Share

Cintaku Terhalang Weton
Cintaku Terhalang Weton
Penulis: Rindu Rinjani

1. Tembungan*

Danang duduk dengan tegak di ruang tamu kediaman kekasihnya Ayu. Kedua telapak tangannya terasa dingin, dan jantungnya berdegup kencang. Sesekali kakinya bergerak naik turun seperti mengoperasikan mesin jahit.

Ayu yang duduk di sebelahnya pun melirik kekasihnya, ini kedua kalinya Danang terlihat sangat gugup. Pertama saat kekasihnya maju untuk sidang skripsi beberapa tahun lalu. Kedua adalah hari ini, saat sang kekasih berniat menyampaikan niat baik untuk meminangnya.

Sebelumnya Ayu menyemangati Danang dengan mengusap lengannya lembut. Namun hal itu tak mungkin dilakukan saat ini karena kedua orang tuanya duduk berseberangan dengannya.

Sepasang kekasih ini sudah cukup lama menjalin hubungan, tepatnya saat mereka masih kuliah dulu, tapi hubungan itu sempat kandas lantaran Danang diterima kerja di luar kota. Mereka berdua tidak setuju dengan hubungan jarak jauh, dan sepakat jika bertemu lagi dan masih ada rasa sebaiknya mengulang kembali.

Dua tahun lalu, Danang mendapatkan kesempatan untuk kembali ke kota kelahirannya Surakarta, dan menduduki jabatan sales manager. Secara tak sengaja ia bertemu dengan Ayu di tempat cuci mobil, dan bertukar nomor ponsel.

Semenjak kejadian itu, frekuensi pertemuan mereka pun semakin sering. Hingga mereka memutuskan untuk merajut kisah cinta kembali.

“Hmm jadi kamu benar-benar ingin meminang Ayu, putri saya?” tanya Pak Suryo ayah kandung Ayu memecah keheningan.

Danang mengangguk, “Injih Pak (Iya Pak).”

Pak Suryo mengangguk-angguk, kemudian memilin-milin kumisnya yang tidak seberapa tebal.

Pak Suryo melirik ke arah ibu Ayu, Bu Ratmi yang duduk di sofa panjang yang sama dengannya, mereka hanya dipisahkan oleh sebuah bantal duduk diantara mereka. Pak Suryo dan Bu

Ratmi memang sudah berpisah secara hukum, tapi mereka berdua masih mengurus kepentingan anak bersama. Apalagi tugas menikahkan anak perempuan adalah tanggung jawab sang Bapak.

“Bapak saja,” kata Bu Ratmi.

Pak Suryo menghela napas panjang, kemudian melirik ke arah Ayu dan juga Danang di seberangnya. Pria paruh baya ini berdehem sekali sebelum menyampaikan sesuatu.

Danang semakin gugup begitu Bu Ratmi mempersilakan Bapak kandung Ayu untuk menyampaikan jawaban dari mereka. Selama ini keluarga Ayu memang tak pernah menunjukkan ada kebencian atau rasa tidak suka terhadap Danang, meskipun mereka hampir tidak pernah ikut menemui Danang saat ia datang ke rumah Ayu. Setiap kali Danang berpamitan pun sikap Bu Ratmi biasa saja, tidak menunjukkan rasa risih atau terganggu dengan kehadirannya.

Danang sudah memiliki pekerjaan yang mapan, rumah tinggal tipe 36 dan mobil sudah dimiliki olehnya, jadi secara ekonomi ia sudah siap untuk menjadi seorang suami. Harusnya ia patut berbangga dan percaya diri kalau pinangannya akan diterima oleh keluarga Ayu. Namun pada kenyataannya, rasa was-was terus saja menyelimutinya.

“Kami sangat berterima kasih dan menghargai niat baik Nak Danang untuk meminang putri kami Ayu, tapi maaf kami tidak bisa menerima pinangan Nak Danang,” putus Pak Suryo, ayah kandung Ayu.

Putusan ini seperti hantaman palu godam di dada pemuda berambut lurus ini. Wajahnya seketika terasa panas. Hal ini benar-benar jawaban yang tak ingin didengar oleh mereka berdua.

Ayu yang duduk di sampingnya pun tersentak kaget. Ayahnya baru dua kali bertemu dengan Danang dan sikapnya ramah pada kekasihnya, tapi hari ini saat niat baik untuk meminangnya disampaikan justru menimbulkan penolakan.

“Ma ... maaf Pak, apa benar pinangan saya ditolak?” tanya Danang tak bisa mempercayai apa yang ia dengar barusan.

“Iya Nak Danang, maafkan Bapak ya. Bapak tidak bisa menerima pinangan Nak Danang,” Pak Suryo mengulangi.

“Ta … tapi mengapa Pak. Apakah saya pernah melakukan hal yang tidak semestinya, atau mungkin saya kurang sopan atau bagaimana Pak?” tanya Danang meminta penjelasan.

Bibir Ayu terlihat bergetar, ia seperti tengah menahan emosinya kali ini.

“Bapak, kenapa dengan Mas Danang. Mas Danang bukan laki-laki kurang ajar, selama ini selalu melindungi dan bisa menjaga Ayu. Mas Danang juga sudah mapan kerjaannya, bahkan rumah dan mobil juga sudah disiapkan supaya nanti ketika kita berumah tangga tidak perlu mengontrak lagi,” sangkal Ayu.

“Bukan masalah itu Yu, tapi ada pertimbangan lain yang harus diperhatikan, dan ini sudah menjadi pakem yang tidak bisa diganggu gugat,” kata Pak Suryo mencoba meyakinkan putrinya.

“Sudah Pak, langsung bilang aja alasananya. Gini Danang, kalian berdua tidak jodoh, keluarga besar kami sudah menghitung dari weton kalian yang jumlahnya 25, ini adalah petaka bagi kehidupan rumah tangga kalian!” putus Bu Ratmi, Ibu dari Ayu sambil mengangkat dagunya dan membuang muka.

“Hah, karena weton?” tanya Ayu dan Danang secara bersamaan.

Lho yo iyo to nduk*. Kowe ki lahire 15 Mei 1995 pas senin wage, lah Danang kuwi lahire yen ora salah 16 Januari 1993, yo to (Benarkan nak. Kamu lahirnya 15 Mei 1995, hari senin wage, kalau tidak salah Danang lahir 16 Januari 1993) ?”

Danang mengangguk, “Njih Bu, leres (Iya Bu, benar).”

Lha iki iki bahaya yen omah-omah mengko (Ini bisa bahaya saat berumah tangga nanti),” tambah bu Ratmi kemudian berdiri.

Wanita berperawakan sedang itu pun mulai berjalan mondar-mandiri dan memaparkan tentang rahasia di balik tanggal lahir mereka berdua.

“Ibu sudah melihat penanggalan, Ayu ki wetone Senin Wage. Dina senin ki neptune papat, yen pasaran wage ki neptune yo papat, yen dijumlah ki dadi wolu. Lha Danang ki tibane Sabtu Kliwon. Sabtu kuwi neptune sanga, yen kliwon ki wolu, dadine pitulas. Lah pitulas tambahi wolu ki lak selawe to iki sujanan wes ra iso iki. (Ibu sudah melihat penanggalan, weton Ayu adalah Senin Wage. Neptu untuk senin adalah empat, dan wage empat, jika dijumlah hasilnya delapan. Sedangkan Danang Sabtu Kliwon, Sabtu neptunya sembilan dan kliwon delapan, dijumlah tujuh belas. Jadi delapan ditambah tujuh belas hasilnya 25, ini artinya akan ada pertikaian, dan ini tak bisa dibiarkan).”

“Sudah sejak jaman leluhurmu dulu kalau tiap pasangan yang perhitungannya ketemu angka 25 dalam penjumlahan weton, maka akan memiliki nasib pernikahan Bale Kedhawang. Bale itu pendopo yang menjadi tempat keluar masuk orang yang artinya dalam pernikahan akan banyak keluar masuk masalah. Sedangkan kedhawang sendiri artinya kejatuhan,” tambah Ayah Ayu.

“Tapi Yah, itu semua kan cuma mitos,” sanggah Ayu.

Bu Ratmi tersenyum sinis, kemudian memandang ke arah putrinya, “Ojo ngeyel to (Jangan ngeyel). Ibu dan Bapakmu ini sudah membuktikan sendiri. Dulu Bapak dan Ibumu ini dikasih tahu tidak nurut, padahal sudah dihitung berkali-kali kalau weton tidak cocok, sampai akhirnya dipilihkan tanggal satriyo wibowo yang bisa menolak bala dan memberi kerkatan. Namun karena tanggalnya jatuh tidak di hari libur, akhirnya Bapak dan Ibumu melanggar. Akibatnya apa, pernikahan kami tidak langgeng dan berujung perceraian.”

Ayu dan Danang hanya menunduk.

“Iya Ayu, Ayah dan Ibu ini sayang sama kamu, makanya nggak ingin kamu mengalami nasib yang sama seperti kami. Bukankah lebih baik mencegah?” kata Pak Suryo.

Ayu hanya bisa mengerucutkan bibirnya mendengar penuturan kedua orang tuanya ini.

Note : 

* Tembugan : Meminang

* Nduk : Panggilan untuk anak perempuan di Jawa

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status