Share

Pertanyaan Tuan Oya

Dia menyesap dalam-dalam rokok yang tersemat di antara dua bibirnya. Pandangannya tak bisa bergeser dari si gadis yang sudah tertidur.

"Bagaimana dengan hasil dari forensik?" tanyanya setelah memindahkan rokok ke piring kecil di atas meja.

"Tidak ada sidik jari lain yang ditinggalkan di tubuh Keiko, Bos. Hasil akan dilaporkan ke media besok pagi dengan peryatakan bunuh diri," jawab dari orang dari seberang sana.

"Sangat lucu." Si bos menarik sebelah ujung bibirnya.

"Periksa tentang tanda salib yang gadis itu katakan."

"Baik, Bos."

***

Pukul lima pagi. Airi terbangun kembali setelah sempat bangun hanya untuk meminum sup penghilang pengar dari si pemilik rumah tempatnya tidur.

"Sudah pagi dan aku harus bangun," ucapnya.

Airi turun dari ranjang besar dengan seprai putih bersih. Kakinya melangkah keluar dari kamar itu.

"Pagi ini pers akan mengumumkan kematian Keiko, dan—"

"Kalian mengenal Keiko?" Gadis itu keluar dengan hanya mengenakan baju dalamnya saja. Sangat tipis.

Tuan Oya segera bangkit dan berjalan cepat menghampiri si gadis. "Kamu tau Eri, aku tidak suka berbagi," bisiknya seraya mengalihkan jas yang dikenakan ke tubuh kecil Airi.

"Apa aku boleh bergabung bersama kalian?" tanya Airi penuh harap. Menatap tepat ke bola mata Tuan Oya.

Mata gadis itu tidak berbohong jika menginginkan sekutu. Dia tidak boleh dianggap pelaku hanya karena jejak menghubungi terakhir ada pada kontak miliknya.

Tuan Oya memberikan anggukan tipis. Lantas membimbing si gadis untuk mengikutinya. Tangan Airi terus saja meme

"Tetap lah berada di dekatku," ucap Tuan Oya yang meminta Airi duduk pada kursi di dekatnya.

"Kalian sedang menyelidiki kematian Keiko?" tanya Airi.

Dua orang yang berada di hadapan Airi hanya mengangguk. Tuan Oya yang menjawab. Lalu pembicaraan mengalir begitu saja.

"Baik, seperti itu untuk saat ini. Kalian bisa lanjut bekerja."

Keduanya memberi hormat dan pamit.

"Oya-san," panggil Airi, membuat Tuan Oya menoleh ke gadis kecil di sebelahnya.

"Ada apa Eri?"

"Kamu tidak memanggilku Nona Takara?"

"Apa itu harus?"

Airi menggeleng. "Aku lebih suka dipanggil dengan nama belakangku itu."

Tuan Oya mangut-mangut. Sepertinya mengerti apa yang diinginkan gadis seusia Airi. Bahkan untuk panggilan pun akan terasa asing jika bukan panggilan keseharian yang biasa di dengar.

'Kamu tidak seperti aku yang terbiasa dengan berbagai macam sapaan.'

Airi bangun dari duduknya. "Oya-san, terima kasih." Membungkukkan badannya tulus.

Begitu kembali menegakkan diri, dia mengernyitkan dahi melihat tatapan Tuan Oya kepadanya.

"Ada apa Tuan Oya?" tanyanya.

"Apa akan pulang?" tanya balik Tuan Oya, yang langsung dijawab dengan anggukan kepala Airi.

Senyum semangat dari bibir Airi menandakan gadis itu tidak mengerti dengan keinginan si tuan pemilik rumah.

"Eri, bisa untuk tetap di rumah?" tanya Tuan Oya, terlihat seperti mengkhawatirkan sesuatu.

"Kenapa harus? Apa kematian Keiko memang ada hubungannya dengan aku? Apa kamu akan memberikan aku pada polisi?" Airi memborong pertanyaan.

Ketakutan yang ada di diri Airi membuat Tuan Oya bangun dari duduknya. Memberikan pelukan ke gadis kecil yang siap menumpahkan tangisannya.

"Aku hanya ingin menahan, karena rasanya akan ada kehilangan di dalam sini, bila kamu pergi jauh dariku ."

Siapa yang akan menyangka jika pria yang sering memasang wajah datar ini bisa berkata manis? Perkataan yang langsung menyentuh ke relung hati Airi. Perkataan yang membuat Airi tak lagi membenamkan wajahnya di dada bidang Tuan Oya.

"Ada apa Oya-san? Apa jatuh cinta padaku sejak pandangan pertama?" Airi hanya iseng bertanya, percayalah jika dia bermaksud bercanda saja.

"Ya."

Jawaban tegas itu reflesk membulatkan bola mata Airi. Tangannya terlepas dari memeluk tubuh Tuan Oya.

"Aku? A–aku ..., ini serius?"

"Ya. Kamu tidak bermimpi Eri."

Pelukan pada pinggang ramping Airi kian menguat.

Rahang Tuan Oya tanpa sadar mengeras. Masih dengan lengan mengurung tubuh si gadis, pria itu agak memajukan wajah menatap Airi lekat. Diabaikan jantung yang bertalu keras tak keruan.

Tuan Oya mengerjap pelan dan mengulum bibir ke dalam sesaat sebelum berucap, "Coba sekali ini percaya. Ada pria yang benar-benar mencintai kamu."

Pria itu berkata serak dengan intonasi rendah yang dalam.

Airi merasa bulu kuduknya meremang, walau berikutnya justru merasakan tubuhnya kian melemah. Seperti terbius. Airi kini tidak mengalihkan pandangan. Terkunci pada mata pria dewasa yang sudah melepaskan kacamatanya.

Ada kerlipan meneduh. Airi jadi makin sulit mengambil napas saat Tuan Oya dengan perlahan mendekat. Darah Airi mengalir naik dengan cepat, membuat wajahnya memanas dan tegang.

Tuan Oya diam memandangi wajah memerah Airi. Kelopak gadis muda itu menyayu. Mengerjap lemah sampai akhirnya terpejam ketika kecupan mendarat di pipinya.

Tubuh Airi seakan tersetrum. Seperti tak sadarkan diri dan melayang ringan.

"Apa bisa kita bersama?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status