Share

Cintamu Bohong, Ya?
Cintamu Bohong, Ya?
Author: Selamat

Bab 1

Author: Selamat
Di ruang konsultasi, Raka masih terus berbicara.

"Kebetulan, kamu 'kan dokter kandungan, beri aku saran makanan apa yang baik untuk ibu hamil. Aku mau menyiapkannya untuk Maya," ucap Raka.

Dokter Gilang yang juga sahabatnya, langsung mengerutkan kening.

"Kenapa kamu begitu perhatian pada Maya yang cuma sekretaris? Istrimu itu Kirana!" ucap Gilang.

Ekspresi Raka langsung berubah, dia bertanya, "Kenapa kamu harus menyebut dia?"

"Dia memang istriku, lalu kenapa? Di hatiku, Maya lebih penting!"

"Lagi pula, lihat saja kondisinya sekarang. Umurnya sudah nggak muda, wajahnya penuh flek dan komedo, kulitnya juga kusam membuatku mual begitu melihatnya. Tubuhnya gemuk seperti tong air, nggak ada lekukan tubuh yang indah. Aku nggak menceraikannya saja sudah baik padanya."

Gilang tampak terkejut, dia tidak percaya temannya bisa berkata seperti itu.

"Raka, kamu bisa punya posisi seperti sekarang, bukankah karena mengandalkan Kirana? Lima tahun lalu, kalau nggak ada dia yang mati-matian mencari sponsor dan investor untukmu, perusahaanmu sudah lama bangkrut," ucap Gilang.

Ucapannya jelas menyentuh titik paling sensitif Raka. Dia kemudian membentak.

"Itu masa lalu! Kenapa masih harus kamu ungkit?" bentak Raka.

"Aku sudah memberinya banyak uang, apa masih kurang? Maya nggak punya apa-apa selain aku!" lanjut Raka.

Gilang akhirnya menyerahkan catatan menu makanan sehat untuk ibu hamil kepada Raka, lalu berkata, "Raka, kamu benar-benar sudah berubah."

Dia melanjutkan, "Aku nggak akan banyak bicara, tapi sebagai teman, aku cuma bisa mengingatkanmu jangan lupa hati nurani. Kamu memperlakukan istri yang setia menemanmu dari nol seperti ini, suatu hari nanti kamu pasti akan mendapat balasan."

Raka melototi Gilang dengan tajam, mengambil catatan menu itu, lalu membanting pintu keluar.

Aku buru-buru bersembunyi di balik tangga, menatap Raka yang menjauh dengan langkah tergesa.

Dari kaca pintu salah satu ruang rawat, aku melihat bayangan diriku sendiri.

Usiaku baru tiga puluh, tetapi tubuhku sudah gemuk dan tidak berbentuk. Kulitku kendur, wajahku penuh flek hitam. Aku memang tidak lagi sepadan dengan Raka yang kini memimpin ribuan karyawan.

Wanita muda dan cantik tentu terlihat lebih serasi berdampingan dengannya.

Namun, dulu saat keuangan perusahaan Raka bermasalah, aku yang berlari kesana-kemari mencari investor dan memohon dana bantuan untuk mengatasi krisis perusahaan.

Aku bekerja lembur tanpa tidur, membuat proposal sampai lupa makan, hingga akhirnya menderita sakit maag kronis.

Demi memberinya seorang anak, tanganku penuh dengan bekas suntikan hormon kesuburan. Namun, tetap saja, lima kali keguguran merenggut anak-anakku.

Sejak itu, tubuhku membengkak seperti balon. Aku menjadi gemuk dan jelek.

Tidak heran dia jijik padaku, karena aku yang sekarang, memang tidak ada daya tarik bagi pria. Hatiku sakit sekali.

Aku tidak mengerti. Raka, kalau kamu tidak mencintaiku, kamu bisa jujur saja. Kita bisa bercerai baik-baik, tapi kenapa kamu harus merampas kemampuanku untuk menjadi seorang ibu? Kenapa harus selingkuh dan mengkhianatiku?

Aku tidak pergi menemui dokter, melainkan langsung pulang.

Vila ini dulu adalah rumahku dan Raka saat pernikahan. Saat itu, usahanya baru mulai berkembang, kami membeli vila ini dengan bahagia.

Kami berbaring di ranjang sambil berpelukan, merencanakan masa depan, bercita-cita punya seorang putra dan seorang putri.

Harapan kami adalah hidup bahagia berempat.

Namun, kini tidak ada lagi suasana bahagia di vila ini, yang ada hanya pengkhianatan.

Aku berdiri di balkon mengingat kembali kenangan masa lalu, air mata jatuh tanpa bisa dikendalikan.

Setelah cukup lama, akhirnya aku memutuskan. Raka, aku tidak butuh kamu lagi!

Saat hendak kembali ke kamar, aku melihat mobil Raka perlahan memasuki halaman dan parkir di depan pintu.

Dari atas balkon, aku menyaksikan dia mengobrol dengan Maya, tertawa mesra layaknya sepasang kekasih yang sedang jatuh cinta.

Ketika Raka mengangkat kepala, matanya melihatku. Ada jejak panik di wajahnya.

"Sayang, kenapa kamu berdiri di balkon? Angin dingin sekali, gimana kalau kamu sakit nanti?" ucap Raka.

Aku tersenyum tipis sambil menggeleng. "Nggak apa-apa. Di dalam terlalu pengap, aku mau menghirup udara segar," jawabku.

Begitu aku berjalan ke koridor pintu, aku melihat Raka sedang menyuruh Maya pergi.

Begitu melihatku, dia segera merentangkan tangannya dan memelukku ke dalam pelukannya.

"Tanganmu dingin sekali. Jangan lakukan ini lagi, ya. Kalau kamu sakit, aku akan khawatir," ujar Raka.

Dia melanjutkan, "Aku bawakan vitamin dari rumah sakit lagi. Ingat minum tepat waktu, ya."

Aku menerima kotak itu, senyum sinis mengembang di bibirku.

"Baiklah," jawabku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cintamu Bohong, Ya?   Bab 7

    Begitu keluar dari pintu rumah sakit, Raka langsung dihadang oleh Maya yang sudah menunggunya.Maya berkata, "Kak Raka, akhirnya aku bisa menemuimu."Dia melangkah dengan wajah berlinang air mata sambil berkata, "Kak Kirana pasti marah padamu karena aku, ya?""Aku tahu ini salah, tapi aku sangat mencintaimu! Aku nggak bisa hidup tanpamu!""Gimana kalau kamu ceraikan saja dia saja supaya kita bisa bersama terang-terangan?"Maya tidak menyangka wajah Raka dipenuhi rasa muak. Dia mendorongnya dengan kasar.Raka berkata, "Kamu bicara apa? Apa kamu sudah gila?""Kirana itu istriku, mana mungkin aku menceraikannya?""Kamu pergi saja. Jangan pernah muncul lagi di depan kami. Aku nggak mau dia nggak senang karenamu."Maya tertegun, dia bertanya dengan tidak percaya, "Kamu bilang apa?""Pak Raka, bukankah kamu yang bilang aku wanita yang paling kamu cintai?""Jangan-jangan Kak Kirana yang memaksamu bicara begitu? Aku tahu dia memang wanita menyebalkan."Tatapan Raka penuh marah, dia membentak M

  • Cintamu Bohong, Ya?   Bab 6

    Kebetulan sekali, pengacaraku menghubungiku dan langsung mengantar dokumen perceraian ke ruang rawat."Waktunya pas sekali," ucapku pelan. Aku menerima berkas itu dari tangan pengacara lalu menyodorkannya pada Raka. "Bacalah dulu, kalau nggak ada yang kamu keberatan, sebaiknya segera kita tanda tangani," lanjutku.Tangan Raka bergetar hebat, kertas setipis itu seakan hampir terlepas dari genggamannya.Raka bertanya, "Sayang, ka … kamu bilang apa barusan?""Cerai? Jangan bercanda! Mana mungkin!"Aku menoleh keluar jendela, tidak lagi menatapnya. Aku berkata, "Cukup sampai di sini saja, Raka.""Kamu sudah nggak mencintaiku, aku pun sudah mati rasa padamu.""Kalau kita terus melanjutkan hubungan ini, itu hanya akan saling menyiksa."Urat-urat merah merayap di mata Raka. Dia membanting dokumen itu ke tepi ranjang."Nggak! Aku nggak setuju!" teriak Raka.Dia ingin berkata lagi, tetapi Gilang tiba-tiba masuk ke kamar, lalu mengusirnya keluar dengan alasan telah mengganggu pasien untuk berist

  • Cintamu Bohong, Ya?   Bab 5

    Raka buru-buru memapah Maya, lalu berbalik untuk menegurku dengan tegas.Dia berkata, "Dia menghormatimu, makanya ingin mengajakmu bersulang. Kenapa kamu begitu nggak sopan?""Dari tadi kamu terus saja mencari masalah. Apa yang Maya lakukan untuk menyinggungmu sampai kamu tega menyulitkan seorang gadis muda?"Maya bersandar manja di pelukan Raka, matanya sembab, tampak sangat sedih.Namun, tatapannya saat melihatku penuh dengan kebencian.Amarahku seketika mendidih. Aku melawan balik."Menghormatiku? Aku sudah bilang nggak mau minum, tapi dia terus memaksa. Itu yang kamu sebut hormat? Apa matamu buta, Raka?" ucapku.Raka tidak menyangka aku akan bertengkar dengannya di depan umum. Wajahnya langsung muram.Raka berkata, "Lihat dirimu sekarang! Seperti ibu tua yang kasar dan nggak berpendidikan. Nggak terlihat seperti nyonya besar sama sekali!"Dia berkata sambil mendorongku dengan kasar.Aku tidak sempat menghindarinya. Perutku membentur keras sudut meja. Rasa sakitnya menyebar ke selur

  • Cintamu Bohong, Ya?   Bab 4

    Begitu selesai bicara, Maya tiba-tiba meraih lengan pakaianku sambil memohon dan menangis.Dia berkata, "Kak Kirana, aku benar-benar nggak berniat mengambil uang perusahaan.""Uang dan saham itu hanya hadiah dari Pak Raka karena aku sudah bekerja keras selama ini. Kalau kamu nggak terima, aku bisa mengembalikannya."Sebelum aku sempat mencerna apa yang terjadi, Raka sudah bergegas maju, lalu menggenggam tanganku dengan erat sambil bertanya."Kirana, apa yang sebenarnya kamu permasalahkan?" tanya Raka.Dia menjelaskan lagi, "Aku sudah bilang bonus dan saham itu bagian dari bonus untuk karyawan. Kenapa kamu masih harus menyulitkan Maya?"Aku menoleh, melihat para karyawan mulai berkerumun dan saling berbisik seolah akulah yang keterlaluan.Saat aku kembali melirik Maya, dia malah tersenyum dengan penuh kemenangan.Aku menarik tanganku dari genggaman Raka sambil mengerutkan kening. "Perusahaan ada di bawah kendalimu. Bonus dan saham mau kamu berikan pada siapa pun, berapa pun jumlahnya, a

  • Cintamu Bohong, Ya?   Bab 3

    Tumpukan uang tunai itu diletakkan di depan umum, para karyawan di bawah panggung saling berbisik. "Gila, Pak Raka benar-benar murah hati! Sulit dibayangkan betapa banyaknya nilai separuh saham itu. Kita kerja tiga generasi pun nggak bakal bisa dapat!""Itu untuk Bu Maya. Kalian nggak lihat? Pak Raka hampir terang-terangan membawanya pulang ke rumah.""Tapi bukankah Pak Raka sudah punya istri? Dengar-dengar, mereka sudah lama menikah.""Memangnya kenapa? Aku pernah lihat istri Pak Raka, dia kalah jauh dibanding Bu Maya! Tubuhnya gemuk, wajahnya bengkak kayak roti kukus, dan kulitnya banyak flek hitam. Mana ada secantik dan semuda Bu Maya? Lagi pula, istri Pak Raka cuma ibu rumah tangga, sementara Bu Maya telah membantu Pak Raka mendapatkan banyak kontrak besar!"Aku hanya tersenyum dan ikut bertepuk tangan bersama para karyawan yang lain.Saat Raka melihatku, dia langsung panik. "Sa … Sayang? Kenapa kamu ada di sini?" tanya Raka."Aku cuma sedang senang saja, jadi memberi bonus ke Maya

  • Cintamu Bohong, Ya?   Bab 2

    Begitu masuk rumah, Raka langsung menunduk hendak menciumku, kedua tangannya tidak henti merayap di tubuhkuNamun, begitu mencium aroma parfum Maya yang masih menempel di tubuhnya, rasa mual seketika menyerangku. Aku menepis tangannya halus."Sudahlah, aku baru saja selesai membereskan rumah. Badanku penuh keringat, belum sempat mandi," ucapku.Sekilas tatapan jijik melintas di matanya, meskipun dia menutupinya dengan cepat dan pura-pura berkata dengan sabar."Terima kasih, Sayang. Lain kali, biarkan pembantu yang mengurus rumah saja," ucap Raka."Kamu itu istriku. Aku bahkan belum cukup memanjakanmu, mana mungkin aku membiarkanmu melakukan pekerjaan rumah," lanjut Raka.Setelah berkata begitu, dia melepas pelukannya dan bergegas masuk ke ruang kerja, berdalih masih ada urusan kantor.Hingga larut malam, barulah dia kembali ke kamar. Aku membalikkan tubuh, pura-pura sudah tertidur.Saat dia sudah terlelap, aku membuka mata. Layar ponsel Raka menyala, sebuah notifikasi pesan muncul. Ak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status