terbukti berselingkuh. Lengkap sudah cerita ketidak-beruntungannya

Arsyad mengusap wajahnya dengan kasar. Dia ingin sekali mengakhiri pernikahan dengan Sandra. Namun, perjanjian itu masih kurang beberapa bulan lagi. Dan dia masih harus bersabar dengan hal itu.

**

Jumiati baru saja pulang dari pasar bersama Wulan. Semua kebutuhan Sandra sudah ia dapatkan. Biasanya istri Arsyad itu selalu mengomel saat pulang. Selalu saja ada yang salah dan kurang. Walau pada dasarnya majikannya itu hanya ingin marah-marah saja.

"Wulan, kamu tata semuanya seperti biasa. Mak mau bereskan kamar dulu."

"Hanna, ikut emak ke kamar utama den Arsyad. Kita bersihkan kamarnya." Ucapnya pada Hanna.

Pelan-pelan Hanna menaiki tangga rumah itu. Tak terbayang dalam benaknya bisa bekerja di rumah mewah yang dulu hanya bisa dia lihat ditelevisi. Dan ini jauh lebih besar dari rumah bosnya dulu. Bahkan, luasnya bisa lebih luas dari 10 rumah di kampung.

Sampai dikamar utama membuat Hanna terkesiap. Begitu besar dan luas, semua barang-barang juga bagus dan mewah. Kamar majikannya seperti kamar utama hotel bintang lima. Mengagumkan.

"Kamu ganti seprei dengan yang ini. Nyonya Sandra maunya sprei harus diganti tiap hari." Ucap Jumiati.

"Berarti besok harus diganti lagi dong Mak?"

"Iyaa...."

"Kamu nggak ada rencana buat nikah Han?"

Hanna menghentikan tangannya yang sedang menarik sprei. "Belum kepikiran Mak... Mungkin sudah nasibku jadi perawan tua. Selain sudah tua, aku juga tidak sempurna begini. Mana ada lelaki yang mau denganku...." Ucapnya lirih.

"Huusshh ngomong apa kamu ini. Usiamu baru 30an kok. Kalau mau punya anak juga masih bisa. Emak dulu punya anak kedua umur 34. Kakimu juga pasti akan semakin kuat nanti. Jangan putus asa." tutur Jumiati.

"Aku tidak putus asa Mak... Hanya saja fokusku sekarang ingin mencari uang dulu. Bapak ibuku dirumah sudah sepuh. Dan tabungan mereka sudah habis aku gunakan untuk biaya berobat. Jadi, sekarang waktunya Hanna untuk membalas mereka..."

"Mak doakan yang terbaik untukmu Hanna. Kamu sudah Mak anggap sebagai anakku sendiri. InshaAllah dibalik cobaan yang kamu hadapi pasti akan ada berkah dibalik itu semua..." Tutur Jumiati sembari mengelus pundak Hanna penuh kasih layaknya seorang ibu.

"Amin...."

"Kita lanjut ke kamar pribadi den Arsyad."

"Lho Mak, memang mereka tidak tidur bersama?"

**

"Dimana kamu Sandra!"

Seorang lelaki paruh baya datang dengan amarah, rahangnya mengetat dan emosinya sudah sampai diubun-ubun. Dia mendobrak pintu apartemen milik putrinya itu. Kemarin dia mendapatkan informasi bahwa putrinya selama ini diam-diam masih berhubungan dengan pria miskin yang begitu ia benci. Pria kere yang hanya anak seorang petani. Sungguh berbeda kasta dengan dirinya yang seorang pengusaha kaya dan terkenal.

"Casandra, Keluar kamu!"

"Ayah...?"

Casandra keluar dari kamar dengan penampilan yang berantakan. Rambut acak-acakan dan juga gaun tidur yang belum terpakai sempurna. Dibelakang dia ada Gio yang juga kaget dengan kedatangan Hermawan.

"Anak goblok, beraninya kamu membawa pria miskin ini kesini." Ucap Hermawan.

Dia menarik paksa anak perempuannya itu untuk keluar dari kamar.

Plak

Hermawan menampar Gio dengan keras. Walau sebenarnya tamparan itu ia tujukan ke arah putrinya. Namun, dengan sigap Gio menggantikan posisi Sandra.

"Kucing kecil menjijikan." Ucap Hermawan.

Dia juga melayangkan beberapa pukulan ke Gio. Hingga membuat pemuda itu tersungkur ke lantai.

"Ayah, stop! Jangan pukul Gio seperti ini." Teriak Sandra.

Ia berlari ke arah Gio dan menolongnya untuk bangun.

"Kamu nggak apa-apa sayang."

Casandra mengusap bibir Gio yang berdarah dan membantunya berdiri. Gio tidak pernah melawan Hermawan, baginya ayah dari Casandra adalah orang tua juga baginya. Sekalipun hingga detik ini dia belum mendapatkan restu darinya.

"Oom, saya mencintai Casandra. Tolong biarkan kami hidup bersama. Saya mohon oom.."

Gio bersimpuh di kaki pria tua itu. Memohon dengan sungguh-sungguh.

"Sampai mati juga tidak akan aku restui kalian. Pergi dari sini sebelum aku membunuhmu."

Mau tak mau Gio segera memakai bajunya dan mengambil jaket yang ia letakkan disofa. Untuk kesekian kalinya dia harus mengakui bahwa dirinya hanya pria lemah yang tak punya power sedikitpun.

Plak

Plak

Selepas kepergian Gio, Hermawan menampar Casandra.

"Pulang ke rumah Arsyad sekarang. Atau hidup dijalanan."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status