"Siapa kau?" tanyaku waspada.
"Aku adalah salah satu orang yang masuk ke dalam daftar calon suamimu."
"Maaf, aku tidak memiliki calon suami. Katakan siapa namamu!"
"Kau tidak mengenalku?"
"Tidak."
"Baiklah, izinkan aku berpakaian terlebih dahulu."
Aku memberinya jalan dan dia meninggalkan kamar mandi menuju lemari, membukanya lalu mengambil pakaian baru dari sana. Diam-diam aku berjalan menuju telepon yang terletak di meja samping ranjang, aku mengangkat gagangnya dan menekan angka satu untuk memanggil bagian resepsionis.
Belum sampai dijawab, pria yang kupikir sedang ganti baju di kamar mandi ternyata berdiri di belakangku dan mengambil alih gagang telepon dengan tenang.
"Tidak perlu memanggil orang karena orang lain tidak akan peduli. Aku kemari hanya untuk numpang mandi, kau tidak perlu lapor polisi atau semacamnya jika ingin selamat," bisiknya.
Tak! Pria ini meletakkan kembali gagang telepon ke tempat semula.
"Tuan, aku tidak tahu siapa anda, tapi bisakah anda menggunakan sedikit sopan santun? Apa boleh anda mandi di kamar orang lain tanpa izin? Jika butuh bantuan, harusnya anda meminta bantuan pada pihak hotel, bukan menyusup ke kamar orang lain."
"Apa aku tidak boleh mandi di kamar calon istriku? Lagi pula aku hanya mandi."
"Tuan, saya bukan calon istri anda dan kita tidak saling mengenal, bukan? Tapi bagaimana bisa anda mengenali saya sebagai Maria Tan? Kita tidak pernah bertemu sebelumnya."
"Apa itu penting untuk kau ketahui?"
"Tidak. Untuk saat ini yang terpenting adalah anda harus segera berpakaian, jika anda tamu di sini, tolong pergi ke resepsionis dan minta kunci kamar anda di sana. Apa anda butuh bantuanku?"
"Aku akan pergi sendiri, sampai jumpa!"
Pria itu bergegas meninggalkan kamar tanpa berpakaian terlebih dahulu, masih menggunakan handuk untuk menutupi area sensitifnya sambil menenteng pakaiannya.
Sebelum membuka pintu dia berkata, "Oh ya, terima kasih, nanti aku akan membalas kebaikanmu."
Blam! Pintu tertutup kembali.
"Pria aneh," komentarku.
Tanpa menunggu, aku langsung menelepon Ayah.
"Halo."
"Ayah, apa Ayah mau memberiku pria aneh lagi?"
"Tidak. Ayah belum menemukan pria lagi untukmu, sementara ini kau cari sendiri dulu ya. Memangnya ada apa? Apa ada masalah di sana?"
"Tidak ada."
"Jangan lupa nanti temui Lucas Chen dan dekati dia. Hanya ini satu-satunya kesempatan kau bertemu dengannya, setelah pesta berakhir kau akan kesulitan meski hanya untuk melihatnya sekilas. Lissel Group mengundang kita tidak dengan maksud apa-apa karena kita bukan target bisnis."
"Aku tidak akan menemui siapapun di pesta ini, aku hanya hadir dan menikmati semua pelayanannya."
Aku mengakhiri obrolan, bosan membahas tentang pria. Lagi pula menikah dengan siapapun tidak masalah, banyak pria yang mengejarku dan aku bukan perawan tua. Aku hanya perlu menunggu pria yang tulus mencintaiku, tidak masalah aku tidak mencintainya. Aku hanya perlu 'menikah' saja kan?
-o0o-
Acara makan malam akhirnya tiba, para tamu keluar dari kamar masing-masing dan mengenakan pakaian terbaik mereka. Ada beberapa orang yang kukenal dan masih banyak orang yang tidak kukenal dan tidak mengenal diriku. Kebanyakan tamu yang hadir berasal dari keluarga elit, pembisnis, politikus maupun selebritas. Para tamu Lissel Group adalah orang-orang terpilih dan mungkin di antara mereka merupakan para investor maupun rekan bisnis, atau mungkin hanya sekedar mengundang orang-orang tertentu dengan tujuan memamerkan prestasi yang dimiliki Lissel Group. Atau mungkin ada calon rekan bisnis di antara mereka dan aku tidak tahu perusahaan ayahku tergolong yang mana.
Berbagai macam model pakaian yang dikenakan oleh para tamu, ada yang sederhana dan ada juga yang mewah. Tergantung selera masing-masing. Karena ini hanya acara makan malam, aku mengenakan dress hitam yang penjangnya tidak sampai menutupi mata kaki sehingga sepatu tinggiku tetap terlihat. Lengan model bishop dengan kain putih transparan memberi kesan yang manis, bagian dada sedikit terbuka karena aku memilih gaun yang bagian lehernya berbentuk persegi. Dress model ini memberi nuansa tahun 80-an tapi tidak ketinggalan zaman karena menggunakan bahan khusus dan pilihan warna yang tepat.
Rambut panjangku kusanggul dengan model sederhana dan kuberi poni tipis supaya penampilanku terlihat sesuai usiaku yang masih muda, anting mutiara untuk mempercantik diri dan riasan natural membuatku tidak terlalu mencolok karena aku tidak ingin menjadi pusat perhatian di sini.
Beberapa tamu ada yang membawa putri mereka yang telah dewasa, aku sangat paham maksudnya. Mereka sedang bersaing mempromosikan putri mereka supaya pewaris tunggal Lissel Group 'melirik' putri mereka, lalu mereka akan membangun sebuah 'hubungan yang erat'. Sebenarnya mereka tidak jauh beda dengan ayahku, hanya saja aku datang sendirian dan 'bersaing' sendirian di sini. Sayangnya, aku tidak akan bersaing. Aku kemari hanya untuk bersenang-senang dan mencari rekan bisnis yang baru.
Aku tidak peduli dengan Lucas Chen atau siapapun itu, aku tidak mau kencan buta lagi. Aku sudah muak.
"Oh, Maria Tan!"
Aku menoleh ke samping ketika seorang pria memanggil namaku. Dia adalah Jamie Lim.
Astaga, aku lupa kalau orang itu selalu hadir di acara-acara seperti ini. Harusnya aku lebih waspada.
Aku hanya tersenyum tipis dan mengangguk sebagai balasan. Saat hendak pergi menghindarinya, pria itu malah menarikku bergabung bersama teman-temannya.
Aku memberi kode supaya dia melepaskan tanganku, tapi sepertinya dia tidak mengerti. Orang tolol ini, membuatku malu karena orang-orang di sekitar melihat ke arah kami, aku takut orang-orang akan berpikir bahwa aku memiliki hubungan dekat dengan Jamie Lim. Aku tidak sudi digosipkan dengan pria ini.
"Bukankah kau Maria Tan yang sekarang jadi wakil direktur di XP Fire?" tanya seorang teman Jamie padaku.
"Iya, kau benar. Dia adalah Maria Tan, seminggu yang lalu dia sempat kencan buta denganku," sahut Jamie dengan girang. Dia tidak memberiku kesempatan untuk menjawab.
"Benarkah?"
"Tentu saja. Kalian tahu ayahnya kan? Tuan Tomy Tan, direktur XP Fire, dia sangat terobsesi memiliki menantu kaya dan aku salah satu targetnya. Tapi... kalian tahu kan seleraku seperti apa? Maria tidak bisa menggapai itu dan aku menolaknya saat kami kencan buta. Aku tidak bisa menerima wanita yang dijadikan barang dagangan oleh ayahnya. Benar kan, Maria?"
Aku diam menahan amarah, tapi aku tidak bisa mengelak karena itu benar... mungkin juga tidak. Aku hanya khawatir ucapan Jamie menjadi bahan gosip di kalangan orang-orang elit dan mereka menambah-nambahkan sesuatu yang tidak benar adanya. Kemudian nama keluargaku dan XP Fire terkena imbasnya, hah... betapa melelahkannya menghadapi hal-hal tidak penting seperti itu.
Orang ini sedang membalas perbuatanku di restoran. Aku tahu itu karena dia tipe orang yang tidak suka disalahkan dan memiliki gengsi setinggi langit. Sepertinya aku harus mengambil tindakan lebih tegas supaya dia berhenti memojokkan aku. Setelah mendengar cerita singkat dari Jamie, teman-teman Jamie memandangku seperti sampah dan aku sangat malu. Mereka seolah mengolok-olokku melalui tatapan mereka. Mereka menertawakan aku.
"Aku sungguh tidak menyangka menjadi target Tuan Tomy, tapi karena aku memiliki hati nurani, aku tidak bisa berbohong. Kau memang cantik, Maria, tapi aku tidak bisa menjadi menantu ayahmu. Ayahmu mencari menantu kaya untuk menyokong XP Fire kan?" ujar Jamie.
"Hahaha! Itu benar, Tuan Jamie," sahutku. "Ayahku memang terobsesi memiliki menantu kaya. Sebenarnya bukan untuk menyokong XP Fire, dia hanya ingin aku bahagia dengan memiliki suami yang sepadan denganku. Kami tidak munafik, sebenarnya keluarga kalian juga begitu kan? Bahkan di antara kalian pasti dipaksa menikahi orang di atas kalian. Hanya saja... kalian tidak memperlihatkannya. Aku tidak dijual, ayahku hanya berusaha mencarikan aku suami, meski begitu... yang berhak menilai calon suamiku adalah aku sendiri, dan..." Aku melirik Jamie dengan muak. "Tentu saja Tuan Jamie Lim bukan seleraku, maaf. Karena itulah saat di restoran aku meninggalkan anda. Anda bukan tipe idealku." "Bukankah aku yang meninggalkanmu?" sahut Jamie dengan sorot mata mengancam. Aku tersenyum sinis lalu beralih pada teman-teman Jamie. "Kalau kalian tidak percaya, kalian bisa cek rekaman CCTV di restoran itu, kalian akan tahu siapa yang lebih sampah di sana," kataku pada teman-teman Jamie. Aku melirik Jamie deng
"Wah, bukankah itu Evin Ji?" "Itu Evin Ji." "Iya, itu Evin Ji." "Dia sangat tampan jika dilihat langsung." "Benar. Dia adalah orang yang akan menerima kekuasaan tertinggi di Lissel Group." "Aku belum pernah melihat pria seperti itu, dia terlalu sempurna." Sejak kehadiran pria itu, mulailah terdengar bisikan-bisikan dari para tamu, membicarakan tentang Evin. Para wanita begitu memuja dan memuji sosok Evin Ji. Mereka tidak tahu siapa sebenarnya Evin, jika mereka tahu — mereka tidak akan pernah mengatakan hal-hal yang membuat nama Evin melambung tinggi. Tapi bagaimanapun juga, Evin tetap menjadi yang nomor satu meskipun dia bejat. Karena dia tertolong secara financial dan fisik. Jika dia miskin atau jelek, dia sudah dihujat habis-habisan. Jika kau kaya atau tampan/cantik, kau akan aman. "Bagaimana, Nona Maria? Apa menurutmu Evin Ji pria yang tampan?" tanya Nyonya Mo padaku. "Tidak munafik, sebagai wanita saya mengakui kalau Evin Ji adalah pria yang tampan dan sempurna." "Apa dia
Pria aneh. Bagaimana bisa kami bertemu dengan situasi seperti ini? Berawal dari dia mandi di kamarku, lalu bertemu di lorong sepi dan mengantarku ke kamar. Dia berkata kami saling kenal dan merupakan calon suamiku? Apa dia sedang berhalusinasi? Atau hanya menggodaku? Sepertinya dia hanya menggodaku karena aku memang sedang cantik malam ini. Tapi... sedang apa dia di lorong sepi itu? Dan siapa dia? Dia tahu namaku dan tahu nama ayahku. Dia juga tahu kalau aku adalah tamu undangan Lissel Group. Astaga, pria itu membuatku semakin takut, dia masuk kamarku tanpa izin — bahkan masuk tanpa kunci akses, lalu kami bertemu di lorong sepi, bahkan dia menyapaku seolah dia tahu wanita di lorong itu adalah aku. Tidak, mungkin saja itu memang kebetulan. Apa aku terlalu menganggapnya serius? Tidak. Masalah ini memang serius. Kejadian demi kejadian tampaknya tidak kebetulan. Sejak dia mandi di kamarku sudah aneh dan dia mengatakan hal-hal yang tidak kumengerti. Aku tidak merasa pernah bertemu dengan
Pria ini tergelak, cenderung mengejek. "Kau sangat tidak sopan, Nona. Harusnya kau menawarkan sarapan padaku atau mengajakku sarapan bersama di sini. Bahkan tak menyuruhku duduk, kau malah mengusirku?" "Sayangnya aku tidak punya niat mengajak anda sarapan bersama, karena itu aku bersikap tidak sopan, maaf." Pria ini tergelak lagi, kali ini dia tampak merasa geli dengan responku. "Baiklah, kalau begitu apa boleh aku duduk semeja denganmu?" "Maaf, sebaiknya anda cari tempat duduk lain saja. Di sana banyak meja yang kosong." "Kenapa?" "Karena aku merasa tidak nyaman dengan anda, maaf." Pria ini tercengang mendengar jawabanku yang mungkin membuat harga dirinya merosot. "Rupanya kau sangat 'jujur'." "Terima kasih, itu adalah salah satu kelebihanku." "Hahaha! Baiklah, rupanya kau sangat menyebalkan. Nikmati sarapanmu, aku tidak akan mengganggu. Sampai jumpa." Pria itu pergi meninggalkan mejaku. Kukira dia akan mengambil sarapan, ternyata tidak. Dia meninggalkan ruang penjamuan. Lalu
Muncul rasa tidak enak dalam diriku, pria itu tampak sangat santai saat resepsionis berhasil memanggil petugas keamanan ke lobby. Aku khawatir aku salah paham dengannya, mungkin saja kami memang bertemu secara kebetulan. Tidak, bisa jadi dia berlagak polos supaya orang lain tidak curiga kalau dia itu penguntit. "Nona, di mana orangnya?" tanya salah seorang petugas keamanan padaku. Dengan mantap aku menunjuk ke arah pria aneh itu yang masih berdiri di tempatnya. Petugas berbalik untuk melihat siapa orang yang kutunjuk. Petugas keamanan kaget dan kebingungan. Dua petugas itu malah membungkuk singkat sebagai sapaan hormat terhadap pria itu. Apa sebelum menangkap penjahat mereka selalu memberi hormat terlebih dahulu? Aneh. Orang-orang di Del Express banyak yang aneh. Yang lebih aneh, pria itu malah menyerahkan kedua tangannya kepada petugas untuk diborgol. Apa dia sangat ingin ditangkap? Ya Tuhan, dia sungguh manusia aneh. Karena sudah begitu, kedua petugas memborgol si pria dan berkat
"Halo, Etman, aku akan hadir ke pesta. Saat kau tiba segera bawa semua barang-barangku dan tunggu aku di lobby. Setelah pesta selesai aku langsung pulang dan satu lagi, jangan menerima pesan apapun kecuali dari mulutku sendiri. Apa kau mengerti?" jelasku pada sopirku melalui telepon."Baik, Nona. Saya mengerti."Akhirnya aku memutuskan untuk hadir ke pesta. Soal Evin? Aku sudah menyiapkan rencanaku. Kuharap hari ini aku beruntung....Pesta dimulai pukul 20.00. Saat ini masih pukul 19.00, sedangkan aku baru saja selesai berdandan. Long dress bahan brukat dan satin membungkus tubuhku, dress ini merupakan koleksi terbaru dari Louvi Paris dan hanya tersedia lima buah di dunia dengan warna yang berbeda-beda. Aku memilih warna dark navy karena aku menyukai warna itu. Jangan tanya betapa mahalnya dress ini. Rambut panjangku kubiarkan terurai dan sebagian kujepit supaya terlihat lebih rapi. Karena aku sudah cantik sejak lahir, aku tidak perlu berlebihan memoles wajahku.Sebelum pukul 20.00
Bros emas berbentuk logo RenZ. Tidak ada yang memiliki bros itu selain CEO RenZ. Itu artinya sang CEO sendiri yang menemuiku? Biasanya dia menyuruh orang lain untuk menemui rekan bisnis. Tapi kali ini dia sendiri yang menemuiku? Wow, di luar dugaan. Tapi itu berita bagus! Sangat bagus! "Hai, Maria!" Seorang wanita seusiaku datang menyapa. Aku menoleh ke samping untuk melihat siapa yang datang. "Jenny? Benarkah kau Jenny?" balasku dengan nada terkaget-kaget. "Ya, aku Jenny. Syukurlah kau masih mengingatku." Wanita itu tersenyum sumringah. "Oh, astaga. Bagaimana kabarmu?" Aku menjabat tangannya dan dia balas menjabat tanganku. "Baik, sangat baik. Bagaimana denganmu, Maria?" "Aku juga baik." "Omong-omong... kau juga diundang ke pesta ini? Kudengar hubungan XP Fire dan Lissel Group tidak baik." "Entahlah, aku hanya memenuhi undangan untuk menggantikan ayahku, selalu seperti itu." "Hahaha! Sudah kuduga. Kudengar kau... dijual... oleh ayahmu? Itu tidak benar kan?" tanya Jenny denga
"Tidak, hanya saja... kau terlihat gugup. Kau tidak berbohong padaku kan? Maria, kalau kau masih mencintaiku, katakan saja. Tidak perlu bersembunyi seperti ini," balas Evin dengan penuh percaya diri. "Heh, Evin... Evin... Kau tahu betul bagaimana aku. Jika aku kehilangan barang, aku akan membelinya yang baru dari pada harus repot-repot mencarinya." "Tapi jika barang itu adalah berlian, bukankah kau akan tetap mencarinya?" "Sayangnya kau bukan berlian, Evin. Berhenti menganggap dirimu sangat berharga. Sekalipun kau seorang pewaris Lissel Group, tapi bagiku kau hanya tisu toilet. Apa kau lupa dengan kejadian di Los Angeles? Itulah dirimu yang sebenarnya." Wajah Evin merah padam. Dia tersulut emosi, aku tahu ucapanku akan membuatnya sangat marah. Tapi itu tidak sebanding dengan apa yang aku rasakan saat di Los Angeles. Kejadian itu akan selalu kuingat sampai aku mati. Luka itu masih basah hingga saat ini. Aku tidak dendam pada Evin, aku hanya tidak bisa melupakan luka yang dia ciptaka