Share

3. Melepas Rindu

Ayu berjalan dengan langkah yang lebar menuju ke kamar tidurnya. Ia tak peduli akan kedua orang tuanya yang masih duduk di ruang tamu.

“Ayu!” panggil sang Ibu, tapi perempuan berambut sebahu ini berpura-pura untuk tidak mendengarnya.

“Yu, nduk sini sebentar Ibu dan Bapak mau bicara sama kamu,” panggil Ibunya sekali lagi.

Ayu berhenti dan langsung berbalik ke arah kedua orang tuanya.

“Ayu nggak mau ngomong apa-apa lagi sama Bapak dan Ibu kecuali kalau kalian merubah keputusan untuk menerima lamaran Mas Danang,” balas Ayu yang masih tidak bisa menerima keputusan Ayah dan Ibunya.

“Ayu!” seru sang Ibu dengan nada tinggi dan mampu membuat putrinya tersentak.

Pak Suryo yang masih di situ pun menyentuh pundak mantan istrinya dan memintanya untuk tidak memperpanjang urusan kali ini.

“Beri dia waktu dulu, dia sedang dimabuk cinta dengan Danang. Keputusan kita yang tujuannya untuk kebaikan Ayu, belum bisa diterima olehnya,” nasihat Pak Suryo diikuti anggukan Bu Ratmi.

“Hmm, yah semoga saja dia bisa segera mengerti kalau kita bermaksud baik padanya,” jawab Bu Ratmi.

“Aamiin Bu, ya sudah kalau begitu saya pamit,” kata Pak Suryo langsung meninggalkan rumah mantan istrinya.

                         ***

Danang tersenyum saat mendapati pesan di ponselnya. Ayu, perempuan yang dicintainya mengajaknya untuk bertemu di hik* yang lokasinya dekat dengan Mall Solo Paragon, tak jauh dari rumah Ayu.

Seminggu sudah mereka berhubungan secara virtual lantaran mereka tak ingin memperkeruh situasi. Kedua sejoli itu hanya bisa memendam perasaan rindu satu sama lain.

Danang tengah menikmati wedhang jahe saat melihat perempuan yang dicintainya datang. Ayu terlihat menawan walaupun tampil tanpa make up, dan berpakaian casual, bahkan cenderung tomboy. Hanya celana jeans dan kaos lengan pendek bergambar tokoh kartun disney.

“Mas Danang, wis suwe (sudah lama)?” tanya Ayu sambil mengambil tempat di seberang kekasihnya.

Ora, jik tasan (tidak, baru saja).”

Danang memang memilih tempat duduk lesehan yang letaknya tidak teralalu ramai agar leluasa untuk membicarakan masalah pribadi mereka.

Pesen opo dhik (Pesan apa dhik)?” tawar Danang.

Seperti biasa Ayu memilih untuk mium es teh dengan sedikit gula atau yang biasa disebut teh mondho. Gadis ini begitu menikmati hidangan teh khas kota solo yang begitu kental dan pekat.

“Mas, aku kangen,” kata Ayu memulai percakapan.

“Podho dhik, tapi yo piye maneh, kahanane saiki koyo ngene (Sama dhik, tapi bagaimana lagi, keadaannya sekarang seperti ini).”

Ayu mengangguk, “Lha terus gimana Mas, apa Mas bakalan nyerah?”

Danang kembali menyeruput wedhang jahenya dan menghembuskan napas panjang.

“Kalau kamu nyerah, Mas juga bakal nyerah,” kata Danang membuat Ayu tampak sumringah.

“Tenane (beneran)?” tanya Ayu tak percaya.

“Dhik, mas ini sayang sama kamu. Mas bakal pergi dari kamu, kalau memang kamu sudah nggak mau lagi sama Mas,” kata Danang mencoba untuk meyakinkan Ayu.

“Tapi bagaimana Mas, Bapak dan Ibu tetap pada kepurtusan mereka.”

Kedua sejoli itu pun diam sejenak.

“Kita hidup di jaman yang berbeda dengan kedua orang tua kita Yu. Mereka begitu teguh memegang tradisi yang berkembang di masyarakat, lingkungan mereka juga hidup dengan tradisi yang sudah turun temurun. Berbeda dengan kita yang hidup berbaur dengan sentuhan modernisasi, beragam budaya sehingga lambat laun kita tidak mengenal akan tradisi perhitungan weton,” jelas Danang berusaha untuk bersikap bijak dan tidak menjelekkan kedua orang tua Ayu. Walaupun sebenarnya ia masih merasa penolakan yang dialami olehnya adalah sebuah keputusan yang tidak masuk akal.

Namun ternyata argumen yang diungkapkan oleh Danang itu menimbulkan kesalah pahaman bagi Ayu. Ia justru menganggap kekasihnya sudah menyerah dan mulai berpikir hal yang sama dengan kedua orang tuanya.

“Mas kok ngomong gitu? Apa mas Danang sudah terpengaruh Bapak dan Ibu yang menganggap weton kita nggak cocok untuk berumah tangga?” balas Ayu dengan nada tinggi.

Danang sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Ayu agar bisa bicara dengan lirih dan tak didengar oleh pengunjung hik yang lain.

“Yu, jangan salah paham. Mas nggak berpikiran seperti itu, terus terang Mas juga tidak setuju dengan keputusan yang dibuat oleh orang tuamu. Mas hanya menyampaikan pandangan Mas tentang pemikiran mereka.”

“Hmm jadi Mas nggak setuju kan sama mereka?” tanya Ayu dengan bibir yang masih membentuk kerucut.

“Jelas nggak setuju donk Ayu. Buktinya Mas masih ngikutin saran kamu untuk tidak datang ke rumah dulu karena nggak mau membuat situasi semakin panas.”

Ayu tertunduk dan tersipu, sampai akhirnya ia menemukan suatu ide yang tak kalah konyol dari keputusan kedua orang tuanya.

“Mas, sebenarnya kemarin aku sempat kepikiran sesuatu supaya kita bisa dapat restu dari Bapak dan Ibu, tapi gimana ya, agak berat sih,” kata Ayu sedikit ragu.

“Ngomong aja Yu, ide kamu apa?”

Ayu menghembuskan napas panjang, mengatur suasana hatinya agar siap mengatakan apa yang ada dalam pikirannya. Kemudian perempuan itu mencondongkan sedikit badannya agar lebih dekat dengan Danang.

“Aku sempat mikir gimana kalau Mas Danang hamilin aku aja, kalau udah gitu mau nggak mau kita kan bakalan nikah Mas,” jelas Ayu sedikit ragu-ragu.

“Hush! Kamu ini ngomong apa to Yu. Nggak jangan gini Yu,” protes Danang tidak setuju.

“Aku sih juga sedikit ragu, tapi siapa tahu bisa dicoba.”

Yu aku gak munafik yo, yen kowe menehi aku mosok aku ora gelem (Yu, aku tidak munafik, jika kamu memberiku mana mungkin aku tidak mau), tapi Mas coba untuk berpikir panjang. Belum tentu idemu itu akan berhasil. Pertama, bagaimana kalau kedua orang tuamu justru menyuruhmu untuk menggugurkan kandungan, atau mungkin ada masalah dalam kehamilan. Kedua, gimana pandangan kedua orang tuamu terhadap Mas jika sampai ada kejadian ini. Bisa jadi mereka semakin tidak suka dengan Mas, bukan cuma karena weton tapi sikap dan perilaku Mas yang nggak baik. Terakhir, bisa jadi kalau kita nekad melakukan ini akan makin banyak image negatif mengenai angka 25.”

Ayu terdiam dan membenarkan perkataan kekasihnya itu.

“Iya juga ya Mas, entar ada yang bilang kalau pasangan 25 itu biasanya tukang zina.”

“Nah itu kamu tahu. Udah Yu, nggak usah macam-macam. Masih banyak cara lain untuk kita bisa bersatu.”

“Mas yakin?”

Note : 

Hik* Angkringan, atau tempat nongkrong yang menyajikan minuman dan aneka kudapan di pinggir jalan raya atau tengah kampung dengan harga yang terjangkau.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
An Lien
aku tinggal di solo jg..mantap iki ceritane
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status