Share

2. Undangan

Aku tetap mengabaikan pria itu dan berusaha sabar agar tidak membalas pesannya dengan kata-kata kasar. Masalahnya hanya waktu, dia akan lelah sendiri jika aku tidak pernah merespon. Dia memiliki kesan yang lugu, sebenarnya itu hanya topeng. Dia sebenarnya buaya berkepala serigala.

Aku ini wanita mandiri, bisa bekerja dan menghasilkan uang sendiri, ke mana-mana sendiri dan membeli apapun menggunakan uangku sendiri. Tiba-tiba dipertemukan dengan pria yang hanya bermodal mengirim pesan: sedang apa, apa kau sudah bangun, jangan lupa makan, jangan lupa mandi, selamat tidur, selamat siang, selamat pagi, jangan lupa buang air, membuang sampah, mencuci baju, membersihkan dosa, menutup pintu, jendela, menutup aib dan lain-lain. Ya ampun, maaf, itu sangat tidak berguna bagiku. Apalagi pria yang gila wanita, dalam hidupnya pasti hanya terbayang-bayang tubuh wanita. Siapa yang bisa hidup dengan pria seperti itu? Hanya yang sama-sama gila yang bisa.

Percayalah, di zaman ini pria yang punya banyak uang tidak akan cukup dengan satu wanita, tapi jika wanita punya banyak uang -- satu laki-laki pun tidak akan dia butuhkan, dia bisa membeli pria jika ingin. Pria yang baik dan tulus sulit ditemukan pada zaman ini. Kesetiaan seorang pria tidak bisa diukur dari seberapa cantiknya dirimu, seberapa pintarnya dirimu, seberapa kayanya dirimu atau seberapa seksinya tubuhmu. Kesetiaan itu datang dari dalam diri pria itu sendiri dan seseorang tidak bisa mengendalikan hati orang lain. Godaan pasti terjadi, tapi tergantung bagaimana pria itu mengambil keputusan saat godaan itu datang.

Aku sudah lelah dengan kehidupan asmaraku, rasanya tak ada satu pun pria yang bisa kupercaya. Mengapa pria meninggalkan wanitanya jika ada wanita lain yang lebih baik? Mengapa pria begitu pemilih dan serakah? Mengapa pria mewujudkan semua keinginan wanitanya pada wanita lain? Mengapa? Jika sejak awal tak mencintai, untuk apa memulai sebuah hubungan? Semua rasa sakit itu dimulai dari beberapa tahun yang lalu. Dia menganggap sepele perasaanku dan perpisahanlah pemenangnya.

Sejak saat itu aku takut memulai sebuah hubungan baru dan aku takut jatuh cinta lagi. Bagiku jatuh cinta adalah gerbang untuk menyakiti diri sendiri, karena itu aku tidak ingin jatuh cinta. Jika harus menikah maka pernikahan hanya sebuah transaksi bagiku. Mewujudkan pernikahan yang dilandasi saling cinta bukan hal yang mudah, aku menyadari hal itu karena aku pernah dibohongi. Perkataannya menunjukkan seolah dia hanya mencintaiku, tapi sikapnya menunjukkan sebaliknya. Dari pengalaman itu akhirnya aku menyadari bahwa isi hati seseorang tidak bisa dilihat dari perkataannya, tapi sikaplah yang menunjukkan semua isi hatinya. Mulut bisa berbohong, tapi tidak dengan bahasa tubuh.

'Pilih saja dia, aku tidak masalah. Jika kau benar-benar mencintaiku, tidak akan mungkin ada yang lain di hatimu. Kau tidak benar-benar menginginkan aku, jika kau menginginkan aku, kau tidak akan mengambil opsi yang lain kan? Jadi pilih saja dia, aku akan baik-baik saja. Ini adalah pertemuan terakhir kita, selamat tinggal.'

Aku masih ingat betul kata-kata terakhir yang kuucapkan padanya dan aku merasa sangat puas mengatakan hal itu padanya. Bahkan saat pertemuan terakhir itu aku tidak memberinya kesempatan untuk bicara karena aku tahu, orang yang sudah berbohong padaku tentang satu hal, dia akan berbohong tentang hal yang lainnya. Aku tidak mau mendengarnya lagi.

-o0o-

Baru saja duduk di ruang kerja, Ayah datang dengan undangan di tangannya. Undangan itu berukuran sedang dengan desain keemasan yang memberi visual mewah. Aku dapat menebak kalau undangan itu dari salah satu perusahaan besar di negara ini, biasanya undangan itu dari perusahaan yang meluncurkan produk baru, brand atau membuka cabang baru. Ayah pasti akan menyuruhku untuk datang ke sana sekaligus menemui seorang pria pilihannya. Membosankan. Aku sudah hafal dengan taktik Ayah: pesta adalah ajang pencarian jodoh.

"Kali ini undangan dari perusahaan mana?" tanyaku acuh tak acuh.

"Lissel Group."

Aku mengernyit sekaligus kaget karena aku sensitif terhadap perusahaan itu. "Lissel Group?" tanyaku memastikan.

"Iya."

"Bukankah mereka menjauhi kita?"

"Sepertinya mereka tidak seburuk itu."

"Ayah terlalu berpikir positif, dunia bisnis itu kejam."

"Hahaha," Ayah tertawa. "Kejam bagi yang tidak beruntung anakku. Ayahmu ini sudah menelan banyak garam."

"Apa rencana Ayah?"

"Tentu saja datang ke pesta."

"Dan menemui seorang pria?"

Ayah mengangguk. "Sepertinya... kali ini akan sangat sulit, tapi kau harus berusaha."

"Siapa yang harus kutemui? Jangan memberiku pria tidak berguna lagi."

"Tidak akan. Kali ini mungkin sedikit berguna bagimu atau mungkin dia akan sedikit menyulitkanmu. Lucas Chen, kau pernah dengar? Kau pasti pernah mendengar nama itu, tidak mungkin kau tidak pernah mendengar tentangnya. Namanya sudah terdengar di seluruh pelosok negeri ini."

"Lucas Chen? Apa hubungannya dengan dia? Dia hanya seorang pengacara. Apa dia akan hadir di acara seperti itu? Kurasa dia tidak akan hadir meskipun diundang sebagai tamu penting karena dia selalu menolak undangan. Dia sama sekali tidak ada hubungannya dengan pesta bisnis. Lebih baik cari yang lain saja, dia tidak akan hadir."

"Kali ini dia pasti hadir karena ayah sudah membuat janji dengannya."

Mataku melolot. Aku merasa sangat tidak percaya itu. Lucas Chen hanya seorang pengacara dan tidak ada hubungannya dengan Lissel Group, bahkan pria yang kata orang-orang bak pangeran berdarah dingin itu jelas-jelas tidak bekerja dengan Lissel Group. Bagaimana mungkin dia bersedia hadir ke pesta?

"Ayah, jangan mengada-ada. Lucas Chen tidak akan hadir, memangnya dia sudah mengkonfirmasi janji temu dengan Ayah?"

"Sudah. Asistennya mengatakan kalau dia akan hadir di pesta itu dan ayah sudah memastikan hal itu."

"Tidak mungkin dia hadir. Mungkin asistennya membohongi Ayah. Di saat Ayah sudah di lokasi pertemuan, pasti asistennya tiba-tiba menghubungi Ayah kalau Lucas Chen membatalkan pertemuan karena ada kepentingan mendesak. Aku sudah hafal tindak-tanduknya karena rekan-rekan bisnisku banyak mengalami hal demikian. Jadi cari target lain saja."

"Lucas Chen adalah target yang sempurna. Kalau kau bisa mendekatinya, kalian mungkin saja bisa sampai ke jenjang pernikahan."

"Pria sempurna seperti dia, apa mau menjadi suamiku? Kita tidak tahu tipe idealnya seperti apa. Kebanyakan orang seperti dia mencari yang sepadan, aku tidak sepadan dengannya. Ayah tidak perlu bekerja keras untuk menjodohkan aku dengan dia."

"Ck, kau ini. Apa kubuat janji dengan Evin Ji saja?"

"Jangan!" tolakku spontan.

"Kenapa? Dia pria seumuran denganmu dan pewaris tunggal Lissel Group. Dia lebih sempurna secara keseluruhan dari pada Lucas Chen."

"Aku tidak mau. Siapapun yang ada hubungannya dengan Lissel Group, aku tidak akan berkencan dengannya."

"Kenapa?"

"Ayah, Lissel Group bukan rekan yang sepadan dengan kita. Ayah ingin aku diinjak-injak?"

"Sebenarnya Lissel Group tidak terlalu buruk. Keluarga Ji bukan orang yang sombong, mereka hanya disiplin. Mereka tidak akan mencampuraduk urusan asmara dengan bisnis."

"Tidak, tidak. Aku tidak mau."

"Kalau begitu dengan Lucas Chen saja. Meskipun dia kalah secara financial dengan Evin Ji, tapi kurasa dia lebih tampan dibandingkan dengan Evin ji. Orang-orang mengatakan dia sangat cerdas, selain menjadi pengacara — dia juga seorang pembisnis. Apa salahnya mencoba?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status