Ayu berjalan dengan langkah yang lebar menuju ke kamar tidurnya. Ia tak peduli akan kedua orang tuanya yang masih duduk di ruang tamu.
“Ayu!” panggil sang Ibu, tapi perempuan berambut sebahu ini berpura-pura untuk tidak mendengarnya.
“Yu, nduk sini sebentar Ibu dan Bapak mau bicara sama kamu,” panggil Ibunya sekali lagi.
Ayu berhenti dan langsung berbalik ke arah kedua orang tuanya.
“Ayu nggak mau ngomong apa-apa lagi sama Bapak dan Ibu kecuali kalau kalian merubah keputusan untuk menerima lamaran Mas Danang,” balas Ayu yang masih tidak bisa menerima keputusan Ayah dan Ibunya.
“Ayu!” seru sang Ibu dengan nada tinggi dan mampu membuat putrinya tersentak.
Pak Suryo yang masih di situ pun menyentuh pundak mantan istrinya dan memintanya untuk tidak memperpanjang urusan kali ini.
“Beri dia waktu dulu, dia sedang dimabuk cinta dengan Danang. Keputusan kita yang tujuannya untuk kebaikan Ayu, belum bisa diterima olehnya,” nasihat Pak Suryo diikuti anggukan Bu Ratmi.
“Hmm, yah semoga saja dia bisa segera mengerti kalau kita bermaksud baik padanya,” jawab Bu Ratmi.
“Aamiin Bu, ya sudah kalau begitu saya pamit,” kata Pak Suryo langsung meninggalkan rumah mantan istrinya.
***
Danang tersenyum saat mendapati pesan di ponselnya. Ayu, perempuan yang dicintainya mengajaknya untuk bertemu di hik* yang lokasinya dekat dengan Mall Solo Paragon, tak jauh dari rumah Ayu.
Seminggu sudah mereka berhubungan secara virtual lantaran mereka tak ingin memperkeruh situasi. Kedua sejoli itu hanya bisa memendam perasaan rindu satu sama lain.
Danang tengah menikmati wedhang jahe saat melihat perempuan yang dicintainya datang. Ayu terlihat menawan walaupun tampil tanpa make up, dan berpakaian casual, bahkan cenderung tomboy. Hanya celana jeans dan kaos lengan pendek bergambar tokoh kartun disney.
“Mas Danang, wis suwe (sudah lama)?” tanya Ayu sambil mengambil tempat di seberang kekasihnya.
“Ora, jik tasan (tidak, baru saja).”
Danang memang memilih tempat duduk lesehan yang letaknya tidak teralalu ramai agar leluasa untuk membicarakan masalah pribadi mereka.
“Pesen opo dhik (Pesan apa dhik)?” tawar Danang.
Seperti biasa Ayu memilih untuk mium es teh dengan sedikit gula atau yang biasa disebut teh mondho. Gadis ini begitu menikmati hidangan teh khas kota solo yang begitu kental dan pekat.
“Mas, aku kangen,” kata Ayu memulai percakapan.
“Podho dhik, tapi yo piye maneh, kahanane saiki koyo ngene (Sama dhik, tapi bagaimana lagi, keadaannya sekarang seperti ini).”
Ayu mengangguk, “Lha terus gimana Mas, apa Mas bakalan nyerah?”
Danang kembali menyeruput wedhang jahenya dan menghembuskan napas panjang.
“Kalau kamu nyerah, Mas juga bakal nyerah,” kata Danang membuat Ayu tampak sumringah.
“Tenane (beneran)?” tanya Ayu tak percaya.
“Dhik, mas ini sayang sama kamu. Mas bakal pergi dari kamu, kalau memang kamu sudah nggak mau lagi sama Mas,” kata Danang mencoba untuk meyakinkan Ayu.
“Tapi bagaimana Mas, Bapak dan Ibu tetap pada kepurtusan mereka.”
Kedua sejoli itu pun diam sejenak.
“Kita hidup di jaman yang berbeda dengan kedua orang tua kita Yu. Mereka begitu teguh memegang tradisi yang berkembang di masyarakat, lingkungan mereka juga hidup dengan tradisi yang sudah turun temurun. Berbeda dengan kita yang hidup berbaur dengan sentuhan modernisasi, beragam budaya sehingga lambat laun kita tidak mengenal akan tradisi perhitungan weton,” jelas Danang berusaha untuk bersikap bijak dan tidak menjelekkan kedua orang tua Ayu. Walaupun sebenarnya ia masih merasa penolakan yang dialami olehnya adalah sebuah keputusan yang tidak masuk akal.
Namun ternyata argumen yang diungkapkan oleh Danang itu menimbulkan kesalah pahaman bagi Ayu. Ia justru menganggap kekasihnya sudah menyerah dan mulai berpikir hal yang sama dengan kedua orang tuanya.
“Mas kok ngomong gitu? Apa mas Danang sudah terpengaruh Bapak dan Ibu yang menganggap weton kita nggak cocok untuk berumah tangga?” balas Ayu dengan nada tinggi.
Danang sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Ayu agar bisa bicara dengan lirih dan tak didengar oleh pengunjung hik yang lain.
“Yu, jangan salah paham. Mas nggak berpikiran seperti itu, terus terang Mas juga tidak setuju dengan keputusan yang dibuat oleh orang tuamu. Mas hanya menyampaikan pandangan Mas tentang pemikiran mereka.”
“Hmm jadi Mas nggak setuju kan sama mereka?” tanya Ayu dengan bibir yang masih membentuk kerucut.
“Jelas nggak setuju donk Ayu. Buktinya Mas masih ngikutin saran kamu untuk tidak datang ke rumah dulu karena nggak mau membuat situasi semakin panas.”
Ayu tertunduk dan tersipu, sampai akhirnya ia menemukan suatu ide yang tak kalah konyol dari keputusan kedua orang tuanya.
“Mas, sebenarnya kemarin aku sempat kepikiran sesuatu supaya kita bisa dapat restu dari Bapak dan Ibu, tapi gimana ya, agak berat sih,” kata Ayu sedikit ragu.
“Ngomong aja Yu, ide kamu apa?”
Ayu menghembuskan napas panjang, mengatur suasana hatinya agar siap mengatakan apa yang ada dalam pikirannya. Kemudian perempuan itu mencondongkan sedikit badannya agar lebih dekat dengan Danang.
“Aku sempat mikir gimana kalau Mas Danang hamilin aku aja, kalau udah gitu mau nggak mau kita kan bakalan nikah Mas,” jelas Ayu sedikit ragu-ragu.
“Hush! Kamu ini ngomong apa to Yu. Nggak jangan gini Yu,” protes Danang tidak setuju.
“Aku sih juga sedikit ragu, tapi siapa tahu bisa dicoba.”
“Yu aku gak munafik yo, yen kowe menehi aku mosok aku ora gelem (Yu, aku tidak munafik, jika kamu memberiku mana mungkin aku tidak mau), tapi Mas coba untuk berpikir panjang. Belum tentu idemu itu akan berhasil. Pertama, bagaimana kalau kedua orang tuamu justru menyuruhmu untuk menggugurkan kandungan, atau mungkin ada masalah dalam kehamilan. Kedua, gimana pandangan kedua orang tuamu terhadap Mas jika sampai ada kejadian ini. Bisa jadi mereka semakin tidak suka dengan Mas, bukan cuma karena weton tapi sikap dan perilaku Mas yang nggak baik. Terakhir, bisa jadi kalau kita nekad melakukan ini akan makin banyak image negatif mengenai angka 25.”
Ayu terdiam dan membenarkan perkataan kekasihnya itu.
“Iya juga ya Mas, entar ada yang bilang kalau pasangan 25 itu biasanya tukang zina.”
“Nah itu kamu tahu. Udah Yu, nggak usah macam-macam. Masih banyak cara lain untuk kita bisa bersatu.”
“Mas yakin?”
Note :
Hik* Angkringan, atau tempat nongkrong yang menyajikan minuman dan aneka kudapan di pinggir jalan raya atau tengah kampung dengan harga yang terjangkau.
Dengan frustrasi Danang meninggalkan ruang perawatan saat Dinda terlelap sebagai reaksi obat bius yang disuntikkan. Manager marketing itu menyusuri koridor klinik bersalin dengan keresahan yang pekat. Dia sama sekali tak menyangka acara gathering yang diadakan oleh bank tempatnya bekerja menjadi awal masalah.Mendengar ancaman Dinda tadi, dia merasa seolah langit runtuh di atas kepalanya. Entah bagaimana cara mencari bukti-bukti yang dia butuhkan. Untuk saat ini Danang hanya meyakini perasaan dan analisa berpikirnya bahwa dia tak bersalah.Danang hanya ingat merasa ngantuk setelah makan malam bersama Dinda. Bahkan dia tak sanggup untuk menyetir mobil dan membiarkan Dinda mengambil alih kemudi. Setelah itu dia tak ingat apa pun lagi yang diperbuatnya."Aaarrgh ... sial banget siih! Bisa-bisanya perempuan itu mengancam untuk melaporkan ke polisi atas tindakan yang tidak pernah kulakukan! Hiiih!" Danang berteriak dengan rasa sesal dan kesal saat tiba di taman depan klinik sambil bergumam
Danang menghindari Dinda dan menjauh menuju meja makan. Sementara Dinda yang kesal dengan sikap Danang terus mengekori lelaki itu. Dengan kasar Dinda menarik kursi di samping Danang yang duduk dekat meja makan."Mas, ini anakmu. Masa kamu lupa kalau sudah meniduriku malam itu?" Dinda memaksa meraih tangan Danang yang terlipat di atas meja makan.Danang bergeming. Dia diam sambil kembali berusaha mengingat kejadian malam itu. Namun tak satu pun potongan ingatan meniduri Dinda terlintas dalam benaknya. Dengan kesal Danang menggebrak meja makan."Jangn membodohiku, Dind. Malam itu tidak terjadi apa-apa di antara kita!" Danang mengepalkan kedua tangan dengan marah hingga buku jari-jarinya memutih."Lalu bagaiman aku bisa hamil kalau kamu nggak meniduriku, Mas? Ini anakmu! Jangan jadi pengecut kamu!" Amarah Dinda terpancing hingga berteriak memaki DanangDinda sama sekali tak menduga jika ternyata Danang sulit ditekan. Pria yang tampak baik dan santun itu nyatanya keras keapla dan tak mau
Dinda termenung mendengar ucapan Wira. Serasa dihipnotis Dinda bahkan merasa saran Wira adalah sebuah ide yang cemerlang. Lagi pula semua orang sudah tahu foto-foto dirinya bersama Danang yang sengaja ia kirimkan ke grup-grup WA perusahaan."Tapi saat ini kan Danang sedang diskorsing, Mas. Gajinya juga dipotong. Aku nggak mau ya hidup dengan lelaki miskin. Kebutuhanku banyak." Dinda menyampaikan uneg-uneg yang mengganjal di hatinya.Bagaimanapun Dinda tak ingin hidup susah bersama lelaki yang memang disukainya. Ia khawatir selamanya gaji Danang akan dipotong. Sementara jika kehamilannya terus membesar akan butuh biaya yang lebih banyak.Wira tertawa mendengar ucapan Dinda. Perempuan matre seperti Dinda tak pernah ada tempat di hatinya. Apa lagi selama ini Dinda hanya lah sebuah mainan baginya."Nggak selamanya gaji Danang akan dipotong. Kalau pimpinan cabang bank dimana kamu bekerja tahu bahwa lelaki itu bertanggung jawab padamu, bisa jadi malah dia akan naik posisi." Wira mempermain
Dengan wajah penuh rasa sesal Dinda menatap pakaian Agil yang Kotor terkena muntahannya. Ia sendiri merasa jijik dengan cairan kehijauan dan berbau itu. Tak bisa dibayangkannya bagaiman perasaan Agil yang bajunya berlumuran cairan yang keluar dari lambung Dinda."Gil, maaf." Dinda menatap sendu seraya menangkupkan kedua tangan di depan dada. Agil berdecak mendengar permintaan maaf Dinda. "Sudah aku nggak apa-apa. Tinggal ganti baju aja. Kamu sebaiknya mengisi perut yang kosong. Itu makanannya masih bersih. Makan lah, meskipun sedikit." Kembali Agil membuka bungkusan makanan dan mengambil sepotong pizza lalu menyodorkan pada Dinda.Entah kenapa Dinda menutup mulut dan hidungnya. Aroma makanan favoritnya itu berubah layaknya monster yang menakutkan. Ia mendorong tangan Agil dengan sebelah tangan yang tak digunakan untuk menutup mulut. "Jauhkan, Gil. Perutku eneg membaui makanan itu."Pak Bambang yang ada di ruangannya memperhatikan interaksi antara Dinda dan Agil. Dia merasa heran den
Dinda merasa puas akhirnya pimpinan dan para karyawan di tempatnya bekerja mengetahui skandal yang dia ciptakan. Malam itu memang Dinda menjebak Danang. Saat makan malam diam-diam ia menaburkan obat tidur ke dalam makanan Danang. Dengan dibantu oleh Wira, ia membawa Danang ke kamarnya.Dengan bantuan Wira juga maka Dinda memperoleh hasil foto yang luar biasa manipulatif. Foto-foto topless yang seolah dirinya ditiduri Danang berhasil menimbulkan banyak spekulasi pendapat yang rata-rata menguntungkannya. Bahkan Danang sampai menerima sangsi skorsing dan pemotongan gaji dari bank tempat mereka bekerja.Meskipun puas foto-foto itu tersebar, namun Dinda kecewa karena hingga hari ini Danang belum juga dapat diraihnya. Lelaki itu bahkan makin dingin dan cenderung menghindari Dinda. Bagaimana bisa Dinda mengikat hati Danang jika sampai saat ini jarak masih membentang di antara mereka.Waktu terus berlalu sejak Danang diskorsing. Hari ini masuk Minggu kedua Dinda tak melihat kehadiran Danang d
Sesaat setelah masuk ke dalam rumah Ayu, Wira disuguhi teh hangat dan setoples penuh camilan. Budhe Ning juga mempersilakan Wira untuk salat di rumah itu. Namun Wira memilih untuk berangkat ke musala terdekat dan salat magrib di sana.Budhe Ning mencari keberadaan Ayu setelah Wira berangkat ke musala. Sedangkan Ayu memanfaatkan waktu yang ada dengan mandi dan bersiap untuk salat. Di pintu dapur menuju ruang makan, Ayu berpapasan dengan Budhe Ning."Nduk, kamu itu tadi ke mana? Ndak enak loh sama Nak Wira kalau kamu pergi tapi Ndak bilang-bilang dulu sama calon suamimu. Apa lagi Nak Wira tahunya kan hari ini kamu itu cuti." Budhe Ning menghalangi langkah Ayu yang hendak ke kamarnya.Ayu sendiri merasa jengah dengan segala ucapan budhe Ning yang terus saja nyerocos tentang perjodohan antara dirinya dan Wira. Padahal hingga detik ini Ayu masih terus meragukan ketulusan cinta Wira padanya."Ngapunten, Budhe. Saya mau salat dulu. Sebentar lagi waktu magrib habis." Ayu memotong ucapan Budhe