Share

01. Identitasnya

Aku tenggelam padamu lagi 

Karena kau adalah bagian dari diriku

-Julian Wheeler- 

***

"HEI! APA YANG KALIAN LAKUKAN SAMPAI LAMA SEPERTI ITU? CEPAT BAWA PERLATANNYA KEMARI!"

Julian menoleh ke belakang, ke arah sumber suara yang ada di luar sana, di ikuti oleh Paul yang membelakangi laki-laki itu. Paul bersungut kesal "Ada masalah hidup apa si pak tua itu?" setelah mendengar teriakan lantang pak tua yang di sebut-sebut tadi, alias  Cody Hansen pelatih club sepak bola mereka.

"Cody menyuruh kita mengambil semua peratalan sialan ini karena kita terlambat, Paul" Julian memberikan jawaban atas gerutuan Paul, lantas ia kembali memasukkan bola-bola ke dalam ranjang. Sebaiknya mereka berdua harus bergegas membawa semua peralatan itu ke lapangan, jika tidak pak tua alias Cody Hansen akan memberikan mereka hukuman tambahan berupa lari lapangan sebanyak sepuluh kali. Itu bahkan lebih mengerikan dibandingkan harus membersihkan toilet yang sangat kotor dan bau pesing.

"Itu gara-gara kau yang tidak boleh ketinggalan tebar pesona di hadapan para gadis SMA" lanjut Julian mengingatkan alasan mereka terlambat, "Dan aku selalu menjadi korban kecabulanmu"

Paul hendak membalas ucapan Julian ketika ia sudah selesai mengumpulkan hundler ke dalam ranjang bermotif jaring-jaring berwarna coklat "Itu namanya usaha untuk mendapatkan pa..." namun katanya-katanya tidak sempat ia lanjutkan ketika pengganjal pintu gudang tiba-tiba terlepas, dan dalam hitungan detik ruangan yang penuh dengan barang-barang peralatan kegiatan kampus gelap. Pintu itu terkunci rapat. 

"Kesialan apa lagi ini?" seru Paul sebagai lanjutan perkataannya yang sempat terputus tadi. 

Paul meraba saku training olahraganya untuk mencari ponselnya, berharap bisa menerangi penglihatannya dengan bantuan senter yang ada pada benda tersebut. "Oh tidak, ponselku ada di dalam tas" Paul menyesali kebodohannya tidak membawa benda itu di saat seperti ini. Biasanya ia selalu membawanya ke manapun.

Julian terpaku pada posisinya, ia tidak menghiruakan Paul yang sedari tadi sibuk menggerutu. Bisa di katakan suara yang ada di sekitarnya berangsur-angsur senyap. Suara Paul yang memanggilnya seakan tidak pernah ada, kupingnya mendengung. Mata Julian membulat dengan keringat yang tiba-tiba membasahi pelipisnya.

Suara Paul yang memanggil-manggil namanya berubah menjadi suara desahan nafas dari seorang anak laki-laki. "Julian...To...tolong...a..aku" suara itu terdengar sangat berat. Julian yang ada di sampingnya panik. Nafas anak laki-laki itu tersengal, dadanya kembang kempis. Kedua tangannya meremas dadanya kuat. 

"Leo, tolong bertahanlah!" Julian berteriak histeris sambil mengguncangkan tubuh Leo. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang gelap itu berusaha mencari jalan keluar, namun ia tak bisa melihat apapun disana. Tempat itu lembab, banyak jaring laba-laba—meski tidak nampak—kulitnya bisa merasakannya.

"TOLONG! SIAPAPUN TOLONG KAMI!" Julian berteriak sekuat tenaga agar seseorang bisa mendengarnya dan menolong mereka keluar dari tempat itu. Air matanya mengalir deras, ketakuakan semakin kuat saat tiba-tiba Leo tersungkur ke pangkuannya.

Samar-samar suara Paul kembali terdengar. Tubuh Julian bergetar hebat, laki-laki itu menutup telinganya, ia menenggelamkan wajahnya di antara kedua lututnya. Sekujur tubuh Julian berkeringat, hingga jersey yang ia kenakan basah .

"Julian!" Paul terus berusaaha menyadarkan temannya. Ia tampak panik melihat keadaan laki-laki itu. "Hei, kau baik-baik saja?"

Sebenarnya saat ia mengalami trauma akan kejadian masa lalunya yang mengerikan itu, Cody masuk ke gudang ketika ia menyadari pintu tertutup. Masalah pengganjal pintu yang rapuh sudah ia ketahui dari beberapa minggu yang lalu, bahkan Cody melaporkannya ke pihak kampus untuk segera di perbaiki. Namun sampai  detik ini tidak ada tindakan perbaikan yang di lakukan.

"Hei, nak, kau baik-baik saja?" Cody mengulangi pertanyaan yang sama dengan Paul. Meskipun ia di kenal dengan julukan pak tua berhati kejam, ia sangat memperhatikan keadaan mahasiswanya.

Sore hari setelah kejadian di gudang berlalu, Paul akhirnya tahu  apa yang di alami Julian—setelah 1,5 tahun mengenalnya—meskipun yang ia tahu hanya point-point kecilnya saja. Laki-laki itu tidak ingin menceritakannya lebih dalam, karena itu akan membuatnya semakin menderita.

"Sebaiknya kau tidak ke gudang itu lagi, kawan" kata Paul dengan nada prihatin. Matanya masih menyiratkan kekhawatiran pada Julian, karena ini kali pertama ia melihat teman di depannya ketakutan seperti itu. Saat ia menyaksikan Julian yang hilang kendali ketika ruangan gudang tiba-tiba gelap. Dan ia mendengar Julian bergumam tidak jelas sambil menutup telinganya rapat. Sekujur tubuh laki-laki itu bergetar hebat, dan Paul sangat panik saat melihatnya.

Julian mengangguk samar menyetujui saran Paul. Baru saja Paul ingin menyesap minuman kalengnya Julian berdiri, alis  Paul terangkat menatap Julian lalu bertanya "Kaumau kemana?"

Laki-laki bermata coklat gelap, berambut hitam itu menelisik arloji di tangan kanannya. Julian segera berdiri dari kursi, dalam waktu tiga puluh menit ia harus bergegas menuju minimarket 24 jam tempat ia bekerja paruh waktu. 

"Kau mau kemana?" tanya Paul yang duduk di seberang kursi Julian.

"Aku harus segera berangkat ke minimarket, kalau tidak Albert akan memotong gajiku dengan memababi buta"

Segera setelah itu, Julian melenggang lebar meninggalkan kantin dan mengangkat sebelah tangannya sebagai tanda 'sampai jumpa' yang di balas oleh Paul yang masih menatapnya prihatin. 

***

Julian tampak sibuk mendata stock barang yang ada pada rak, tangan kirinya memegang clipboard yang berisi daftar nama item beserta jumlahnya dan tangan kanannya memegang bolpint. Malam itu setiap akan berganti sift para pegawai harus mengecek persediaan barang, jika ada yang sudah habis maka harus segera di restock lagi. Laki-laki itu baru saja akan beralih ke rak bagian minuman ketika seseorang memanggilnya untuk segera ke meja kasir. Ia bahkan tidak sadar jika seorang pembeli sedang mengunjungi minimarket karena saking fokus pada pekerjaannya.

"Iya, tunggu sebentar, nona"

Gadis berambut coklat gelap dengan rambut panjang sebahu itu memasuki minimarket dan langsung menuju ke bagian ice cream dan cemilan. Ia mengambil beberapa bungkus snack dan juga tiga buah ice cream coklat dan vanila. Ia tidak menyadari bahwa petugas minimarket alias Julian yang membelakanginya sedang menghitung stock bahan dapur. Setelah di rasa cukup, gadis itu berjalan menuju meja kasir, alisnya terangkat ketika menyadari petugasnya tidak ada di tempat.

Ia memutar kepalanya mencari petugas kasir, saat gadis itu menengok ke belakang tepat ke arah rak tempatnya mengambil cemilan tadi, ia memanggil Julian yang hendak berpindah tempat.

"Maaf, permisi" panggilnya dengan nada sopan. Kemudian pandangannya kembali ke arah kasir.

"Iya, tunggu sebentar, nona" 

Julian berlari kecil menuju meja pembayaran. Sesampainya, ia langsung mengambil satu persatu barang yang di sodorkan gadis itu untuk di tempelkannya pada barcode scanner.

"Semuanya dua puluh dollar, nona"

Gadis itu mengeluarkan dompat dan menyerahkan koin senilai dua puluh dollar. Namun di saat ia mengeluarkan dompet dari ranselnya, ia tidak menyadari sesuatu terjatuh dari sana. Sampai saat Julian menyerahkan semua belanjaan padanya , ia melenggang keluar minimarket.

Julian tersenyum ramah pada gadis itu sambil mengucapakan "Terima kasih". Setelah gadis itu menghilang dari pandangannya, ia menoleh jam yang terpajang di dinding. Well, sudah saatnya ia bergegas untuk pulang, setelah seorang wanita berusia dua puluh tujuh tahun bernama Elise datang.

"Hai, Julian, apa kabar?" sapa Elise ramah saat melewati meja kasir.

"Baik, Elise" sahut Julian ringan. Ia mengambil clipboard yang berisi daftar item barang untuk di serahkan pada Elise—yang akan menggantikan sift malamnya.

Beberapa menit kemudian Elise keluar dari ruang staff dan sudah berganti seragam. Elise mengambil alih pekerjaan Julian malam itu. 

Saat akan membuka membuka pintu minimarket pandangannya tertuju pada benda yang tergeletak di samping tong sampah yang ada di bawah mesin kopi dekat meja kasir. Ia menunduk dan mengambilnya. Sebuah pouch kecil berwana biru muda. Berniat ingin melihat isi dari pouch tersebut, tapi waktu yang sudah larut malam mengharuskannya untuk cepat pulang. Beruntung jarak rumah dari tempatnya bekerja cukup dekat, hanya lima ratus meter. Namun ia harus melewati gang perumahan yang cukup sepi.

Baru saja ia berharap tidak bertemu dengan para manusia-manusia bodoh yang selalu menghadang perjalanan pulangnya muncul dari balik gang kecil di sela-sela bangunan perumahan. Sial, ia harus menghadapi kuman-kuman ini terlebih dahulu.

"Hai, nak, apa kabarmu hari ini?" Tanya pria berbadan kekar dan berambut gondrong bernama John.

Julian mendengus seraya menatap enteng ketiga preman di hadapannya. Ini sudah menjadi kegiatan rutinnya setiap malam.

"Kemarin kau tidak membayar pajak pada kami" sahut preman lainnya yang beridiri di sisi kanan John. Mereka adalah penguasa jalan itu, maka siapapun yang lewat gang itu maka harus membayar uang pada mereka, tentu dengan jumlah yang tidak sedikit.

"Hei, babi-babi sialan, minggir sekarang juga atau aku akan membuat wajah rahang kalian lepas!"

Ketiga preman itu mengangkat alis terkejut dengan keberanian Julian mengancam mereka. Setelah beberapa detik saling pandang, para preman itu tertawa seakan menyepelakan ancaman Julian yang kini sedang tertawa kecil . Merasa di remehkan, salah satu preman yang berdiri di sisi kiri John tidak terima.

"Hei, bocah! Nyalimu besar juga menantang kami!"

Julian terkekeh seraya melemparkan pandangan ke bawah. Ia tidak menyadari bahwa salah satu preman itu berlari ke arahnya dan memukul wajahnya secara tiba-tiba. Julian tersungkur, ia merasakan sakit yang luar biasa pada sudut bibirnya dan seketika ia sadar darah keluar dari sana. Ia mengusap sudut bibirnya lalu mendengus marah. 

Ketiga preman itu tertawa puas melihat Julian yang tergeletak kesakitan. Namun mereka salah, Julian tidak selemah yang mereka pikirkan. Seketika sebuah tinjuan mendarat tepat ke uluh hati preman yang tadi menghantam wajah Julian. 

Meskipun tubuh julian tidak sekekar mereka, bukan berarti ia bisa di remehkan begitu saja. Mungkin dulu ia hanya bisa diam menerima perlakuan kasar dari orang-orang yang tidak suka padanya. Tapi sekarang, ia bukanlah si kecil Julian delapan tahun yang lalu.

***

Julian membuka dan menutup pintu rumah dengan sangat hati-hati agar tidak membangunkan ibunya. Ia berharap ibunya tidak mendengar apapun dan masih tertidur dengan lelap. Sampai ketika harapannya itu tidak berjalan mulus, lampu tengah tiba-tiba menyala, dari sudut kamar ia melihat Ms. Nancy—ibu Julian berdiri dengan bersedakap tangan.

"H,Hai mom" sapa Julian ragu. 

"Sudah berapa kali aku katakan padamu untuk tidak meladeni para pereman-preman itu" sahut Nancy tanpa membalas sapaan Julian.

"Maaf mom, aku hanya memberi mereka sedikit pelajaran"

Nancy mendesah "Baiklah, sekarang cepat kau bersihkan badanmu dan istirahat" ia sedari tadi menunggu Julian pulang dengan tiduran di atas sofa ruang tengah dekat perapian. Ia menyadari langakah kaki anaknya ketika membuka pintu, meskipun Julian sudah sangat meminimalisir suara langkah kakinya.

Setelah Julian membersihkan dirinya, ia langsung naik ke atas tidur bersiap untuk tidur. Namun ia merasakan sudut bibirnya perih walaupun tadi ia sudah mengoleskan obat pada lukanya. Ia teringat akan sesuatu, pouch kecil berwana biru muda yang ia temukan di minimarket tadi.

Ia membuka isi pouch yang tadi ia ambil di saku celana jins nya. Sebuah kartu mahasiswa bertuliskan nama kampus yang sama dengannya University of Edmonton dengan nama Jinny Wilson.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status