Share

2. Diusir

Bu Ratmi dan Pak Suryo masih saja bicara panjang lebar mengenai perhitungan weton yang tidak boleh dilanggar oleh keluarga mereka. Sementara Ayu dan Danang hanya bisa menunduk lesu.

Tak usah ditanya bagaimana perasaan Danang saat ini, terpukul, sakit itu jelas. Jika penolakan ini dikarenakan masalah lain seperti ekonomi ia masih bisa mengerti. Namun ini karena hitungan weton yang menurutnya sangat aneh.

Danang sendiri juga berasal dari Jawa sama seperti Ayu, tapi keluarganya tidak pernah mempermasalahkan weton seperti keluarga kekasihnya. Kedua orang tua Danang menganggap Ayu sebagai calon menantu yang pas lantaran sopan santun dan sikapnya yang mandiri.

“Seberapa pentingkah weton itu dalam kehidupan berumah tangga nanti? Apakah benar hitungan weton akan menyebabkan ketidakbahagiaan?” pikir Danang sambil melirik Ayu yang cemberut.

“Hmm gimana, apa yang Bapak dan Ibu sampaikan sudah jelas ya? Jadi sudah nggak ada lagi yang perlu dibicarakan. Yen kowe ameh kekancan karo nak Danang Ibu ora masalah, tapi yen omah-omahan Ibu ora iso iso wenehi pangestu (Jika kamu ingin berteman dengan nak Danang maka tidak masalah bagi Ibu, tapi untuk berumah tangga Ibu tidak bisa memberi restu)!” tukas Bu Ratmi.

Ayu langsung mendekat kepada Ibunya, dan meraih tangan yang selalu mengusap kepalanya lembut di waktu kanak-kanak.

Bu, sakniki mpun modern, mpun jamane komputer, sakedahipun mboten kagem weton-weton (Bu, sekarang sudah modern, sudah jaman komputer, seharusnya tidak perlu menggunakan weton-weton),” jelas Ayu yang tidak bisa menerima keputusan kedua orang tuanya.

Lha iki bocah dikandani koq ngeyel tenan to (Anak ini dikasih tahu tetap saja ngeyel),” balas Bu Ratmi ketus kemudian melirik ke arah suaminya.

Lha niki Pak, bocah jaman saiki, ora iso manut wong tuwo (Ini Pak, anak jaman sekarang tidak bisa menurut pada orang tua)!” seru Bu Ratmi pada mantan suaminya.

Pak Suryo hanya menghela napas panjang kemudian mengelus dada.

Nduk, sekarang memang sudah jaman modern yang serba canggih. Namun bukan berarti kita lupa akan warisan dari leluhur kita. Hitungan weton itu sudah ada dari jaman nenek moyang, dan semuanya diatur untuk kepentingan masyarakat, bukan sembarangan mengatur,” jelas Pak Suryo.

Danang dan Ayu pun sama-sama mengangguk. Mencoba untuk mengerti, tapi tetap saja hal ini tidak masuk dalam logika berpikir mereka berdua.

Diam-diam Ayu melirik ke arah kekasihnya, ia ingin agar Danang mengatakan sesuatu pada kedua orang tuanya.

Mas, opo mas terimo keputusane Bapak, Ibu (Mas, apa Mas bisa menerima keputusan Bapak dan Ibu)?” bisik Ayu.

Yo ora to dhik (Ya jelas tidak, dek). Ini aneh menurut Mas,” balas Danang juga sambil berbisik.

“Kalau gitu mas ngomong ke Bapak dan Ibu,” desak Ayu sambil menyikut pinggang Danang.

Danang hanya diam. Sebenarnya ia ingin menyampaikan keberatanya, tapi takut nanti akan terbawa emosi. Apalagi jika keberatannya ini tak dianggap, bisa-bisa Ayu kecewa dan bereaksi berlebihan.

“Ayo Mas,” bisik Ayu lagi.

Danang pun menghela napas panjang, kemudian ia memberanikan diri untuk mengajukan keberatannya akan keputusan kedua orang tua Ayu, walaupun ia tahu hal ini bisa mendatangkan resiko bagi hubungannya kelak.

Ngapunten Pak, Bu (Mohon Maaf Bapak, Ibu). Sebelumnya saya minta maaf sekali lagi, bukan bermaksud lancang ataupun tidak menghormati kebiasaan dan nilai-nilai dari leluhur. Apakah memang hitungan weton yang tidak sesuai itu pasti akan membuat pasangan tidak bahagia. Mohon maaf apa kita tidak mendahului kehendak Tuhan jika berasumsi demikian?” kata Danang dengan hati-hati.

Mendengar argumen dari kekasih Ayu, lantas kedua orang tuanya pun merasa tersinggung. Menganggap Danang telah lancang sok menasihati mereka berdua.

Bagi Pak Suryo dan Bu Ratmi, Danang hanyalah seorang anak ingusan yang sok tahu.

“Lho lho kok jadi begini ngomongnya,” protes Bu Ratmi.

“Maaf Bu, saya tidak bermaksud untuk menggurui,” jawab Danang merasa tak enak hati.

“Anak jaman sekarang memang sudah tidak ada lagi yang mau menghargai nilai budaya. Semuanya terpengaruh kehidupan asing yang bebas, makanya banyak yang salah jalan, terpengaruh obat-obatan, seks bebas dan tidak pernah menghormati orang tua,” tambah Pak Suryo yang juga tersinggung akan ucapan Danang.

“Maaf Pak, mohon maaf sekali lagi. Saya tidak bermaksud untuk tidak menghormati anda sebagai orang tua, tapi saya hanya bertanya. Sebagai informasi, hubungan saya dan Ayu tidak pernah melenceng dari norma,” jelas Danang mengklarifikasi dugaan orang tua Ayu.

Selama menjalin hubungan memang Ayu dan Danang tidak pernah macam-macam. Mereka tidak pernah berduaan di tempat yang sepi seperti kebanyakan pemuda jaman sekarang.

“Masalah itu, kami berdua percaya kalau nak Danang bisa menjaga putri kami dengan baik, dan tidak pernah macam-macam dengan puti kami. Namun untuk masalah kali ini keadaannya berbeda, apa yang dipikirkan oleh Bapak dan Ibu mengenai hitungan weton ini dianggap mendahului kehendak Tuhan, lalu bagaimana dengan Nak Danang yang menganggap ini akan baik-baik saja? Apa itu tidak mendahului juga. Apa yang dipikirkan oleh Bapak dan Ibu ini adalah untuk mencegah masalah timbul dalam kehidupan rumah tangga kalian berdua nanti, bukankah kita lebih baik mencegah sebelum kejadian,” papar Pak Suryo.

Danang hanya mengangguk, kembali ia menyampaikan maaf, ia sudah tak bisa berkata apa-apa lagi kali ini. Kedua orang tua Ayu tetap saja bersikeras dengan pemahaman mereka.

“Maaf-maaf saja dari tadi. Dari sini saja sudah kelihatan kalau pernikahan kalian nanti akan membawa banyak masalah. Ini contohnya, kalian menentang dan mencoba untuk menggurui orang tua!” tukas Bu Ratmi dengan nada tinggi.

“Ibu dan Bapak ini sudah banyak makan asam garam, sudah lebih berpengalaman. Kamu anak masih bau kencur sudah berani menasihati orang tua. Benar-benar tak tahu sopan santun,” lanjut Bu Ratmi yang masih tidak bisa menerima ucapan Danang.

“Sekali lagi saya minta maaf Bu, saya tidak bermaksud untuk bersikap tidak sopan. Saya hanya mencoba mengungkapkan perasaan terhadap Ayu.”

Bu Ratmi membuang muka, kemudian melirik pada Pak Suryo dan meminta agar bapak kandung Ayu untuk memberikan dukungan pada keputusannya. Pria yang masih tampak gagah itu pun akhirnya buka suara.

“Danang, kalau kamu memang mencintai putri kami, seharusnya kamu bisa menghargai keputusan kami. Selama Ayu belum menikah, Ayu masih menjadi tanggung jawab kami berdua.”

Belum juga Pak Suryo mengungkapkan maksud dari perkataannya, Bu Ratmi pun langsung membuat keputusan dan meminta agar Danang segera meninggalkan rumahnya.

“Sekali lagi keputusan sudah dibuat, dan tak bisa diganggu gugat. Sekarang nak Danang boleh pulang dan jangan ganggu kehidupan anak saya lagi. Saya juga kurang sreg melihat sikap nak Danang yang tidak punya sopan santun!” seru Bu Ratmi sambil tangannya mengarah ke arah pintu keluar, dan menandakan Danang harus pergi dari rumah itu sekarang.

“Saya mengerti Bu, permisi,” kata Danang kemudian meninggalkan ruang tamu keluarga Ayu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status