Share

Bab 4

Author: Selamat
Begitu selesai bicara, Maya tiba-tiba meraih lengan pakaianku sambil memohon dan menangis.

Dia berkata, "Kak Kirana, aku benar-benar nggak berniat mengambil uang perusahaan."

"Uang dan saham itu hanya hadiah dari Pak Raka karena aku sudah bekerja keras selama ini. Kalau kamu nggak terima, aku bisa mengembalikannya."

Sebelum aku sempat mencerna apa yang terjadi, Raka sudah bergegas maju, lalu menggenggam tanganku dengan erat sambil bertanya.

"Kirana, apa yang sebenarnya kamu permasalahkan?" tanya Raka.

Dia menjelaskan lagi, "Aku sudah bilang bonus dan saham itu bagian dari bonus untuk karyawan. Kenapa kamu masih harus menyulitkan Maya?"

Aku menoleh, melihat para karyawan mulai berkerumun dan saling berbisik seolah akulah yang keterlaluan.

Saat aku kembali melirik Maya, dia malah tersenyum dengan penuh kemenangan.

Aku menarik tanganku dari genggaman Raka sambil mengerutkan kening. "Perusahaan ada di bawah kendalimu. Bonus dan saham mau kamu berikan pada siapa pun, berapa pun jumlahnya, aku nggak akan ikut campur."

Setelah mengatakan itu, aku pun berbalik pergi tanpa peduli pada ekspresi Raka.

Namun, saat aku baru saja melangkah keluar hotel, Raka buru-buru mengejar dan menarik tanganku dengan wajah muram.

Dia bertanya, "Kamu mau ke mana? Nanti masih ada pesta perayaan!"

"Sudah dewasa begini, kenapa masih marah-marah? Memangnya pantas seperti itu?"

Maya juga menyusul, pura-pura meminta maaf, "Kak Kirana, kamu jangan marah. Setelah pesta selesai aku akan kembalikan uang dan saham itu. Kamu jangan marah dengan Pak Raka karena hal ini."

"Kamu ini nyonya perusahaan, nggak mungkin boleh absen di perayaan penting seperti ini. Ayo kita masuk bersama," lanjut Maya.

Aku menatap mata Maya yang penuh dendam dan iri, lalu tersenyum dingin.

Sepertinya dia memang sudah tidak sabar ingin menggantikan posisiku, menjadi nyonya yang sesungguhnya.

Kereta hotel berhenti di depan. Raka dan Maya duduk berdampingan.

Aku tidak berkata apa pun, dan memilih duduk di bangku paling belakang.

Di sepanjang perjalanan, Maya terus mengajak Raka mengobrol, menceritakan hal-hal pribadi mereka. Tujuannya untuk memamerkan betapa baiknya Raka memperlakukannya.

Aku terlihat seperti orang luar yang tidak bisa bergabung.

Raka beberapa kali melirikku dari kaca spion kereta dan ingin bicara padaku, tetapi setiap kali mulutnya terbuka, Maya selalu menyelanya.

Begitu tiba di restoran hotel, kami disambut beberapa karyawan baru yang tidak mengenalku. Mereka langsung menyapa Maya dengan riang.

"Halo, Bu Maya."

"Sudah lama nggak bertemu, Bu Maya makin cantik saja."

Suasana mendadak kaku. Beberapa karyawan lama buru-buru memberi kode, membuat suasana berubah canggung.

Raka segera mendorongku masuk ke ruang makan dan tersenyum seolah menyanjung.

Dia berkata, "Ayo, kita masuk. Masih ada yang menunggu di dalam."

"Hari ini hari bahagia, jangan cemberut. Aku bahkan menyiapkan kejutan khusus untukmu."

Aku hanya mencibir, lalu berkata, "Baiklah. Aku akan menantikannya."

"Kalau begitu, aku pergi ke toilet dulu. Kamu nggak usah khawatir," lanjutku.

Raka akhirnya merasa lega dan masuk ke ruangan.

Begitu dia pergi, aku segera menghubungi pengacara. Pengacara bilang surat perceraian dan perjanjian pembagian harta sudah selesai dibuat.

Dia menjamin, pada akhirnya Raka akan pergi tanpa bisa membawa apa-apa.

Aku menutup telepon, lalu melangkah masuk kembali ke ruang makan. Maya menghampiriku sambil membawa segelas anggur merah.

Dia berkata, "Kak Kirana, izinkan aku menghormatimu dengan segelas minuman."

"Bertahun-tahun kamu sudah begitu banyak berkorban demi Pak Raka, bahkan sampai tubuhmu jatuh sakit," lanjutnya sambil melirik tubuhku dari atas ke bawah dengan tatapan penuh makna.

Aku mengabaikan tatapannya, lalu berkata dengan datar, "Nggak usah. Aku nggak mau minum alkohol, cukup jus saja."

Raka langsung mengerutkan kening, dia berkata, "Kirana, kamu bukan nggak bisa minum, kenapa menolak?"

"Sebelumnya kamu bahkan …."

Raka mungkin teringat bahwa dulu aku rela minum dan bernyanyi dengan para investor demi membantunya mendapatkan dana. Pada akhirnya, dia tidak melanjutkan kalimatnya.

Maya berpura-pura tidak mendengar, dia meletakkan gelas anggur tepat di depanku dan memaksaku untuk minum. Seolah jika aku tidak minum, berarti aku membencinya.

"Minumlah sedikit untukku," ucap Maya.

Aku menahan rasa muak di hati, lalu berkata, "Sudah kubilang, aku nggak mau minum."

Ekspresi Raka makin muram. Melihat reaksinya, Maya makin berani. Dia langsung meraih tanganku, memaksaku mengambil gelas itu.

Aku spontan menarik diri, tetapi dia malah menjatuhkan diri ke lantai dan melindungi perutnya dengan tangan.

Gelas anggur jatuh dan pecah berkeping-keping. Raka sontak berdiri dan menegurku, "Kirana, apa yang kamu lakukan?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cintamu Bohong, Ya?   Bab 7

    Begitu keluar dari pintu rumah sakit, Raka langsung dihadang oleh Maya yang sudah menunggunya.Maya berkata, "Kak Raka, akhirnya aku bisa menemuimu."Dia melangkah dengan wajah berlinang air mata sambil berkata, "Kak Kirana pasti marah padamu karena aku, ya?""Aku tahu ini salah, tapi aku sangat mencintaimu! Aku nggak bisa hidup tanpamu!""Gimana kalau kamu ceraikan saja dia saja supaya kita bisa bersama terang-terangan?"Maya tidak menyangka wajah Raka dipenuhi rasa muak. Dia mendorongnya dengan kasar.Raka berkata, "Kamu bicara apa? Apa kamu sudah gila?""Kirana itu istriku, mana mungkin aku menceraikannya?""Kamu pergi saja. Jangan pernah muncul lagi di depan kami. Aku nggak mau dia nggak senang karenamu."Maya tertegun, dia bertanya dengan tidak percaya, "Kamu bilang apa?""Pak Raka, bukankah kamu yang bilang aku wanita yang paling kamu cintai?""Jangan-jangan Kak Kirana yang memaksamu bicara begitu? Aku tahu dia memang wanita menyebalkan."Tatapan Raka penuh marah, dia membentak M

  • Cintamu Bohong, Ya?   Bab 6

    Kebetulan sekali, pengacaraku menghubungiku dan langsung mengantar dokumen perceraian ke ruang rawat."Waktunya pas sekali," ucapku pelan. Aku menerima berkas itu dari tangan pengacara lalu menyodorkannya pada Raka. "Bacalah dulu, kalau nggak ada yang kamu keberatan, sebaiknya segera kita tanda tangani," lanjutku.Tangan Raka bergetar hebat, kertas setipis itu seakan hampir terlepas dari genggamannya.Raka bertanya, "Sayang, ka … kamu bilang apa barusan?""Cerai? Jangan bercanda! Mana mungkin!"Aku menoleh keluar jendela, tidak lagi menatapnya. Aku berkata, "Cukup sampai di sini saja, Raka.""Kamu sudah nggak mencintaiku, aku pun sudah mati rasa padamu.""Kalau kita terus melanjutkan hubungan ini, itu hanya akan saling menyiksa."Urat-urat merah merayap di mata Raka. Dia membanting dokumen itu ke tepi ranjang."Nggak! Aku nggak setuju!" teriak Raka.Dia ingin berkata lagi, tetapi Gilang tiba-tiba masuk ke kamar, lalu mengusirnya keluar dengan alasan telah mengganggu pasien untuk berist

  • Cintamu Bohong, Ya?   Bab 5

    Raka buru-buru memapah Maya, lalu berbalik untuk menegurku dengan tegas.Dia berkata, "Dia menghormatimu, makanya ingin mengajakmu bersulang. Kenapa kamu begitu nggak sopan?""Dari tadi kamu terus saja mencari masalah. Apa yang Maya lakukan untuk menyinggungmu sampai kamu tega menyulitkan seorang gadis muda?"Maya bersandar manja di pelukan Raka, matanya sembab, tampak sangat sedih.Namun, tatapannya saat melihatku penuh dengan kebencian.Amarahku seketika mendidih. Aku melawan balik."Menghormatiku? Aku sudah bilang nggak mau minum, tapi dia terus memaksa. Itu yang kamu sebut hormat? Apa matamu buta, Raka?" ucapku.Raka tidak menyangka aku akan bertengkar dengannya di depan umum. Wajahnya langsung muram.Raka berkata, "Lihat dirimu sekarang! Seperti ibu tua yang kasar dan nggak berpendidikan. Nggak terlihat seperti nyonya besar sama sekali!"Dia berkata sambil mendorongku dengan kasar.Aku tidak sempat menghindarinya. Perutku membentur keras sudut meja. Rasa sakitnya menyebar ke selur

  • Cintamu Bohong, Ya?   Bab 4

    Begitu selesai bicara, Maya tiba-tiba meraih lengan pakaianku sambil memohon dan menangis.Dia berkata, "Kak Kirana, aku benar-benar nggak berniat mengambil uang perusahaan.""Uang dan saham itu hanya hadiah dari Pak Raka karena aku sudah bekerja keras selama ini. Kalau kamu nggak terima, aku bisa mengembalikannya."Sebelum aku sempat mencerna apa yang terjadi, Raka sudah bergegas maju, lalu menggenggam tanganku dengan erat sambil bertanya."Kirana, apa yang sebenarnya kamu permasalahkan?" tanya Raka.Dia menjelaskan lagi, "Aku sudah bilang bonus dan saham itu bagian dari bonus untuk karyawan. Kenapa kamu masih harus menyulitkan Maya?"Aku menoleh, melihat para karyawan mulai berkerumun dan saling berbisik seolah akulah yang keterlaluan.Saat aku kembali melirik Maya, dia malah tersenyum dengan penuh kemenangan.Aku menarik tanganku dari genggaman Raka sambil mengerutkan kening. "Perusahaan ada di bawah kendalimu. Bonus dan saham mau kamu berikan pada siapa pun, berapa pun jumlahnya, a

  • Cintamu Bohong, Ya?   Bab 3

    Tumpukan uang tunai itu diletakkan di depan umum, para karyawan di bawah panggung saling berbisik. "Gila, Pak Raka benar-benar murah hati! Sulit dibayangkan betapa banyaknya nilai separuh saham itu. Kita kerja tiga generasi pun nggak bakal bisa dapat!""Itu untuk Bu Maya. Kalian nggak lihat? Pak Raka hampir terang-terangan membawanya pulang ke rumah.""Tapi bukankah Pak Raka sudah punya istri? Dengar-dengar, mereka sudah lama menikah.""Memangnya kenapa? Aku pernah lihat istri Pak Raka, dia kalah jauh dibanding Bu Maya! Tubuhnya gemuk, wajahnya bengkak kayak roti kukus, dan kulitnya banyak flek hitam. Mana ada secantik dan semuda Bu Maya? Lagi pula, istri Pak Raka cuma ibu rumah tangga, sementara Bu Maya telah membantu Pak Raka mendapatkan banyak kontrak besar!"Aku hanya tersenyum dan ikut bertepuk tangan bersama para karyawan yang lain.Saat Raka melihatku, dia langsung panik. "Sa … Sayang? Kenapa kamu ada di sini?" tanya Raka."Aku cuma sedang senang saja, jadi memberi bonus ke Maya

  • Cintamu Bohong, Ya?   Bab 2

    Begitu masuk rumah, Raka langsung menunduk hendak menciumku, kedua tangannya tidak henti merayap di tubuhkuNamun, begitu mencium aroma parfum Maya yang masih menempel di tubuhnya, rasa mual seketika menyerangku. Aku menepis tangannya halus."Sudahlah, aku baru saja selesai membereskan rumah. Badanku penuh keringat, belum sempat mandi," ucapku.Sekilas tatapan jijik melintas di matanya, meskipun dia menutupinya dengan cepat dan pura-pura berkata dengan sabar."Terima kasih, Sayang. Lain kali, biarkan pembantu yang mengurus rumah saja," ucap Raka."Kamu itu istriku. Aku bahkan belum cukup memanjakanmu, mana mungkin aku membiarkanmu melakukan pekerjaan rumah," lanjut Raka.Setelah berkata begitu, dia melepas pelukannya dan bergegas masuk ke ruang kerja, berdalih masih ada urusan kantor.Hingga larut malam, barulah dia kembali ke kamar. Aku membalikkan tubuh, pura-pura sudah tertidur.Saat dia sudah terlelap, aku membuka mata. Layar ponsel Raka menyala, sebuah notifikasi pesan muncul. Ak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status