Bu Ratmi dan Pak Suryo masih saja bicara panjang lebar mengenai perhitungan weton yang tidak boleh dilanggar oleh keluarga mereka. Sementara Ayu dan Danang hanya bisa menunduk lesu.
Tak usah ditanya bagaimana perasaan Danang saat ini, terpukul, sakit itu jelas. Jika penolakan ini dikarenakan masalah lain seperti ekonomi ia masih bisa mengerti. Namun ini karena hitungan weton yang menurutnya sangat aneh.
Danang sendiri juga berasal dari Jawa sama seperti Ayu, tapi keluarganya tidak pernah mempermasalahkan weton seperti keluarga kekasihnya. Kedua orang tua Danang menganggap Ayu sebagai calon menantu yang pas lantaran sopan santun dan sikapnya yang mandiri.
“Seberapa pentingkah weton itu dalam kehidupan berumah tangga nanti? Apakah benar hitungan weton akan menyebabkan ketidakbahagiaan?” pikir Danang sambil melirik Ayu yang cemberut.
“Hmm gimana, apa yang Bapak dan Ibu sampaikan sudah jelas ya? Jadi sudah nggak ada lagi yang perlu dibicarakan. Yen kowe ameh kekancan karo nak Danang Ibu ora masalah, tapi yen omah-omahan Ibu ora iso iso wenehi pangestu (Jika kamu ingin berteman dengan nak Danang maka tidak masalah bagi Ibu, tapi untuk berumah tangga Ibu tidak bisa memberi restu)!” tukas Bu Ratmi.
Ayu langsung mendekat kepada Ibunya, dan meraih tangan yang selalu mengusap kepalanya lembut di waktu kanak-kanak.
“Bu, sakniki mpun modern, mpun jamane komputer, sakedahipun mboten kagem weton-weton (Bu, sekarang sudah modern, sudah jaman komputer, seharusnya tidak perlu menggunakan weton-weton),” jelas Ayu yang tidak bisa menerima keputusan kedua orang tuanya.
“Lha iki bocah dikandani koq ngeyel tenan to (Anak ini dikasih tahu tetap saja ngeyel),” balas Bu Ratmi ketus kemudian melirik ke arah suaminya.
“Lha niki Pak, bocah jaman saiki, ora iso manut wong tuwo (Ini Pak, anak jaman sekarang tidak bisa menurut pada orang tua)!” seru Bu Ratmi pada mantan suaminya.
Pak Suryo hanya menghela napas panjang kemudian mengelus dada.
“Nduk, sekarang memang sudah jaman modern yang serba canggih. Namun bukan berarti kita lupa akan warisan dari leluhur kita. Hitungan weton itu sudah ada dari jaman nenek moyang, dan semuanya diatur untuk kepentingan masyarakat, bukan sembarangan mengatur,” jelas Pak Suryo.
Danang dan Ayu pun sama-sama mengangguk. Mencoba untuk mengerti, tapi tetap saja hal ini tidak masuk dalam logika berpikir mereka berdua.
Diam-diam Ayu melirik ke arah kekasihnya, ia ingin agar Danang mengatakan sesuatu pada kedua orang tuanya.
“Mas, opo mas terimo keputusane Bapak, Ibu (Mas, apa Mas bisa menerima keputusan Bapak dan Ibu)?” bisik Ayu.
“Yo ora to dhik (Ya jelas tidak, dek). Ini aneh menurut Mas,” balas Danang juga sambil berbisik.
“Kalau gitu mas ngomong ke Bapak dan Ibu,” desak Ayu sambil menyikut pinggang Danang.
Danang hanya diam. Sebenarnya ia ingin menyampaikan keberatanya, tapi takut nanti akan terbawa emosi. Apalagi jika keberatannya ini tak dianggap, bisa-bisa Ayu kecewa dan bereaksi berlebihan.
“Ayo Mas,” bisik Ayu lagi.
Danang pun menghela napas panjang, kemudian ia memberanikan diri untuk mengajukan keberatannya akan keputusan kedua orang tua Ayu, walaupun ia tahu hal ini bisa mendatangkan resiko bagi hubungannya kelak.
“Ngapunten Pak, Bu (Mohon Maaf Bapak, Ibu). Sebelumnya saya minta maaf sekali lagi, bukan bermaksud lancang ataupun tidak menghormati kebiasaan dan nilai-nilai dari leluhur. Apakah memang hitungan weton yang tidak sesuai itu pasti akan membuat pasangan tidak bahagia. Mohon maaf apa kita tidak mendahului kehendak Tuhan jika berasumsi demikian?” kata Danang dengan hati-hati.
Mendengar argumen dari kekasih Ayu, lantas kedua orang tuanya pun merasa tersinggung. Menganggap Danang telah lancang sok menasihati mereka berdua.
Bagi Pak Suryo dan Bu Ratmi, Danang hanyalah seorang anak ingusan yang sok tahu.
“Lho lho kok jadi begini ngomongnya,” protes Bu Ratmi.
“Maaf Bu, saya tidak bermaksud untuk menggurui,” jawab Danang merasa tak enak hati.
“Anak jaman sekarang memang sudah tidak ada lagi yang mau menghargai nilai budaya. Semuanya terpengaruh kehidupan asing yang bebas, makanya banyak yang salah jalan, terpengaruh obat-obatan, seks bebas dan tidak pernah menghormati orang tua,” tambah Pak Suryo yang juga tersinggung akan ucapan Danang.
“Maaf Pak, mohon maaf sekali lagi. Saya tidak bermaksud untuk tidak menghormati anda sebagai orang tua, tapi saya hanya bertanya. Sebagai informasi, hubungan saya dan Ayu tidak pernah melenceng dari norma,” jelas Danang mengklarifikasi dugaan orang tua Ayu.
Selama menjalin hubungan memang Ayu dan Danang tidak pernah macam-macam. Mereka tidak pernah berduaan di tempat yang sepi seperti kebanyakan pemuda jaman sekarang.
“Masalah itu, kami berdua percaya kalau nak Danang bisa menjaga putri kami dengan baik, dan tidak pernah macam-macam dengan puti kami. Namun untuk masalah kali ini keadaannya berbeda, apa yang dipikirkan oleh Bapak dan Ibu mengenai hitungan weton ini dianggap mendahului kehendak Tuhan, lalu bagaimana dengan Nak Danang yang menganggap ini akan baik-baik saja? Apa itu tidak mendahului juga. Apa yang dipikirkan oleh Bapak dan Ibu ini adalah untuk mencegah masalah timbul dalam kehidupan rumah tangga kalian berdua nanti, bukankah kita lebih baik mencegah sebelum kejadian,” papar Pak Suryo.
Danang hanya mengangguk, kembali ia menyampaikan maaf, ia sudah tak bisa berkata apa-apa lagi kali ini. Kedua orang tua Ayu tetap saja bersikeras dengan pemahaman mereka.
“Maaf-maaf saja dari tadi. Dari sini saja sudah kelihatan kalau pernikahan kalian nanti akan membawa banyak masalah. Ini contohnya, kalian menentang dan mencoba untuk menggurui orang tua!” tukas Bu Ratmi dengan nada tinggi.
“Ibu dan Bapak ini sudah banyak makan asam garam, sudah lebih berpengalaman. Kamu anak masih bau kencur sudah berani menasihati orang tua. Benar-benar tak tahu sopan santun,” lanjut Bu Ratmi yang masih tidak bisa menerima ucapan Danang.
“Sekali lagi saya minta maaf Bu, saya tidak bermaksud untuk bersikap tidak sopan. Saya hanya mencoba mengungkapkan perasaan terhadap Ayu.”
Bu Ratmi membuang muka, kemudian melirik pada Pak Suryo dan meminta agar bapak kandung Ayu untuk memberikan dukungan pada keputusannya. Pria yang masih tampak gagah itu pun akhirnya buka suara.
“Danang, kalau kamu memang mencintai putri kami, seharusnya kamu bisa menghargai keputusan kami. Selama Ayu belum menikah, Ayu masih menjadi tanggung jawab kami berdua.”
Belum juga Pak Suryo mengungkapkan maksud dari perkataannya, Bu Ratmi pun langsung membuat keputusan dan meminta agar Danang segera meninggalkan rumahnya.
“Sekali lagi keputusan sudah dibuat, dan tak bisa diganggu gugat. Sekarang nak Danang boleh pulang dan jangan ganggu kehidupan anak saya lagi. Saya juga kurang sreg melihat sikap nak Danang yang tidak punya sopan santun!” seru Bu Ratmi sambil tangannya mengarah ke arah pintu keluar, dan menandakan Danang harus pergi dari rumah itu sekarang.
“Saya mengerti Bu, permisi,” kata Danang kemudian meninggalkan ruang tamu keluarga Ayu.
Ayu berjalan dengan langkah yang lebar menuju ke kamar tidurnya. Ia tak peduli akan kedua orang tuanya yang masih duduk di ruang tamu.“Ayu!” panggil sang Ibu, tapi perempuan berambut sebahu ini berpura-pura untuk tidak mendengarnya.“Yu, nduk sini sebentar Ibu dan Bapak mau bicara sama kamu,” panggil Ibunya sekali lagi.Ayu berhenti dan langsung berbalik ke arah kedua orang tuanya.“Ayu nggak mau ngomong apa-apa lagi sama Bapak dan Ibu kecuali kalau kalian merubah keputusan untuk menerima lamaran Mas Danang,” balas Ayu yang masih tidak bisa menerima keputusan Ayah dan Ibunya.“Ayu!” seru sang Ibu dengan nada tinggi dan mampu membuat putrinya tersentak.Pak Suryo yang masih di situ pun menyentuh pundak mantan istrinya dan memintanya untuk tidak memperpanjang urusan kali ini.“Beri dia
Pengunjung hik semakin lama semakin ramai. Entah sudah berapa lama dua sejoli itu berada di sana. Es teh yang dipesan oleh Ayu sudah mencair, merubah minuman pekat itu menjadi dua warna, bening dan merah kecokelatan di bagian bawah.Ayu mendongak dan memperhatikan mata kekasihnya yang teduh. Kedua mata yang selalu memberinya ketenangan.“Jadi kita akan mencoba kembali, Mas?”Danang mengangguk penuh percaya diri. Lelaki yang bekerja di bank swasta ini menganggap penolakan itu sebagai bentuk ujian cintanya terhadap Ayu. Bisa jadi calon mertuanya itu ingin melihat bagaimana keteguhan hati laki-laki yang memberanikan diri untuk mempersunting putri mereka.“Insya Allah Yu, kita usaha dulu, selebihnya biar jadi urusan Sang Pemberi Hidup.”Ayu pun terdiam lagi, kali ini bukan karena memikirkan cara apa yang harus ditempuh agar keluarganya bisa menerima kehadiran
“Mas, Ibu makin kekeh dengan keputusannya,” tulis Ayu melalui layanan pesan berlogo warna hijau.Tadi hatinya sempat berbunga-bunga lantaran pertemuan dengan Danang yang begitu sederhana. Namun kedatangan Budhe Ning telah merubah semuanya. Tak ada lagi senyuman yang menghiasi wajah kalemnya.“Kamu kok belum tidur to Yu? Mikirin Mas ya?” balas Danang tanpa perlu menunggu lama.Melihat sang kekasih masih terjaga, Ayu pun langsung menceritakan kejadian yang baru saja dialami olehnya saat kedatangan Budhe Ning.“Ibumu tetap bersikeras Yu, sampai meminta Budhemu untuk menasihati?” tulis Danang tidak percaya.“Iya Mas.”Sementara itu di kamar Danang ….Lelaki muda itu duduk di tepi ranjangnya sambil memegangi kepala. Kabar yang baru saja diterima dari Ayu benar-benar mengacak-ngacak perasaa
Danang menyalami Bu Ratmi dan Budhe Ning dengan hormat. Tak lupa ia memberikan sajen berupa martabak dan terangbulan untuk oleh-oleh.“Silakan duduk Nak Danang,” kata Bu Ratmi ramah.Kedatangan Danang kali ini memang disambut dengan lebih ramah dibanding sebelumnya oleh bu Ratmi. Biasanya saat berkunjung ke rumah Ayu, sikap Ibunya biasa saja, tidak hangat dan tidak menunjukkan adanya kebencian bagi dirinya.“Maturnuwun Bu (Terima kasih Bu),” jawab Danang kemudian duduk di hadapan kedua wanita paruh baya itu.“Ini Budhenya Ayu, Budhe Ning yang tinggal di Klaten,” Bu Ratmi mencoba memperkenalkan wanita paruh baya yang duduk di sebelahnya.Tak hanya Danang yang terkejut dengan sikap Bu Ratmi, tapi juga Ayu. Kedua sejoli ini sempat takut dan khawatir akan penolakan yang diberikan oleh Bu Ratmi nantinya. Apalagi dengan kedatangan Budhe Ning
Budhe Ning dan Bu Ratmi menoleh secara bersamaan ke arah Ayu yang tengah membawa nampan. Kedua wanita paruh baya ini tersenyum pada Ayu seolah tak terjadi apa-apa. Sang Ibu justru memanggil putrinya dan menyuruh untuk duduk di dekatnya.“Sini, Nduk!” panggil Bu Ratmi kemudian menggeser duduknya dan menepuk-nepuk sisi di sampingnya.Dengan sedikit gondok, Ayu pun menuruti Ibunya, melirik ke arah Danang yang duduk dengan mata mulai memerah. Pasti sakit sekali apa yang dirasakan oleh Danang. Ayu sendiri juga merasa sakit hati dengan apa yang barusan diucapkan oleh Ibunya.“Bu, kenapa Ibu ngomong gitu? Ibu dan Budhe nggak serius kan dengan yang tadi?” tanya Ayu setengah merengek.“Ora serius piye to Nduk (Tidak serius bagaimana, Nak), ya jelas Budhe dan Ibumu serius dengan apa yang kami katakan,” kata Budhe Ning mengambil alih.Ayu menoleh
Budhe Ning terus saja bicara tentang kebaikan lelaki yang akan dijodohkan dengan Ayu. Di mata wanita paruh baya ini, sosok lelaki yang akan dikenalkan padanya adalah sosok yang sempurna. Terlebih lagi saat membahas tentang weton yang dimiliki oleh lelaki itu.Ingin sekali Ayu menutup dua telinganya dengan telapak tangan. Mungkin juga ingin segera pergi dari tempat mereka berkumpul. Namun jika hal itu dilakukan, tentu saja akan menimbulkan keributan nantinya.Yang bisa dilakukan Ayu hanya diam berdiri dan mendengarkan perkataan kedua wanita paruh baya itu hingga selesai. Setelah mereka selesai barulah Ayu bisa menjawab ucapan mereka.“Wira itu secara bibit, bobot, bebetnya jelas dan semuanya baik. Dia punya usaha hotel yang ramai, tentunya dia bakal bisa menghidupimu. Keluarganya terhormat, dari keturunan yang baik dan yang paling penting hitungan weton kalian itu cocok Nduk,” jelas Budhe Ning.
Bu Ratmi mencoba untuk mengejar Ayu yang melangkah lebar menuju kamar tidurnya. Bagaimanapun putrinya harus mengerti dan sepaham dengan dirinya. Namun baru bergerak selangkah Budhe Ning sudah mencegah dengan menyentuh pundak Ibu Ayu.“Mi, udah biarin aja, namanya anak lagi dimabuk cinta ya begitu itu, percuma saja ngomong sama dia pasti nggak akan didengarkan. Ini semua pasti karena pengaruh dari laki-laki itu!” cergah Budhe Ning.“Sepertinya begitu Mbak Yu,” jawab Bu Ratmi kemudian kembali duduk di sofa.Budhe Ning pun mengambil ponsel dari dalam saku dan menghubungi kenalannya melalui pesan di aplikasi hijau.“Sik yo dhik, aku tak nelpon wong tuwone Wira, njaluk potone (Sebentar ya dhik, aku mau telepon orang tuanya Wira buat minta fotonya),” kata Budhe Ning yang disambut antusias oleh Bu Ratmi.Budhe Ning pun mulai berbasa-basi dengan Bu Las
Karena tak kunjung dapat balasan dari Danang, Ayu pun berinisiatif untuk mendatangi kekasihnya itu ke kantornya dan membawakan sarapan favoritnya, pecel ndeso sajian kuliner khas kota Solo yang berisi nasi merah, sayuran lengkap dengan sambal wijennya. Tak lupa Ayu membawakan tempe mendoan dan peyek kacang sebagai pelengkap.“Mas … Mas Danang!” panggil Ayu saat melihat kekasih hatinya sudah turun dari mobil sedannya.Mau tak mau Danang pun berhenti dan menoleh ke arah suara yang memanggilnya. Perempuan yang dikasihnya berdiri di sana dengan seragam putih khas rumah sakit yang dibalut cardigan biru muda.Sebenarnya ia malas untuk bertemu Ayu kali ini, tapi karena ini di kantor dan sudah banyak rekan kerjanya yang datang maka ia pun menemui Ayu.“Kamu ada apa ke sini?” tanya Danang.“Aku pengin ngobrol sama Mas,” pinta Ayu.